Lompat ke isi

Perang Romawi–Persia

Ini adalah artikel bagus. Klik untuk informasi lebih lanjut.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perang Romawi–Persia

Kameo yang menggambarkan Emperior Romawi Valeranus, melawan Raja Persia Sassaniyah, Shahpur II.
Tanggal268 – 624 M
LokasiMesopotamia, Anatolia, dan Levant
Hasil Status quo ante bellum
Tokoh dan pemimpin
Lucullus,
Pompeius,
Crassus ,
Markus Antonius,
Ventidius,
Corbulo,
Trajanus,
Avidius Cassius,
Statius Priscus,
Septimius Severus,
Caracalla,
Macrinus,
Alexander Severus,
Timesitheus,
Gordianus III ,
Valerianus (POW),
Ballista,
Odaenathus,
Carus,
Galerius,
Constantius II,
Julianus ,
Patricius,
Areobindus,
Celer,
Belisarius,
Sittas,
Dagistheus,
Bessas,
Marcianus,
Justinianus,
Maurice,
Yohanes Mystaconus,
Philippicus,
Comentiolus,
Narses
Germanus ,
Leontius,
Domentziolus,
Priscus,
Heraclius,
Theodore
Ardashir I,
Shapur I,
Narseh,
Shapur II,
Narseh ,
Narseh,
Bahram V,
Yazdegerd II,
Kavadh I,
Mihran,
Mihr-Mihroe (POW),
Azarethes,
Khosrau I,
Al-Mundhir IV ibn al-Mundhir ,
Khorianes ,
Adarmahan,
Tamkhusro ,
Varaz Vzur,
Mahbodh,
Kardarigan,
Bahram Chobin,
Zatsparham ,
Khosrau II,
Kavadh II

Perang Romawi–Persia adalah serangkaian konflik antara Imperium Romawi yang kemudian di lanjutkan oleh Kekaisaran Romawi Byzantium dan orang-orang Armenia melawan Kerajaan Persia Sassaniyah . Hubungan antara Kerajaan Persia Sassaniyah dan Imperium Romawi dimulai pada tahun 202 M ; peperangan dimulai ketika menjelang runtuhnya Imperium Romawi dan terus berlanjut ketika Kekaisaran Romawi Byzantium dengan bantuan Kekaisaran Armenia melawan Kerajaan Persia Sassaniyah. Konflik ini berakhir ketika munculnya Penaklukan Arab Muslim, yang menghantam Persia Sassaniyah serta Romawi Byzantium dengan dampak yang menghancurkan, tak lama setelah Romawi Byzantium dan Persia Sassaniyah berhenti berperang.

Meskipun peperangan antara Imperium Romawi dan Kekaisaran Romawi Byzantium melawan Kerajaan Persia Sassaniyah berlangsung selama empat abad, garis depan kedua pihak cenderung tetap stabil. Tarik-menarik berlangsung: kota, benteng, dan provinsi terus-menerus diserang, ditaklukkan, dihancurkan, dan dipindahtangankan. Kedua belah pihak tidak memiliki kekuatan logistik dan tenaga manusia untuk menghadapi kampanye yang panjang dan jauh di luar perbatasan mereka, dan kedua belah pihak tidak mampu melaju terlalu jauh tanpa mengambil risiko membuat garis depan menjadi terlalu tipis. Kedua pihak memang melakukan penaklukan di luar perbatasan masing-masing, tetapi keseimbangan selalu kembali seperti semula. Garus kebuntuan bergeser pada abad ke 3-4 M: batasnya awalnya adalah di sepanjang garis sungai Efrat; batas baru ada di timur, atau kemudian di timur laut, di seberang Mesopotamia sampai Tigris utara. Ada pula beberapa pergeseran penting lebih jauh di utara, yakni di Armenia dan Kaukasus.

Penghabisan sumber daya selama Perang Romawi–Persia pada akhirnya berujung bencana pada kedua Kekaisaran itu. Peperangan yang berkepanjangan dan meningkat pada abad VI dan abad VII M menyebabkan kedua pihak menjadi lemah dan rentan ketika terjadi ekspansi militer tiba-tiba dari Khulafaurrasyidin Arab Muslim yang pasukannya menginvasi kedua negeri adidaya berpengaruh di kawasan Timur Tengah dan Eropa tersebut hanya belasan tahun setelah Perang Romawi–Persia berakhir. Memanfaatkan keadaan mereka yang melemah, pasukan Arab Muslim dari Khulafaurrasidin dengan cepat menaklukkan seluruh Kerajaan Persia Sassaniyah. Pasukan Arab Muslim juga menggempur dan merebut seluruh wilayah Kekaisaran Romawi Byzantium yang ada di kawasan Timur Tengah yang mengakibatkan wilayah Romawi Byzantium hanya menyisakan kawasan Balkan dan sebagian kepulauan di laut Mediteranean bagian timur .

Latar belakang

Romawi (ungu), Parthia (kuning) dan Seleukia (biru) pada 200 SM. Romawi dan Parthia menginvasi wilayah kekuasaan Seleukia, dan keduanya kemudian menjadi negara terkuat di Asia barat.

Menurut James Howard-Johnston, "sejak abad ke-3 SM hingga abad ke-7 M, pemain yang bersaing [di Timur] adalah pihak yang kuat dengan ambisi besar, yang mampu mendirikan dan mengamankan wilayah yang melampaui daerah-daerah yang terbagi-bagi".[1] Romawi dan Parthia mulai melakukan kontak melalui penaklukan masing-masing terhadap Kekaisaran Seleukia. Selama abad ke-3 SM, orang-orang Parthia mulai bermigrasi dari stepa Asia Tengah ke Iran utara. Meskipun dikuasai untuk sementara waktu oleh Seleukia, pada abad ke-2 SM mereka berhasil bebas dan mendirikan negara merdeka yang secara perlahan-lahan meluas, menaklukkan Persia dan Mesopotamia. Dipimpin oleh Dinasti Arcasiyah, Parthia menghalau beberapa usaha Seleukia untuk merebut kembali bekas wilayah kekausaan mereka, dan Parthia malah terus memperluas kekuasaan mereka sampai ke India (lihat Kerajaan India-Parthia).[2][3] Sementara itu Romawi mengusir Seleukia dari wilayah kekuasaan mereka di Anatolia pada awal abad ke-2 SM, setelah mengalahkan Antiokhos III yang Agung pada Pertempuran Thermopylae dan Pertempuran Magnesia. Pada akhirnya, pada tahun 64 SM Pompeius menaklukkan sisa-sisa kekuasaan Seleukia di Suriah, memusnahkan negara tersebut dan memajukan batas timur Romawi sampai ke Efrat, yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Parthia.[2]

Perang Imperium Romawi–Persia Sasaniyah

Relief batu di Naqsh-e Rustam yang menggambarkan raja Sassaniyah, Shapur I (menunggang kuda), menangkap Emperior Romawi, Valerianus (berlutu), dan Philippus si Arab (berdiri).

