Belian sentiu
Belian sentiu adalah sebuah upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Benuaq di Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Upacara tersebut berkaitan dengan sistem kepercayaan dan religi yang dianut oleh masyarakat setempat serta berhubungan dengan permohonan pertolongan terhadap roh-roh makhluk halus yang ada di sekitar mereka sekaligus arwah leluhur serta penguasa atas (lahtala) dan juga penguasa bawah (uwokng). Hal itu tetap perlu mereka lakukan meskipun secara formal mereka sudah memeluk agama sebagaimana manusia Indonesia pada umumnya. Perlunya melakukan upacara tradisional tersebut mereka anggap sebagai upaya untuk mentransformasikan hubungan manusia yang hidup sebagai makluk di jagad raya dengan alam gaib yang sifatnya metafisika. Dalam praktiknya, mereka mengumandangkan mantera-mantera magis dan sakral yang diiringi dengan musik serta tarian. Hal itu menunjukan bahwa mereka amat menjaga keseimbangan antara kehidupan dunawi dengan metafisik.[1]
Gambaran Umum
Belian Sentiu berasal dari “Belian” yang dikenal oleh masyarakat Benuaq sebagai upacara ritual perdukunan dengan cara Bememang atau membaca mantera-mantera sambil meliuk-liukan badan seperti orang menari dan diirngi dengan bunyi-bunyian atau kelentangan. Masyarakat Benuaq bahkan menggunakan berbagai macam sesajen yang telah dipersiapkan sesuai dengan niat untuk apa Belian tersebut dilakukan. Masyarakat Banuaq juga mengenal Balian sebagai tarian dewa atau kanjong dewa yang disertai dengan ilmu magis untuk mantera-mantera dan doa yang dilakukan oleh dukun atau yang biasa mereka sebut dengan Pemliatan. Ritual upacara Belian Sentiu biasa dilakukan oleh masyarakat setempat apabila ada anggita masyarakat yang mengalami sakit jasmani atau rohani untuk disembuhkan. Proses penyembuhannya sendiri dilakukan oleh Pameliatn yang dianggap sebagai perantara antara dunia realita dengan dunia metafsika serta menyampaikan permintaan dan juga hal-hal yang perlu dilakukan oleh manusia.[2]
Sementara itu, kata “Sentiu” yang tersemat dalam nama Belian Sentiu berasla dari kata “Nyenteyau” yang memiliki makna penyelidikan terhadap berbagai macam penyakit yang diderita orang yang sakit tertentu. Mula-mula, Pameliatn akan menyelediki terlebih dahulu apa penyakit yang sedang diderita oleh masyarakat kemudian menentukan penyebab terjadinya penyakit tersebut. Baru kemudian, Pameliatn akan melakukan pengobatan. Menyelidik terlebih dahulu sumber penyakit seseorang menurut masyarakat Banuaq menjadi sangat penting karena merupakan ajaran atau tradisi yang diajarkan oleh nenek moyang secara turun temurun.
Sebagai misal, ketika salah seorang di antara mereka mengalami sakit demam panas, maka akan dibuatkan ramuan sesuai petunjuk dari wangsit yang didapatkan melalui upacara Belian Sentiu. Setelahnya, Pameliatn akan pergi ke hutan di sekitar desa untuk mengambil dedaunan dan akar-akaran yang diperintahkan melalui wangsit itu. Sementara itu, bagi mereka yang mengalami sakit akibat gangguan makhluk halus, maka upaya penyembuhan akan dilakukan dengan membuat sesajen lengkap yang telah diperintahkan sebagai upaya meminta maaf kepada makhluk halus pengganggu tersebut. Hal itu menjadi penting karena umumnya, mereka yang diganggu oleh makhluk halus telah melakukan hal-hal yang dilarang adat, seperti menebang pohon yang ada penunggunya, mencemari sungai yang dinilai penting keberadaannya, dan lain sebagainya. Apabila hal itu terjadi, upaya permintaan maaf tidak cukup hanya dilakukan melalui pemberian sesajen, melainkan juga harus mengganti atau membuatkan tempat baru untuk penunggu tersebut.[3]
Asal Usul Belian Sentiu
Ada berbagai macam cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Dayak Benuaq mengenai asal usul atau sejarah upacara Belian Sentiu. Cerita-cerita tersebut diturunkan oleh nenek moyang atau orang tua mereka melalui tardisi lisan secara turun temurun. Dengan demikian, tidak ada data yang otentik dan pasti mengenai asal mula upacara Belian Sentiu.
