Lompat ke isi

Liwa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kota Liwa adalah ibu kota kabupaten Lampung Barat provinsi Lampung, Indonesia. Sebuah kota hujan yang berada di pegunungan Bukit Barisan Selatan.

Letak

Liwa terletak di jalan simpang yang menghubungkan tiga provinsi, yaitu Lampung sendiri Bengkulu, dan Sumatera Selatan.

Di sebelah selatan, Liwa berbatasan dengan pekon (desa) Sekuting kecamatan Batubrak, di sebelah utara berbatasan dengan timur dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di sebelah barat dengan pekon Tanjungkemala, kecamatan Pesisir Tengah dan TNBBS, dan di sebelah utara dengan pekon Tanjungraja, kecamatan Sukau.

Pekon

Liwa yang meliputi satu marga (marga Liwa) dan satu kecamatan (kecamatan Balik Bukit) terdiri dari 10 (sepuluh) pekon (kelurahan):

  • Padangcahya
  • Way Mengaku
  • Kubuperahu
  • Sebarus
  • Gunungsugih
  • Way Empulau Ulu
  • Watas
  • Padangdalom
  • Sukarame
  • Bahway

Posisi Strategis

Pemilihan Liwa sebagai ibukota Kabupaten Lampung Barat memang tepat. Beberapa alasan memperkuat pernyataan ini.

Pertama, tempatnya strategis karena berada di tengah-tengah wilayah Lampung Barat, sehingga untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh daerah Lampung Barat oleh pemerintah kabupaten akan relatif efektif.

Kedua, Liwa merupakan persimpangan lalu lintas jalan darat dari berbagai arah: Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung sendiri.

Kita mulai menjalankan kendaraan dari arah selatan, yaitu dari Bandar Lampung melewati Gunungsugih (Lampung Tengah), Kotabumi dan Bukitkemuning (Lampung Utara) memasuki Liwa. Dari Liwa, jika belok kanan ke arah utara, kita akan menuju Kotabatu, sebuah kota kecil di tepi Danau Ranau untuk selanjutnya dapat melanjutkan perjalanan ke Baturaja dan Palembang.

Sedangkan jika belok kiri ke arah barat, kita akan menuju Krui, kota pelabuhan Lampung Barat di pantai barat Lampung (Samudera Indonesia). Dari sini, menelusuri pantai barat ke arah utara, kita bisa melanjutkan perjalanan memasuki provinsi Bengkulu.

Tapi kalau kita memilih menusuri pantai barat ke arah selatan, kita akan tembus ke Kotaagung, Kabupaten Tanggamus.

Kondisi Alam

Terletak di pegunungan dengan hawa yang sejuk dan panorama yang indah seluas sekitar 3.300 hektar, Liwa adalah eksotisme bagi para pencinta alam. Liwa (juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung mencakup beberapa pekon (desa) yang dikelilingi oleh hijaunya bukit-bukit. Dari kejauhan, kebiruan Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung, menambah eloknya kota.

Sejak dulu, Liwa terkenal sebagai tempat pemukiman yang menyenangkan, aman, dan damai bagi semua orang. Orang Belanda di masa Kolonial dahulu pun memanfaatkan kota ini sebagai tempat berlibur, beristirahat, dan bersantai.

Beberapa bangunan peninggalan Belanda sebetulnya utuh sebelum gempa tektonik berkekuatan 6,9 skala Richter menhantam kota ini, .. Februari 1994. Kini, beberapa peninggalan Belanda masih dapat kita lihat seperti tangsi yang kini menjadi Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Balik Bukit dan pesanggrahan (sekarang: Hotel Sindalapai).

Asal-Usul Nama Liwa

Tentang asal-usul nama Liwa, menurut cerita orang, berasal dari kata-kata "meli iwa" (bahasa Lampung), artinya membeli ikan. Konon dahulunya Liwa merupakan daerah yang subur, persawahan yang luas, sehingga hasil pertaniannya melimpah.

Way Setiwang, Way Robok, dan Way Sindalapai yang mengaliri wilayahnya merupakan sumber kekayaan daerah ini. Ditambah pula, penduduk yang masih jarang membuat masyarakat daerah ini menjadi makmur dan sejahtera.

Di daerah ini dulunya terdapat bendungan-bendungan tempat ikan (bidok, bahasa Lampungnya), sehingga terkenallah daerah ini sebagai penghasil ikan. Hampir setiap orang yang datang dari dan ke tempat itu jika ditanya sewaktu bertemu di jalan: "Mau ke mana?" atau "Dari mana?" selalu menjawab: "Jak/aga mit meli iwa" (Dari/hendak membeli ikan).

Lama-kelamaan jawaban itu berubah menjdi "mit meli iwa". Kemudian karena diucapkan secara cepat kedengarannya seperti "mit liwa". Dan, akhirnya daerah ini mereka namakan Liwa.

Kalau kita kontekskan dengan sekarang, Liwa memang menjadi tempat pertemuan ikan laut dari Krui di tepi Samudera Indonesia, ikan tawar dari Danau Ranau, dan ikan tawar lain dari sungai dan sawah.