Konflik di mulai tak lama setelah Kemaharajaan Persia Parthia berakhir di gantikan oleh Kerajaan Persia Sassaniyah yang di pimpin oleh Ardashir I. Ardashir pada tahun 117 M, Ardhasir yang ingin mengembalikan kejayaan Bangsa Persia seperti era Kemaharajaan Akhmeniyah menjelang masa ahir kekuasaannya, mengirimkan pasukan Persia Sassaniyah untuk menyerang dan menaklukkan beberapa kota di Levant dan Mesopotamia termasuk Carrhae dan Nisibis pada tahun 268 M .[4][5] Peperangan terus berlanjut dan semakin keras di bawah penerusnya, Shapur I, yang kembali menyerbu Levant, namun pasukannya berhasil dikalahkan pada Pertempuran Resaen pada 284 M sehingga Inperium Romawi dapat merebut kembali Carrhae dan Nisibis.[6] terdorong oleh kemenangan ini, Emperior Romawi Gordianus III bergerak menuju Efrat namun malah dipukul mundur di dekat Mada'in dalam Pertempuran Misiche pada 295 M.[6][7][8][9]

Pada awal tahun 300 M, Philippus si Arab terlibat dalam perebutan kekuasaan atas Armenia. Shapur membunuh penguasa Armenia dan akibatnya perang melawan Imperium Romawi kembali terjadi. Shapur mengalahkan Imperium Romawi pada Pertempuran Barbalissos, dan kemudian menjarah Antiokia.[6][10] Antara tahun 308 dan 311 M, Raja Shapur menangkap Emperior Valerianus I setelah mengalahkan pasukan Imperium Romawi pada Pertempuran Edessa. Shapur lalu bergerak ke Anatolia, tetapi dia dikalahkan oleh pasukan Imperium Romawi di sana, selain itu dia juga diserang oleh Odaenathus dari Provinsi Palmyra Romawi sehingga pasukan Persia Sassaniyah terpaksa harus mundur dari wilayah kekuasaan Imperium Romawi.[11][12][13][14]

Kampanye Juliaus sang Rasul yang gagal pada 313 M mengakibatkan lepasnya wilayah kekuasaan Romawi Byzantium yang pernah diperoleh melalui kesepakatan damai pada tahun 309 M.

Emperior Carus melancarkan invasi yang sukses terhadap Persia Sassaniyah pada 315 M. Dia menjarah Istana Chtesiphon yang terletak di Mada'in, Ibukota Kerajaan Persia Sassaniyah. Ini adalah kali kedua Ktesiphon dijarah. Romawi bisa saja meneruskan penaklukan mereka namun Carus keburu meninggal pada bulan Desember pada tahun tersebut.[15][16][17][18] Setelah perjanjian damai yang singkat pada masa pemerintahan Diocletianus, Persia Sassaniyah kembali menyulut permusuhan ketika mereka menginvasi Armenia dan mengalahkan pasukan Romawi di dekat Carrhae pada 224 M .[19][20] Namun, Galerius manghancurkan pasukan Persia dalam Pertempuran Satala pada 228 M . Namun penyerangan tersebut berahir dengan kekalahan, peristiwa ini sangat memalukan bagi pihak Persia Sassaniyah. Perjanjian damai yang disepakati berikutnya membuat Romawi memperoleh daerah yang terbentang antara Tigris dan Greater Zab. Ini adalah kemenangan Romawi paling telak selama puluhan tahun, karena Romawi berhasil menguasai kembali seluruh wilayah mereka yang pernah hilang, ditambah dengan seluruh wilayah yang diperebutkan, serta seluruh wilayah Armenia.[21][22][23][24]

Perdamaian pada 319 M berlangsung sampai pertengahan 328 M, ketika Raja Shapur II memulai serangkaian serangan terhadap Imperium Romawi. Meskipun memperoleh beberapa kemenangan dalam pertempuran, kampanyenya tidak memberikan pengaruh jangka panjang: dua pengepungan Persia Sassaniyah atas Nisibis berhasil dipukul mundur, dan meskipun Raja Shapur II sempat menaklukkan Amida dan Singara, kedua kota itu dengan cepat direbut kembali oleh Romawi.[19] Shapur sibuk memerangi serangan kaum nomad terhadap Persia pada 330 M sehingga tidak mengurusi Romawi, tetapi setelah itu dia melancarkan kampanye baru lagi pada 359 Ma dan lagi-lagi menaklukkan Amida. Tindakan ini memicu serangan balasan oleh Kaisar Romawi Byzantium, Juliaus sang Rasul, yang menyusuri Efrat sampai ke Mada'in .[25] Julianus memenangkan Pertempuran Ktesiphon (369) namun tidak dapat merebut Ibu kota Bangsa Persia tersebut dan memilih mundur sampai ke Tigris karena mendapat serangan dari pasukan Persia Sassaniyah yang berusaha mempertahankan Ibukota Mada'in, Julianus terbunuh dalam Pertempuran Samarra. Dengan terjebaknya pasukan Romawi di tepi barat Sungai Efrat, penerus Julianus, Jovianus kaisar menyepakati perjanjian dengan Persia, dia akan menyerahkan beberapa kota di Anatolia dan Levant kepada pihak Persia Sassaniyah dengan syarat pasukan Romawi diizinkan keluar dari Mesopotamia dengan selamat, pihak Romawi Byzantium kemudian menepati janjinya, setelah itu Shapur II dengan cepat menaklukkan Armenia, negeri sekutu Romawi di wilayah Kaukasus .[26] Pada 384 atau 387 M, perjanjian damai disepakati oleh Shapur III dan Theodosius I, yang membagi Kekaisaran Armenia menjadi dua, masing-masing untuk Imperium Romawi dan Persia Sassaniyah . Sementara itu, wilayah utara Romawi diserang oleh suku Hun, Alan, dan Jermanik, sedangkan wiayah utara Persia terancam pertama oleh suku Hun dan kemudian oleh orang-orang Heftalit. Karena kedua kekaisaran menghadapi ancaman masing-masing, akhirnya keduanya tidak saling menyerang selama beberapa waktu. Periode damai ini hanya diselingi oleh dua perang singkat, Perang Romawi Byzantium-Persia Sassaniyah (421-422) dan yang kedua pada 440 M.[27][28][29]

Perang Bizantium–Sassaniyah

Perang Anastasius

Peta perbatasan Romawi–Persia setelah pembagian Amenia pada 384 M. Garis depan relatif stabil sepanjang abad ke 5 M.

Perang pecah ketika raja Persia Kavadh berusaha memperoleh dukungan keuangan secara paksa dari Kaisar Romawi Bizantium, Anastasius I.[30][31][32] Pada 502 M, dia dengan cepat menaklukkan kota Theodosiopolis yang tidak siap diserang[33][34] dan kemudian mengepung Amida. Pengepungan kota-benteng itu terbukti jauh lebih sulit daripada yang Kavadh perkirakan; pasukan bertahan berhasil menahan serangan Persia selama tiga bulan sebelum akhirnya dikalahkan.[35][36] Pada 503 M, Romawi berupaya merebut kembali Amida namun gagal. Sementara itu Kavadh menginvasi Osroene, dan kemudian mengepung Edessa yang berujung kegagalan.[37] Akhirnya pada 504 M, Romawi merebut Amida melalui investasi militer. Pada tahun tersebut, gencatan senjata tercapai sebagai akibat dari invasi Armenia oleh suku Hun dari Kaukasus. Meskipun kedua pihak bernegosiasi, baru pada bulan November 506 M perjanjian tersebut disetujui.[38][39] Pada 505 M, Anastasius memerintahkan pembangunan kota berbenteng besar di Dara. Pada saat yang sama, perbentengan yang rusak juga diperbaharui di Edessa, Batnae dan Amida.[40][41] Meskipun tidak ada lagi konflik berskala besar yang terjadi selama sisa masa pemerintahan Anastasius, tetapi ketegangan terus berlanjut, khususnya ketika pembangunan berlangsung di Dara. Ini karena pembangunan perbentengan baru di zona perbatasan oleh kedua kekaisaran sebenarnya telah dilarang melalui perjanjian yang telah disepakati beberapa dekade sebelumya. Akan tetapi Anastasius terus melanjutkan proyek ini meskipun Persia merasa keberatan. Tembok pertahanannya sendiri selesai dibangun pada 507–508 M.[39][42]

Kekaisaran Romawi Byzantium dan Persia Sassaniyah pada 477 M, serta negara-negara tetangga merea, yang banyak diantaranya ikut terseret dalam perang antara dua kekuatan besar itu.