Menurut penuturan salah satu tokoh masyarakat Banuaq, upacara Belian Sentiu bermula ketika ada sesorang laki-laki yang memperistri seorang perempuan cantik bernama Lise. Kecantikan sang istri menimbulkan rasa cemburu yang berlebihan kepada suaminya, apabila snag istri sedang berbicara atau berkomunikasi dengan lelaki lain. Hal itu membuat sang suami memutuskan sebuah tekad besar untuk memboyong sang istri ke tengah hutan belantara dan meninggalkan desa tempat mereka tinggal. Baru beberapa saat tinggal di hutan, sang istri ternyata jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sang suami merasa panik dan ketakutan. Ia pun membuatkan sebuah peti kayu untuk menyimpan jenazah sang istri. Awalnya, ia berniat membawa jenazah itu ke tengah hutan belantara, sebab membawanya kembali ke desa mereka tentu amat jauh lokasinya. Namun demikian, sang suami khawatir jenazah Istrinya akan dimakan Uwokng-Uwokng yang merupakan makhluk halus pemakan jenazah. Akhirnya, ia memilih untuk menghanyutkan peti jenazah tersebut ke dalam sungai.[2]
Tanpa menunggu waktu lama, Uwokng itu kemudian mendatangi rumah laki-laki tersebut dan menanyakan dimanakah keberadaan jenazah istrinya yang baru meninggal tersebut. Untuk melindungi istrinya dari marabahaya, ia mengatakan bahwa ia tidak tahu dimana jenazah itu berada. Akhirnya, Uwokng-uwokng itu membacakan mantera yang bertujuan untuk menemukan jenazah istri dari laku-laki tersebut. Bunyi mantranya kurang lebih demikian owir ngoko ekai, lemeq lungun lise, dooq li turus sungkai. Tanpa menunggu beberapa lama, jenazah perempuan itu kemudian diketahui mereka berada di bawah sungai. Mereka menyelami sungai yang ada dan kemudian membawa jenazah Lise ke permukaan. Sebelum menyantap jenazah tersebut, mereka ingin menghidupkan kembali tubuh Lise agar lebih nikmat dan segar ketika akan dimakan. Mereka mengoleskan beberapa obat-obatan dan kemudian jenazah Lise bangkit kembali. Ketika sedang mengambil posisi akan dimakan oleh Uwokng-uwokng, sang suami paham bahwa istrinya sedang dalam kondisi bahaya. Ia pun marah sejadi-jadinya dengan mengucapkan mantar seperti yang diucapkan oleh Uwokng-Uwokng. Mendengar hali itu, Uwokng-Uwokng justru lari ketakutan. Semenjak kejadian itu, sang suami memiliki kekuatan untuk mampu mengusir makhluk halus. Ilmu itu kemdian diturunkan kepada anak keturunannya sampai hari ini.[1]
Persiapan Belian Sentiu
Dalam tahap persiapan, Belian Sentiu bisanya tidak terlepas dari para pelaku upacara secara langsung seperti adanya pihak penyelnggara atau adanya orang yang sakit dan membutuhkan pertolongan sehingga perlu diadakan upacara Belian Sentiu. Pihak penyelenggara biasanya mencari pengugu ramu sebagai pihak perantara atau penghubung antara pihak penyelenggara dengan pemeliatn sebagai pemimpin ritual Belian Sentiu. Beberapa pihak yang terlibat dalam Belian Sentiu antara lain adalah pemeliatn, pemain musik, dan pengungu ramu yang menjadi satu kesatuan kelompok serta saling mendukung satu sama lain. Meskipun masing-masing peran tersebut memiliki posisi dan fungsinya masing-masing, terintegrasinya keseluruhan peran terlihat jelas selama proses persiapan Belian Sentiu.[4]
