Museum Maritim Indonesia
Optimalisasi Fungsi Museum Maritim Indonesia sebagai Upaya Membangkitkan Budaya Maritim dan Wawasan Nusantara Abdullah Faqih Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Jalan Cik Ditiro, No. 22, Sagan, Yogyakarta Telp: +62 856-4719-8527 e-mail: faqihism@gmail.com ABSTRAK Makalah ini ditulis untuk memberikan rekomendasi terkait langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan fungsi museum maritim di Indonesia. Hal itu didasari oleh data dan fakta bahwa bangsa Indonesia kini semakin jauh dari jati diri azalinya sebagai bangsa maritim. Indonesia kini diatur oleh paham kontinental dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, tetapi juga meminggirkan budaya maritim. Budaya maritim yang begitu kaya membutuhkan ruang untuk terus lestari dan berkembang. Kekayaan dan keberagaman budaya maritim akan hilang apabila tidak dikomunikasikan kepada khalayak dan diberi ruang untuk terus hidup. Argumentasi utama dalam makalah ini mengemukakan bahwa museum maritim memiliki peran penting sebagai lembaga pendidikan non-formal untuk memperkuat karakter bangsa dan pemahaman visi maritim. Ruang museum memiliki kemampuan dalam membentuk wacana dan merajut memori kolektif, mampu menjangkau segala lapisan masyarakat, dan berpotensi mengubah mindset atau pola pikir publik agar lebih berorientasi pada budaya maritim. Akan tetapi, museum maritim di Indonesia belum mampu memengaruhi publik ke arah kesadaran maritim dengan baik (Sadzali, 2014). Hal itu disebabkan oleh unsur-unsur komunikasi yang diterapkan tergolong kurang efektif. Melihat pentingnya keberadaan museum maritim, upaya optimalisasi fungsi museum perlu dilakukan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi museum maritim adalah 1) menciptakan inovasi museum maritim berupa “mall museum”, 2) menciptakan ekspedisi pelayaran museum maritim sepanjang Sumatera dan Jawa, 3) menghadirkan koleksi museum yang langka dan berciri khas, 4) menerapkan penggunaan teknologi informasi dalam proses komunikasi museum, 5) menciptakan desain dan suasana museum sama persis dengan aslinya. Kata Kunci: Museum, Maritim, Budaya 1.1. Latar Belakang Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung luas samudera Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa BAB I PENDAHULUAN Harmoni melodi lagu Pelaut melantun indah di telinga. Penggalan lirik lagu di atas menyiratkan sebuah pesan: nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut handal yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak abad ke-9 Masehi, nenek moyang kita telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Ke Utara mengarungi laut Tiongkok, ke Barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Kondisi itu membuat bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa penjelajah samudera (Read, 2005). Kenyataan akan kejayaan maritim Indonesia di masa lampau memang bukan sekadar mitos yang dilebih- lebihkan catatan sejarah. Sejak dahulu, bangsa Indonesia telah menjadikan laut sebagai bagian penting dari kehidupan keseharianya. Sebelum kedatangan bangsa penjajah, laut Indonesia juga telah digunakan sebagai “titik temu” berbagai suku bangsa yang saling berinteraksi dalam hal ekonomi, percaturan politik, hingga pertukaran bahasa dan budaya. Di seluruh penjuru Nusantara telah tersebar berbagai bandar dagang dan pelabuhan-pelabuhan besar. Sejarah pun telah menyebutkan bahwa bersatunya Nusantara adalah karena kebesaran armada maritimnya. Cerita tentang kejayaan maritim Nusantara juga tercermin dalam kisah Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya merupakan negara maritim yang kuat, sehingga dapat menguasai seluruh Sumatera dan mengirimkan ekspedisinya ke Jawa serta menguasai Selat Malaka hingga Tanah Genting Kra (Yuliati, 2014). Di puncak kejayaannya, Sriwijaya menjadi tuan atas Selat Malaka dan menguasai rute perdagangan yang melalui selat ini. Di tahun 1178, seorang penulis Cina, Chou K’u-fei, melaporkan bahwa beberapa kapal asing yang lewat akan diserang jika tidak masuk pelabuhan Sriwijaya atau membayar tol (Kay, 1976 dalam Yuliati, 2014). Kapal-kapal Sriwijaya melakukan pelayaran sendiri antara Cina dan India. Ia juga mengirimkan utusan ke Cina dan diakui sebagai negara penguasa di Asia Tenggara. Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-14, kekuatan maritim Nusantara digantikan oleh Kerajaan Majapahit. Segala kemegahan kekuatan maritim Majapahit diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Arus Balik: di zaman Majapahit, Arus Balik peradaban berlangsung dari wilayah Bawah Angin di Selatan ke Atas Angin di Utara. Majapahit memang dikenal memiliki kehebatan sebagai kerajaan besar penguasa Arus Selatan hingga mampu menerjang penguasa kerajaan Utara. Majapahit menjadi kekuatan maritim terbesar pada abad itu (1350-1389 M) dan mengusai hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini, hingga Singapura (Tumasik), Malaysia (Malaka), dan beberapa negara ASEAN lainnya. Namun, masih menurut Pram1, kini arus telah berubah ke arah sebaliknya: dari Utara ke Selatan. Arus zaman telah membalik, segalanya berubah: kekuasaan laut menjadi mengkerut ke pedalaman, kemuliaan menukik dalam kemerosotan, kejayaan berubah ke kekalahan, kecemerlangan cendekia menjadi kedunguan penalaran, persatuan berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan. Penjajahan kolonial adalah penyebab malapetaka ini. Mindset masyarakat Indonesia yang semula berorientasi pada laut dialihkan perlahan-lahan ke darat. Bangsa Indonesia pun hidup semakin jauh dari jati diri azalinya sebagai bangsa maritim. Indonesia kini diatur oleh paham kontinental dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, tetapi juga meminggirkan budaya maritim. Hal itu terus mengakar kuat hingga sekarang. Bercermin pada sejarah kejayaan maritim masa lampau, bangsa Indonesia harus segera bangun dari tidur panjangnya. Kita mesti memutar kemudi ke arah kesadaran maritim yang baik dan meneguhkan kembali jati diri bangsa Indonesia sebagai penghuni negara maritim. Persoalan lunturnya budaya dan pola pikir maritim harus menjadi agenda super mendesak yang perlu diselesaikan; perlu membuat strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan Nusantara. Apabila tidak, kegemilangan maritim masa lalu hanya akan menjadi wacana tanpa makna. Kehadiran museum bertema maritim di tengah persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia –pudarnya budaya dan pola pikir maritim– diyakini sangat relevan. Budaya maritim yang begitu kaya membutuhkan ruang untuk terus lestari dan berkembang. Kekayaan dan keberagaman budaya maritim akan hilang apabila tidak dikomunikasikan kepada 1 Sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer
khalayak dan diberi ruang untuk terus hidup. Terlebih lagi, di tengah dinamika sosial dan budaya yang berkembang begitu cepat, museum bertema maritim dapat menjadi media alternatif pendidikan non-formal yang berfungsi untuk merekonstruksi pola pikir maritim dan wawasan Nusantara. Hal itu ditegaskan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam tulisannya yang mengatakan bahwa museum sebagai alat pendidikan zaman modern akan senantiasa menyesuaikan dengan perkembangan dunia modern itu sendiri (Alisyahbana, 1954 dalam Sadzali, 2014). Sama seperti museum-museum pada umumnya, museum bertema maritim di Indonesia juga memiliki tanggung jawab dan fungsi untuk melestarikan, membina, sekaligus mengembangkan budaya maritim baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui pesan-pesan yang dirangkai lewat display dan ruang pameran, museum bertemakan maritim di Indonesia berfungsi sebagai sarana komunikasi dan jembatan penghubung yang dapat memicu kesadaran dan pengetahuan bagi masyarakat. Dalam karya tulis ini, akan dibahas mengenai kemampuan museum bertema maritim di Indonesia dalam merekonstruksi pola pikir dan kesadaran maritim masyarakat. Hal itu diyakini relevan mengingat Indonesia, melalui gagasan Nawacita yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo, mulai menaruh perhatian lebih pada bidang maritim, salah satunya memperkuat basis pembangunan nasional dari land based menjadi sea based. Karya tulis ini juga akan memberikan beberapa rekomendasi terkait langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi museum maritim yang ada di Indonesia. Tujuan akhirnya adalah membangkitkan kembali budaya dan pola pikir maritim masyarakat Indonesia melalui media pendidikan non-formal yang bernama museum maritim. 1.2. Rumusan Masalah Budaya maritim yang begitu kaya membutuhkan ruang untuk terus lestari dan berkembang. Kekayaan dan keberagaman budaya maritim harus dikomunikasikan kepada publik dan diberi ruang untuk terus hidup. Hal itu dimaksudkan juga sebagai upaya untuk merekonstruksi pola pikir masyarakat ke arah kesadaran maritim yang lebih baik. Museum bertema maritim di Indonesia memiliki fungsi strategis untuk mengupayakan kedua hal itu. Melihat pentingnya peran museum bertema maritim di Indonesia dalam upaya rekonstruksi budaya maritim, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana kemampuan museum maritim di Indonesia dalam menjalankan peran dan fungsi azalinya sebagai media pendidikan non-formal? b. Bagaimana langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan peran dan fungsi museum maritim di Indonesia? 1.3. Tujuan dan Manfaat Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan, penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan kemampuan museum maritim di Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai media pendidikan non-formal untuk merekonstruksi pola pikir dan budaya maritim masyarakat. Dalam hal itu, akan dijelaskan beberapa kelemahan museum maritim di Indonesia dari berbagai aspek. Selain itu, tujuan lain dari disusunnya makalah ini adalah untuk menjelaskan langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam rangka mengoptimalkan fungsi museum maritim di Indonesia. Kedua hal tersebut dinilai sangat penting karena belum banyak penelitian yang secara spesifik membahas tentang museum maritim, kebanyakan justru membahas museum dalam lingkup general. Oleh karena itu, selain untuk memperkaya referensi atau kajian yang berfokus pada museum maritim, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran pada pemerintah mengenai kelemahan-kelemahan museum bertema maritim di Indonesia. Sehingga, pemerintah akan memiliki referensi mengenai langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk menganulir kelemahan tersebut dan mengoptimalkan kembali fungsi museum maritim. 2.1. Jenis Penelitian BAB II METODOLOGI PENELITIAN Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode descriptif analysis. Penelitian kualitiatif dipilih karena dianggap sesuai dengan kebutuhan penelitian dalam memahami serta menganalisis kelemahan dan peran museum maritim di Indonesia untuk merekonstruksi budaya dan pola pikir maritim masyarakat. Metode descriptif analysis dipilih peneliti dengan harapan mampu memberikan gambaran lengkap dan komprehensif dari seluruh sumber data penelitian (literatur) serta pencatatan yang rijid dari berbagai fenomena yang ditemukan lewat studi pustaka dan hasilnya dapat dipaparkan melalui analisis yang mendalam. Metode descriptif analysis memanfaatkan berbagai sumber data primer dan sekunder untuk mendeskripsikan kelemahan-kelemahan museum maritim di Indonesia. Sementara itu, proses penelitian ini dilakukan dengan pengamatan dan penelaahan dokumen, jurnal, buku, serta data lain yang compatible guna menguraikan kemampuan museum maritim di Indonesia untuk menjalan fungsi sebagaimana mestinya. 2.2. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data, penelitian ini memerlukan pemahaman secara menyeluruh. Oleh karena itu, penelitian ini mengumpulkan dan menganalisis data melalui studi pustaka (literatur) yang datanya dikelompokan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sekunder. Pengumpulan data melalui studi pustaka dirasa cukup untuk dijadikan bahan analisa mengingat banyaknya penelitian yang mengambil tema tentang museum, meskipun tidak terfokus pada museum maritim di Indonesia. Sumber data primer diperoleh melalui dokumen-dokumen asli yang diterbitkan oleh Museum Maritim Nasional melalui portal website. Data sekunder meliputi arsip, dokumen, catatan dan hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. BAB III PEMBAHASAN 3.1. Kelemahan Museum Maritim di Indonesia Sejak merdeka pada tahun 1945, Kementerian Kelauatan dan Perikanan yang secara khusus menangani masalah kemaritiman di Indonesia baru terbentuk pada masa Presiden Abdurahman Wahid. Selain mengakibatkan terbengkalainya pengelolaan sektor maritim, hal itu juga berdampak pada eksistensi museum maritim di Indonesia. Sejauh ini, Indonesia hanya memiliki empat museum bertema maritim, yaitu Museum Kapal Selam Pasopati Surabaya, Museum Kapal Samudraraksa Jawa Tengah, Museum Bahari Yogyakarta, dan Museum Bahari Jakarta. Jumlah tersebut terbilang tidak sebanding mengingat Indonesia sebenarnya memiliki kekayaan budaya maritim yang melimpah. Keberadaan museum bertema maritim di Indonesia menjadi sangat penting mengingat museum tidak hanya memiliki fungsi sebagai pelindung benda cagar budaya, melainkan juga sebagai tempat pembentukan ideologi, disiplin, dan pengembangan pengetahuan bagi publik. Hal itu juga ditegaskan dalam kode etik ICOM, “Museum memiliki tugas penting untuk mengembangkan peran pendidikan dan menarik pengunjung lebih luas dari kalangan masyarakat, lokalitas, atau kelompok yang dilayaninya. Interaksi dengan masyarakat pendukung dan pembinaan serta promosi warisan yang diampunya merupakan bagian integral dari pendidikan yang harus dilaksanakan oleh museum (ICOM, 2007 dalam Sadzali, 2014). Namun demikian, meskipun museum memiliki peran vital dalam merekonstruksi pola pikir dan kebudayaan masyarakat, museum maritim di Indonesia masih memiliki sejumlah kelemahan. Untuk menganalisis kelemahan-kelemahan yang ada pada museum bertema maritim tersebut, dapat dilihat pada unsur dan model komunikasi yang diterapkan. Unsur dan model komunikasi dapat menjadi indikator seberapa efektif museum bertema maritim menjalankan fungsi dan perannya. Hal itu disebabkan karena unsur dan model komunikasi menjadi penghubung antara museum dengan publik secara langsung. Dalam bahasa sederhana, unsur dan model komunikasi museum menjadi ujung tombak keberhasilan museum dalam merekonstruksi pola pikir dan budaya masyarakat. Hal itu juga dibuktikan dalam sejarah perkembangan museum mengenai peran penting komunikasi museum dalam menciptakan daya tarik serta mempermudah pemahaman pesan yang disampaikan kepada publik (Sadzali, 2014). Menurut literatur yang sama, unsur-unsur komunikasi museum adalah sebagai berikut: Tabel 1: Unsur-unsur Komunikasi Museum
No. Unsur Komunikasi Deskripsi 1. Sumber (Source) Dalam komunikasi museum, sumber (source) diartikan sebagai personel atau keseluruhan sumber daya manusia yang ada di dalam museum, seperti director, kurator, kelompok kerja, dan lain-lain. 2. Pesan Pesan diartikan sebagai simbol verbal maupun nonverbal yang berisi nilai, gagasan, atau informasi lain yang dikomunikasikan oleh unsur sumber kepada penerima. 3. Media Media disebut juga sebagai saluran atau alat atau wahana yang digunakan unsur sumber untuk menyampaikan pesan kepada penerima. 4. Pengunjung Pengunjung diartikan sebagai penerima pesan (receiver), yaitu mereka yang datang ke museum dan menafsirkan sendiri pesan-pesan yang disampaikan oleh unsur sumber menjadi gagasan atau informasi baru yang dia pahami. 5. Gangguan Gangguan atau disebut dengan hambatan diartikan sebagai rangsangan tambahan, baik berupa fisik maupun psikologis, yang tidak dikehendaki dan mengganggu pesan yang disampaikan oleh unsur sumber. 6. Efek Efek atau dampak diartikan sebagai sesuatu yang terjadi pada pengunjung setelah menerima pesan dari unsur sumber. Hal itu dapat dicontohkan seperti adanya perubahan mindest, pengetahuan, insirasi dan pola pikir Sumber: (Sadzali, 2014)
Untuk melihat analisis kelemahan-kelemahan museum maritim di Indonesia, berikut ini pembahasan lebih jelasnya: 3.1.1. Museum Kapal Selam Pasopati Museum Kapal Selam Pasopati berada di Surabaya, tepatnya di Jalan Pemuda, Embong Kaliasin, Genteng. Museum ini didirikan pada tahun 1995 atas inisiasi Gubernur Jawa Timur pada masa itu, Basofi Soedirman, dan pihak TNI Angkatan Laut. Di dalam Museum Kapal Selam Pasopati terdapat kapal selam asli bernomor lambung Pasopati 410 di bawah Korps Hiu Kencana TNI-AL. Pengelolaannya sendiri berada di bawah PUSKOPAL (Pusat Koperasi Angkatan Laut) yang merupakan bagian dari usaha Angkatan Laut dalam mengelola aset-asetnya. Adapun pendirian Museum Kapal Selam Pasopati selain sebagai objek wisata edukasi juga sebagai upaya untuk mengenang jasa Kapal Selam Pasopati pada masa baktinya. Berikut ini penjabaran unsur-unsur komunikasi pada Museum Kapal Selam Pasopati: Tabel 2: Unsur-unsur Komunikasi Museum Kapal Selam Pasopati
No. Unsur Komunikasi Deskripsi 1. Sumber Staff museum terdiri dari kepala museum, pelaksana operasional, pengelola keuangan, KAUR Tiket, sekretaris, KAUR lapangan, bidang administrasi, teknisi, keamanan, dan guide. 2. Pesan Secara umum, museum mengangkat tema Kapal Selam Pasopati dalam konteksnya sebagai kendaraan tempur TNI AL. 3. Media Media utama adalah kapal selam jenis Whiskey Class, sedangkan media pendukung terdiri dari pemandu dan ruang videorama. 4. Pengunjung Mayoritas adalah pelajar TK (Taman Kanak- Kanak), pelajar SD, SMP, dan SMA, kemudian mahasiswa dan terakhir masyarakat umum. 5. Efek Adanya kebingungan pengunjung terhadap informasi yang disampaikan dalam museum, namun di sisi lain pengunjung juga merasa terinspirasi dengan koleksi unik museum. Sementara efek penambahan pengetahuan tidak terlalu dirasakan oleh pengunjung. 6. Gangguan Gangguan fisik disebabkan oleh lingkunan museum seperti bangunan museum dan SDM, sedangkan gangguan psikologis adalah akibat dari bangunan fisik dan SDM museum yang kurang sesuai. Sumber: Sadzali (2014)
