Lompat ke isi

Imam adz-Dzahabi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 14 Februari 2015 07.36 oleh Wagino Bot (bicara | kontrib) (penggantian teks otomatis dengan menggunakan mesin AutoWikiBrowser, replaced: beliau → ia (15))

Imam adz-Dzahabi
Lahir673 H
Meninggal748 H, di Damaskus, Syiria
EraEra Pertengahan
KawasanTurkmenistan
Minat utama
Biografi perawi, Sejarah
Memengaruhi

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi, yang lebih dikenal sebagai Al-Imam Adz-Dzahabi atau Al-Dhahabi, adalah seorang Ulama Sunni. Beliau berasal dari Maula Bani Tamim.

Kehidupannya

Beliau dilahirkan pada tahun 673 H di Mayyafariqin Diyar Bakr. Ia dikenal dengan kekuatan hafalan, kecerdasan, kewara’an, kezuhudan, kelurusan aqidah dan kefasihan lisannya. Beliau wafat pada malam Senin, 3 Dzulqa’dah 748 H, di Damaskus, Suriah dan dimakamkan di pekuburan Bab ash-Shaghir.

Guru-gurunya

Beliau menuntut ilmu sejak usia dini dan ketika berusia 18 tahun menekankan perhatian pada dua bidang ilmu: Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits Nabawi. Beliau menempuh perjalanan yang jauh dalam mencari ilmu ke Syam, Mesir, dan Hijaz (Mekkah dan Madinah). Beliau mengambil ilmu dari para ulama di negeri-negeri tersebut. Diantara para ulama yang menjadi guru-guru ia adalah:

Yang ia letakkan namannya paling awal di deretan guru-guru yang memberikan ijazah pada ia dalam kitabnya, Mu’jam asy-Syuyukh. Beliau begitu mengagumi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan mengatakan, “Dia lebih agung jika aku yang menyifatinya. Seandainya aku bersumpah di antara rukun dan maqam maka sungguh aku akan bersumpah bahwa mataku belum pernah melihat yang semisalnya. Tidak…-Demi Allah- bahkan dia sendiri belum pernah melihat yang semisalnya dalam hal keilmuan.” (Raddul Wafir , hal. 35)

  • Al-Hafizh Jamaluddin Yusuf bin Abdurman al-Mizzi

Yang dikatakan oleh ia, “Dia adalah sandaran kami jika kami menemui masalah-masalah yang musykil.” (ad-Durar al-Kaminah,V:235)

  • Al-Hafizh Alamuddin Abdul Qasim bin Muhammad al-Birzali

Yang menyemangati ia dalam belajar ilmu hadits, ia mengatakan tentangnya: “Dialah yang menjadikanku mencintai ilmu hadits.” (ad-Durar al-Kaminah, III:323)

Ketiga ulama diatas adalah yang banyak memberikan pengaruh terhadap kepribadian ia. Adapun guru-guru ia yang lainnya adalah Umar bin Qawwas, Ahmad bin Hibatullah bin Asakir, Yusuf bin Ahmad al-Ghasuli, Abdul Khaliq bin Ulwan, Zainab bintu Umar bin Kindi, al-Abuqi, Isa bin Abdul Mun’im bin Syihab, Ibnu Daqiqil ‘Id, Abu Muhammad ad-Dimyathi, Abul abbas azh-Zhahiri, ali bin Ahmad al-Gharrafi, Yahya bin ahmad ash-Shawwaf, at-Tauzari, masih banyak lagi yang lainnya.

Al-Imam adz-Dzahabi memiliki Mu’jam asy-Syuyukh (Daftar Guru-Guru) ia yang jumlahnya mencapai 3000-an orang (adz-Dzahabi wa Manhajuhu fi Kitabihi, Tarikhil Islam)

Murid-muridnya

Di antara murid ia adalah: Tajuddin as-Subki, Muhammad bin Ali al-Husaini, al-Hafizh Ibnu katsir, al-Hafizh Ibnu Rajab, dan masih banyak lagi selain mereka.