Sebelum upacara Belian Sentiu yang sesungguhnya dimulai, para pendukung upacara tersebut biasanya akan diminta untuk melakukan ritual kecil terlebih dahulu sebagai bekal agar lebih siap dan tenang dalam menjalankan upacara Belian Sentiu. Waktu persiapan itu sendiri dilakukan beberapa hari sebelum upacara Belian Sentiu yang sesungguhnya berlangsung. Selain itu, para pengisi peran dalam upacara Belian Sentiu juga harus menghindarkan diri dari berbagai sifat jelek seperti marah-marah, berkelahi, dan membawa barang-barang tertentu yang dinilai akan membawa kesialan. Khusus bagi sang pemimpin upacara, yaitu Pemeliatn, diminta untuk meminta petunjuk kepada roh leluhurnya masing-masing agar diberikan kesiapan dan kemampuan dalam menyelesaikan upacara Belian Sentiu. Persiapan semacam itu bukanlah sesuatu yang tanpa makna, mereka menyadari bahwa kemampuan mereka sebagai manusia biasa sangat terbatas, sehingga memerlukan pertolongan dari kekyatan mikrokosmos lain untuk membantunya, yaitu roh leluhur dan arwah makhluk halus.[5]
Beberapa unsur atau pelaku yang akan dilibatkan dalam Belian Sentiu juga perlu melakukan persiapan. Pihak penyelenggara menjadi unsur yang paling penting karena ia merupakan sebuah keluarga yang anggotanya sedang mengalami sakit sehingga membutuhkan pengobatan secara nonmedis. Keluarga sebagai penyelenggara itu bisa berupa siapa saja, baik rakyat kecil biasa maupun Temenggung yang memiliki kekuasaan, asalkan mereka memiliki biaya yang cukup untuk menggelar upacara Belian Sentiu. Pihak keluarga sebagai penyelenggara biasanya akan dibantu oleh seorang perantara yang disebut dengan istilah Pengugu Ramu yang akan menghubungkan Pemeliatn sebagai pemimpi upacara dengan pihak keluarga sebagai penyelnggara. Pihak lain yang terlibat dalam Belian Sentiu adalah Peeliatn yang merupakan dukun Belian atau pawing belian yang akan bertindak sebagai pemimpin jalannya upacara Belian Sentiu. Oleh sebab Belian Sentiu berfungsi sebagai upacara untuk penyembuhan orang sakit, segala tahap yang dilakukan harus sesuai dengan arahan Pemeliatn yang sebelumnya telah memperoleh petunjuk dari roh-roh leluhur dan roh halus di sekitarnya. Lebih dari itu, Pemeliatn yang berindak untuk memimpin upacara Belian Sentiu bisa kelompok laki-laki maupun kelompok perempuan. Apabila Pemeliatn berjenis kelamin perempuan, akan disebut sebagai Pemeliatn Bawe, sementara apabila berjenis kelamin laki-laki, akan disebut sebagai pemeliatn turaatn.[1]
Dalam tahap persiapan, Pemeliatn harus melakukan puasa terlebih dahulu, yaitu mengendalikan diri atau emosi dan tidak bersikap kurang baik selama kegiatan upacara Belian Sentiu belum dilangsungkan. Jadi, pengertian upacara yang harus dilakukan oleh Pemeliatn bukan berarti menahan makan dan minum sebagaimana yang diketahui secara harfiah. Selain itu, pihak lain yang harus dilibatkan dalam upacara Belian Sentiu adalah Guruq Belian yang merupakan anak keturuna Pemeliatn sekaligus ketua adat Belian Sentiu. Apabila suatu keluarga akan melakukan upacara Belian Sentiu, maka harus memberitahukan terlebih dahulu kepada Guruq Belian.[4]
Pelaksanaan Belian Sentiu
Secara garis besar, pelaksanaan proses penyembuhan dalam ritual Belian Sentiu dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap ngawat; tahap badasuq; tahap nyolukng samat. Ketiga tahap tersebut diiringi dengan music Kelentangan mulai dari awal ritual dimulai hingga selesai. Perlu diketahui bahwa ketiga tahapan tersebut tidak perlu dilaksanakan seluruhnya oleh penyelenggara upacara. Apabila di tahap pertama, penyakit anggota keluarga yang ingin disembuhkan sudah pulih, maka tahap kedua dan ketiga tidak perlu dilakukan. Sementara itu, apabila di tahap pertama belum mengalami kesembuhan, maka seluruh tahapan harus dilaksanakan.