Berdasarkan data Sadzali (2014), berikut ini dijabarkan analisis kelemahan unsur- unsur komunikasi Museum Kapal Selam Pasopati Surabaya: a. Sumber Sumber daya manusia dalam Museum Kapal Selam Pasopati Surabaya berperan sebagai pelaksana dan pengelola museum. Berdasarkan sumber penelitian sebelumnya, sumber daya manusia yang mengelola dan menjalankan fungsi di Museum Kapal Selam Pasopati termasuk dalam kategori kurang memadai. Hal itu disebabkan oleh banyaknya ketidaksesuaian antara peran yang diampu dengan latar belakang pendidikan. Sebagai contoh, di Museum Kapal Selam Senopati Surabaya, peran kurator, tata pameran, dan konservasi tidak memiliki background pendidikan formal. Padahal, standar minimal untuk menjadi kurator adalah S1 Permuseuman atau bidang lain yang sejenis; standar minimal untuk tata pameran adalah D3 seni rupa; sedangkan standar minimal untuk konservasi adalah SMA jurusan IPA. b. Pesan Secara garis besar, pesan yang dikomunikasikan dalam museum tergolong belum dikonsep dengan baik. Hal itu dapat dilihat pada banyaknya pengunjung yang merasa kebingungan, tidak terinspirasi, dan tidak mendapat pengetahuan baru yang signifikan. Salah satu pesan yang disampaikan berupa film dokumenter terkesan tidak sesuai dengan tema besar yang dingkat Museum Kapal Selam Pasopati. Museum ini tidak mengangkat pesan mengenai Kapal Selam Pasopati secara spesifik, tetapi kebanyakan mengangkat tentang sejarah TNI-AL. Sementara itu, hal-hal penting seperti misi Kapal Selam Pasopati berikut sejarah dan pembuatannya justru tidak banyak diangkat. c. Media Media utama yang digunakan dalam Museum Kapal Selam Pasopati adalah Kapal Selam Pasopati itu sendiri. Kapal selam tersebut berpotensi menjadi media komunikasi pesan yang baik karena keunikan dan kelangkaannya. Bahkan, Kapal Selam Pasopati disebut-sebut sebagai satu-satunya di Indonesia dan Asia Tenggara. Oleh karena itu, media utama komunikasi Museum Kapal Selam Pasopati dapat digolongkan sebagai media komunikasi yang unik. d. Pengunjung Berdasarkan hasil penelitian yang ada, 98% dari pengunjung museum menginginkan adanya pengetahuan baru mengenai perkembangan maritim dari museum. Pengunjung juga menginginkan adanya koleksi unik dan bernilai penting seperti kapal selam asli dan pelayaran yang maksimal. Di samping itu, pengunjung juga menginginkan penggunaan teknologi dalam komunikasi museum seperti audiovisual dan smart tablet. e. Efek Secara garis besar, efek atau dampak buruk masih banyak bermunculan sebagai akibat dari sumber daya manusia museum yang kurang kompeten, pesan museum yang tidak dirancang dengan baik, serta adanya potensi gangguan yang cukup tinggi. Hal-hal itu menyebabkan munculnya kebingungan pengunjung, tidak terinspirasi, dan pengunjung merasa tidak memperoleh tambahan pengetahuan yang signifikan. f. Gangguan Secara umum, masih banyak terdapat gangguan dalam unsur komunikasi Museum Kapal Selam pasopati. Gangguan itu dibagi menjadi gangguan fisik dan psikologis. Gangguan fisik terjadi akibat ukuran ruang kapal yang sempit, penuh, sesak, dan membuat pengunjung merasa tidak nyaman. Selain itu, panggung hiburan dan kolam renang yang berada di sekitar kapal selam juga menyebabkan ketidaknyamanan. Sementara gangguan psikologis muncul akibat adanya kebingungan pengunjung karena storyline yang ada tidak dikonsep dengan baik dan unsur sumber komunikasi museum tidak kompeten sehingga menimbulkan kebingungan pada pengunjung. 3.1.2. Museum Kapal Samudraraksa Museum Kapal Samudraraksa berada di dalam Komplek Taman Wisata Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Museum ini baru dibangun pada tahun 2004 dan diresmikan pada tahun 2005 oleh Menkokesra. Sementara itu, pengelolaan Museum Kapal Samudraraksa dibawahi langsung oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur. Sedangkan tema utama yang diangkat dalam museum tersebut adalah pelayaran Kapal Samudraraksa ke Afrika dalam rangka ekspedisi kebudayaan maritim sekaligus rekonstruksi pelayaran dan perniagaan pada masa lampau. Berikut ini penjabaran unsur-unsur komunikasi pada Museum Kapal Samudraraksa: Tabel 3: Unsur Komunikasi Museum Kapal Samudraraksa
No. Unsur Komunikasi Museum Deskripsi 1. Sumber Staff museum teridiri dari penanggung jawab museum, juru penerang, resepsionis, perawatan, dan penjual souvenir. 2. Pesan Secara umum, Museum Kapal Samudraraksa mengangkat tema pelayaran kapal Borobudur dan kaitannya dengan sejarah maritim Nusantara. 3. Media Perahu asli Samudraraksa, peralatan kapal dan awak kapal, keramik China, label informasi, lemari kaca, gambar, poster, replika relief Candi Borobudur, lukisan dinding goa, dan diorama jalur perdagangan. 4. Pengunjung Mayoritas pengunjung adalah pelajar, kemudian mahasiswa, dan terakhir masyarakat umum. 5. Gangguan Gangguan fisik muncul sebagai akibat kerusakan pada bagian media pendukung museum, seperti LCD, diorama, informasi audiovisual. Sementara gangguan psikologis muncul akibat sumber (SDM) yang kurang komunikatif. 6. Efek Efek yang muncul adalah adanya suatu kebingungan yang memunculkan keraguan, tidak terinspirasi: penambahan pengetahuan tidak signifikan. Sumber: Sadzali (2014)
