Lompat ke isi

Ki Ageng Enis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 5 Juni 2019 12.17 oleh LaninBot (bicara | kontrib) (ibukota → ibu kota)
Ki Ageng Ngenis
PasanganNyai Ageng Ngenis
KeturunanKi Ageng Pemanahan
Ki Ageng Karatongan
Nama lengkap
Ki Ageng Enis / Kyai Ageng Laweyan
WangsaMajapahit Rajasa
AyahKi Ageng Selo
IbuNyai Ageng Selo II / Nyai Bicak / Roro Kasihan
AgamaIslam

Dalam sejarah Pajang, Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab telah berhasil membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Laweyan Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.

Serat Kandha menyebutkan bahwa Ki Ageng Ngenis dengan seluruh keluarganya mendapat pekerjaan pada raja Pajang (Sultan Hadiwijaya) yang begitu senang padanya, sehingga ia diberi tanah Laweyan (di Surakarta, ada hingga kini) sebagai hadiah. Ki Ageng Ngenis meninggal di sana. Setelah meninggalnya, Ki Pemanahan dan Ki Panjawi menjadi lurah para prajurit tamtama Pajang.

Ki Ageng Ngenis, kakek Panembahan Senapati (=Danang-Sutawijaya) adalah berasal dari Sela, karena ia adalah putra Ki Ageng Sela. Jadi, Ki Ageng Sela adalah kakek buyut Panembahan Senapati. Nama-nama Ki Gede (=Ki Ageng) adalah menunjukkan bahwa ia adalah pembesar dari wilayah tersebut. Namun perlu diketahui, bahwa Sela yang disebut di sini bukanlah wilayah Sela yang terletak di antara gunung Merapi dan Merbabu, melainkan Sela yang ada di wilayah Grobogan. Ki Ageng Sela kakek buyut dari Panembahan Senapati inilah yang diceritakan dalam cerita legenda turun-temurun memiliki kesaktian mampu menangkap petir itu. Saya masih ingat sedikit pada masa kecil orang tua-tua cerita bahwa kami sebagai orang Mataram bila saat petir menyambar dapat menyahutnya dengan bilang, “Gandrik! Putune Ki Ageng Sela!” (Astaga! (Saya) cucu Ki Ageng Sela!). Dengan begitu, petir akan menghindar [1].

Asal usul

Ki Ageng Enis adalah putra dari Ki Ageng Sela dengan Nyai Bicak putri Ki Ageng Ngerang / Sunan Ngerang I keturunan Maulana Maghribi II. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam.

Ki Ageng Enis adalah putra bungsu dari tujuh bersaudara, di mana semua saudaranya adalah perempuan.