Perkataan para Ulama tentang ia

Al-Imam Ibnu Nashruddin ad-Dimasyqi berkata, “Beliau adalah Ayat (tanda kebesaran Allah-red) dalam ilmu rijal, sandaran dalam jarh wa ta’dil (ilmu kritik hadits-red) lantaran mengetahui cabang dan pokoknya, imam dalam qiraat, faqih dalam pemikiran, sangat paham dengan madzhab-madzhab para imam dan para pemilik pemikiran, penyebar sunnah dan madzhab salaf di kalangan generasi yang datang belakangan.” (Raddul Wafir, hal. 13) Ibnu Katsir berkata, “Beliau adalah Syaikh al-Hafizh al-kabir, Pakar Tarikh Islam, Syaikhul muhadditsin ……ia adalah penutup syuyukh hadits dan huffazhnya.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, XIV:225)

Tajuddin as-Subki berkata, “Beliau adalah syaikh Jarh wa Ta’dil, pakar Rijal, seakan-akan umat ini dikumpulkan di satu tempat kemudian ia melihat dan mengungkapkan seja mereka.” (Thabaqah Syafi’iyyah Kubra, IX:101)

an-Nabilisi berkata, “Beliau pakar zamannya dalam hal perawi dan keadaaan-keadaan mereka, tajam pemahamannya, cerdas, dan ketenarannya sudah mencukupi dari pada menyebutkan sifat-sifat nya.” (ad-Durar al-Kaminah, III:427)

Ash-Shafadi berkata, “Beliau seorang hafizh yang tidak tertandingi, penceramah yang tidak tersaingi, mumpuni dalam hadits dan rijalnya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang ‘illah dan keadaan-keadaannya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang biografi manusia. Menghilangkan ketidakjelasan dan kekaburan dalam seja manusia. Beliau memiliki akal yang cerdas, benarlah nisbahnya kepada dzahab (emas). Beliau mengumpulkan banyak bidang ilmu, memberi manfaat yang banyak kepada manusia, banyak memiliki karya ilmiah, lebih mengutamakan hal yang ringkas dalam tulisannya dan tidak berpanjang lebar. Aku telah bertemu dan berguru kepadanya, dan membaca banyak dari tulisan-tulisannya di bawah bimbingannya. Aku tidak menjumpai padanya kejumudan, bahkan dia adalah faqih dalam pandangannya, memiliki banyak pengetahuan tentang perkataan-perkataan ulama, madzhab-madzahab para imam salaf dan para pemilik pemikiran.” (al-Wafi bil Wafayat, II:163)

Diantara perkataan-perkataan ia

Al-Imam adz-Dzahabi berkata, “Tidak sedikit orang yang memusatkan perhatiannya pada ilmu kalam melainkan ijtihadnya akan membawanya kepada perkataan yang menyelisihi Sunnah. Karena itulah ulama salaf mencela setiap yang belajar ilmu-ilmu para umat sebelum Islam. Ilmu kalam turunan dari ilmu para filosof atheis. Barangsiapa yang sengaja ingin menggabungkan ilmu para nabi dengan ilmu para ahli filsafat dengan mengandalkan kecerdasannya maka pasti dia akan menyelisihi para nabi dan para ahli filsafat. Dan barangsiapa yang berjalan di belakang apa yang dibawa oleh para rasul …..maka sungguh dia telah menempuh jalan salaf dan menyelamatkan agma dan keyakinannya.” (Mizanul I’tidal, III:144)

Beliau menukil perkataan ma’mar, “Dahulu dikatakan bahwa seseorang menuntut ilmu untuk selain Allah maka ilmu itu enggan hingga semata-mata untuk Allah.” Kemudian ia mengomentari perkataan ma’mar tersebut dengan mengatakan, “Ya, dia awalnya menuntut ilmu atas dorongan kecintaan kepada ilmu, agar menghilangkan kejahilannya, agar mendapat pekerjaan, dan yang semacamnya. Dia belum tahu tentang wajibnya ikhlas dalam menuntutnya dan kebenaran niat di dalamnya. Maka jika sudah mengetahuinya, dia hisab dirinya dan takut terhadap akibat buruk dari niatnya yang keliru, maka datanglah kepada niat yang shahih semuanya atau sebagiannya. Kadang dia bertaubat dari niatnya yang keliru dan menyesal. Tanda atas hal itu ialah bahwasanya dia mengurangi dari klaim-klaim, perdebatan, dan perasaan memiliki ilmu yang banyak, dan dia hinakan dirinya. Adapun jika dia merasa banyak ilmunya atau mengatakan “saya lebih berilmu dari pada Fulan; maka sungguh celakalah dia.” (Siyar A’lamin Nubala’ , VII:17)