Berdasarkan data unsur-unsur komunikasi Museum Kapal Samudraraksa di atas, kelemahan-kelemahan unsur komunikasi dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Sumber Daya Mansia Sumber daya manusia yang ada dalam Museum Kapal Samudraraksa terdiri dari direktur, kurator, dan perencana pameran. Menurut data mengenai latar belakang pendidikan dan tugas fungsional di Museum Kapal Samudraraksa, dapat disimpulkan bahwa kualitas sumber daya manusia yang ada masih kurang memadai. Sebagai contoh adalah peran fungsional kurator, pustakawan, tata pameran, dan koleksi yang tidak memiliki basic pendidikan formal. Padahal, posisi fungsional tersebut memerlukan standar minimal kualifikasi pendidikan S1 bidang permuseuman atau bidang lain yang sejenis. b. Pesan Menurut evaluasi dan hasil penelitian yang ada, pesan yang dikomunikasikan dalam Museum Kapal Samudraraksa tergolong cukup baik. Hal itu dapat dilihat pada tingginya tingkat pemahaman pengunjung pada pesan yang dikomunikasikan oleh unsur sumber, besarnya prosentase pengunjung untuk kembali lagi mengunjungi museum, dan cukup tingginya prosentase pengunjung yang merasa terinspirasi serta memperoleh pengetahuan baru setelah mengunjungi Museum Kapal Samudraraksa. c. Media Media komunikasi utama yang digunakan oleh Museum Kapal Samudraraksa adalah Kapal Samudraraksa itu sendiri. Sementara media pendukungnya adalah poster, gambar, dan informasi koleksi. Menurut hasil penelitian Sadzali (2014), media komunikasi museum yang diterapkan tergolong cukup baik. Hal itu dapat dilihat pada warna-warni poster dan gambar yang edukatif serta penjelasan pada informasi koleksi yang jelas. Namun demikian, dalam media komunikasi tersebut masih terdapat beberapa kerusakan sehingga mengakibatkan pola komunikasi yang diterapkan kurang komunikatif. d. Pengunjung Pengunjung Museum Kapal Samudraraksa didominasi oleh pelajar (SMP dan SMA), mahasiswa, kalangan umum (guru dan orang tua). Berdasarkan hasil penelitian yang ada, 95% pengunjung menginginkan sebuah pengetahuan baru, misalnya pengetahuan tentang perkembangan maritim di Indonesia. Pengunjung juga menginginkan adanya pelayanan yang maksimal dari pegawai museum, salah satunya melalui partisipasi aktif pengunjung dan pemanfaatan teknologi informasi. Selain itu, pengunjung juga menyukai koleksi museum yang unik dan langka. e. Efek Dalam hal efek, hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak pengunjung yang mengalami keragu-raguan apakah pesan yang disampaikan museum cukup menginspirasi atau tidak. Selain itu, pengunjung kategori pelajar (SMP dan SMA) sebagian besar merasa tidak memperoleh tambahan pengetahuan yang signifikan setelah mengunjungi museum. f. Gangguan Gangguan fisik pada Museum Kapal Samudraraksa diakibatkan oleh penempatan lokasi museum pada jalur keluar Candi Borobudur yang mengakibatkan rendahnya minat pengunjung. Gangguan fisik juga disebabkan oleh beberapa media pendukung yang mengalami kerusakan sehingga menghambat proses komunikasi museum. Sementara itu, gangguan psikologis Museum Kapal Samudraraksa diakibatkan oleh kurang komunikatif-nya staff museum dalam mengkomunikasikan pesan-pesan museum dan perasaan lelah pengunjung setelah mengunjungi Candi Borobudur yang menyebabkan rasa malas mengunjungi museum. 3.1.3. Museum Bahari Yogyakarta Museum Bahari Yogyakarta berada di Jalan R.E. Martadinata, Kota Yogyakarta dan baru diresmikan pada tahun 2005 atas prakarsa Paguyubaban Tri Sekar Lestari yang dibentuk dan dibina oleh Laksamana Madya (Purn) Didik Heru Purnomo. Ada pun tujuan utama dibangunnya Museum Bahari Yogyakarta adalah untuk membangkitkan cita-cita maritim Indonesia khususnya masyarakat Yogyakarta. Selain itu, Musuem Bahari Yogyakarta memiliki desain bangunan yang terbilang unik: menampilkan anjungan kapal perang yang lengkap dengan meriam berkaliber 85 milimeter. Desain bangunan tersebut membuat kesan kuat pada citra angkatan laut dan kapal perang. Berikut ini penjabaran unsur-unsur komunikasi pada Museum Bahari Yogyakarta: Tabel 4: Unsur-unsur Komunikasi Museum Bahari Yogyakarta
No. Unsur Komunikasi Deskripsi 1. Sumber/SDM Sumber museum terdiri dari pembina, koordinator museum, dan anggota. 2. Pesan Secara umum, tema besar yang ingin diangkat Museum Bahari Yogyakarta adalah perjalanan karier Laksamana Didik Heru Purnomo dalam TNI AL 3. Media Media dalam Museum Bahari Yogyakarta antara lain cinderamata; buku dan peta laut; peralatan TNI AL; replika kapal; dan foto pribadi 4. Pengunjung Mayroitas adalah romongan TK (Taman Kanak-kanak), kategori umum, kategori pelajar dan mahasiswa. 5. Gangguan Terdapat gangguan fisik yang diakibatkan penataan ruang yang kurang sesuai dan gangguan psikologis akibat kesan militer yang cukup kuat sehingga pengunjung merasa kurang nyaman. 6. Efek Adanya kebingungan yang memunculkan keraguan, tidak terinspirasi, kebosanan, serta tidak adanya penambahan unsur pengetahuan yang signifikan. Sumber: Sadzali (2014)
Menurut hasil penelitian di atas, berikut ini dijabarkan kelemahan tiap-tiap unsur komunikasi Museum Bahari Yogyakarta: a. Sumber Sumber daya museum yang terlibat dalam Museum Bahari Yogyakarta terdiri dari pembina, administrasi, dan staff museum. Berdasarkan hasil penelitian yang sama, keterkaitan antara latar belakang pendidikan dengan tugas fungsional museum masih tergolong kurang memadai. Selain itu, masih adanya jabatan fungsional yang belum dimiliki oleh Museum Bahari Yogyakarta, seperti kurator, perancang pameran, bidang komunikasi dan edukasi. b. Pesan Pada dasarnya, pesan yang dikonsep oleh Museum Bahari Yogyakarta belum sesuai dengan tema besar yang ingin diangkat. Visi utama Museum Bahari Yogyakarta adalah menanamkan semangat kemaritiman khususnya pada masyarakat Yogyakarta, sementara pesan yang disampaikan sebagian besar mengutip biografi tokoh Laksda (purn) Didik Heru Purnomo. Selain itu, konsep pesan yang ditampilkan tersebut juga tidak terarah sehingga bagi pengunjung yang awam merasa bahwa pesan tidak tersampaikan dengan baik. c. Media Media utama dalam Museum Bahari Yogyakarta adalah cinderamata, alat navigasi amunisi, dan seragam militer. Sementara media