  1. Ki Ageng Enis (? - 1503) memiliki 2 orang putra :
    1. Ki Ageng Pemanahan / Kyai Gede Mataram (Membuka Kota Gede Mataram pada tahun 1558 sebagai hadiah dari Raja Pajang), wafat pada tahun 1584, menikah dengan Nyai Sabinah (putri Ki Ageng Saba) mempunyai putra-putri 26 orang :
      1. Adipati Manduranegara
      2. Kanjeng Panembahan Senopati / Raden Sutawijaya (Sultan Mataram ke 1, pendiri, 1587-1601) menikah dengan 3 istri melahirkan putra-putri 14 orang :
        1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun
        2. Pangeran Ronggo Samudra (Adipati Pati)
        3. Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuro (Adipati Demak)
        4. Pangeran Teposono
        5. Pangeran Purbaya / Raden Mas Damar
        6. Pangeran Rio Manggala
        7. Pangeran Adipati Jayaraga / (Raden Mas Barthotot)
        8. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati/Panembahan Seda ing Krapyak (Sultan Mataram ke 2, 1601-1613) menikah dengan Ratu Tulung Ayu dan Dyah Banowati / Ratu Mas Hadi (Cicit dari Raden Joko Tingkir & Ratu Mas Cempaka), menurunkan putra-putri 12 orang :
          1. Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (1593-1645), Sultan Mataram ke 3 (1613-1645) menikah dengan Permaisuri ke 1 Kanjeng Ratu Kulon / Ratu Mas Tinumpak (putri Panembahan Ratu Cirebon ke 4 setelah Sunan Gunung Jati), permaisuri ke 2 Kanjeng Ratu Batang / Ratu Ayu Wetan / Kanjeng Ratu Kulon mempunyai 9 orang putra-putri :
            1. Raden Mas Sahwawrat / Pangeran Temenggong Pajang
            2. Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpa Nangkil
            3. Pangeran Ronggo Kajiwan
            4. Gusti Ratu Ayu Winongan
            5. Pangeran Ngabehi Loring Pasar
            6. Pangeran Ngabehi Loring Pasar
            7. Sunan Prabu Amangkurat Agung / Amangkurat I / Raden Mas Sayidin (Sultan Mataram ke 4, 1646-1677) wafat 13 Juli 1677 di Banyumas.
              1. Sunan Prabu Mangkurat II / Sunan Amral / Raden Mas Rahmat (Sunan Kartasura ke 1, 1677-1703)
                1. Sunan Prabu Amangkurat III (Sunan Kartasura ke 2, 1703-1705)
              2. Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran Puger / Raden Mas Drajat (Sunan Kartasura ke 3, 1704-1719)
                1. Raden Mas Sengkuk
                2. Prabu Amangkurat IV (Mangkurat Jawi) wafat 20 April 1726
                  1. Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara (Mangkunegara I, 1757-1795)
                  2. Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes
                  3. Gusti Raden Ayu Wiradigda
                  4. Gusti Pangeran Hario Hangabehi
                  5. Gusti Pangeran Hario Pamot
                  6. Gusti Pangeran Hario Diponegoro
                  7. Gusti Pangeran Hario Danupaya
                  8. Sri Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Prabasuyasa (Sunan Surakarta ke 1, 1726-1742)
                  9. Gusti Pangeran Hario Hadinagoro
                  10. Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, Garwa Pangeran Hindranata
                  11. Gusti Raden Ajeng Kacihing, Dewasa Sedho
                  12. Gusti Pangeran Hario Hadiwijoyo
                  13. Gusti Raden Mas Subronto, Wafat Dalam Usia Dewasa
                  14. Gusti Pangeran Hario Buminoto
                  15. Pangeran Hario Mangkubumi Hamengku Buwono I (Sultan Yogyakarta Ke 1, 1717-1792)
                  16. Sultan Dandunmatengsari
                  17. Gusti Raden Ayu Megatsari
                  18. Gusti Raden Ayu Purubaya
                  19. Gusti Raden Ayu Pakuningrat di Sampang
                  20. Gusti Pangeran Hario Cokronegoro
                  21. Gusti Pangeran Hario Silarong
                  22. Gusti Pangeran Hario Prangwadono
                  23. Gusti Raden Ayu Suryawinata di Demak
                  24. Gusti Pangeran Hario Panular
                  25. Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo
                  26. Gusti Raden Mas Jaka
                  27. Gusti Raden Ayu Sujonopuro
                  28. Gusti Pangeran Hario Dipawinoto
                  29. Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I
                  30. Gusti Raden Ayu Mangkupraja
                3. Pangeran Diposonto / Ki Ageng Notokusumo
                4. Raden Ayu Lembah
                5. Raden Ayu Himpun
                6. Raden Suryokusumo
                7. Pangeran Blitar
                8. Pangeran Dipanegara Madiun
                9. Pangeran Purbaya
                10. Kyai Adipati Nitiadiningrat I Raden Garudo (groedo)
                11. Raden Suryokusumo
                12. Tumenggung Honggowongso / Joko Sangrib (Kentol Surawijaya)
              3. Gusti Raden Ayu Pamot
              4. Pangeran Martosana
              5. Pangeran Singasari
              6. Pangeran Silarong
              7. Pangeran Notoprojo
              8. Pangeran Satoto
              9. Pangeran Hario Panular
              10. Gusti Raden Ayu Adip Sindurejo
              11. Raden Ayu Bendara Kaleting Kuning
              12. Gusti Raden Ayu Mangkuyudo
              13. Gusti Raden Ayu Adipati Mangkupraja
              14. Pangeran Hario Mataram
              15. Bandara Raden Ayu Danureja / Bra. Bendara
              16. Gusti Raden Ayu Wiromenggolo / R.Aj. Pusuh
            8. Gusti Raden Ayu Wiromantri
            9. Pangeran Danupoyo/Raden Mas Alit
          2. Pangeran Mangkubumi
          3. Pangeran Bumidirja
          4. Pangeran Arya Martapura / Raden Mas Wuryah (1605-1688)
          5. Ratu Mas Sekar / Ratu Pandansari
          6. Kanjeng Ratu Mas Sekar
          7. Pangeran Bhuminata
          8. Pangeran Notopuro
          9. Pangeran Pamenang
          10. Pangeran Sularong / Raden Mas Chakra (wafat Desember 1669)
          11. Gusti Ratu Wirokusumo
          12. Pangeran Pringoloyo
        9. Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil
        10. Gusti Raden Ayu Wiramantri
        11. Pangeran Adipati Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601)
        12. Ki Ageng Panembahan Djuminah/Pangeran Djuminah/Pangeran Blitar I (Bupati Madiun, 1601-1613)
        13. Pangeran Adipati Martoloyo / Raden Mas Kanitren (Bupati Madiun 1613-1645)
        14. Pangeran Tanpa Nangkil
      3. Pangeran Ronggo
      4. Nyai Ageng Tumenggung Mayang menikah dengan Kyai Ageng Tumenggung Mayang berputra 1 orang :
        1. Raden Pabelan (wafat 1587)
      5. Pangeran Hario Tanduran
      6. Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana
      7. Pangeran Teposono
      8. Pangeran Mangkubumi
        1. Adipati Sukawati
        2. Bagus Petak Madiun
      9. Pangeran Singasari/Raden Santri
        1. Pangeran Blitar
      10. Raden Ayu Kajoran
      11. Pangeran Gagak Baning (Adipati Pajang, 1588-1591)
      12. Pangeran Pronggoloyo
      13. Nyai Ageng Haji Panusa, ing Tanduran
      14. Nyai Ageng Panjangjiwa
      15. Nyai Ageng Banyak Potro, ing Waning
      16. Nyai Ageng Kusumoyudo ing Marisi
      17. Nyai Ageng Wirobodro, ing Pujang
      18. Nyai Ageng Suwakul
      19. Nyai Ageng Mohamat Pekik ing Sumawana
      20. Nyai Ageng Wiraprana ing Ngasem
      21. Nyai Ageng Hadiguno ing Pelem
      22. Nyai Ageng Suroyuda ing Kajama
      23. Nyai Ageng Mursodo ing Silarong
      24. Nyai Ageng Ronggo ing Kranggan
      25. Nyai Ageng Kawangsih ing Kawangsen
      26. Nyai Ageng Sitabaya ing Gambiro