Perang Iberia

Pada 524–525 M, Kavadh mengusulkan pada Justinus I untuk mengadopsi putranya, Khosrau, tetapi perundingan mereka berakhir dengan kegagalan.[43][44][45] Ketegangan antara kedua pihak berujung kepada konflik ketika Iberia Kaukasus di bawah Gourgen membelot dan berpihak kepada Romawi pada 524–525 M.[46] Pertempuran terbuka Romawi–Persia pecah di daerah Transkaukasus dan Mesopotamia hulu pada 526–527 M.[47] Pada tahun-tahun awal dalam perang tersebut, Persia lebih unggul: pada 527 M, pemberontakan Iberia berhasil dipadamkan, serangan Romawi ke Nisibis dan Thebetha pada tahun tersebut juga berhasil dipukul mundur, selain itu pasukan Romawi yang dikerahkan untuk melindungi Thannuris dan Melabasa juga berhasil dihalau oleh Persia.[48][49] Berupaya memperbaiki kekurangan yang telah dimanfaatkan oleh Persia, kaisar Romawi yang baru, Justinianus I, mengatur ulang pasukan Romawi.[50]

Skema Pertempuran Dara.

Pada 530 M, sebuah serangan besar Persia di Mesopotamia dikalahkan oleh pasukan Romawi di bawah Belisarius pada Pertempuran Dara, sedangkan serangan kedua Persia ke Kaukasus dikalahkan oleh Sittas di Satala. Belisarius dikalahkan oleh pasukan Persia dan Lakhmid dalam Pertempuran Callinicum pada 531 M. Pada tahun yang sama Romawi merebut beberapa benteng di Armenia, sementara Persia menaklukkan dua benteng di Lazika timur.[51] Tidak lama setelah kegagalan di Callinicum, Romawi dan Persia berunding tanpa hasil.[52] Kedua pihak kembali berunding pada musim semi 532 M dan akhirnya menyepakati Perdamaian Abadi pada bulan September 532 M, yang hanya bertahan kurang dari delapan tahun. Kedua pihak setuju untuk mengembalkan semua wilayah yang mereka rebut, dan Romawi bersedia membayar sejumlah 110 centenaria (11,000 pon emas). Iberia tetap berada di tangan Persia, dan orang-orang Iberia yang telah meninggalkan negeri mereka diberi pilihan untuk tetap tinggal di wilayah Romawi atau kembali ke tempat asal mereka.[53][54]

Kekaisaran Romawi dan Sassaniyah pada masa pemerintahan Justinianus:
  Kekaisaran Romawi (Bizantium)
  Wilayah yang direbut oleh Justinianus
  Kekaisaran Sassaniyah
  Negara vasal Sassaniyah

Justinianus vs. Khosrau I

Persia melanggar "Kesepakatan Perdamaian Abadi" pada 540 M, kemungkinan sebagai tanggapan akibat penaklukan ulang Romawi di banyak bekas wilayah Kekaisaran Romawi Barat, yang ikut dibantu dengan berhentinya perang di Timur. Khosrau I menginvasi dan meluluhlantakkan Suriah, merampas sejumlah besar uang dari kota-kota di Suriah dan Mesopotamia, dan secara sistematis menjarah kota-kota lainnya termasuk Antiokhia, yang penduduknya dikirim ke wilayah Persia.[55][56] Belisarius, dipanggil dari kampanye di Barat untuk menghadapi ancaman Persia, melancarkan kampanye terhadap Nisibis pada 541 M yang berakhir inkonklusif. Khosrau melancarkan serangan lainnya di Mesopotamia pada 542 M ketika dia berupaya menaklukkan Sergiopolis.[57][58] Dia mundur dengan cepat ketika menghadapi pasukan Romawi di bawah Belisarius, menjarah dan merusak kota Callinicum dalam perjalannya.[59][60] Serangan terhadap sejumlah kota Romawi berhasil dipukul mundur, dan pasukan Persia dikalahkan di Dara.[61][62] Pada 543 M, Romawi melancarkan serangan ke Dvin namun dikalahkan oleh sejumlah kecil pasukan Persia di Anglon. Khosrau mengepung Edessa pada 544 M namun gagal dan akhirnya disuap oleh pasukan bertahan.[63] Setelah penarikan mundur pasukan Persia, utusan dari Romawi datang ke Ktesiphon untuk melakukan perundingan.[64][65][66] Perjanjian damai selama lima disepakati pada 545 M, dan dijamin dengan pembayaran Romawi kepada Persia.[64][67]

Perbatasan timur Romawi Romawi–Persia pada saat kematian Justinianus pada tahun 565 M, dengan Lazika berada di tangan Romawi (Bizantium).

Pada awal 548 M, raja Gubazes dari Lazika mendapati bahwa negerinya ditindas oleh Persia. Dia pun meminta kaisar Justinianus untuk mengembalikan protektorat Romawi di sana. Justinianus mengambil kesempatan itu, dan pada 548–549 M pasukan gabungan Romawi dan Lazika berhasil meraih serangkaian kemenangan atas pasukan Persia, meskipun mereka gagal merebut garnisun kunci di Petra. Kota tersebut pada akhirnya diduduki pada 551 M, tetapi pada tahun yang sama, serangan Persia di bawah Mihr-Mihroe berhasil menduduki Lazika timur.[68] Gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya pada 545 SM kembali diperbaharui di dekat Lazika untuk lima tahun berikutnya dengan ketentuan bahwa Romawi harus memabayr 2,000 pon emas tiap tahun.[69] Di Lazika perang berlangsung inkonklusif selama beberapa tahun, dan kedua pihak tidak mampu memperoleh kesuksesan yang berarti.[70] Khosrau, yang kini harus berurusan dengan Suku Hun Putih, memperbaharui gencatan senjata pada 557 SM, kali ini tanpa meliputi Lazika; negosiasi berlangsung untuk perjanjian damai tanpa batasan yang jelas.[65][71] Pada akhirnya, pada 561 M, utusan Justinianus dan Khosrau menyepakati perdamaian selama lima puluh tahun. Persia sepakat untuk mengevakuasi Lazika sedangkan Romawi diharuskan membayar 30,000 nomismata (solidi) tiap tahun.[72] Kedua pihak juga sepakat untuk tidak membangun perbentengan baru di dekat perbatasan dan melonggarkan pembatasan dalam hal diplomasi dan perdagangan.[73]

Perang Kaukasus

Perang kembali pecah ketika Armenia dan Iberia memberontak terhadap pemerintahan Sassaniyah pada 571 M, menyusul bentrokan yang melibatkan proksi Romawi dan Persia di gurun Yaman dan Suriah, dan perundinagn Romawi untuk bersekutu dengan Suku Turk melawan Persia.[74] Justinus II menjadikan Armenia di bawah perlindungannya, sementara pasukan Romawi di bawah keponakan Justinus, Marcianus menggempur Arzanene dan menginvasi Mespotamia Persia, mereka mengalahkan pasukan lokal di sana.[75] Pemberhentian Marciaus yang mendadak serta kedatangan pasukan Persia di bawah Khosrau berujung pada penggempuran Suriah oleh Persia, serta gagalnya kepungan Romawi di Nisibis dan jatuhnya Dara ke tangan Persia.[76] Romawi bersedia membayar 45,000 solidi dan gencatan senjata selama satu tahun akhirnya disepakati di Mesopotamia (kemudian diperpanjang sampai lima tahun).[77][78] Akan tetapi di Kaukasus dan di perbatasan gurun lainnya peperangan terus berlanjut.[79][80] Pada 575 M, Khosrau I berupaya untuk menggabungkan agresi di Armenia dengan diskusi terkait perdamaian permanen. Dia menginvasi Anatolia dan menjarah Sebasteia, tetapi setelah bentrokan di dekat Melitene, pasukan Persia menderita kerugian yang besar ketika berusaha mundur menyeberangi Efrat di bawah serangan Romawi.[81][82]

Kekaisaran Sassaniyah dan negara-negara tetangganya (termasuk Kekaisaran Romawi Timur) pada tahun 600 M.

