Lompat ke isi

Rumbia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 19 April 2019 01.00 oleh Kresna Rahayu (bicara | kontrib) (Menyunting bagian pendahuluan dan mengganti sub judul pemerian menjadi informasi dasar terkait tanaman sekaligus menambah konten dan sitasi.)
Rumbia
Kebun rumbia.
Darmaga, Bogor.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
M. sagu
Nama binomial
Metroxylon sagu
Sinonim

Metroxylon rumphii
M. squarrosum

Rumbia atau disebut juga (pohon) Sagu adalah nama sejenis palma penghasil tepung sagu. Metroxylon berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata, yaitu Metro/Metra dan Xylon. Metra berarti pith (isi batang atau empulur) dan Xylon berarti xylem. Kata sago atau sagu memiliki arti pati yang terkandung dalam batang palma sagu[1]. Di Indonesia ada beberapa nama daerah untuk tanaman sagu seperti rumbia, kirai (Sunda), ambulung kersulu (Jawa), dan Lapia (Ambon). Warga Malaysia mengenal sagu dengan sebutan rumbia dan balau, lumbia (Philipina), thagu bin (Myanmar), saku (Kamboja), dan sakhu (Thailand)[2]. Sementara nama ilmiahnya adalah Metroxylon sagu.

Informasi Dasar terkait Tanaman

Belukar rumbia

Rumbia termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae yang hanya mempunyai satu titik tumbuhsehingga  tanaman ini hanya memiliki satu batang dan tidak bercabang[2]. Batang sagu berbentuk silinder dengan diameter 50-90 cm, batang sagu bebas daun dapat mencapai tinggi 16–20 m pada saat masa panen. Daun-daun besar, majemuk menyirip, panjang hingga 7 m, dengan panjang anak daun lk. 1.5 m; bertangkai panjang dan berpelepah. Sebagaimana gebang, rumbia berbunga dan berbuah sekali (monocarpic) dan sudah itu mati. Karangan bunga bentuk tongkol, panjang hingga 5 m. Berumah satu (monoesis), bunga rumbia berbau kurang enak. Pohon sagu yang masih muda mempunyai kulit yang lebih tipis dibandingkan sagu dewasa. Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur atau isi sagu yang mengandung serat-serat dan pati. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3-5 cm dan bagian tersebut di daerah Maluku sering digunakan sebagai bahan bangunan[3].

Pati yang terdapat dalam empulur sagu sering digunakan sebagai bahan makanan pokok di beberapa daerah di Indonesia, seperti Maluku, Papua, Riau dan Sulawesi karena mengandung karbohidrat yang tinggi. Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan 73% amilopektin, dan pada kosentrasi yang sama pati sagu mempunyai viskositas tinggi dibandingkan dengan larutan pati dari serelia lainnya[4]. Sagu  juga dapat dimanfaatkan sebagai  bahan baku industri pangan yang  antara lain dapat diolah menjadi bahan  makanan seperti mutiara sagu, kue  kering, mie, biskuit, dan kerupuk[5].

Batang sagu digunakan sebagai tempat penyimpanan pati sagu selama masa pertumbuhan, sehingga semakin berat dan panjang batang sagu semakin banyak pati yang terkandung di dalamnya. Pada umur panen 10–12 tahun, berat batang sagu dapat mencapai 1,2 ton[6]. Berat kulit batang sagu sekitar 17-25% sedangkan berat empulurnya sekitar 75-83% dari berat batang. Pada umur 3- 5 tahun, empulur batang sagu sedikit mengandung pati, akan tetapi pada umur 11 tahun empulur sagu mengandung 15-20% pati sagu.


Ekologi dan penyebaran

Rumbia menyukai tumbuh di rawa-rawa air tawar, aliran sungai dan tanah bencah lainnya, di lingkungan hutan-hutan dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Pada wilayah-wilayah yang sesuai, rumbia dapat membentuk kebun atau hutan sagu yang luas.

Diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua, sejak lama rumbia telah menyebar ke seluruh kepulauan Nusantara, yakni pulau-pulau Sunda Besar, Sumatra, Semenanjung Malaya, dan tak terkecuali di Filipina, kemungkinan karena dibawa oleh peradaban manusia. Kini rumbia telah meliar kembali di banyak tempat.

Kegunaan

Dari empulur batangnya dihasilkan tepung sagu, yang merupakan sumber karbohidrat penting bagi warga kepulauan di bagian timur Nusantara. Pelbagai rupa makanan pokok dan kue-kue diperbuat orang dari tepung sagu ini. Sagu dipanen tatkala kuncup bunga (mayang) telah keluar, namun belum mekar sepenuhnya. Umur panenan ini bervariasi menurut jenis kultivarnya, yang tercepat kira-kira pada usia 6 tahun.

Daun tua dari pohon yang masih muda merupakan bahan atap yang baik; pada masa lalu bahkan rumbia dibudidayakan (dalam kebon-kebon kiray) di sekitar Bogor dan Banten untuk menghasilkan atap rumbia ini. Dari helai-helai daun ini pun dapat dihasilkan semacam tikar yang disebut kajang. Daun-daunnya yang masih kuncup (janur) dari beberapa jenisnya dahulu digunakan pula sebagai daun rokok, sebagaimana pucuk nipah.

Umbutnya, dan juga buahnya yang seperti salak, dimakan orang. Buah ini memiliki rasa sepat, sehingga untuk menghilangkan kelatnya itu buah rumbia biasa direndam dulu beberapa hari di lumpur atau di air laut sebelum dikonsumsi. Tempayak dari sejenis kumbang, yang biasa hidup di batang dan umbut rumbia yang mati, disukai orang -dari Jawa hingga Papua- sebagai sumber protein dan lemak yang gurih dan lezat.

Galeri

Referensi

  1. Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute. Jerman.
  2. Ruddle, K., D. Johnson, P. K. Townsend and J. D. Rees. (1978). Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. An East-West Center Book, Honolulu.
  3. Haryanto, B. Dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
  4. Swinkels, J. J. M. (1985). Sources of starch, its chemistry and physics. In Singhal et al., 2007. Industrial Production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers, Volume 72, pp. 1-20.
  5. Hrp, Bakhtiar Ruli et al. 2017. Kajian Budidaya Sagu (Metroxylon spp) Rakyat di Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti. JOM Faperta 4(1):1-14.
  6. Rumalatu, F. J. 1981. Distribusi dan Potensi Produk Pati Dari Batang Beberapa Jenis Sagu (Metroxylon sp.) Di Daerah Seram Barat. Tesis Fakultas Pertanian/Kehutanan Universitas Pattimura, Afiliasi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
  7. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 1. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 380-390.
  8. Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 136.
  9. McClatchey, W., H.I. Manner, and C.R. Elevitch. (2005). Metroxylon amicarum, M. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm), ver. 1.1. In: Elevitch, C.R. (ed.) Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR), Holualoa, Hawaii.

Pranala luar

  1. ^ Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute. Jerman.
  2. ^ a b Ruddle, K., D. Johnson, P. K. Townsend and J. D. Rees. (1978). Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. An East-West Center Book, Honolulu.
  3. ^ Haryanto, B. Dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
  4. ^ Swinkels, J. J. M. (1985). Sources of starch, its chemistry and physics. In Singhal et al., 2007. Industrial Production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers, Volume 72, pp. 1-20.
  5. ^ Hrp, Bakhtiar Ruli et al. 2017. Kajian Budidaya Sagu (Metroxylon spp) Rakyat di Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti. JOM Faperta 4(1):1-14.
  6. ^ Rumalatu, F. J. 1981. Distribusi dan Potensi Produk Pati Dari Batang Beberapa Jenis Sagu (Metroxylon sp.) Di Daerah Seram Barat. Tesis Fakultas Pertanian/Kehutanan Universitas Pattimura, Afiliasi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.