    2. Ki Ageng Karatongan. Bagi mereka yang sering melakukan ziarah ke makam – makam para wali dan para ulama, pasti sudah tidak asing jika mendengar Desa Paremono, desa yang sudah ada pada abad 15 berbarengan dengan kisah babat alas Mentaok. Di jelaskan pada tahun 60an sampai 70an (Alm) KH Ahmad Abdul Haq Dalhar ( Mbah Mad ) selaku Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Gunung Pring ,Muntilan, Magelang sering berziarah ke Makan Kyai Ageng Karotangan / Kyai Ageng Pagergunung 1 / Bagus Bancer , di Desa Paremono. Bahkan menurut salah seorang putra (alm) KH Ahmad Abdul Haq Dalhar (Mbah Mad), KH Agus Aly Qayshar, menceritakan, bahwa salah satu kelebihan Mbah Mad yang dimiliki sejak kecil adalah mengetahui makam para wali yang sebelumnya tidak diketahui oleh masyarakat sekitar. Yang pada awalnya, makam seseorang itu dianggap biasa oleh masyarakat, justru Mbah Mad memberi tahu kalau itu makam seorang wali. Kelebihan ini merupakan warisan dari abahnya, Mbah Kyai Dalhar. Desa yang secara administratif berada di kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, banyak sekali menyimpan kisah – kisah sejarah masa Mataram Islam. Bukan hanya itu, sisa – sisa peninggalan peradaban masa Mataram Hindu atau masa klasik pun berserakan di desa ini. Sepak terjang Bagus Bancer Nama kecil dari Kyai Ageng Karotangan adalah Bagus Bancer, beliau adalah putra dari Kyai Ageng Henis (Kyai Ageng Laweyan) atau adik dari Bagus Kacung (Kyai Ageng Pemanahan). Pada masa kesultanan Pajang, Kyai Ageng Henis mendapat tanah perdikan di daerah Laweyan oleh Jaka Tingkir dan beliau juga mendapatkan jabatan adipati. Di laweyan itulah beliau sering menyebarkan agama islam, Setelah dewasa Bagus Kacung, Ki Penjawi dan Ki Juru Mertani masuk jadi tamtama di Kesultanan Pajang dan belajar ilmu pemerintahan. Berbeda dengan sang adik, Bagus Bancer pada masa kecil beliau justru mendalami agama islam kepada Sunan Kalijogo,kemudian setelah dewasa beliau pun menyiarkan agama Islam dan menolak jabatan di Kesultanan Pajang. Pada waktu pemberontakan Arya Penangsang, Jaka Tingkir mengadakan sayembara siapa yang bisa mengalahkan Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah berupa tanah perdikan yaitu Pati dan Alas Mentaok, maka atas nasihat dari Kyai Ageng Henis, kemudian Bagus Kacung, Ki Penjawi , Ki Juru Mertani mengikuti sayembara untuk mengalahkan Arya Penangsang yang sangat sakti mandraguna dengan pusakanya Keris Setan Kober. Singkat cerita maka mereka bertiga yang di bantu oleh pasukan Pajang pada tahun 1549 bisa mengalahkan Arya Penangsang, sebenarnya yang membunuh adalah Danang Sutowijaya dengan pusaka Tombak Kyai Plered . Atas jasanya itu Ki Penjawi mendapatkan hadiah tanah perdikan di Pati, tapi Bagus Kacung belum mendapatkan hadiah dari Jaka Tingkir. Ini di karenakan ada bisikan dari Sunan Giri bahwa tanah bumi mentaok yang akan di hadiahkan ke Bagus Kacung kelak akan menjadi Kerajaan besar, maka dengan pemikiran matang Jaka Tingkir mengulur – ulur waktu. Karena merasa janji Jaka Tingkir belum di penuhi maka Bagus Kacung menemui dan meminta bantuan Sunan Kalijaga untuk membujuk Jaka Tingkir agar segera merealisasikan janjinya memberi hadiah berupa Alas Bumi Mentaok, kemudian atas bujukan Sunan Kalijaga itulah Bagus Kacung diberikan sebuah wilayah dibagian barat daya Kasultanan Pajang yang bernama “Bhumi Mentaok” (bekas kerajaan Mataram Hindu) yang terbentang antara daerah Yogyakarta sampai dataran Kedhu oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir ) pada tahun 1556. Dikisahkan, Ki Ageng Karang Lo ( sahabat kyai Ageng Pemanahan) yang tinggal di Kampung Taji, timur Prambanan, suatu hari kedatangan rombongan tamu yang singgah di rumahnya. Tamu tersebut adalah Kyai Ageng Pemanahan beserta keluarganya termasuk sang adik yaitu Bagus Bancer, Ki Juru Mertani dan Danang Sutowijaya yang sedang dalam perjalanan menuju Mentaok, yaitu tempat yang dihadiahkan Sultan Pajang kepada dirinya. Konon, nama Mataram sendiri diambil dari kata ‘mentaok arum’ yang berarti mentaok yang harum. Kata ‘mentaok arum’ ini mengalami peluruhan menjadi ‘mentarum’. Untuk memudahkan pengucapan, lama kelamaan kata ‘mentarum’ berubah menjadi Mataram. Alasan lain ialah dulunya mentaok adalah bekas kerajaan mataram hindu biar nantinya mentaok bisa jadi kerajaan besar maka desa tersebut dinamakan desa mataram biar bisa mengikuti kebesaran kerajaan mataram hindu. Kemudian setelah 2 tahun Kyai Ageng Pemanahan ( Bagus Kacung ) yang terkenal sakti ini akhirnya berhasil membuka hutan Mentaok pada tahun 1558, yang dulunya terkenal angker dan banyak dihuni binatang buas. Setelah beberapa waktu alas Mentaok menjadi desa yang berkembang, kemudian Bagus Kacung menginginkan dalam proses Babat Alas Bumi Mentaok ini di perluas, oleh karena itu maka dengan pemikiran yang matang Kyai Ageng Pemanahan (Bagus Kacung) akhirnya memanggil sang adik kandungnya, Bagus Bancer yang bergelar Kyai Ageng Karotangan untuk meminta bantuan membabat alas (hutan) di daerah barat Gunung Merapi. Daerah barat Gunung Merapi ini mencakup wilayah dataran Kedhu dan sekitarnya yang mana daerah ini juga terkenal tak kalah angker dibanding Alas Mentaok di daerah Yogyakarta. (Pada zaman dahulu, hutan Mentaok merupakan wilayah bekas Kerajaan Mataram Kuno yang menguasai wilayah Jawa Tengah bagian selatan pada abad 8 hingga abad 10. Setelah Kerajaan Mataram Hindu memindahkan pusat kerajaannya ke daerah Jawa Timur akhirnya wilayah pusat kerajaan yang lama menjadi hutan dan disebut Alas Mentaok . Setelah beberapa abad kemudian Alas Mentaok menjadi wilayah Kesultanan Pajang. Pada tahun 1556, saat Kesultanan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, wilayah Alas Mentaok, yang juga disebut Bumi Mataram pada kala itu, diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas keberhasilannya menumpas pemberontakan Arya Penangsang Kemudian setelah itu Alas Mentaok yang saat itu berupa hutan lebat dibuka menjadi sebuah desa oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani Desa di Alas Mentaok tersebut selanjutnya dinamai Mataram dan berstatus sebagai tanah perdikan atau swatantra atau daerah bebas pajak Seiring berjalannya waktu, wilayah Alas Mentaok semakin berkembang dan menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Mataram. Kini, bekas wilayah Alas Mentaok telah menjadi bagian dari Kota Yogyakarta di mana juga terdapat Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) Sebagai seorang adik kandung Kyai Ageng Pemanahan, maka tidak heran jika Bagus Bancer juga mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi. Dikisahkan, ketika Bagus Bancer / Kyai Ageng Karotangan membuka alas di kawasan Kedhu, beliau hanya menggunakan tangan kosong dan punya senjata yang namanya Kudi ( seperti sabit tapi berbentuk mirip huruf “S”). Konon, beliau membabat pepohonan dan rumputan yang ada di daerah Kedhu ini sampai wilayah yang apa sekarang disebut sebagai Wates, Magelang. Nama Wates (dalam bahasa Indonesia berarti Batas) sendiri sebenarnya adalah suatu batas dimana Bagus Bancer berhenti membuka hutan. Karena kesaktianya membuka hutan hanya dengan tangan kosong inilah, beliau juga memiliki julukan sebagai Kyai Ageng Karotangan (Karo = menggunakan; tangan = tangan). Setelah beberapa lama babat alas di daerah Kedhu hanya menggunakan tangan, beliau merasakan kedua tangannya sampai terasa pegel-pegel dan kemudian Kyai Ageng Karotangan bersama para pengikutnya istirahat sebentar di suatu daerah di kedhu. Sambil istirahat beliau memijat (meg-meg) kedua tangannya, setelah di pijat akhirnya rasa pegalnya hilang, dan kelak kemudian hari untuk mengenang kejadian itu maka oleh beliau sebagai pertanda tempat itu dinamakan Magelang (di meg-meg pegel e ilang ) Karena jasanya babat alas di sebelah barat Gunung Merapi (daerah kedhu) sampai sekarang banyak orang yang meyakini bahwa Kyai Ageng Karotangan sebagai Pok (cikal bakal) nya daerah Kedhu , Sedangkan kakaknya , Kyai Ageng Pemanahan babat alas di alas mentaok sebelah timur Gunung Merapi sekarang jadi Pok (cikal bakal) nya Yogyakarta. Syahdan, Setelah selesai babat alas sampai di daerah wates , Magelang, Kyai Ageng Karotangan kemudian balik ke arah timur untuk kembali ke Mataram, betapa kagetnya beliau ketika di suatu wilayah di dataran Kedhu dan di dekatnya ada mata airnya , (mata air ini sampai sekarang masih ada , orang sering menyebutnya combrang dan cebol ) beliau melihat