Pada tahap ngawat atau tahap pertama, waktu yang diberlukan penyelenggara untuk menggelar upacara Belian Sentiu biasanya adalah delapan hari delapan malam. Hal itu sesuai dengan perkiraan masyarakat Dayak Benuaq yang amat percaya pada angka genap karena diyakini sebagai angka yang baik untuk menyembuhkan penyakit. Tahap ngawat dinilai sebagai tahap awal yang merupakan usaha awal dari pemeliatn untuk mengadakan hubungan langsung dengan makhluk-makhluk halus dan roh leluhur untuk meminta bantuan. Tujuan dari usaha itu adalah untuk memohon petunjuk kepada roh leluhur agar dapat mengetahui penyebab penyakit seseorang sekaligus meminta petunjuk mengenai obat atau ramuan apa yang cocok untuk jenis penyakit tersebut. Dalam tahapan itu, penyelenggara harus memberikan dua buah sesaji, yaitu entaaq dan encaak. Keduanya merupakan sesjai yang digunakan untuk mengadakan hubungan dnegan makhluk halus dan roh leluhur.[1]
Fase lain yang akan dilakukan oleh Pemeliatn adalah Bejajuruq la mo yang merupakan fase dimana Pemeliatn terbang ke atas bersama dengan makhluk halus yang telah datang pada saat pelaksanaan upacara di tahap awal. Pada saat terbang, Pemeliatn bersama makhluk halus akan menuju ke puncutn jaa jatus atau tempat tertinggi penguasa para roh leluhur dan makhluk halus. Hak itu ditandai dengan berdirinya Pemeliant di atas jalan menuju alam gaib yang berbentuk pohon buatan yang dipenuhi oleh kain warna-warni sambil memegang salah satu kain yang menggantung untuk terbang bersama asap kemenyan yang mengebul ke udara.[1]
Pada tahap itu, kelentangan dimainkan dengan tempo sedang, waktu yang cukup lama, tetapi dengan melodi dan pola yang sama. Hal itu dikarenakan perjalanan yang harus ditempuh Pemeliatn ke alam baik cukup panjang dan harus melewati setiap pintu, dimana pintu-pintu tersebut dijaga oleh beberapa penunggu dan Pemeliatn harus meminta izin kepada penjaga di setiap pintu tersebut. Setelah dikira cukup, Pemeliatn akan memberikan instruksi kepada pemain Kelentang untuk berhenti memainkan alat musiknya dan menggantikannya dengan sulking dewa dan gimar. Melodi yang diciptakan dapat menghasilkan suasana yang berbeda, yaitu sakral dan magis, sehingga dirasa cocok untuk mengiringi mereka terbang kea lam gaib bersama dengan kepulan asap kemenyan.
Setelah sampai di tempat tertinggi makhluk halus tersebut, Pemeliatn akan membacakan bemamang yang bertujuan untuk meminta makhluk halus turun bersamanya guna mengobati orang yang sedang sakit. Setelah seluruhnya berkumpul, makhluk halus itu akan dipersilakan untuk menyantap sesaji yang telah dipersiapkan. Dalam fase itu, tempo musik dimainkan oleh pemain Kelentangan adalah pelan dan datar, karena pada prinsipnya untuk menjadi pengantar mereka dari alam gaib menuju kea lam dunia.
Setelah para makhluk halus itu menyantap segala hidangan sesaji yang disediakan, mereka akan disuguhi berbagai macam tarian yang diikuti oleh semua pemeliatn laki-laki dan perempuan sambil menggendong tengkorak leluhur. Hal itu dimaksudkan untuk menghormati leluhur sebagai upacara selamat datang dan juga persebahan hiburan sebelum mereka membantu Pemeliatn menyembuhkan penyakit. Dalam fase itu, kelentangan dimainkan dengan tempo keras dan bersemangat, tetapi disesuaikan dengan gerakan para Pemeliatn.
Ngasi Ngado
Tahapan upacara lain yang dilakukan oleh Pemeliatn adalah ngasih ngado yang diartikan sebagai proses pemrintaan belas kasihan kepada roh halus dengan memberikan persembahan tertentu karena mereka telah mencelakai orang yang sakit. Persembahan yang diberikan biasanya berbentuk hewan ternak seperti ayam, babi, dan kerbau. Ritual yang mereka lakukan adalah dengan membunuh hewan babi dan ayam dengan cara ditombak agar orang yang sakit beserta keluarganya tidak tertimpa musibah serupa. Upacara tersebut juga menjadi penanda bahwa pihak penyelenggara telah menepati janji dan sebagai tanda bahwa tali janji antara pihak penyelenggara dengan makhluk halus itu dengan demikian terputus.
Dalam tahapan tersebut, musik kelentengan yang dimainkan memiliki tempo yang agak lambat dengan volume pukulan yang dilakukan oleh pemain dibuat turun. Pada saat musik dimainkan demikian, guruq pemeliatn menari-nari sambil membawa ayam dan darah babi untuk dipersembahkan kepada makhluk halus yang telah membantu proses penyembuhan sekaligus memutus janji yang telah disepakati sebelumnya. Sementara itu, para Pemeliatn akan menari-nari sambil membawa tengkorak dan tulang belulang leluhur yang sebelumnya diletakkan di dalam lungun. Hal itu mereka lakukan dengan pola lantai menyerupai huruf O dan mengelilingi awir batu raja berulang-ulang sebagai ucapan terimakasih kepada makhluk halus dan roh-roh leluhur yang telah membantu.[1]
Ngasi ngado bermaksud agar makhluk-makhluk halus dan roh-roh leluhur mau membersihkan diri orang yang sakit tersebut dari segala penyakit dan pengaruh buruk makhluk halus. Selain dilakukan dengan membunuh hewan kurban babi dan ayam, Pameliatn juga mempersiapkan satu baskom air yang berisi pengasi, yaitu satu ikat kembang yang terdiri dari berbagai jenis seperti kembang kepanggir, bungaq, daun tomat, dan lain sebagaunya. Air baskom yang berisi bunga dan darah dari hewan-hewan tadi kemudian dikuburkan dan dipercikan ke tubuh orang yang sakit, mulai dari ujung rambut, hingga ujung kaki dengan menggunakan daun kapeer.