Beliau berkata, “Yang dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah hendaknya bertakwa, cerdas, mahir Nahwu, mahir ilmu bahasa, memiliki rasa malu dan bermanhaj salaf.” (Siyar, XIII:380)

Beliau berkata, “Ahli hadits sekarang hendaknya memperhatikan kutubs sittah, musnad Ahamd dan Sunan Baihaqi. Dan hendaknya teliti terhadap matan-matan dan sanad-sanadnya, kemudian tidak mengambil manfa’at dari hal itu hingga dia bertakwa kepada Rabbnya dan menjadikan hadits sebagai dasar agama. Kemudian ilmu bukanlah dengan banyak riwayat, tetapi dia adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati dan syaratnya adalah ittiba’ (mengikuti nabi Shallallahu alaihi wassalam-red) dan menjauhkan diri dari hawa nafsu dan kebid’ahan.” (Siyar, XIII:323)

Beliau berkata, “Kebanyakan ulama pada zaman ini terpaku dengan taqlid dalam hal furu’, tidak mau mengembangkan ijtihad, tenggelam dalam logika-logika umat terdahulu dan pemikiran ahli filsafat. Dengan demikian, bencana pun meluas, hawa nafsu menjadi hukum dan tanda-tanda tercabutnya ilmu semakin nampak. Semoga Allah memati seseorang yang mau memperhatikan kondisi dirinya, menjaga ucapannya, selalu membaca al-Qur’an, menangis atas kejadian zaman, memperhatikan kitab ash-Shahihain dan beribadah kepada Allah sebelum ajal datang secara tiba-tiba.” (Tadzki al-Huffazh, II:530)

Karya-Karyanya

Kitab biografi "Kehidupan Tokoh-tokoh Terhormat"
Berkas:Sejarah Islam Imam adz-Dzahabi 53 jilid.png
Kitab sejarah Islam (Tarikh Islam) setebal 53 jilid

Beliau memiliki sekitar 100 karya tulis, di antara karya-karya tulis itu adalah:

  1. al-‘Uluww lil ‘Aliyyil Ghaffar
  2. Taariikhul Islam
  3. Siyar A’laamin Nubalaa’
  4. Mukhtashar Tahdziibil Kamaal
  5. Miizaanul I’tidaal Fii Naqdir Rijaal
  6. Thabaqatul Huffazh
  7. Al-Kaasyif Fii Man Lahu Riwaayah Fil Kutubis Sittah
  8. Mukhtashar Sunan al-Baihaqi
  9. Halaqatul Badr Fii ‘Adadi Ahli Badr
  10. Thabaqatul Qurra’
  11. Naba’u Dajjal
  12. Tahdzibut Tahdzib
  13. Tanqiih Ahaadiitsit Ta’liiq
  14. Muqtana Fii al-Kuna
  15. Al-Mughni Fii adh-Dhu’afaa’
  16. Al-‘Ibar Fii Khabari Man Ghabar
  17. Talkhish al-Mustadrak
  18. Ikhtishar Taarikhil Kathib
  19. Al-Kabaair
  20. Tahriimul Adbar
  21. Tauqif Ahli Taufiq Fi Manaaqibi ash-Shiddiq
  22. Ni’mas Smar Fi Manaaqib ‘Umar
  23. At-Tibyaan Fi Manaaqib ‘Utsman
  24. Fathul Mathalib Fii Akhbaar Ali bin Abi Thalib
  25. Ma Ba’dal Maut
  26. Ikhtishar Kitaabil Qadar Lil Baihaqi
  27. Nafdhul Ja’bah Fi Akhbaari Syu’bah
  28. Ikhtishar Kitab al-Jihad, ‘Asakir
  29. Mukhtashar athraafil Mizzi
  30. At-Tajriid Fii Asmaa’ ish Shahaabah
  31. Mukhtashar Tariikh Naisabuur, al-Hakim
  32. Mukthashar al-Muhalla dan Tartiil Maudhuu’at, Ibn al-Jauzi

Lihat pula

Referensi

Thabaqah asy-Syafi’iyyah al-Kubra, Tajuddin as-Subki (IX:100-116), Raddul Wafiir, Ibn Nashiruddin ad-Dimasqi, hal.31-32, Abjadul ‘Ulum, Shiddiq Hasan Khan (III:99-100), Dzail Tadzkiratil Huffazh (I:34-37)