hamparan Pari / Padi ( Persawahan ini sekarang sering di sebut sawah jomblang di selatan dusun Paremono). Di wilayah tersebut beliau bertemu dengan seorang Kisanak (yang kelak kemudian hari banyak orang menyebutnya Mbah Kyai Jomblang ) dan kemudian bertanya – tanya mengenai wilayah tersebut. Karena didaerah tersebut sudah terdapat banyak sekali padi, kemudian beliau berujar Wis Ono Pari = Sudah ada padi . Dikarenakan daerah sebut sangat subur, di dataran yang diapit beberapa gunung ( gunung merapi , gunung merbabu,pegunungan menoreh, gunung sumbing, gunung andong dan telomoyo), ada mata airnya (disekitaran daerah combrang dan ngudal) dan sudah banyak padinya. Suatu pemandangan yang sangat indah maka kemudian Kyai Ageng Karotangan dan para pengikutnya memutuskan tidak kembali ke desa Mataram di Mentaok , tetapi malah memutuskan untuk tinggal di daerah tersebut (Yang kelak daerah tersebut terkenal dengan nama desa Paremono) Kyai Ageng Karotangan setelah menetap di Pariono beliau menyebarkan agama islam, dari perkawinannya dengan Nyai Hugeng Karotangan beliau menurunkan Pronontoko II ( Sindurejo I), Sindureja I menurunkan Raden Sukro dan RM Gerit ( dari ibu Kleting kuning ) dan menurunkan pronontoko III ( jaksa) dari ibu ayu /niken rubiyah. Dan Pronontoko II adalah Keturunan beliau yang kelak kemudian hari jadi Patih Ndalem di Mataram yang ibu kotanya di Kartosuro dengan gelar Patih Sindurejo 1. Waktu demi waktu terus berjalan Kyai Ageng Karotangan di samping tinggal di Pariono juga beliau teringat akan pesan dari Sunan Kalijaga dan Dewan Walisanga yang berada di Kesultanan Demak untuk berdakwah Agama Islam , Pesan dan Perintah tersebut selalu beliau ingat dan di lakukan dengan sering menyebarkan dakwah islam dengan media bercocok tanam/ menanam padi/ bertani di sekitar Kedhu. Dan sampai pada akhirnya Kyai Ageng Karotangan meninggal dunia dan di semayamkan di Pagergunung atau Pariono ( sekarang orang menyebutnya lebih familier dengan sebutan Ger Gunung), yang letaknya antara Sumping Wetan (Simping Wetan) dan Sumping Kulon (Simping Kulon). Karena di semayamkan di Pagergunung maka beliau juga sering di juluki Kyai Ageng Pagergunung. Istilah nama ono pari diperkirakan muncul pertama antara 1558 sampai 1595. Lama kelamaan, dari nama ono pari berubah menjadi Pariono, kemudian berubah lagi menjadi Parimono. Pada masa - masa tahun 1970-an, nama Parimono akhirnya berubah lagi untuk terakhir kalinya menjadi Paremono. Begitulah konon nama desa Paremono berasal. Perubahan nama tersebut tidak lepas dari pengucapan masyarakat dalam menyebutan saja. Berdasarkan Pernyataan Juru Kunci Makam Kyai Ageng Henis yang berada di Laweyan, Solo, Kyai Ageng Karotangan adalah putra dari Kiai Ageng Henis/ Anis yang jika diruntut silsilahnya kebelakang akan sampai pada Trah Bondan Kejawan. Trah ini merupakan keturunan dari putra Prabu Brawijaya V dan Raden Roro Nawangsih pada era Majapahit. Kyai Ageng Karotangan sendiri mempunyai keturunan yang bergelar Patih Sindurejo I. Dan di ceritakan juga masa kecil Patih Sindurejo sudah di gembleng ilmu agama islam, kemudian berjalannya waktu usia nya menginjak dewasa, beliau sudah belajar ilmu pemerintahan, keprajuritan dan tata susila. Bahkan menurut babad tanah jawa di ceritakan kalau Patih Sindurejo I ini merupakan patih pada zaman Amangkurat Amral (Mangkurat II). Beliau beristrikan BRA Klenting Kuning yang merupakan Putri Raja Amangkurat Agung dengan selir yang bernama RA. Mayang Sari. Sebagai hadiah karena berhasil memetik bunga Wijayakusuma di Cilacap/ Nusa Kambangan, dengan cara menggiring bebek jambul berwarna putih semua, anehnya ke-11 bebek jambul tadilah yang menunjukan bunga WijayaKusuma kepada Patih Sindureja I sampai Cilacap/NusaKambangan ,keturunan dari Kyai Ageng Karotangan ini mendapat gelar Patih Sindurejo I. Tidak di pungkiri memang Kyai Ageng Karotangan adalah seorang tokoh yang sangat berperan besar dalam Babad Tanah Jawa, memang beliau tidak masuk dalam