Nyalolo dan Tangai
Nyalo adalah sebuah proses mengahapus roh jahat yang dilakukan melalui selembar daun pisang yang dibelah-belah dan diremas-remas. Sementara itu, bagi masyarakat setempat yang mengalami sakit berupa demam, sangat cocok apabila meminum hasil remasan dari daun pisang tersebut. Hal itu dilakukan oleh Pemeliatn sebagai warisan pengetahuan budaya leluhur mereka. Dalam fase tersebut, alunan musik Kelentangan yang dimainkan terasai menyejukan hati dan perlahan Pemeliatn melakukan pembersihan jiwa orang yang sakit dengan cara mengusapkan dan memercikkan air hasil remasan daun pisang ke tubuh orang tersebut. Hal itu memiliki arti bahwa air merupakan sumber kehidupan dan dipilihnya daun pisang karena sudah mendapat perintah dari makhluk halus dan roh-roh leluhur tersebut.[1]
Setelah fase nyalolo dilakukan, tahapan selanjutnya adalah tahapan penutupan atau Tangai. Tahap tersebut merupakan tahapan penutupan untuk mengakhiri segala rangkaian upacara Belian Sentiu sejak dimulainya dari tahap ngawat. Pada tahap itu, mantra-mantar yang diucapkan oleh pemeliatn akan dibacakan dengan nada tertentu yang bertujuan untuk mengembalikan para makhluk halus ke tempat semula dan mengucapkan terimakasih kepada mereka karena telah membantu mengobati orang yang sakit itu. Pada saat itu, seluruh penduduk yang menyaksikan upacara Belian Sentiu akan sangat senang dan puas karena upacara tersebut dapat berjalan lancar dan orang yang sakit itu dapat disembuhkan. Pemeliatn kemudian berkonsentrasi untuk membacakan mantra penutup dan pemain kelentangan akan memainkan alat musiknya dengan tempo sedang. Mantra yang disebut sebagai Bememeng itu diucapkan oleh Pemeliant sebagaimana ajaran dan anjuran dari leluhur mereka. Setelahnya, pemain kelentangan akan memainkan alat musiknya dengan tempo cepat dan volume yang keras menyesuaikan gerakan Pemeliatn. Untuk mengungkapkan rasa bahagia dan kepuasannya terhadap prosesi ritual tersebut, seluruh penduduk biasanya akan memainkan air sisa ritual yang terlebih dahulu telah dibacakan doa dan mantar oleh Pemeliatn. Orang-orang yang akan kena siraman air tersebut di antaranya adalah Pemeliatn, pihak penyelnggara, pemain musik Kelentangan dan seluruh simpatisan upacara. Hal itu dimaksudkan agar segala pengaruh jahat tidak melindungi tempat mereka yang hadir di sana dan kalau pun ada diharapkan pengaruh-pengaruh jahat itu hilang, lebur, dan sirna bersamaan dengan air yang telah disiramkan. Hal tersebut juga memiliki filosofi tersendiri di mata mereka, yaitu air yang tadi digunakan berasal dari bumi dan tanah, dan sekarang segera berganti dengan pengaruh baik yang membawa keselamatan dan keberkahan bagi orang-orang yang mengikuti rangkaian upcara Belian Sentiu dari awal hingga akhir.
Referensi
- ^ a b c d e f g Irawati, Eli. 2012. Makna Simbolik Pertunjukan Kelentanan dalam Upacara Belian Sentiu Suku Dayak Benuaq Desa Tanjung Isuy, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Tesis. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada: Tidak Dipublikasikan
- ^ a b Florus, Paulus. 1994. Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: PT Grasindo
- ^ Adnan, Sugeng. 1995. Ilmu Pengetahuan Sosial Lokal Kalimantan Timur. Samarinda: Taman Budaya Samarinda
- ^ a b Bonoh, Yhannes. 1985. Belian Bawo. Samarinda: Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan Timur
- ^ Florus, Paulus. 1994. Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: PT Grasindo