pendukungnya adalah gambar, poster, replika, patung peraga, ruang videorama, dan ruang simulasi anjungan kapal. Secara kesuluruhan, media-media komunikasi tersebut tergolong kurang baik. Hal itu disebabkan karena banyak media komunikasi utama yang tidak disertai dengan label informasi sehingga menyebabkan berkurang nilai kemanfaatannya. d. Pengunjung Pengunjung utama Museum Bahari Yogyakarta adalah anak-anak (PAUD, TK, SD), mahasiswa, dan masyarakat umum (orang tua dan guru). Hasil penelitian yang sama mengungkapkan bahwa ruang-ruang museum banyak yang tidak sesuai dengan kategori pengunjung yang didominasi oleh anak-anak dan pelajar. Selain itu, seluruh pengunjung juga menginginkan adanya media komunikasi yang menggunakan teknologi informasi seperti audiovisual dan smart tablet serta menginginkan ditampilkannya pengetahuan-pengetahuan baru tentang kemaritiman. Namun demikian, ruang videorama dan anjungan kapal cukup diminati oleh pengunjung dan sesuai dengan minat pengunjung. e. Efek Efek yang diberikan museum kepada pengunjung masih dikategorikan kurang baik. Hal itu didasari oleh hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa 97% kunjungan hanya bersifat satu kali kunjungan, 47% pengunjung masih ragu-ragu, dan tidak ada penambahan pengetahuan baru yang signifikan pada pengunjung. 3.1.4. Museum Bahari Jakarta Museum Bahari Jakarta terletak di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Barat dan menempati sebuah gedung tua berukuran sangat luas. Gedung tua tersebut adalah hasil dari pembangunan yang dilakukan Belanda sejak tahun 1965 sampai 1759. Gedung tersebut semula digunakan untuk menyimpan rempah-rempah oleh VOC dan kini digunakan oleh Museum Bahari Jakarta untuk menyimpan berbagai koleksi benda laut dan kemaritiman. Museum Bahari Jakarta secara resmi dibuka oleh Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, pada tahun 1977 dan berada di bawah Unit Pelaksanaan Teknis atau UPT Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Sebagai salah satu institusi resmi pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Museum Bahari Jakarta memiliki tugas untuk melayani masyarakat, merawat, menyimpan, meneliti, dan memperagakan koleksi museum untuk kepentingan sejarah, pendidikan, sosial, dan rekreasi. Dalam penelitian Sadzali (2014), unsur-unsur komunikasi Museum Bahari Jakarta terdiri dari tujuh unsur sebagai berikut: Tabel 5: Unsur-unsur Komunikasi Musuem Bahari Jakarta
No. Unsur Komunikasi Deskripsi 1. Sumber/SDM Staff museum terdiri dari kepala museum, KASI koleksi, administrasi, edukasi dan pameran, staff umum, pemandu, dan preparasi. 2. Pesan Secara umum, pesan yang disampaikan mengangkat kebaharian Indonesia dari masa ke masa yang sesuai dengan visi museum, yaitu mengangkat tema kemaritiman. 3. Media Perahu asli, alat navigasi, replika, lemari kaca, standing banner, poster, gambar, label informasi, patung peraga, dan pemandu museum. 4. Pengunjung Mayoritas pengunjung adalah pelajar, lalu mahasiswa, dan terakhir masyarakat umum. 5. Gangguan Terdapat gangguan secara fisik yang diakibatkan oleh ruang-ruang museum, maupun konsep tata pamer, sedangkan gangguan psikologis diakibatkan oleh staff museum. 6. Efek Pada umumnya, efek adalah suatu kebingungan yang memunculkan keraguan. Efek lain berupa rasa bosan yang kemudian mengakibatkan sikap tidak tertarik pada bidang kemaritiman serta penambahan pengetahuan yang bersifat statis. Sumber: Sadzali (2014)
Dari hasil penelitian tersebut, berikut ini diuraikan kelemahan pada tiap-tiap unsur komunikasi Museum Bahari Jakarta. a. Sumber Sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan Museum Bahari Jakarta adalah kepala museum, koleksi, administrasi, pustakawan, dan lain-lain. Ditinjau dari latar belakang pendidikannya, SDM dalam Museum Bahari Jakarta sangat beragam: SMA, D3, Keguruan, S1, dan S2. Namun, apabila ditinjau dari tugas fungsionalnya, latar belakang SDM Museum Bahari Jakarta masih banyak yang tidak sesuai. Sebagai contoh, Museum Bahari Jakarta tidak memiliki kurator, konservasi, dan bidang komunikasi museum. Dengan demikian, SDM yang ada pada Museum Bahari Jakarta masih tergolong kurang memadai. b. Pesan Secara umum, masih terdapat ketidaksesuaian dan ketidakseimbangan pesan antara tema besar yang diangkat dengan isi serta perbandingan antara objek dengan informasi. Sebagai contoh, tema museum tentang kebaharian Indonesia yang seharusnya mengangkat sejarah kemaritiman kerajaan-kerajaan Nusantara justru malah mengangkat kejayaan VOC. Selain itu, pesan museum yang akan lebih sesuai jika mengangkat kemaritiman pada abad pra-sejarah justru mengangkat pelayaran VOC dan pelayaran Kapal Phinisi ke Kanada. Selain contoh tersebut, masih ada beberapa contoh mengenai ketidaksesuaian pesan museum dengan tema utama yang disampaikan Museum Bahari Jakarta. c. Media Media utama yang digunakan dalam Museum Bahari Jakarta adalah koleksi asli, sementara media pendukungnya adalah gambar, poster, replika, dan pemandu museum. Secara garis besar, koleksi asli yang ada di Museum Bahari Jakarta tergolong belum sesuai dengan prosedur yang dikeluarkan Dirjen Permuseuman. Ada beberapa koleksi yang memiliki nilai penting, tetapi tidak disertai label informasi pendukung sehingga membuat koleksi tersebut tidak bernilai penting. d. Pengunjung Pengunjung Museum Bahari Jakarta didominasi oleh pelajar (SD, SMP, SMA), mahasiswa, dan umum. Penelitian lapangan yang dilakukan oleh Sadzali (2014) menunjukkan bahwa 96% pengunjung menginginkan suatu pengetahuan baru, seperti perkembangan maritim dari masa ke masa. Pengunjung juga menginginkan adanya komunikasi menggunakan teknologi seperti audiovisual, pelayanan maksimal dari staff museum, dan adanya koleksi unik dan langka. e. Gangguan Gangguan fisik pada Museum Bahari Jakarta disebabkan oleh banyaknya ruang kosong, adanya genangan air di pintu masuk ketika musim penghujan, minimnya koleksi asli yang menyebabkan kebosanan pengunjung, dan minimnya label informasi pada replika koleksi. Sementara gangguan psikologis disebabkan karena adanya proses komunikasi yang tidak dikonsep dengan baik oleh unsur komunikasi (sumber, pesan, media), munculnya ketakutan pada pengunjung akibat minimnya pencahayaan, dan storyline yang tidak dikonsep dengan baik sehingga menimbulkan kebosanan dan kebingungan. 