pemerintahan di kala itu, tapi peran beliau dalam sepak terjang perkembangan di daerah Kedhu dan menyebarkan Dakwah Islam sangatlah besar, hal ini bisa kita lihat adanya bukti-bukti di komplek Pesarean Agung Paremono, bahkan dengan seringnya mbah Mad watucongol berziarah ke makam Kyai Ageng Karotangan pada tahun 50an sampai 70an, yang di perkuat oleh pernyataan dari putra Mbah Mad (KH Agus Aly Qayshar) kalau ayahandanya pengetahui makam para wali yang belia ziarahi. Juga tidak lah di kesampingkan pitutur orang tua secara turun temurun tentang kisah sepak terjang Kyai Ageng Karotangan yang sampai sekarang masih terjaga. Di samping itu dalam Penuturan Langgam Asmaradana, pupuh XXIX, bait 10-13 di sebutkan bahwa Kyai Ageng Karotangan adalah salah satu dari Wali nukhba / wali penerus dari wali Songo ,di jelaskanya sebagai berikut : Kang nututi ambek wali/Anenggih Sunan Tembayat/ Sunan Giri Parepen/Jeng Sunan Kuduskelawan/Sultan Syah ‘Alim Akbar/ Pangeran Wijil Kadilangu/Kalawan Kewangga//Ki Gede Kenanga Pengging/malihe Pangeran Konang/lawan Pangeran Cirebon/ lan Pangeran Karanggayam/Myang Ki Ageng Sesela/tuwin sang Pangeran panggung /Pangeran ing Surapringga//lan Kiai Juru Mertani/ing Giring Ki Ageng Pamanahan/ Buyut Ngerana Sabran (g) Kulon/ Ki Gede wanasaba /Panembahan Palembang/Ki Buyut ing Banyubiru/lawan Ki Ageng Majastra//Malihi Ki Ageng Gribig/Ki Ageng Karotangan/Ki Ageng ing Toyajene/ lan Ki Ageng Tuja Reka/pamungkas wali raja/nenggih Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo/kasebut wali nukhba. Terjemahan: Adapun berikutnya yang bergelar wali adalah Sunan Tembayat dilanjutkan Sunan Giri Parepen, Sunan Kudus seterusnya Sultan Syah ‘Alim Akbar, Pangeran Wijil Kadilangu, serta Pangeran Kewangga. Ki Ageng Kenanga Pengging yang kemudian bergelar Pangeran Konang. Selanjutnya Pangeran Cirebon dan Pangeran Karanggayam, Ki Ageng Sesela (sela), Pangeran Panggung, Pangeran Surapringga. selanjutnya Ki Juru Mertani di Giring , Ki Ageng Pamanahan, Buyut Ngerang, Pangeran Sabrang Kulon dan Kyai Gede Wanasaba Panembahan Palembang, Ki Buyut Banyubiru, Ki Ageng Majastra yang akhirnya bergelar Ki Agengi Gribig. Ki Ageng Karotangan , Ki Ageng ing Toyajene (Ki Ageng bayu kuning ) serta Ki Ageng Tuja Reka. Yang terakhir adalah “wali raja”, yakni (Kanjeng) Sultan Agung HanyokroKusuma. Mereka semua disebut wali nubuwa /nukhba Atau memiliki “nubuah” kewalian. Di dalam serat walisana juga si sebutkan bahwa dalam rangka menanamkan para kader dan menyebarkan para mubaligh ahli dakwah, Sunan Ampel mendorong Sayyid Es bin Maulana Ishaq ke Demak atas izin Prabu Majapahit sehingga Sayyid ini bergelar Sutamaharaja. Sedangkan Sayyid Ya’kub bin Maulana Ishaq atau Syaikh wali Lanang ditetapkan di Blambangan, Syaikh Waliyul Islam ke Pasuruhan kemudian ke Semarang. Kemudian Maulana Ishaq diutus ke Madura, antara lain ke Balega, lalu Sumenep, dan karena merasa tidak berhasil lalu kembali ke Malaka. Maulana Magribi di utus ke Banten, Maulana Gharibi ke Jawa Barat, Sayyid Jen (Zayn) dan Sunan Gunung Jati ke Cirebon, Syaikh Jumhur ‘Alim ke Pajarakan, Syaikh Subabangip ke Ponorogo dan saentaro pesisir Jawa Timur bagian selatan. Raden Fatah ke Bintara (Demak), Syaikh Sabil ke Ngudung Muria, sedangkan Sayyid Ali Mukid ke Majagung. Murid-murid yang menjadi kader Walisanga dan disebut sebagai Wali nawbah atau wali pengganti adalah Sunan Tembayat di daerah Klaten, Sunan Gin Parepen, Pangeran Wijil di Kadilangu, Pangeran Kewangga, Ki Gede Kenanga di Pengging, Pangeran Konang, Pangeran Cirebon, Pangeran Karanggayam, Ki Ageng Sela, Pangeran Panggung, Pangeran Surapringga. Di Giring Gunungkidul ada Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan di Kota Gede Yogyakarta, Ki Buyut Pangeran Sabrang Kulon, Ki Gede Wanasaba, Panembahan Palembang, Ki Ageng Majastra, Ki Ageng Garibig di Jatinom Klaten, Ki Buyut Banyubiru, Ki Ageng Karotangan, Ki Ageng Toyajene, Ki Ageng Tayreka, dan Kanjeng Sultan Agung di Mataram.