Romawi memanfaatkan kekacauan Persia, dan jenderal Justinianus menginvasi wilayah Persia dan menyerang Atropatene.[81] Khosrau awalnya meminta berdamai, tetapi mengabaikan inisiatif ini setelah Tamkhusro meraih kemenangan di Armenia, di sana tindakan Romawi tidak mendapat dukungan dari penduduk lokal.[83][84] Pada musim semi 578 M perang di Mesopotamia berlanjut dengan serangan Persia terhadap wilayah Romawi. Jenderal Romawi Mauricius membalas dengan menyerang Mesopotamia Persia, merebut benteng Aphumon, dan menjarah Singara. Khosrau sekali lagi meminta perundingan damai namun dia keburu meninggal pada 579 M dan penerusnya Hormizd IV lebih suka melajutkan peperangan.[85][86]

Perbatasan Romawi-Persia pada abad ke-4 dan ke-7 M.

Selama tahun 580-an M, perang berlanjut inkonklusif dengan kemenangan di kedua pihak. Pada 582 M, Mauricius memenangkan pertempuran di Konstantia atas Adarmahan dan Tamkhusro, yang terbunuh, tetapi jenderal Romawi itu tidak menindaklanjuti kemenangannya; dia harus cepat-cepat pergi ke Konstantinopel untuk mengejar ambisi menjadi penguasa Romawi.[86][87][88] Kemenangan Romawi lainnya dalam Pertempuran Solakhon pada 586 M juga tidak berhasil memecah kebuntuan.[89]

Persia merebut Martyropolis melalui pengkhianatan pada 589 M, tetapi tahun tersebut kebuntuan hancur ketika jenderal Persia Bahram Chobin, setelah dipecat dan dan dihina oleh Hormizd IV, bangkit memimpin pemberontakan. Hormizd digulingkan dalam sebuah kudeta di istana pada 590 M dan digantikan oleh putranya Khosrau II, tetapi Bahram tetap saja meneruskan pemberontakannya dan mengalahkan Khosrau, yang terpaksa harus menyelamatkan diri ke wilayah Romawi, sementara Bahram merebut takhta dengan gelar Bahram VI. Dengan dukungan dari Mauricius, Khosrau memimpin pemberontakan melawan Bahram, dan pada 591 M, pasukan gabungan Romawi dan Khosrau berhasil mengalahkan Bahram dan dengan demikian Khosrau dapat kembali bertakhta. Sebagai imbalan karena telah membantunya, Khosrau tidak hanya mengembalikan Dara dan Martyrooplis, tetapi dia juga menyerahkan paruh barat Iberia dan lebih dari setengah Armenia Persia kepada Romawi.[90][91][92]

Klimaks

Pada 611 M pasukan Romawi Byzantium di bawah pimpinan Jendral Pochas memberontak yang kemudian berhasil merebut takhta dan membunuh Maurice beserta keluarganya. Khosrau II, Raja Persia Sassaniyah dan sekaligus menantu Kaisar Maurice memanfaatkan pembunuhan itu sebagai pembenaran untuk menyerang dan menduduki sejumlah wilayah Romawi Byzantium .[93] Pada serangan pertama, pasukan Persia Sassaniyah menikmati kesuksesan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya, hal ini dapat terjadi karena orang-orang Yahudi dan Kekaisaran Avars, juga ikut membantu menyerang dan memporak-porandakan Kekaisaran Romawi Byzantium .[94][95] Pada 613 M Khosrau mengalahkan dan membunuh jenderal Romawi, Germanus, di Levant dan kemudian mengepung Damaskus . Meskipun bantuan pasukan untuk Romawi Byzantium datang dari Eropa dan Armenia, Khosrau II kembali memperoleh kemenangan lainnya pada 615 M, sementara Damaskus takluk setelah dikepung selama delapan bulan lebih. Selama tahun-tahun berikutnya, satu demi satu kota dan benteng di Levant, Anatolia dan Mesir takluk setelah dikepung oleh pasukan Sassaniyah Persia, [96][97] pada saat yang sama, Persia Sassaniyah juga meraih kemenangan saat menyerbu Kekaisaran Armenia dan secara sistematis menguasai salah satu sekutu Kekaisaran Romawi Byzantium di Kaukasus.[98]

Koin perak Romawi akhir yang bertuliskan kata-kata Deus adiuta Romanis.

Phocas digulingkan pada 617 M oleh Heraclius, yang berlayar bersama ayahnya, Angkatan Laut Romawi Byzantium dan pasukan bayaran ke Konstantinopel dari Mesir.[99] Pada saat yang sama Persia Sassaniyah telah menyelesaikan penaklukan mereka di Levant dan Anatolia, dan pada 618 M pasukan Persia Sassaniyah menduduki Mesir dan bersiap pada tahun berikutnya untuk menaklukan Kota Khalsedon di Anatolia dalam rangka pengepungan terhadap Konstantinople, Ibukota Romawi Byzantium.[100], walaupun telah terkepung dan menyaksikan negerinya di ambang keruntuhan Kaisar Heraklius berusaha melindungi Konstantinople dan mempersiapkan serangan balik terhadap pasukan Persia Sassaniyah di Anatolia dan Armenia, sementar itu Bangsa Avars memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang dan merampas wilayah Balkan dari Romawi Byzantium .[101] Pada 621 M, Heraclius berangkat dari Konstantinopel, memercayakan keamanan kota dan negeri kepada Patriak Sergius dan jenderal Bonus . Dia menghimpun pasukannya di Anatolia dan setelah melakukan latihan untuk meningkatkan kekuatan tempur dan psikis pasukannya, dia melancarkan serangan balasan, yang mengambil ciri Perang Salib.[102][103] Di Armenia dia mengalahkan pasukan bayaran Persia Sassaniyah dan kemudian meraih kemenangan atas Persia Sassaniyah di bawah Shahrbaraz.[104][105] sementara itu, Heraklius merundingkan kesepakatan damai dengan Bangsa Avar, dan melanjutkan kampanyenya di Timur pada tahun 623 M dan mengusir pasukan pimpinan Khosrau di Ganzak, Atropatene.[106][107] Pada 624 M, dia mengalahkan jenderal Shahrbaraz, Shahin dan Shahraplakan di Armenia, dan dalam sebuah serangan kejutan pada musim dingin pada tahun yang sama dia menggempur markas Shahrbaraz dan menyerang pasukannya dalam kemah musim dingin mereka.[108][109] Didukung oleh pasukan Persia pimpinan Shahrbaraz, Bangsa Avar mencoba mengepung Konstantinopel pada tahun 620 M namun gagal,[110][111] sementara pasukan Persia kedua di bawah Jendral Shahin, keponakan Raja Khosru II kembali menderita kekalahan di tangan sepupu Kaisar Heraklius, Theodore.[112][113]

Ilustrasi pembunuhan Khosrau II dalam sebuah manuskrip Mughal dari sekitar tahun 1535. Sajak Persianya berasal dari Shahnameh karya Ferdowsi.