3.1.5. Evaluasi Menurut penelitian Sadzali (2014) tersebut, dapat disimpulan bahwa keempat museum maritim yang ada di Indonesia belum mampu mempengaruhi publik ke arah kesadaran maritim dengan baik. Hal itu disebabkan oleh unsur-unsur komunikasi yang diterapkan tergolong kurang efektif. Efektifitas komunikasi tersebut juga dipengaruhi oleh unsur sumber daya manusia yang kurang kompeten, pesan museum yang tidak dikonsep dengan baik, media penyampai pesan yang tergolong kurang baik, dan efek pada pengunjung yang jarang memperoleh inspirasi atau tambahan pengetahuan baru yang signifikan, serta gangguan-gangguan baik fisik maupun psikologis yang masih sering muncul dalam proses komunikasi museum. 3.2. Optimalisasi Fungsi Museum Maritim Unsur utama yang harus dioptimalkan dari museum maritim Indonesia adalah unsur komunikasi. Komunikasi memegang peran penting untuk mencapai visi dan misi museum. Hal itu disebabkan oleh fungsinya sebagai pendekonstruksi cara pandang publik terhadap wawasan kemaritiman. Melalui komunikasi, museum dapat melakukan kegiatan edukasi dan pembentukan wacananya kepada pengunjung. Berdasarkan hasil penelitian Sadzali, keempat museum maritim yang ada di Indonesia masih tergolong memiliki model komunikasi yang buruk. Tercapai atau tidaknya visi dan misi museum sangat bergantung pada model komunikasi yang diterapkan. Unsur-unsur model komunikasi tersebut tidak hanya mencakup kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), melainkan juga mencakup cara museum dalam menata dan mendesain ruang museum serta menarik tidaknya museum dalam men-display benda di dalamnya. Hal itu akan berpengaruh pada tinggi rendahnya minat pengunjung untuk menangkap pesan yang disampaikan oleh museum maritim. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya optimalisasi fungsi museum maritim Indonesia. Upaya optimalisasi museum maritim dijabarkan sebagai berikut: a. Mall Museum Ide optimalisasi fungsi museum maritim di Indonesia dapat dimulai dari meminimalisir gangguan fisik berupa lokasi museum. Hal itu dapat diawali dengan penggabungan konsep museum dengan mall (pusat perbelanjaan) yang kemudian disebut dengan istilah “Mall Museum”. Sejauh ini, lokasi museum yang berada cukup jauh dari pusat-pusat aktivitas warga menjadi salah satu faktor rendahnya minat masyarakat mengunjungi museum. Membangun museum “portabel” di pusat-pusat perbelanjaan bisa menjadi alternatif bagi pemerintah untuk “jemput bola” dan lebih mendekatkan diri kepada masyarakat. Terlebih lagi, pusat perbelanjaan juga menjadi meeting point bagi ratusan hingga ribuan orang setiap harinya. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat dan usia yang beragam. Dengan menggabungkan konsep museum dengan mall, pengelola museum tidak perlu khawatir akan kekurangan pengunjung. Saat ini, telah ada beberapa contoh museum yang sedang dikembangkan di dalam pusat perbelanjaan. Salah satu contohnya adalah Museum Affandi di Lippo Mall Yogyakarta. Museum ini menyimpan beberapa karya lukis seniman Affandi. Pengunjungnya mayoritas adalah anak-anak muda yang sedang mengunjungi pusat perbelanjaan tersebut. Selain itu, di Plaza Ambarrukmo Yogyakarta juga sedang dikembangkan museum yang menyimpan benda-benda kuno khas peninggalan Keraton Yogyakarta. Apabila pemilihan lokasi telah tepat, pengelola museum hanya perlu memikirkan bagaimana proses komunikasi antara museum dengan pengunjung dapat berjalan optimal. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan itu adalah teknik display benda-benda di dalam museum, pencahayaan, label informasi, kurator, suasana museum, penerapan teknologi informasi dan komunikasi, serta pelibatan pengunjung dalam aktivitas museum. Penggabungan konsep museum maritim dengan mall akan mampu memunculkan tren baru, khususnya bagi kalangan anak muda, bahwa mengunjungi museum tidak kalah ‘keren’ dengan mengunjungi pusat perbelanjaan. b. Ekspedisi Museum Maritim Adalah rahasia umum bahwa kekuatan armada maritim Nusantara pernah tersohor ke seantero dunia. Beberapa puing bukti kejayaan maritim Nusantara khususnya oleh Kerajaan Sriwijaya berada di Sumatera Selatan. Namun demikian, bekas-bekas pelayaran armada maritim Sriwijaya juga tersebar di sepanjang pantai Aceh hingga Jawa. Ekspedisi Museum Maritim yang dilakukan di sepanjang pantai Aceh hingga Jawa bisa menjadi alternatif untuk merekonstruksi kembali sisa-sisa kejayaan maritim Nusantara. Kapal yang digunakan untuk ekspedisi memuat benda-benda maritim. Jika tidak memungkinkan, dapat ditampilkan media audiovisiual, gambar, maupun poster yang tidak mudah rusak. Tim ekspedisi menyusuri pesisir Aceh hingga Jawa sambil menggali sisa-sisa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya. Di setiap pelabuhan pemberhentian, tim ekspedisi dapat mengundang masyarakat lokal, termasuk pelajar SD hingga SMA, untuk mendatangi kapal ekspedisi museum maritim. Pengelola museum perlu memikirkan teknik atau cara yang inovatif untuk membuat pengunjung memperoleh pengetahuan baru dan terinspirasi oleh pesan-pesan kemaritiman yang ditampilkan. Langkah ini dapat menjadi alternatif yang kreatif untuk meminimalisir gangguan fisik museum berupa pemilihan lokasi. Selain untuk menggali sisa-sisa kejayaan maritim Nusantara, ekspedisi museum maritim juga dapat menjadi wahana edukasi kepada masyarakat tentang kekayaan budaya maritim Indonesia. c. Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam penelitiannya, Sadzali (2014) mengungkapkan bahwa sebagian besar museum maritim di Indonesia belum menerapkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung proses komunikasi museum. Padahal, masyarakat saat ini telah memasuki era digital dimana teknologi komunikasi seperti handphone atau tablet begitu akrab dengan kehidupan keseharian masyarakat. Memperbanyak media audiovisual di dalam museum dapat menjadi alternatif yang baik dibandingkan membuat pengunjung hanya berkeliling ruang museum sambil mengamati benda-benda yang dipamerkan sambil membaca label informasi. Hal-hal penting lainnya yang perlu diterapkan yaitu, menciptakan interaksi aktif pengunjung melalui games digital di dalam museum, menggunakan perangkat touch screen untuk melihat katalog peninggalan kerajaan-kerajaan maritim, pencahayaan yang baik, memanfaatkan kecanggihan perangkat komputer dan internet untuk mendukung proses komunikasi museum, dan lain-lain. Contoh museum di dunia yang paling baik dalam hal penerapan teknologi informasi dan komunikasi adalah Museum Nasional Singapura. Untuk mendukung penggunaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten. Pengelola museum harus mampu mengoperasikan perangkat IT tersebut dan mengajak pengunjung untuk berinteraksi dengan aktif. Dalam hal ini, kemampuan komunikasi sangat perlu dimiliki oleh pengelola museum agar tercipta nuansa yang aktif dan komunikatif selama proses penyampaian pesan-pesan kemaritiman kepada pengunjung. d. Pemilihan Benda Museum yang Unik Meskipun di beberapa museum maritim telah ditampilkan benda-benda khas maritim yang unik seperti Kapal Selam Pasopati dan Kapal Samudraraksa, hal itu dirasa masih belum cukup mengingat peninggalan kebudayaan maritim Indonesia sebenarnya sangat beragam. Pengelola museum perlu lebih cermat dan kreatif dalam memilih benda-benda maritim yang akan di-display. Jangan sampai, pengelola museum men-display benda-benda yang tidak memiliki ciri khas dan justru mengesampingkan benda-benda yang memiliki nilai unik dan langka. Sebab, kekhasan benda-benda maritim tersebut sedikit banyak mampu mempengaruhi minat masyarakat untuk mengunjungi museum maritim. Hal itu terjadi pada Museum Louvre di Eropa yang menampilkan lukisan Monalissa karya Leonardo da Vinci. Lukisan tersebut menjadi ikon Museum Louvre dan menjadi daya tarik bagi masyarakat di seluruh dunia untuk berkunjung. e. Desain Museum seperti Aslinya Untuk memunculkan kesan kemaritiman yang kuat, pengelola museum tidak boleh setengah-setangah dalam mendesain museum. Membuat desain museum yang sama seperti aslinya adalah gagasan yang inovatif untuk menciptakan kesan kemaritiman yang kuat kepada pengunjung. Hal itu akan memudahkan pengunjung untuk menerima pesan-pesan kemaritiman karena nuansa maritim yang dirasakannya begitu kuat. Untuk membuat desain museum seperti aslinya, pengelola dapat merenovasi museum dengan menambahkan benda- benda “berbau” maritim asli, seperti pasir pantai, batu-batuan, dan lain-lain. Pengelola juga dapat menambahkan efek-efek suara ombak atau kicauan burung serta menambahkan aroma- aroma laut. Pengecetan ulang bangunan yang bernuansa maritim dan warna-warni laut, tata pencahayaan, para pegawai museum maritim, seperti resepsionis atau kurator, yang mengenakan pakaian khas maritim layaknya nelayan juga perlu dilakukan. Sebagai contoh adalah museum terbuka Buena Park di Los Angeles. Museum ini berupaya menampilkan suasana Kota Cowboy lengkap dengan kantor sheriff, kandang kuda, agen telegram, penjara, bar dalam ukuran sesungguhnya. Bahkan, pramuniaganya juga berpakaian layaknya di abad ke-19. Barang dan makanan yang dijual seperti permen, kacang- kacangan, kerajinan tangan Indian adalah barang-barang nyata dan dijual dengan gaya abad ke-19. Pendekatan ini bertujuan untuk menguatkan pesan dan memberikan pengalaman menarik bagi pengunjung (Sadzali, 2014). BAB IV 4.1. Kesimpulan Budaya maritim Indonesia yang begitu beragam memerlukan ruang untuk terus hidup dan berkembang. Keberadaan museum maritim dapat menjadi alternatif untuk merajut memori kolektif kekayaan budaya maritim di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan non- formal yang bertanggung jawab mengomunikasikan pesan-pesan kemaritiman kepada publik, museum maritim di Indonesia masih menemui sejumlah permasalahan. Permasalahan tersebut adalah tidak efektifnya unsur-unsur komunikasi yang diterapkan sehingga belum mampu memengaruhi publik ke arah kesadaran maritim yang baik. Upaya-upaya optimalisasi perlu dilakukan terhadap unsur-unsur komunikasi tersebut. Hal itu mencakup upaya merealisasikan gagasan “Mall Museum” dan Ekspedisi Museum Maritim, upaya penyediaan benda-benda museum yang unik, penerapan teknologi informasi dan komunikasi, serta membuat desain museum sama seperti aslinya. Adanya upaya optimalisasi tersebut diharapkan mampu membuat museum maritim di Indonesia berbenah, sehingga fungsi azalinya sebagai lembaga pendidikan non-formal yang mampu merekonstruksi pola pikir dan budaya maritim masyarakat dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Bettarini, Yulia. 1991. Dari Hidup Mengembara Menjadi Menetap: Orang Laut di Pulau Bertam, Kotamadya Batam Provinsi Riau. Naskah tesis sarjana Antropologi tidak dipublikasikan, Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16, Hasta Mitra, 2002. Sadzali, Asyhadi Mufsi. 2014. Museum untuk Kebangkitan Maritim Indonesia Kajian Kritis Komunikasi Museum Bertema Maritim di Indonesia. Tesis Sarjana S-2 Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Suhardi, Gaudensius. 2011. “Laut Indonesia si Anak Haram”. Dalam Tahun 1511: Lima Ratus Tahun Kemudian. Ed. Purnomo. Jakarta: Kompas Gramedia. Yuliati. 2014. Kejayaan Indonesia sebagai Negara Maritim (Jalesveva Jayamahe). Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Universitas Negeri Malang melalui journal.um.ac.id