Ki Ageng Enis Sebagai Perintis Kesultanan Mataram

Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.

Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti : Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti : tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.

Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :

  • Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah maupun terhadap masyarakat luas;
  • Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;
  • Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.
  • Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Sarosoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.


Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.

Ki Ageng Henis adalah putera Ki Ageng Sela, keturunan dari Brawijaya V seorang raja Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Henis adalah seorang punggawa Keraton Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati.

Kilas tentang Saudagar Laweyan

Laweyan merupakan kampung tradisional yang sudah ada sejak sebelum tahun 1500 M. Kelurahan/Kampung Laweyan, Surakarta – Jawa Tengah merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah.

Berdasarkan buku yang ditulis oleh RT. Mlayadipuro, desa Laweyan (sekarang wilayah Kelurahan Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan Laweyan masih bisa dirunut dengan fakta artefak makam maupun letak geografisnya yaitu setelah dekade Kyai Ageng Ngenis yang bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati), era sebelumnya sangat sulit dilacak kecuali hanya dari dongeng dan tutur lisan saja. Letak pasar Laweyan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman).

Kyai Ageng Ngenis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang merupakan keturunan raja Brawijaya V. Kyai Ageng Ngenis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga manggala pinituwaning nagara kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada tahun 1546 M.

Kyai Ageng Ngenis meninggal dan dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat Sunan Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo). Rumah tempat tinggal Kyai Ageng Ngenis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Kemudian Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar (pasar Laweyan), Sutowijaya pindah ke Kota Gede dan dalam perjalanannya kemudian menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senopati yang kemudian menurunkan raja-raja Mataram.

Mitos Laweyan

Ada folklor yang menjadi mitos membentuk kesan komunitas Laweyan teralienasikan. Hal ini mendorong Drs. Soedarmono, SU (Sejarahwan Surakarta - alm) menulis dalam upaya meluruskan sejarah. Wong laweyan pada zaman dahulu, ditengah peradaban dominannya budaya feodal kerajaan, agak tidak disukai oleh kalangan bangsawan kerajaan di kota Solo. Karena komunitas Laweyan lebih mencerminkan gaya hidup yang praksis dalam dunia ekonomi industri dan perdagangan batik. Wacana prilaku ekonomi perdagangan dan industri batik di Solo ini dianggap kurang pantas terlibat dalam pergaulan masyarakat feodalistik kerajaan. Sebagian besar bangsawan kerajaan yang gaya hidupnya lebih mencerminkan pola hidup establish pada system ekonomi feodom, agak kurang senang hidup berdampingan dengan wong Laweyan yang mencerminkan gaya hidup sebagai entrepreuner yang dianggap egois, kikir, dan dianggap cenderung pamer kekayaan. Bangsawan kerajaan takut bersaing dalam hal meraih ethos hedonis Jawa: drajad, semat dan pangkat, maka dengan segala cara, orang Laweyan dialienasikan, diasingkan dari pergaulan masyarakat Jawa. Folklore yang muncul untuk mengalienasikan ethos pedagang dan industriawan batik kaum perempuan ini antara lain,

  1. Eksistensi komunitas dagang Laweyan di zaman Pajang, dialienasikan dalam folklor Raden Pabelan yang melakukan perselingkuhan dengan putri raja Ratu Sekar Kedhaton. Peristiwa itu mengakibatkan dijatuhkannya eksekusi mati atas Raden Pabelan bertempat di Laweyan. Folklor ini seolah-olah menjadikan wacana memori kolektif orang Jawa dalam Babad minor Pajang, untuk akses pembenaran (legitimasi) bahwa sudah layak dan sepantasnya orang yang melanggar tata-krama adat istana harus di-eksekusi hukum "Lawe" (digantung dengan tali = lawe), dan yang sangat disengaja eksekusi itu dijatuhkan di Laweyan.
  2. Folklor Kyai Ageng Ngenis, ini adalah folklore yang sangat tendensius untuk mengklaim bahwa kawasan Laweyan adalah bagian dari ekologi cultural kraton, bukan ekologi pedagang lawe yang telah lama ada (Pajang). Konon menurut cerita lokal, asal usul nama tempat “laweyan” sangat berhubungan erat dengan nama tokoh lokal yang disakralkan, yaitu Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang, Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, adalah tokoh cikal-bakal Mataram. Karena jasanya yang besar atas berdirinya kasultanan Pajang, ia diberi hadiah tanah “perdikan”. Tanah itu diberi nama “luwihan”, folklor ini menggeser etimologi kata 'luwihan' seolah berubah sebutan menjadi “laweyan”, karena kekaguman rakyat Pajang atas “keluwihan” (kesaktian) Kyai Ageng Ngenis.

Kepustakaan

Sumber Lain


Penghargaan dan prestasi
Didahului oleh:
Ki Ageng Sela
Perintis Kesultanan Mataram
1478-1587
Diteruskan oleh:
Ki Ageng Pemanahan
Ki Juru Martani
Ki Panjawi