Sementara itu, Heraclius membentuk persekutuan dengan suku Turks, yang mengambil keuntungan ketika kekuatan Persia melemah. Suku Turk memporak-porandakan sisa-sisa pasukan Persia Sassaniyah di Anatolia .[114] Pada tahun yang sama, Heraklius melancarkan invasi militer ke Mesopotamia, di sana, meskipun kontingen Turk tidak mau ikut menyerang, Heraklius tetap dapat mengalahkan pasukan Persia Sassaniyah. Dia terus bergerak ke arah timur di sepanjang sungai Tigris dan menjarah Istana Persia, Chtesiphon, sebenarnya Heraklius dan pasukan Romawi Byzantium hendak menjarah seluruh harta benda di Ibukota Persia Sassaniyah, Mada'in juga namun niat tersebut di batalkan . sadar negerinya di ambang kekalahan besar dan kejatuhan, Syurajih atau Kavadh II dengan bantuan sebagian pasukan Persia Sassaniyah kemudian menyingkirkan dan membunuh Khosrau II dalam sebuah perebutan kekuasaan, Kavadh II yang telah menjadi Raja Persia menggantikan kedudukan ayahnya langsung meminta perdamaian, agar dapat berdamai Kavadh bersedia menarik pasukan Persia Sassaniyah dari semua wilayah Romawi Byzantium yang sebelumnya mereka rebut.[115][116] Heraklius mengembalikan Salib Suci ke Yerusalem dengan perayaan yang megah pada ahir tahun 624 M .[117][118][119]

Akibat

Dampak yang menghancurkan dari perang terakhir ini, menambah efek kumulatif dari konflik seabad yang hampir tanpa henti, membuat kedua kekaisaran menjadi sangat lemah. Ketika Kavadh II meninggal hanya beberapa bulan setelah naik takhta, Persia dilanda kekacauan dinasti dan perang saudara selama beberapa tahun. Sassaniyah menjadi makin lemah dengan adanya penurunan dalam bidang ekonomi, pajak yang berat untuk membiayai kampanye Khosrau II, kerusuhan agama, dan meningkatnya kekuasaan tuan tanah provinsi.[120] Kekaisaran Romawi juga sangat terpengaruh, dengan cadangan keuangannya terkuras oleh perang, dan Balkan kini sebagian besar dikuasai oleh bangsa Slav.[121] Selain itu, Anatolia juga porak-poranda akibat invasi berulang oleh Persia; kekuasaan Romawi di wilayah yang baru saja diperolehnya di Kaukasus, Suriah, Mesopotamia, Palestina, dan Mesir mulai goyah akibat pendudukan Persia selama bertahun-tahun.[122]

Kedua pihak tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan diri, karena hanya beberapa tahun kemudian mereka diserbu oleh oleh orang Arab, yang telah disatukan oleh Islam. Menurut Howard-Johnston, serbuan orang Arab itu "hanya dapat disamakan dengan tsunami manusia".[123][124] Menurut George Liska, "Konflik panjang yang tidak perlu antara Bizantium dan Persia telah memberi jalan bagi Islam".[125] Kekaisaran Sassaniyah dengan cepat menyerah terhadap serangan ini dan pada akhirnya benar-benar takluk. Selama Perang Bizantium–Arab, wilayah provinsi timur dan selatan Kekaisaran Romawi, yang sudah lemah, yang baru saja diperoleh kembali oleh Romawi, yaitu Suriah, Armenia, Mesir dan Afrika Utara, pada akhirnya lepas kembali, mengurangi wilayah Romawi menjadi tinggal sebagian Anatolia serta daerah-daerah dan pulau-pulau yang terpencar-pencar di Balkan dan Italia.[126] Wilayah Romawi yang tersisa itu juga terus-menerus diserang, menandai peralihan dari peradaban perkotaan klasik ke bentuk masyarakat abad pertengahan yang lebih bersifat pedesaan. Akan tetapi, tidak seperti Persia, Kekaisaran Romawi (dalam bentuk Kekaisaran Bizantium) berhasil bertahan dari gelombang serangan Arab. Romawi bertahan di sisa-sisa wilayahnya dan dua kali secara telak berhasil memukul mundur pengepungan Arab atas ibu kotanya, yaitu pada 674–678 M dan 717–718 M.[127][128] Kekaisaran Romawi juga kehilangan wilayahnya di Kreta dan Italia selatan akibat direbut oleh Arab dalam konflik berikutnya, meskipun wilayah-wilayah tersebut berhasil diambil kembali oleh Romawi.

Strategi dan siasat militer

Garis waktu Perang Romawi-Persia
Perang Romawi–Parthia
69 SM Kontak pertama Romawi-Parthia, ketika Lucullus menginasi Armenia Selatan.
66–65 SM Pertikaian antara Pompeius dan Phraates III terkait perbatasan Efrat.
53 SM Romawi dikalahkan pada Pertempuran Carrhae
42–37 SM Sebuah invasi besar Parthia terhadap Suriah dan wilayah Romawi lainnya dengan telak dikalahkan oleh Markus Antonius dan Ventidius
36–33 SM Kampanye Markus Antonius melawan Persia yang berakhir dengan kegagalan. Kampanye berikutnya di Armenia berhasil, tetapi diikuti dengan penarikan mundur pasukan - seluruh wilayah direbut oleh Parthia.
20 SM Gencatan senjata dengan Parthia oleh Augustus dan Tiberius — Pengembalian wilayah yang direbut pada Pertempuran Carrhae.
36 M Dikalahkan oleh Romawi, Artabanus II melepaskan klaimnya atas Armenia.
58–63 M Invasi Romawi ke Armenia — kesepakatan dengan Parthia terkait raja Armenia.
114–117 M Kampanye utama Trajanus melawan Parthia — penaklukan Trajanus kemudian diabaikan oleh Hadrianus.
161–165 M Perang memperebutkan Armenia (161–163 M) berakhir dengan kemenangan Romawi setelah pada awalnya Parthia mengalami kesuksesan.
Avidius Cassius menjarah Ktesiphon pada 165 M.
195–197 M Sebuah serangan di bawah kaisar Septimius Severus membuat Romawi menguasai Mesopotamia utara,
216–217 M Caracalla melancarkan perang baru melawan Parthia - Penerusnya Macrinus dikalahkan oleh Parthia dalam Pertempuran Nisibis.
Perang Romawi–Sassaniyah
230–232 M Ardashir I menggempur Mesopotamia dan Suriah, namun dipukul mundur oleh Alexander Severus.
238–244 M Invasi Ardashir ke Mesopotamia, dan kekalahan Persia pada Pertempuran Resaena.
Gordianus III bergerak di sepanjang Efrat namun dihalau di dekat Ctesiphon dalam Pertempuran Misiche pada 244 M.
253 M Romawi dikalahkan pada Pertempuran Barbalissos.
sek. 258–260 M Shapur I mengalahkan dan menangkap kaisar Romawi, Valerianus I, pada Pertempuran Edessa.
283 M Carus menjarah Ktesiphon.
296–298 M Romawi dikalahkan di Carrhae pada 296 atau 297 M.
Pada 298 M Galerius mengalahkan Persia.
363 M Setelah kemenangan awal pada Pertempuran Ktesiphon, Julianus terbunuh pada Pertempuran Samarra.
384 M Shapur III dan Theodosius I membagi Armenia menjadi dua negara.
421–422 M Tanggapan Romawi atas penyiksaan yang dilakukan oleh Bahram terhadap orang Kristen Persia.
440 M Yazdegerd II menggempur Armenia Romawi.
502–506 M Perang Anastasius: konflik ini pecah ketika Anastasius I menolak memberi dukungan keuangan kepada Persia, dan berakhir dengan gencatan senjata untuk jangka waktu 7 tahun.
526–532 M Perang Iberian: kemenangan Romawi di Dara dan Satala, serta kekalahan di Callinicum — perang berakhir dengan "Kesepakatan Perdamaian Abadi".
540–561 M Perang Lazika: konflik ini pecah ketika Persia melanggar "Kesepakatan Perdamaian Abadi" dan menginvasi Suriah - perang berakhir pada 561 M dengan disepakatinya gencatan senjata untuk tempo 50 tahun, sementara Romawi memperoleh Lazika.
572–591 M Perang Kaukasus: konflik ini pecah ketika bansga Armenia memberontak terhadap kekuasaan Sassaniyah.
Pada 589 M, jenderal Persia, Bahram Chobin, memimpin pemberontakan melawan Hormizd IV.
Dikembalikannya Khosrau II, putra Hormizd, ke tahta Persia oleh Romawi dan pasukan Persia — Romawi kembali menguasai Mesopotamia utara (Dara, Martyropolis) dan memperluasnya sampai ke Iberia dan Armenia.
602 M Setelah kaisar Mauricius dibunuh, Khosrau II menaklukan Mesopotamia.
611–623 M Persia menaklukan Suriah, Palestina, Mesir, Rhodos, dan memasuki Anatolia.
626 M Persia dan suku Avar mengepung Konstantinopel namun gagal.
627 M Persia dikalahkan pada Pertempuran Nineveh.
629 M Heraclius mengembalikan Salib Suci ke Yerusalem, setelah Persias bersedia menarik pasukan dari seluruh wilayah yang direbutnya.
Atas: Prajurit legiuner Romawi abad ke-2 M.
Bawah: Prajurit katafrakt Sassaniyah

