Lompat ke isi

Suku Kurudu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Kurudu
Bahasa
Kurudu

Suku Kurudu adalah kelompok etnis di Papua yang mendiami pulau Kurudu dan pesisir Pamai Erar. Suku ini berbeda dari suku Berbai. Beberapa orang yang tidak bertanggung jawab telah mencaplok status kesukuan etnis Kurudu dan memasukan suku Kurudu menjadi sub-suku dari suku Berbai.

Suku Kurudu telah menghuni pulau Kurudu lebih dari 40 abad. Dalam kurun waktu amat panjang ini suku Kurudu mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di pulau Kurudu.

Interaksi suku Kurudu dengan alam telah menghasilkan sejumlah kearifan lokal yang khas, antara lain ritual ratapan buah matoa yang disebut Sai Antaun, memancing ikan tenggiri dengan bunga, melestarikan spesies mangga purba, memanggil aneka jenis ikan berkumpul dengan ritual berbahasa asli Kurudu, menyimpan sejarah burung cenderawasih setelah air bah, dan lain-lain.

Sejarah

Pulau Kurudu atau dikenal juga sebagai Abere merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam wilayah Kepulauan Yapen, provinsi Papua. Konon, pulau ini telah dikenal pada masa lalu sebagai pemasok barang-barang dagangan, baik antara sesama pedagang Papua maupun dengan para pedagang dari luar. Hal ini dapat diketahui melalui berbagai catatan-catatan orang Eropa yang pernah menyinggahi pulau ini pada masa VOC sampai masuknya pemerintahan Belanda di Tanah Papua.[1]

Sejak abad ke-16, pulau Kurudu dicatat oleh bangsa Spanyol dengan nama La Ballena pada 1545. Meski telah dijelajahi pada tahun itu, tidak banyak informasi mengenai pulau Kurudu. Memasuki abad ke-18, pulau ini ditulis dalam buku-buku orang Eropa, tentang aspek perdagangan yang telah mereka amati disana. Sir Thomas Forrest mengunjungi pulau itu pada Februari 1775, dalam bahasa Inggris ia menyebutnya "Island of Krudo" berarti yang pulau Kurudu. Ia juga menulis bahwa masyarakat Kurudu-Kaipuri biasanya mengumpulkan kulit penyu yang akan diperdagangkan dengan pedagang Tionghoa. Wilayah Yapen, Waropen, dan Nabire merupakan tempat-tempat dimana para pedagang Tionghoa, Bugis, Makassar, Seram, dan Eropa melakukan barter dengan penduduk-penduduk di wilayah tersebut.[1]

Orang Kurudu menghasilkan berbagai produk-produk lokal gerabah tanah liat (sempe), ukiran, perahu, dan sagu yang nantinya akan diperdagangkan ke berbagai tempat di pesisir utara Papua. Orang Kurudu juga memiliki jaringan perdagangan sampai ke Sungai Mamberamo dan meluas ke Tanah Tabi (Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura). Misalnya, orang Kurudu membawa produk-produk seperti manik-manik, pisau, piring, dan menukarnya dengan masyarakat Mamberamo.[1]

Dalam laporan residen Braam Morris, sewaktu mereka mengunjungi penduduk Mamberamo (kampung Pauwi) pada 21 Juli 1884, mereka menemukan bahwa penduduk asli memiliki barang-barang seperti manik-manik, pisau, piring, dan barang-barang lainnya. Setelah ditanya darimana penduduk Pauwi dan Mawa mendapatkan barang-barang tersebut, mereka menjawab dari Kurudu, orang Kurudu sering datang kepada mereka. Jejak perdagangan demikian sudah berlangsung tahun 1800-an. Bahkan ada seorang Korano (pemimpin lokal) Mamberamo yang bernama Anggori bisa berbicara dalam bahasa Kurudu. Catatan ini tampaknya mendukung catatan Thomas Forrest bahwa pedagang Tionghoa pernah melakukan kontak dengan orang Kurudu. Artinya masyarakat Mamberamo tidak mendapat barang-barang tersebut secara langsung dari pedagang Tionghoa. Bisa digambarkan bahwa setelah pedagang Tionghoa melakukan barter dengan orang Kurudu, kemudian orang Kurudu melakukan barter lagi dengan penduduk Mamberamo. Merujuk pada catatan Thomas Forrest bahwa bisa jadi perdagangan antara orang Kurudu dan orang Mamberamo sudah berlangsung sejak tahun 1700-an.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d "Orang Kurudu dan Perdagangan di Masa Lalu". www.pustakapapua.com. Diakses tanggal 18 Mei 2023.