Tan Jin Sing
Tan Jin Sing | |
---|---|
Bupati Nayoko | |
Masa jabatan 1813–1831 | |
Penguasa monarki | Sultan: Hamengkubuwana II Hamengkubuwana III Hamengkubuwana IV Hamengkubuwana V Gubernur-Jenderal pada masa kekuasaan Britania: Thomas Stamford Bingley Raffles John Fendall |
Kadipaten Yogyakarta | |
Masa jabatan 1803–1813 | |
Penguasa monarki | Sultan: Hamengkubuwana II Hamengkubuwana III Gubernur-Jenderal pada masa Kekuasaan Prancis / Belanda di bawah Kekuasaan Prancis: Johannes Siberg Herman Willem Daendels Jan Willem Janssens Gubernur-Jenderal pada masa kekuasaan Britania: Lord Minto Thomas Stamford Bingley Raffles |
Pengganti Petahana | |
Kadipaten Kedu | |
Masa jabatan 1793–1803 | |
Penguasa monarki | Sultan: Hamengkubuwana II Gubernur-Jenderal pada masa Kekuasaan Belanda: Willem Arnold Alting Pieter Gerardus van Overstraten Gubernur-Jenderal pada masa Kekuasaan Prancis / Belanda di bawah Kekuasaan Prancis: Pieter Gerardus van Overstraten Johannes Siberg |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1760 |
Meninggal | 1831 (usia 71) Yogyakarta, Hindia Belanda |
Kebangsaan | Hindia Belanda |
Suami/istri | U Li |
Hubungan | Yap Sa Ting Ho (mertua) |
Orang tua | Demang Beber (ayah) putri dari Sunan Amangkurat IV (ibu) Oei The Long, kapitan China di Wonosobo (ayah angkat) |
Sunting kotak info • L • B |
Tan Jin Sing (1760-1831) adalah seorang kapiten Tionghoa di Kedu (1793-1803) dan Yogyakarta (1803-1813). Atas jasanya dalam membantu Inggris menggulingkan Sultan Sepuh dan mengangkat Sultan Hamengkubuwana III (ayah Pangeran Diponegoro) ke tahta, ia diangkat sebagai bupati (Bupati Nayoko) pada tanggal 18 September 1813 oleh Thomas Stamford Bingley Raffles dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat.[1] Dengan demikian, ia menjadi cikal bakal salah satu dari tiga keturunan Tionghoa di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, yaitu Trah Secodiningrat, sementara dua keturunan lain adalah Trah Honggodrono dan Trah Kartodirjo.[2]
Biografi
Tan Jin Sing lahir dari pasangan Demang Beber dari Wonosobo dan putri dari Sunan Amangkurat IV. Tan Jin Sing lantas diangkat oleh Oei The Long, seorang kapitan China dari Wonosobo setelah bapaknya meninggal dan ibunya tidak mampu merawat. Pada usia 11 tahun, Tan Jin Sing sudah menguasai lima bahasa, yaitu Belanda, Inggris, Jawa, Hokkian, Mandarin. Tan Jin Sing sendiri diketahui memang memiliki dua istri, satu dari kalangan Keraton sementara satunya adalah keturunan Tionghoa bermarga Yap.
Jasa-jasanya membantu Inggris dan Belanda
Meskipun memiliki jasa besar terhadap Hamengkubuwana III, pengangkat Tan Jin Sing sebagai bupati memicu kontroversi karena perannya dalam peristiwa Geger Sepehi telah membuatnya dibenci oleh pihak keraton yang membela Sultan Sepuh. Ia juga dibenci oleh kalangan etnis Tionghoa karena dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa dalam peristiwa Perang Diponegoro.[1][3]
Jasa-jasanya menemukan Borobudur
Tan Jin Sing berjasa besar dalam membuat kemegahan Candi Borobudur dikenal dunia. Candi Borobudur awalnya ditemukan oleh anak buah Tan Jin Sing. Setelahnya, Tan Jin Sing sendiri mengeksplor candi tersebut dan meminta Sir Thomas Stamford Raffles untuk melakukan restorasi.
Rumah Tan Jin Sing
Rumah Tan Jin Sing berlokasi di Kampung Ketandan, Yogyakarta. Sebagai kapitan yang berpengaruh sekaligus bupati, rumah Tan Jin Sing sebenarnya tergolong mewah.
Kala itu, areal rumahnya membentang dari perempatan Ketandan hingga Jalan Ahmad Yani. Sayangnya, kini bagian rumah yang tersisa hanyalah satu sub bangunan di Jalan Ketandan Lor.
Jika dilihat dari bentuk bangunan dan ruang-ruang yang ada, sub bagian rumah yang tersisa tersebut diperkirakan adalah bagian kantor.
Selain itu, ada pula bagian istal kuda yang masih tersisa. Jika dikira-kira, luas rumah Tan Jin Sing dulu mencapai satu hektare.
Bagian dalam rumah Tan Jin Sing sendiri didominasi warna putih dengan kusen hijau muda. Dari kejauhan, atap rumah ini terlihat bak joglo khas Jawa.
Meski begitu, travelers juga dapat melihat perpaduan gaya arsitektur khas Tionghoa dan Eropa. Salah satu yang menarik adalah bentuk pintu depannya dan juga pilar-pilar besar yang menghiasi.
Sementara, bagian lantai rumah Tan Jin Sing memiliki ubin kuno khas bangunan Belanda zaman dulu. Di bagian belakang rumah, ada pula halaman yang cukup besar.
Sayangnya, bagian dalam rumah tersebut tampak tak terurus karena proses perbaikan masih berjalan. Ya, rumah Tan Jin Sing kini memang sudah dibeli oleh Pemda Yogyakarta dan tengah direstorasi.
Setelah restorasi selesai, rumah ini pun rencananya akan dijadikan sebuah museum yang membahas sejarah peranakan secara makro dan juga kisah Tan Jin Sing selaku pemiliknya dulu.
Meninggal
Tan Jin Sing meninggal pada tahun 1831 pada usia 71. Jejak-jejak kehidupan Tan Jin Sing lainnya bisa ditemukan di Kampung Ketandan, Yogyakarta.
Kultur populer
- Nama Secodiningrat menjadi nama jalan di dekat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Referensi
- ^ a b Budi Susanto (editor). 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 979-21-0851-3.
- ^ Sutirman Eka Ardhana. 21 November 2013. Lurahing Pacino Kapitan Tan Jin Sing.
- ^ Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.
Bacaan lanjut
- T.S. Werdoyo. 1990. "Tan Jin Sing: dari kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta". Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. ISBN 979-444-101-5.