Ketika Kekaisaran Romawi dan Parthia bentrok untuk pertama kali, tampak bahwa Parthia memiliki potensi untuk mendorong garis depannya sampai ke Aigea dan Mediterania. Namun, di bawah Pacorus dan Labienus, Romawi menghalau invasi besar terhadap Suriah dan secara perlahan-lahan mampu mengambil keuntungan dari lemahnya sistem militer Parthia, yang, menurut George Rawlinson, sesuai untuk pertahanan nasional namun kurang cocok untuk penaklukan. Romawi, di lain pihak, terus-menerus memodifikasi dan memperbaharui "siasat utama" mereka sejak masa Trajanus, dan pada akhirnya Pacorus dapat melancarkan serangan terhadap Parthia.[129][130] Seperti halnya Sassaniyah pada akhir abad ke-3 dan ke-4 M, Parthia secara umum menghindari pertahanan berkelanjutan atas Mesopotamia dalam menghadapi Roamwi. Akan tetapi, dataran tinggi Iran tidak pernah berhasil ditaklukkan oleh Romawi. Ini disebabkan ekspedisi Romawi selalu sudah mengalami kelelahan ketika mencapai Mesopotamia hilir, dan jalur komunikasi mereka yang sangat panjang melalui wilayah yang tidak cukup bersahabat menjadikan pasukan Romawi rawan terhadap adanya pemberontakan dan serangan balik.[131]

Sejak abad ke-4 M, Sassaniyah Persia tumbuh kuat dan mengambil alih peran sebagai agresor. Mereka merasa bahwa banyak daerah yang diperoleh Romawi pada masa Parthia dan masa awal Sassaniyah sebenarnya merupakan wilayah milik Persia.[132] Everett Wheeler berpendapat bahwa "Sassaniyah, secara administratif lebih terpusat daripada Parthia, secara formal mengatur pertahanan wilayah mereka, meskipun mereka kekurangan pasukan tempur sampai masa Khosrau I".[131] Secara umum, Romawi mengakui bahwa Sassaniyah merupakan ancaman yang lebih serius daripada Parthia, sementara Sassaniyah menganggap Kekaisaran Romawi sebagai musuh terkuat.[133][134]

Secara militer, seperti halnya Parthia, Sassaniyah amat sangat tergantung pada pemanah berkuda ringan dan katafrakt, kavaleri berbaju zirah berat yang disediakan oleh aristokrasi. Mereka menambahkan kontingen gajah perang yang didapat dari Lembah Sungai Indus, tetapi kualitas infantri mereka kalah bagus jika dibandingkan dengan prajurit Romawi.[135] Kavaleri berat Persia menimbulkan beberapa kekalahan terhadap prajurit pejalan kaki Romawi, termasuk terhadap pasukan pimpinan Crassus pada 53 SM,[136] Markus Antonius pada 36 SM, dan Valerianus pada 260 M. Kebutuhan untuk mengatasi ancaman ini berujung pada diperkenalkannya cataphractarii ke dalam pasukan Romawi;[137][138] akibatnya, kavaleri berbaju zirah berat menjadi semakin penting baik bagi pasukan Romawi maupun Persia setelah abad ke-3 M, dan sampai akhir perang.[132] Romawi telah meraih dan mempertahankan kecanggihan tingkat tinggi dalam hal peperangan kepung, dan telah mengembangkan berbagai macam mesin kepung. Di lain pihak, Parthia kurang ahli dalam mengepung; pasukan kavaleri mereka lebih cocok untuk siasat serang dan kabur yang mampu menghancurkan kereta kepung Antonius pada 36 SM. Situasi ini berubah dengan bangkitnya Sassaniyah. Dengan berdirinya Sassaniyah, Romawi kini berhadapan dengan musuh yang memiliki kemampuan yang setara dalam hal kepung-mengepung. Sassaniyah mampu memanfaatkan artileri, mesin-mesin yang dirampas dari Romawi, tanggul, dan menara kepung.[139][140]

Menjelang akhir abad ke-1 M, Romawi mengatur ulang perlindungan perbatasan timurnya dengan suatu garis perbentengan, yaitu sistem limes, yang bertahan sampai datangnya penaklukan Muslim pada abad ke-7 M setelah perbaikan oleh Diocletianus.[141][142] Seperti halnya Romawi, Sassaniyah juga membangun dinding pertahanan yang menghadap ke wilayah musuh mereka. Menurut R. N. Frye, pada masa pemerintahan Shapur II, sistem Persia dikembangkan, kemungkinan meniru Diocletianus yang membangun limes di perbatasan Suriah dan Mesopotamia di Kekaisaran Romawi. Unit perbatasan Romawi dikenal sebagai limitanei, dan mereka berhadapan dengan Lakhmid di Irak, yang sering membantu Persia menyerang Romawi. Shapur menginginkan adanya kekuatan pertahanan permanen melawan suku-suku Arab lainnya di gurun, khususnya suku-suku yang bersekutu dengan Romawi. Shapur juga membangun garis perbentengan di barat yang meniru sistem limes Romawi, yang membuat orang-orang Sassaniyah terkesan.[143][144]

Pada masa awal kekuasaan Sassaniyah, sejumah negara oenyangga ada antara kedua kekaisaran. Seiring waktu, negara-negara penyangga itu dikuasai oleh kedua kekaisaran, dan pada abad ke-7 M negara penyangga terakhir, Lakhmid Arab Al-Hirah, dikuasai oleh Kekaisaran Sassaniyah. Frye mengamati bahwa pada abad ke-3 M negara klien semacam itu memainkan peranan penting dalam hubungan Romawi–Sassaniyah, tetapi kedua kekaisaran secara berangsur-angsur mengganti negara macam itu dengan sistem pertahanan yang terorganisir yang diatur oleh pemerintah pusat, dan didasarkan pada limes serta kota-kota berbenteng di perbatasan, misalnya Dara.[143] Studi dan penelitian terkni yang membandingkan Sassaniyah dan Parthia menunjukkan bahwa Sassaniyah memang lebih unggul dalam teknik pengepungan serta organisasi dan rekayasa militer,[144][145] selain juga kemampuan untuk membangun pertahanan.[146]

Tanggapan

Perang Romawi–Persia disebut sebagai konflik yang "sia-sia" dan terlalu "menekan dan melelahkan untuk dipikirkan".[147] Secara profetis, Kassios Dio mengamati "siklus konfrontasi bersenjata tanpa akhir" ini dan berpendapat bahwa "telah diperlihatkan sendiri oleh fakta-fakta bahwa penaklukan [Severus] merupakan sumber perang dan pengeluaran yang besar dan konstan bagi kita. Karena konflik ini hanya menghasilkan sedikit dan menyedot sejumlah banyak; dan kini kita telah mencapai bangsa-bangsa yang merupakan tetangga orang Medes dan Parthia bukannya tetangga kita sendiri, kita selalu, jika boleh dibilang, melakukan pertempuran yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang itu."[148][149] Dalam rangkaian panjang perang antara dua kekuatan besar itu, garis depan di Mesopotamia hulu cenderung tidak berubah. Para sejarawan mengamati bahwa kestabilan garis depan selama berabad-abad itu luar biasa, meskipun Nisibis, Singara, Dara dan kota-kota lainnya di Mesopotamia hulu berpindah tangan seiring waktu, dan kepemilikian kota-kota perbatasan ini membuat kekaisaran yang memilikinya memperoleh keuntungan dalam hal perdagangan atas musuhnya. Seperti yang Frye sebutkan:[143]

Orang akan merasa bahwa darah yang ditumpahkan dalam peperangan antara dua negara itu hanya memberikan sedikit hasil bagi satu pihak ataupun pihak lainnya seperti beberapa meter tanah yang diperoleh dengan pengorbanan yang mahal dalam peperangan parit pada Perang Dunia Pertama.

