Perjanjian Giyanti
Ditandatangani | 13 Februari 1755 |
---|---|
Lokasi | Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah |
Penanda tangan | |
Bahasa | Jawa dan Belanda |
Perjanjian Giyanti (bahasa Jawa: prajanjèn ing Janti, bahasa Belanda: verdrag van Gijanti, terj. har. "perjanjian di Janti") adalah sebuah perjanjian antara VOC, pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi. Kesepakatan itu secara resmi membagi kekuasaan Mataram kepada Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.[1][2]
Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Setelah perjanjian damai ditandatangani, Pangeran Mangkubumi kemudian ikut memerangi kelompok Pangeran Sambernyawa, mereka kemudian juga akan menandatangi perjanjian damai dalam perjanjian selanjutnya, yaitu Perjanjian Salatiga.
Nama "Giyanti" diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian di desa Janti, dalam ejaan van Ophuijsen menjadi Gijanti, sekarang terletak di dusun Kerten, desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.[3]
Latar belakang
Perjanjian ini merupakan hasil utama dari Perang Takhta Jawa Ketiga pada tahun 1749–1757. Pakubuwana II, susuhunan Mataram, telah mendukung pemberontakan Tionghoa melawan Belanda.[4] Pada tahun 1743, sebagai pembayaran untuk pemulihan kekuasaannya, sunan menyerahkan pantai utara Jawa dan Madura kepada Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Pakubuwana III didukung kompeni menggantikan takhta setelah wafatnya Pakubuwana II, namun ia harus menghadapi saingan ayahnya, Pangeran Sambernyawa, yang pernah menduduki suatu daerah bernama Sukawati, sekarang Sragen. Pada tahun 1749 Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwana II, yang tidak puas dengan kedudukannya yang lebih rendah, bergabung dengan Pangeran Sambernyawa dalam menentang Pakubuwana III. VOC mengirim pasukan untuk membantu Pakubuwana III, tetapi pemberontakan terus berlanjut. Baru pada tahun 1755 Pangeran Mangkubumi melepaskan diri dari Pangeran Sambernyawa dan menerima tawaran perdamaian di Giyanti, yang membagi Mataram menjadi dua bagian.[5] Pangeran Sambernyawa baru menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun 1757 melalui Perjanjian Salatiga, yang memberinya hak untuk memiliki bagian dari timur Mataram. Ia kemudian bergelar sebagai Mangkunegara I.
Perundingan
Menurut catatan harian Nicolaas Hartingh, Gubernur Jenderal VOC untuk Jawa Utara, pada tanggal 10 September 1754 ia berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada tanggal 22 September 1754. Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Natakusuma dan Tumenggung Ronggo. Hartingh sendiri didampingi oleh Breton, Kapten C. Donkel, dan sekretarisnya, W. Fockens. Adapun yang menjadi juru bahasa adalah pendeta Bastani.[6]
Pada pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram, Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kerajaan. Mangkubumi menyatakan bahwa di Cirebon ada lebih dari satu sultan. Hartingh pun menawarkan Mataram sebelah timur yang ditolak oleh Mangkubumi. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya, setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka pembicaraan dapat berjalan lancar. Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi tidak menggunakan gelar susuhunan dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai olehnya.
Mangkubumi keberatan melepas gelar susuhunan karena rakyat telah mengakuinya sebagai susuhunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai susuhunan di daerah Kabanaran ketika Pakubuwana II wafat, bersamaan saat VOC melantik Adipati Anom menjadi Pakubuwana III.
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian kesultanan. Daerah pantai utara Jawa atau daerah pesisiran yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai oleh VOC dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan kepada Mangkubumi. Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan kepada Pakubuwana III. Pada tanggal 4 November 1754, Pakubuwana III menyampaikan surat kepada Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel mengenai persetujuannya tehadap hasil perundingan antara Hartingh dan Pangeran Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwana III, maka pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatanganilah Perjanjian di Giyanti.[7]
Isi perjanjian
Secara garis besar isi Perjanjian Giyanti adalah membagi Mataram menjadi dua bagian, yakni Kesunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengkubuwana I. Sebelumnya, keraton Surakarta telah berdiri terlebih dahulu pada kurun waktu kekuasaan Pakubuwana II sebagai calon pengganti keraton Kartasura yang hancur lantaran serangan orang-orang Tionghoa di bawah kepemimpinan Amangkurat V.[8]
Perjanjian Giyanti memuat 10 pasal, antara lain:[9][10]
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendara Raden Mas Sundara.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Susuhunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
Pasal 9
Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditandatangani oleh N. Hartingh, W. H. van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens.
Polemik
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri konflik yang sedang terjadi karena dalam perjanjian ini kelompok Pangeran Sambernyawa tidak diikutsertakan. Seperti yang diketahui, dalam Perjanjian Giyanti Pangeran Sambernyawa adalah rival Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa Mataram. Perjanjian Giyanti merupakan bentuk persekongkolan untuk mengalahkan pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. Karena itu, Perjanjian Giyanti dilaksanakan dengan tujuan membangun aliansi kekuatan baru untuk menumpas pemberontak dan mengurangi kekuatan pemberontak dengan menggandeng salah satu kekuatannya.
Referensi
Kutipan
- ^ Brown 2003, p. 63: "Pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatangani Perjanjian Giyanti yang membagi sisa kerajaan Mataram menjadi dua bagian. Satu bagian dengan ibukotanya di Surakarta dipimpin oleh putra Pakubuwana II, Pakubuwana III. Bagian lain, dengan ibu kotanya di Yogyakarta, diperintah oleh adik Pakubuwana II, Mangkubumi, yang bergelar Hamengkubuwana I."
- ^ Pigeaud 1967, hlm. 164–169.
- ^ Aswab Nanda Pratama (2019). "Hari Ini dalam Sejarah, Perjanjian Giyanti Memecah Wilayah Mataram Islam". Kompas.com. Diakses tanggal 20 Januari 2021.
- ^ Ricklefs 1983, hlm. 274.
- ^ "Gianti Agreement | Indonesia [1755]". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-08.
- ^ "Over Hendrik Breton, de VOC, en Zuid-Afrika" (PDF).
- ^ Ricklefs, M.C. (1991). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- ^ Muhammad Anggie Farizqi Prasadana, Hendri Gunawan (2019). "Keruntuhan Birokrasi Tradisional di Kasunanan Surakarta". Handep. 2 (2): 190. ISSN 2614-0209.
- ^ Soedarisman Poerwokoesoemo (1985). Kadipaten Pakualaman. Gadjah Mada University Press.
- ^ Asmorojati, Anom Wahyu (2020-11-18). Hukum Pemerintahan Daerah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Bingkai NKRI. UAD Press. hlm. 142–143. ISBN 978-602-0737-82-9.
Sumber
- Brown, Colin (2003). A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation?. Crows Nest, Australia: Allen & Unwin. ISBN 978-1-86508-838-9.
- Frederick, William H.; Worden, Robert L., ed. (1993). Indonesia: A Country Study. Washington: GPO for the Library of Congress.
- Pigeaud, Theodore Gauthier Th. (1967). Literature of Java: Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 A.D. The Hague: Martinus Nijhoff.
- Ricklefs, Merle Calvin (1983). "The crisis of 1740–1 in Java: the Javanese, Chinese, Madurese and Dutch, and the Fall of the Court of Kartasura". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 139 (2/3): 268–290. doi:10.1163/22134379-90003445.
Bacaan lanjutan
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.