Katu, Lore Tengah, Poso
Desa Katu | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Sulawesi Tengah |
Kabupaten | Poso |
Kecamatan | Lore Tengah |
Kode Kemendagri | 72.02.08.2006 |
Luas | 5.461,3 hektar |
Jumlah penduduk | 537 jiwa |
Kepadatan | - |
Katu adalah sebuah desa di kecamatan Lore Tengah, Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Katu bermakna sebagai tempat akhir bagi sebagian komunitas behoa yang menjadi korban kolonialisme Belanda di dataran tinggi Poso pada 1908. Pada tahun 2023 penduduk desa Katu telah mencapai 537 jiwa atau 126 Kepala Keluarga.
Sejarah Penduduk
Tidak ada sejarah pasti tentang asal-usul orang Behoa, tetapi berdasarkan pada tumpang tindihnya antara kisah asal-usul dan pencatatan sejarah dari kelompok-kelompok lain, orang Behoa tampaknya telah berada di wilayah tersebut selama ratusan tahun. Penduduk Katu adalah bagian dari komunitas Behoa, biasanya sesama behoa menyebut Katu sebagai behoa kakau artinya behoa hutan. Katu resmi menjadi desa pada 1928, yang diresmikan langsung oleh Raja Kabo dan bersama
seorang Belanda bernama J.W. Wesseldijk, mendirikan sekolah misionaris Protestan di desa Katu pada tahun 1929.
Suku
Penduduk Katu, bukanlah merupakan sebuah "suku kecil", dengan kata lain mereka adalah suatu "kelompok kecil" dari suku Behoa. Mereka memiliki beberapa perbedaan kecil dengan sub-suku Behoa lainnya. Menurut orang Behoa, bahwa orang Katu ini adalah bagian dari sub-suku Behoa, karena mereka tinggal di daerah bernama Behoa Kakau, oleh karena itu orang Katu inipun disebut juga sebagai orang Behoa Kakau. Menurut orang Katu sendiri mereka memang termasuk bagian dari suku Behoa. Bahasa yang digunakan oleh orang Katu juga termasuk dalam kelompok bahasa Behoa, tapi mereka memiliki dialek dan beberapa perbendaharaan kata yang berbeda dengan kelompok sub-suku Behoa lainnya. Sebagaimana dituturkan oleh orang-orang behoa sendiri, maupun di dalam litelatur-litelatur lama (Lihat Kaudern And Wassen, 1944) merujuk pada pengelompokan etnik yakni kaili, tomini, Kulawi, Pamona, Lore, Mori, Bungku, Saluan, Balantak, Banggai, Toli-toli dan Buol (Lihat Mattulada, 1991), maka suku behoa merupakan bagian dari suku Lore.
Ketika berkomunikasi dengan Orang Napu (suku pekurehua), orang Katu dan orang Behoa pada umumnya tetap menggunakan bahasa Behoa. Orang Nupu sendiri merupakan suku tetangga orang Katu yang menggunakan bahasa Pekurehua. Mayoritas diantara orang katu juga dapat berbahasa Indonesia.
Seperti orang behoa lainnya, orang Katu adalah penganut Kristen Prostestan. Menurut penuturan beberapa pemuka masyarakat sejak tahun 1929 orang Katu menjadi penganut Kristen mungkin benar karena sejak tahun 1909, P.Ten Kate, seorang zending telah ditempatkan di Napu (Kruyt), 1975 :184, kemudian Kristen pertamapun berdiri di Watutau (Napu) dan Doda (Besoa), dan tahun 1913, orang Kristen Pertama di Baptis di Napu, seorang laki-laki mudah (Aditjondro, 1979).
Tahun 1300 orang Katu sudah hidup menyebar di wilayah Katu, kemudian tahun 1908 Belanda masuk Katu dan memaksa masyarakat Katu pindah dari wilayah adat mereka ke suatu tempat yang disebut Bangkeluho, kemudian karena wabah penyakit, masyarakat Katu bergerak kembali ke wilayah adat mereka, kemudian pada tahun 1919 orang Katu dipaksa dipindahkan lagi ke Bangkeluho, tapi masyarakat Katu menolak dan pada tahun 1956 masyarakat Katu mengeluarkan sumpah adat “Totovi Tauna To Ara Iwanua Katu”. Pada tahun 1985 proyek Konservasi Lore Lindu bermaksud memindahkan masyarakat Katu yang ketiga kalinya, tapi masyarakat sudah sepakat dan kembali mengeluarkan sumpah “Iheana Tauna Toi Katu To Barani Mopelahi Wanua Katu, Ina Nadampangi Daana Nunu Dee. (Barang siapa orang Katu yang berani meninggalkan desanya akan ditindis dahan-dahan beringin yang sedang rimbun dan mendapatkan Bala dalam kehidupannya).
Katu dan Agenda Konservasi Dunia
Pada 1970-an, Katu menarik perhatian komunitas konservasi internasional karena ekologinya yang unik. Para konservasionis menyatakan terdapat 98 persen mamalia dan 27 persen unggas terdapat di Katu. (Daws dan Fujita 1999:87).[1] Flora dan fauna unik yang ditemukan di Sulawesi, atau Celebes, pertama kali dicatat oleh Alfred Russell Wallace pada tahun 1950-an. Sejak saat itu penduduk Katu mulai berurusan dengan Suaka Alam. Tahun 1982, pada Kongres Taman Nasional Dunia, diusulkan perluasan Taman Nasional ke arah utara mencakup seluruh daerah aliran sungai besar di wilayah Sulawesi Tengah. Katu adalah satu di antara ratusan desa lainnya yang masuk dalam kawasan tersebut. Sepanjang tahun 1980-an, pemerintah Indonesia mulai mengusulkan pemindahan penduduk Katu, karena dianggap berada di dalam kawasan Taman Nasional yang baru ditetapkan. Tahun 1989, tetangga orang Katu, pengungsi Rampi dari Dodolo, berhasil dipindahkan di dekat lembah, tetapi Katu menolak. Tahun 1993, ketika wilayah tersebut diresmikan sebagai Taman Nasional, Katu dipindahkan tujuh kilometer di lingkar dalam bagian tenggara Taman Nasional yang baru, tetapi Katu tetap menolak. Proyek ini mendapat pendanaan khusus dari Asian Development Bank (ADB), pada saat itu petani Katu berjumlah 67 rumah tangga dan berjumlah 210 jiwa. Perjuangan panjang orang Katu akhirnya berhasil, pada 1999, Yulianto Laban Banjar, Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) mengeluarkan surat keputusan yang secara formal mengakui klaim adat Katu di dalam Taman Nasional. Keputusan ini mendapat banyak dukungan dari Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam, Departemen Kehutanan dan juga para aktivis lingkungan dan Hak Asasi Manusia.[2]
Referensi
- ^ BeritaSatu.com. "Masyarakat Katu Tolak Pemancangan Tapal Batas TNLL". beritasatu.com. Diakses tanggal 2023-08-23.
- ^ "Masyarakat Katu Poso Minta Lepaskan Tanah Leluhur Seluas 8.565 Hektare dari Kawasan TNLL". Tribunpalu.com. Diakses tanggal 2023-08-23.