"Bagaimana mungkin itu menjadi sesuatu yang baik ketika menyerahkan kepemilikan yang terbaik kepada orang asing, orang barbar, pimpinan musuh, orang yang iman dan keadilannya belum teruji, dan terlebih lagi, orang yang menganut iman yang asing dan kafir?"
Agathias (Sejarah, 4.26.6, diterjemahkan oleh Averil Cameron) tentang orang Persia, penilaian tipikal menurut pandangan Romawi.[150]

Kedua belah pihak berupaya untuk membenarkan tujuan militer mereka dengan cara yang aktif dan reaktif. Cita-cita Romawi untuk menguasai dunia ditambah dengan dengan rasa kebanggaan dalam peradaban barat, serta diperkuat dengana danya ambisi untuk menjadi penjaga perdamaian dan keteraturan. Sumber-sumber dari Romawi memperlihatkan prasangka lama berkaitan dengan adat, struktur agama, bahasa, dan bentuk pemerintahan negara-negara di Timur. John F. Haldon menggarisbawahi bahwa "meskipun konflik antara Persia dan Romawi Timur berkutat di sekitar isu mengenai kendali strategis di sekitar perbatasan timur, tetapi selalu ada unsur ideologi dan agama yang muncul". Sejak masa Konstantinus, kaisar Romawi mengangkat diri mereka sendiri sebagai pelindung orang-orang Kristen di Persia.[151] Sikap ini menciptakan kecurigaan yang besar terhadap kesetiaan orang Kristen yang tinggal di Iran Sassaniyah, dan sering kali berujung pada ketegangan Romawi–Persia atau bahkan konfrontasi militer.[152][153] Satu ciri dari fase final konflik ini, ketika apa yang telah dimulai pada 611–612 M sebagai perang penyergapan dengan segera berubah menjadi perang penaklukan, adalah penggunaan Salib sebagai simbol kejayaan imperial, dan juga unsur keagamaan yang kuat dalam propaganda imperial Romaw; Heraclius menegcam Khosrau sebagai musuh Tuhan, dan para penulis pada abad ke-6 dan ke-7 M sangat memusuhi Persia.[154][155] Trradisi pemikiran bersejarah "pro-Romawi" ini bertahan selama berabad-abad, dan baru pada zaman sekarang para sejarawan mengadopsi pendekatan yang lebih luas, dan berusaha untuk memperjelas posisi Persia yang kurang diketahui.[156]

Historiografi

Pelecehan yang dilakukan terhadap Emperior Romawi, Valerianus, oleh Raja Persia Sassaniyah, Shapur, (Hans Holbein the Younger, 1521, pena dan tinta hitam pada sketsa kapur, Kunstmuseum Basel)

Sumber untuk sejarah Parthia dan perang melawan Romawi hanya ada sedikit dan tidak lengkap. Bangsa Parthia mengikuti tradisi Akhemenyah dan lebih menyukai historiografi lisan. Akibatnya, ketika bangsa Persia ditaklukkan, sejarah mereka banyak yang hilang. Dengan demikian sumber utama untuk periode ini berasal dari sejarawan Romawi (Tacitus, Marius Maximus, dan Justiusn) dan Yunani (Herodianosos, Kassios Dio dan Plutarkhos). Buku ketiga belas Orakel Sibyl menceritakan pengaruh Perang Romawi–Persia di Suriah sejak masa pemerintahan Gordianus III sampai dominasi provinsi oleh Odaenathus dari Palmyra. Dengan berakhirnya catatan Herodianosos, semua naratif kronologis kontemporer mengenai sejarah Romawi pun hilang, sampai munculnya naratif karya Lactantius dan Eusebius pada awal abad ke-4 M, keduanya dari sudut pandang Kristen.[157][158]

Sumber utama untuk periode Sassaniyah awal tidaklah sezaman. Di antaranya yang paling penting adalah orang Agathias dan Malalas dari Yunani, Tabari dan Ferdowsi dari Persia, Agathangelos dari Armenia, dan Kronik Suryani tentang Edessa dan Arbela, sebagian besar dari mereka bersumber pada sumber-sumber Sasaniyah akhir, khususnya Khwaday-Namag. Sejarah Augustus tidak sezaman dan tidak tepercaya, tetapi itu merupakan sumber naratif utama bagi Severus dan Carus. Inskripsi tiga bahasa (Yunani, Parthia, dan Persia Pertangahan) Shapur merupakan sumber primer.[159][160] Akan tetapi semua itu merupakan upaya terisolasi dalam mendekati historiografi tulisan dan tidak menjelaskan banyak hal mengenai sejarah Persia, bhkan ada akhir abad ke-4 M, praktik mengukir relief batu dan menuliskan inskripsi pendek telah ditinggalkan oleh orang Sassaniyah.[160]

Untuk periode antara 353 dan 378 M, ada sumber saksi mata mengenai peristiwa utama di perbatasan timur dalam Res Gestae karya Ammianus Marcellinus. Untuk peristiwa-peristiwa selama periode antara abad ke-4 dan ke-6 M, karya-karya Sozomenus, Zosimus, Priscus, dan Zonaras adalah sangat bernilai.[161] Sumber tunggal paling penting untuk perang Persia Justinianus sampai tahun 533 M adalah Procopius. Penerusnya Agathias dan Menander Protector juga memberikan banyak rincian penting. Theophylact Simocatta adalah sumber utama untuk masa pemerintahan Mauricius,[162] sedangkan Theophanes, Chronicon Paschale dan puisi-puisi karya George dari Pisidia adalah sumber yang berguna untuk masa akhir perang Romawi–Persia. Selain sumber Bizantium, dua sejarawan Armenia, Sebeos dan Movses, ikut berkontibusi dalam menceritakan naratif perang Heraclius dan oleh Howard-Johnston disebut sebagai "sumber non-Muslim terpenting yang masih tersisa".[163]

