Lompat ke isi

Muang jong

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 2 Maret 2019 06.47 oleh Mutaya (bicara | kontrib) (nambah referensi)

Muang Jong adalah upacara tradisi buang sial dari suku Ameng Sewang atau disebut juga Orang Sawang yang berarti orang laut disebut juga dengan Orang “Sekak”. Sebutan “Sekak” muncul terutama pada masa penjajahan Belanda. Sekak artinya kelompok orang yang sulit berinteraksi dengan kelompok suku bangsa lain. Sebutan itu, sayangnya merugikan bagi orang Sawang sendiri pada masa itu karena dianggap sebagai orang yang kolot, tidak mau bergaul, menyendiri, bahkan dianggap primitive. Apalagi hal itu didukung dengan adat budaya masyarakat setempat yang masih menjalankan tradisi animisme dinamismenya.[1]

Pelaksanaan Muang Jong Muang Jong sendiri disebut sebagai upacara buang jung oleh orang Sawang. Upacara ini diadakan setiap tahun sebagai upaya rasa syukur masyarakat Sawang terhadap berkah dari Tuhan yang diberikanNya lewat laut. Buang Jung atau juga disebut dengan “buang patong” ini merupakan tradisi masyarakat Sawang yang sangat sakral sama dengan tradisi larung laut di Yogyakarta.[1]

Tradisi Muang Jong dilakukan untuk mencapai keselamatan manusia terutama masyarakat suku laut, Orang Sawang ini. Upacara dan makna upacara ini menyatu dengan masyarakat setempat, sehingga tanpa upacara ini, masyarakat Sewang merasa tidak lengkap. Tradisi Muang Jong dilaksanakan secara rutin pada musim tanggare pute atau pada musim pancaroba[1].

Pelaksanaan Upacara Muang Jong

Muang Jong atau upacara Muang jong dilaksanakan 3 hari 3 malam berturut-turut. Ucapata ini akan dipimpin oleh seorang dukun. Pelaksanaannya kemudian diikuti oleh semua orang Sawang dari berbagai wilayah di sekitar Pulau Belitung. Upacara Muang Jong akan diawali dengan tradisi mengambil kayu di hutan oleh masyarakat Sewang. Sementara itu, sang dukun mulai mengadakan penyelidikan di hutan untuk menentukan kayu yang dapat diambil. Ketika dukun sudah memastikan area hutan mana yang dapat diambil kayunya, masyarakat kemudian berduyun-duyun memasuki hutan keesokan harinya diiringi oleh sang dukun[1].

Sesampainya di dalam hutan yang dituju, dukun akan mengadakan komunikasi secara gaib dengan makhluk halus penghuni hutan. Dukun akan memberikan sinyal kepada warga ketika sudah diperbolehkan untuk menebang pohon. Penebangan pohon juga didampingi oleh sang dukun sampai kayu dipotong-potong. Warga akan mengambil kayu yang diperlukan untuk memulai tradisi larung laut yang dinamakan Muang Jong ini. jenis pohon atau kayu yang dipilih untuk acara ini ialah sejenis kayu yang dapat mengapung di laut[1].

Kayu-kayu tersebut kemudian dirakit oleh warga menjadi bentuk perahu. Menurut syarat, proses ini harus selesai dalam waktu 3 hari. Kapal ini disebut dengan Jong. Sementara itu, bersamaan dengan pembuatan jong, dibuatlah pul ancak yang berbentuk rumah-rumehan, kerangka ini kemudian akan dilarung bersama dengan jong ke laut. Rangka rumah ini akan disatukan dengan jong, setelah selesai, dukun akan mengadakan upacara yang disebut dengan bedekar.

Pada malam upacara bedekar, ancak dibawa menari-nari oleh para pembantu dukun sambil menyanyikan lagu bedekar. Sementara itu, dilakukan pula acara naik tiang jitun, dimaksudkan sebagai tiang perahu. Selama acara naik tiang jitun dilakukan, iringan nyanyian dan alat music dengan gendang dan gong terus berlangsung. Setelah tiang dipasang, seseorang sebagai pemeran utama yang menaikkan ancak akan menari mengikuti irama gendang sambil memasangkannya[1].

Pada waktu penari utama sudah sampai di puncak tiang, muncullah penari-penari lainnya. Penari terdiri atas pria dan wanita yang akan mengelilingi pangkal tiang jitun yang tingginya 5 meter. penari melakukan gerakan seolah-olah sedang melambai ke arah kapal sedang memanggil orang lain. Hal itu berlangsung kurang lebih 15 menit sampai 30 menit[1].

Penjelasan Tiap Ornamen Upacara

Ancak dianggap sebagai tuan rumah dari makhluk halus, roh leluhur, dewa dewi penghuni lautan yang dapat melindungi warga Saweng ketika melaut atas perintah dari Yang Maha Kuasa. Jitun dianggap sebagai tiang sebuah perahu yang sedang berlayar. Di dalam jitun berisi sesajian yang dilepaskan ke tengah laut sebagai wujud rasa syukur dan keselamatan yang selama ini telah diberikan Yang Maha Kuasa kepada warga Saweng sebagai masyarakat pelaut. Mata pencaharian mereka sebagai pelaut, karena itu selalu mengarungi lautan. Ketika melaut mereka tentu dapat menghadapi badai dan bahaya lainya, namun selama ini mereka mendapatkan perlindungan dan mendapatkan ikan yang berlimpah. Wujud dari rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan tersebut disimbolkan ke dalam sesaji, ancak, dan jitun yang dilarung ke lautan[2].

Tujuan Ritual Muang Jong

Tradisi Muang Jong dilaksanakan setiap tahun dengan tujuan sebagai sarana untuk memohon diberikan perlindungan dan keselamatan bagi siapapun yang mencari nafkah di laut. Ritual bahari ini dapat menjadi bagian dari ungkapan rasa syukur, tolak bala, dan berbagai kasih sayang dengan makhluk penghuni laut lainnya. Acara ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata dan menjadi ajang acara silaturahmi. Acara ini menjadi bagian dari acara kumpul bersama sambil menikmati rangkaian tarian yang menjadi bagian dari upacara Muang Jong. Pertunjukan tari itu antara lain tari adat Ancak, Mancing Ikan, Numbak Duyung, Sampan Ngeleng, Gajah Manunggang, Mate Angin dan lain-lain[3].

Referensi

  1. ^ a b c d e f g https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=18
  2. ^ http://www.tribunnews.com/tribunners/2015/12/14/muang-jong-ritual-sedekah-laut-suku-sawang
  3. ^ http://belitung.tribunnews.com/2017/08/16/ini-tujuan-ritual-muang-jong-di-desa-juru-seberang?