Potensi Budaya

Di samping memiliki potensi alamiah seperti pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, pariwisata, dan pertambangan, Liwa juga menyimpan sejarah budaya.

Tidak terlalu jelas kapan Liwa berkembang menjadi perkampungan. Tapi yang jelas, Liwa telah berpenghuni dan boleh dikatakan daerah perkampungan asli Lampung yang cukup tua umurnyaa. Beberapa daerah sepeti Kotaagung, Pekontebu, Talangparis, Liba (kependekan dari Liwa Baru), Waya, Negarabatin, dan sebagainya dapat ditelusuri sebagai nama daerah yang penduduknya berasal dari Liwa.

Jika ditanyakan tentang asal-usul mereka (penduduk etnik Lampung di daerah tersebut), banyak di antara mereka yang menjawab, "Sebenarnya kami berasal dari Liwa. Tuyuk (buyut atau nenek moyang) kami dari sana."

Mereka yang merantau itu biasanya masih tetap membawa tradisi dan budaya dari tempat asal mereka. Mereka berusaha tetap mempertahankan kebiasaan leluhur mereka. Akan tetapi yang mengherankan, justru di Liwa sendiri tradisi dan budaya malah tergerus zaman. Mungkin karena letaknya yang strategis membuat daerah ini terlalu banyak menerima pengaruh dari luar. Sayangnya pengaruh itu tidak terlalu mengakar di daerah ini.

Beberapa kebiasaan (tradisi-budaya) yang masih kita temui di Liwa, antara lain upacara-upacara adat seperti nayuh (pesta pernikahan), nyambai (acara bujang-gadis dalam rangka resepsi pernikahan), bediom (menempati rumah baru), sunatan, sekura (pesta topeng rakyat), tradisi sastra lisan (seperti segata, wayak, hahiwang, dll), buhimpun (bermusyawarah), butetah (upacara pemberian adok atau gelar adat), dan berbagai upacara adat lainnya.

Potensi Wisata

Kota Liwa tidak mempunyai tempat wisata yang cukup menarik, kecuali air terjun Kubuperahu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang termasuk sebagian kecil wilayahnya, suanana sejuk karena alam yang masih hijau, dan adat-istiadat setempat (seni-budaya lokal).

Namun Kabupaten Lampung Barat mempunyai belasan tempat wisata seperti Danau Ranau, wisata budaya pekon Kenali, (Belalau), dan pantai sepanjar Pesisir Barat Samudera Indonesia yang dapat diandalkan terutama pantai dan tempat bersejarah.

Salah satunya Situs Prasejarah Batu Jaguar yang terletak di Pekon Purawiwitan, Sumberjaya. Di sini, terdapat sebuah batu menhir yang dipercaya masyarakat dapat memberikan tanda-tanda bila akan terjadi bencana alam. Hal ini terbukti saat gempa Liwa 1994.

Gempa Liwa

Gempa Liwa, Lampung Barat, berkekuatan 6,5 skala Richter (US Geological Survey mencatat berkekuatan 7,2SR), berpusat di Sesar Semangko, Samudera Indonesia, terjadi 15 Februari 1994 dini hari.

Hampir semua bangunan permanen di Liwa rata dengan tanah. Tak kurang dari 196 jiwa dari beberapa desa dan kecamatan di Lampung Barat tewas. jumlah yang terluka hampir mencapai 2 ribu orang. Rata-rata mereka tewas dan terluka karena tertimpa reruntuhan bangunan.

Berdasarkan informasi, jumlah penduduk yang kehilangan tempat tinggal hampir mencapat 75 ribu. Dampak gempa pun masih terasa sampai 40 kilometer dari ibu kota Kabupaten Lampung Barat tersebut.

Terlepas dari pertanggungjawaban dana gempa Liwa yang hingga kini masih bermasalah, yang jelas manajemen penanganan pascagempa di sana juga dianggap terbaik. Sebab, hanya dalam hitungan hari satuan tugas penanganan gempa Lampung bersama sukarelawan dari berbagai unsur ternyata berhasil merekonstruksi kembali ibukota Kabupaten Lampung Barat tersebut.

Pascagempa Liwa terjadi, pembangunan pemukiman penduduk, perkantoran, dan sekolah kembali dibangun dengan konstruksi bangunan antigempa. Pada waktu itu, kami membangun sekitar 60 masjid dan ada juga sekolah dengan bahan ferocemen, yaitu bahan semen dengan dipasang pada tulang-tulang halus sebagai pengganti besi beton.

Kehidupan penduduk Liwa cukup tenang meskipun pernah terjadi gempa hebat pada 1933 dan 1994. Pun meskipun ada gempa berskala kecil mereka tidak terlalu cemas. Namun, sejak adanya berita gempa dan tsunami yang melanda Aceh akhir tahun 2004 lalu, kecemasan kembali mengusik pikiran mereka. Meskipun demikian, kecemasan itu hanya berlangsung sekilas. Berikutnya mereka hanya menganggap angin lalu karena sibuk dengan perkebunan dan pekerjaan mereka.