Aji Muhammad Sulaiman
Aji Muhammad Sulaiman العاجي محمد سليمان عادل | |
---|---|
Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura | |
Berkuasa | 23 Juli 1845 – 2 Desember 1899 |
Penobatan | 19 Oktober 1850 |
Pendahulu | Aji Muhammad Salehuddin |
Penerus | Aji Muhammad Alimuddin |
Kelahiran | Tenggarong | 8 Februari 1838
Kematian | 2 Desember 1899 Tenggarong |
Pasangan | Aji Ratu Shalbiah Aji Rubia (Lubiak) Aji Saja (Soja) Aji Siti Jawiah dan 38 istri atau selir lainnya |
Keturunan Detail | Aji Muhammad Yasin (Aji Pangeran Saputro) Aji Muhammad (Sultan Muhammad Alimuddin Al-adil) |
Agama | Islam |
Aji Muhammad Sulaiman yang bergelar Sri Paduka Sultan Aji Muhammad Sulaiman al-Adil Khalifatul-Mu'minin bin Aji Muhammad Salehuddin (dilahirkan dengan nama Aji Biduk/Pangeran 'Umar) adalah Sultan Kutai Kartanegara ke-18, memerintah dari tahun 1845 sampai 1899 merupakan putera ke-8 dari Sultan Aji Muhammad Salehuddin, dengan istrinya Aji Kinchana.[1][2]
Biografi
Lahir pada tanggal 8 Februari 1838, menggantikan ayahnya menjadi Sultan pada saat kematian ayahnya tanggal 23 Juli 1845. Memerintah di bawah sebuah Konsul sampai ia dewasa dan secara formal dimahkotai sebagai Sultan dengan kekuatan penuh di Tenggarong pada tanggal 19 Oktober 1850, dan disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 4 Januari 1851. Sultan Aji Muhammad Sulaiman dikenal arif dan juga tekun mengajarkan Islam, hingga tiap tahun menghajikan rakyatnya. Sepanjang pemerintahannya, aktif mengadakan hubungan dengan Kerajaan Mekkah dan juga sempat membangun pemondokan haji di Tanah Suci, yang kemudian dihibahkan kepada Kerajaan di sana. Sultan juga menempatkan para ulama sebagai penasehat kerajaan sepanjang pemerintahannya. Sultan Aji Muhammad Sulaiman meninggal di Tenggarong pada tanggal 2 Desember 1899, dan dimakamkan di Pemakaman Kerajaan di Tenggarong.[1]
Pemerintahan
Pada tahun 1850, Sultan Aji Muhammad Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[3] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[4] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman
Istri
- Aji Ratu Shalbiah (meninggal pada 30 Oktober 1860, dimakamkan di Pemakaman Kerajaan di Tenggarong).
- Aji Rubia [Labiak], Aji Ratu Agung (meninggal sebelum 1888).
- Aji Saja [Soja] (meninggal pada 7 September 1861, dimakamkan di Pemakaman Kerajaan di Tenggarong), anak dari Aji Tepa
- sebelum 1857, Aji Siti Jawiah, anak dari Sultan Ibrahim Khaliluddin bin Pangeran Suriya Nata Negara, Sultan Pasir.
- menikah dengan 38 istri atau selir lainnya termasuk diantaranya adalah:
- Dayang Suking.
- Dayang Lainaly (meninggal pada 9 November 1866, dimakamkan di Tenggarong).
- Puwa Betta Jauzat (meninggal pada 7 Maret 1877, dimakamkan di Tenggarong).[1]
Keturunan
Sultan memiliki keturunan 84 orang anak, termasuk 41 anak laki-laki dan 28 anak perempuan
Anak Laki-Laki
- Aji Muhammad Yasin, Pangeran Saputra. Kadang dipanggil Panglima Besar dan Menteri Negara.
- Aji Muhammad Azim ud-din, Pangeran Prabu Anum, yang menggantikan sebagai Sultan Aji Muhammad Alimuddin, Sultan Kutai Karta Negara (anak dari Aji Rubia).
- Aji Muhammad Aminuddin, Pangeran Mangku Negara. lahir di Tenggarong, 1858. Sebelumnya bergelar Pangeran Sasra Negara. Menteri Negara 1902-1910, Perdana Menteri pada 1910-1911. Dianugerahi gelar Pangeran Mangku Negara pada 1910. Wali dari keponakannya dari tanggal 26 September 1911. Menghadiri pelantikan Ratu Wilhelmina dari Belanda, di Amsterdam, 1898. Menerima: Knt. of the Order of the Netherlands Lion, dan Officer of the Order of Orange-Nassau (14 September 1920). Menikah di Surabaya pada tahun 1874, dengan puteri tertua Raden Adipati Panji Chakra Negara, Bupati Surabaya.[1]
- Adji Mahligai glr. Adji Raden Aryo Sostro mendjadi Hoofd Comisaries B.P.M. NV. Balikpapan.
- Adji Mahmoed glr. Adji Raden Mangliwidjojo mendjadi Hoofd Kartiker van Sultant Koetei di Negeri Belanda.
- Adji Botoh glr. Adji Raden Atmodjosoepno mendjadi Menteri Keradjaan Oeroesan Kemakmoeran Koetei.
- Adji Jamal Aryo Kelono glr. Adji Raden Aryo Kelono Menjadi Menteri Perdagangan Dan Luar Negeri Keradjaan Koetei.
Anak Perempuan
- Aji Semen. Meninggal sebelum 1905.
- Aji Aniah [Enah], Radin Wasita. menikah dengan Pangeran Prawira.
- Aji Saleha.[1]
Penghargaan
Penghargaan yang diterima oleh Sultan adalah:
- Commander of the Order of Orange Nassau (1898),
- Knight of the Order of the Netherlands Lion (12.5.1874),
- the Gold Medal for Civil Merit (1864).[1]
Referensi
- ^ a b c d e f Royal Ark
- ^ (Belanda) Verhandelingen en Berigten Betrekkelijk het Zeewegen, Zeevaartkunde, de Hydrographie, de Koloniën, Volume 13, 1853
- ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde. 13. hlm. 358.
- ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz. 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242.
Didahului oleh: Aji Muhammad Salehuddin |
Sultan Kutai Kartanegara 1845—1899 |
Diteruskan oleh: Aji Muhammad Alimuddin |