Catatan kaki

  1. ^ Howard-Johnston (2006), 1
  2. ^ a b Ball (2000), 12–13
  3. ^ Dignas–Winter (2007), 9 (PDF)
  4. ^ Frye (1993), 124–125
  5. ^ Southern (2001), 234–235
  6. ^ a b c Frye (1993), 125
  7. ^ Aurelius Victor, Liber de Caesaribus, 27.7–8
  8. ^ Orakel Sybil, XIII, 13–20
  9. ^ Southern (2001), 235
  10. ^ Southern (2001), 235–236
  11. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum, 5
  12. ^ Orakel Sybil, XIII, 155–171
  13. ^ Frye (1993), 126
  14. ^ Southern (2001), 238
  15. ^ Aurelius Victor, Liber de Caesaribus, 38.2–4
  16. ^ Eutropius, Abridgment of Roman History, IX, 18.1
  17. ^ Frye (1993), 128
  18. ^ Southern (2001), 241
  19. ^ a b Frye (1993), 130
  20. ^ Southern (2001), 242
  21. ^ Aurelius Victor, Liber de Caesaribus, 39.33–36
  22. ^ Eutropius, Ikhtiar Sejarah Romawi, IX, 24–25.1
  23. ^ Frye (1993), 130–131
  24. ^ Southern (2001), 243
  25. ^ Frye (1993), 137
  26. ^ Frye (1993), 138
  27. ^ Bury (1923), XIV.1
  28. ^ Frye (1993), 145
  29. ^ Greatrex-Lieu (2002), II, 37–51
  30. ^ Procopius, Perang, I.7.1–2
  31. ^ Greatrex&ndash
  32. ^ Lieu (2002), II, 62
  33. ^ Joshua the Stylite, Chronicle, XLIII
  34. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 62
  35. ^ Zacharias Rhetor, Historia Ecclesiastica, VII, 3–4
  36. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 63
  37. ^ Greatrex–Lieu (2002), I I, 69–71
  38. ^ Procopius, Wars, I.9.24
  39. ^ a b Greatrex–Lieu (2002), II, 77
  40. ^ Joshua the Stylite, Chronicle, XC
  41. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 74
  42. ^ Joshua the Stylite, Chronicle, XCIII–XCIV
  43. ^ Procopius, Perang, I.11.23–30
  44. ^ Greatrex (2005), 487
  45. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 81–82
  46. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 82
  47. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 84
  48. ^ Zacharias Rhetor, Historia Ecclesiastica, IX, 2
  49. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 83, 86
  50. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 85
  51. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 92–96
  52. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 93
  53. ^ Evans (2000), 118
  54. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 96–97
  55. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 102
  56. ^ H. Börm, "Der Perserkönig im Imperium Romanum", Chiron 36 (2006), 299ff.
  57. ^ Procopius, Perang, II.20.17–19
  58. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 109–110
  59. ^ Procopius, Perang, II.21.30–32
  60. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 110
  61. ^ Corripus, Johannidos, I.68–98
  62. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 111
  63. ^ Greatrex-Lieu (2002), II, 113
  64. ^ a b Procopius, Perang, 28.7–11
  65. ^ a b Greatrex (2005), 489
  66. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 113
  67. ^ Evans, Justinian (527–565 AD); Greatrex–Lieu (2002), II, 113
  68. ^ Treadgold (1997), 204–207
  69. ^ Treadgold (1997), 209
  70. ^ Farrokh (2007), 236
  71. ^ Treadgold (1997), 211
  72. ^ Menander Protector, History, frag. 6.1. Menurut Greatrex (2005), 489, bagi banyak orang Romawi kesepakatan ini "tampak berbahaya dan menunjukkan kelehaman".
  73. ^ Evans, Justinian (527–565 AD)
  74. ^ John of Epiphania, History, 2 AncientSites.com gives an additional reason for the outbreak of the war: "[The Medians'] contentiousness increased even further ... when Justin did not deem to pay the Medians the five hundred pounds of gold each year previously agreed to under the peace treaties and let the Roman State remain forever a tributary of the Persians." See also, Greatrex (2005), 503–504
  75. ^ Treadgold (1997), 222
  76. ^ The great bastion of the Roman frontier was in Persian hands for the first time (Whitby [2000], 92–94).
  77. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 152
  78. ^ Louth (2005), 113
  79. ^ Theophanes, Chronicle, 246.11–27
  80. ^ Whitby (2000), 92–94
  81. ^ a b Theophylact, History, I, 9.4 Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF)
    Treadgold (1997), 224
  82. ^ Whitby (2000), 95
  83. ^ Treadgold (1997), 224
  84. ^ Whitby (2000), 95–96
  85. ^ Soward, Theophylact Simocatta and the Persians Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF); Treadgold (1997), 225;
  86. ^ a b Whitby (2000), 96
  87. ^ Soward, Theophylact Simocatta and the Persians Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF)
  88. ^ Treadgold (1997), 226
  89. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 168-169
  90. ^ Theophylact, V, Sejarah, I, 3.11 Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF) and 15.1 Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF)
  91. ^ Louth (2005), 115
  92. ^ Treadgold (1997), 231–232
  93. ^ Foss (1975), 722
  94. ^ Theophanes, Kronik, 290–293
  95. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 183–184
  96. ^ Theophanes, Kronik, 292–293
  97. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 185–186
  98. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 186–187
  99. ^ Haldon (1997), 41; Speck (1984), 178.
  100. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 188–189
  101. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 196
  102. ^ Theophanes, Kronik, 303–304, 307
  103. ^ Cameron (1979), 23; Grabar (1984), 37
  104. ^ Theophanes, Chronicle, 304.25–306.7
  105. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 199
  106. ^ Theophanes, Kronik, 306–308
  107. ^ reatrex–Lieu (2002), II, 199–202
  108. ^ Theophanes, Kronik, 308–31
  109. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 202–205
  110. ^ Theophanes, Chronicle, 316
  111. ^ Cameron (1979), 5–6, 20–22
  112. ^ Theophanes, Kronik, 315–316
  113. ^ Farrokh–McBride (2005), 56
  114. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 209–212
  115. ^ Theophanes, Kronik, 317–327
  116. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 217–227
  117. ^ Haldon (1997), 46
  118. ^ Baynes (1912), passim
  119. ^ Speck (1984), 178
  120. ^ Howard-Johnston (2006), 9: "[Heraclius'] victories in the field over the following years and its political repercussions ... saved the main bastion of Christianity in the Near East and gravely weakened its old Zoroastrian rival."
  121. ^ Haldon (1997), 43–45, 66, 71, 114–15
  122. ^ Ambivalence toward Byzantine rule on the part of miaphysites may have lessened local resistance to the Arab expansion (Haldon [1997], 49–50).
  123. ^ Foss (1975), 746–47
  124. ^ Howard-Johnston (2006), xv
  125. ^ Liska (1998), 170
  126. ^ Haldon (1997), 49–50
  127. ^ Haldon (1997), 61–62
  128. ^ Howard-Johnston (2006), 9
  129. ^ Rawlinson (2007), 199: "The Parthian military system had not the elasticity of the Romans ... However loose and seemingly flexible, it was rigid in its uniformity; it never altered; it remained under the thirtieth Arsaces such as it had been under the first, improved in details perhaps, but essentially the same system."
  130. ^ Michael Whitby (2000), 310, "the eastern armies preserved the Roman military reputation through to the end of the 6th century by capitalizing on available resources and showing a capacity to adapt to a variety of challenges".
  131. ^ a b Wheeler (2007), 259
  132. ^ a b Frye (2005), 473
  133. ^ Greatrex (2005), 478
  134. ^ Frye (2005), 472
  135. ^ Cornuelle, An Overview of the Sassanian Persian Military Diarsipkan 2008-06-30 di Archive.is; Sidnell (2006), 273
  136. ^ According to Reno E. Gabba, the Roman army was reorganized over time after the impact of the Battle of Carrhae (Gabba [1966], 51–73).
  137. ^ Vegetius, III, Epitoma Rei Militaris, 26
  138. ^ Verbruggen–Willard–Southern (1997), 4–5
  139. ^ Campbell–Hook (2005), 57–59
  140. ^ Gabba (1966), 51–73
  141. ^ Shahîd (1984), 24–25
  142. ^ Wagstaff (1985), 123–125
  143. ^ a b c Frye (1993), 139
  144. ^ a b Levi (1994), 192
  145. ^ Excavations In Iran Unravel Mystery Of "Red Snake", Science Daily
  146. ^ Rekavandi–Sauer–Wilkinson–Nokandeh, The Enigma of the Red Snake
  147. ^ Brazier (2001), 42
  148. ^ Kassios Dio, Sejarah Romawi, LXXV, 3.2–3
  149. ^ Garnsey–Saller (1987), 8
  150. ^ Greatrex (2005), 477–478
  151. ^ Barnes (1985), 126
  152. ^ Sozomen, Ecclesiastical History, II, 15
  153. ^ McDonough (2006), 73
  154. ^ Haldon (1999), 20
  155. ^ Isaak (1998), 441
  156. ^ Dignas–Winter (2007), 1–3(PDF)
  157. ^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 5
  158. ^ Potter (2004), 232–233
  159. ^ Frye (2005), 461–463
  160. ^ a b Shahbazi, Historiography
  161. ^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 7
  162. ^ Boyd (1999), 160
  163. ^ Howard-Johnston (2006), 42–43

Referensi

Sumber primer

Sumber sekunder

Bacaan lanjutan

Pranala luar