Tuan Guru Haji Ahmad
Tuan Guru Haji Ahmad (lahir Ahmad Syafi'i; ca 1885 – ca 1949)[1] adalah seorang ulama berkebangsaan Indonesia asal Kampar. Ia merupakan salah satu tokoh yang mengembangkan sistem pendidikan agama Islam di Kota Bengkalis.[1]
Tuan Guru Haji Ahmad | |
---|---|
Lahir | Ahmad Syafi'i ca 1885 Kabupaten Kampar, Hindia Belanda |
Meninggal | ca 1949 (umur 63–64) Bengkalis, Sumatera Tengah, Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan |
|
Suami/istri | Rohimah (m. 1899)Khadijah (m. sebelum 1949) |
Anak | 20 |
Kerabat | Zakaria bin Muhammad Amin (menantu) |
Biografi
Tuan Guru Haji Ahmad dilahirkan sebagai Ahmad Syafi'i sekitar ca 1885, di sebuah desa bernama Kuok yang berada di Kabupaten Kampar, Hindia Belanda, sebagai putra tunggal dari Muhammad Ali.[1] Ayahnya merupakan seorang pedagang buah-buahan.[1]
Selama masa kecilnya, Ahmad menghabiskan waktunya dengan ikut berdagang bersama ayahnya.[1]
Pada tahun 1900, Ahmad datang ke Kota Bengkalis, untuk berdagang bersama beberapa orang temannya. Mereka menjual berbagai macam komoditas diantaranya buah-buahan, palawija, serta berbagai sayuran hasil perkebunan lainnya.[1]
Aktivitas perdagangan ini berlangsung hingga tahun 1914, sebelum kemudian Ahmad memutuskan untuk pindah ke Kedah, Malaya Britania, guna menempuh pendidikan di salah satu pesantren yang berada disana.[1]
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kedah selama tujuh tahun lamanya, Ahmad kemudian berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan menempuh perjalanan darat.[1]
Selama masa perjalanannya, ia singgah ke beberapa negara untuk mencari biaya tambahan dan persediaan bahan makanannya.[1]
Setelah menunaikan ibadah haji, Ahmad kemudian memutuskan untuk tinggal di Mekah, selama tiga tahun, untuk belajar ilmu agama Islam dengan para ulama disana.[1]
Sepulangnya dari Mekah, ia memutuskan untuk menetap di Perak, Malaya Britania, selama kurang lebih sepuluh tahun.[1]
Selama tinggal di Perak, Ahmad berdakwah dengan berkeliling ke berbagai tempat, guna menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.[1]
Pada tahun 1934, Ahmad pulang kembali ke Bengkalis dan mendirikan sekolah agama yang menggunakan sistem pembelajaran Halaqoh, di daerah Masjid Raya Parit Bangkong.[1]
Selama berdirinya, sekolah tersebut berhasil mengajarkan berbagai macam ilmu dalam ajaran Islam kepada penduduk setempat, seperti Ilmu tafsir, Ilmu fikih, Ilmu tauhid, Nahwu shorof, Tarikh Islam, dan sebagainya.[1]
Pada tahun 1937, Ahmad bersama Zakaria bin Muhammad Amin mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Al-Khairiyah di daerah Parit Bangkong, Bengkalis.[1]
Pesantren tersebut merupakan pesantren pertama yang didirikan di Kabupaten Bengkalis, Ahmad beserta beberapa orang muridnya kemudian mengajar di pesantren tersebut, aktivitas belajar mengajar itu berlangsung hingga tahun 1943 ketika penjajahan Jepang masuk ke Daerah Bengkalis, hingga kemudian terpaksa membuat Pesantren Al-Khairiyah ditutup untuk sementara waktu.[1]
Setelah penutupan paksa terhadap Pesantren Al-Khairiyah, Ahmad kemudian kembali berdakwah menyebarkan agama Islam kepada penduduk Bengkalis.[1] Selama berdakwah, ia juga mendirikan sebuah masjid di daerah Desa Pangkalan Batang, yang diberi nama Masjid Al-Muttaqin.[1]
Setelah aktivitas belajar mengajar di Kota Bengkalis terhenti akibat pendudukan Jepang,[1] banyak tokoh-tokoh pemuka agama yang kemudian meninggal karena dibunuh oleh Tentara Jepang, yang pada saat itu melarang adanya perkumpulan dan kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan.[1]
Ahmad yang pada waktu itu merasa khawatir terhadap keselamatan keluarganya, kemudian mengajak keluarganya untuk pindah kembali ke Perak.[1]
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Ahmad kembali ke Bengkalis dan melanjutkan aktivitas berdakwahnya seperti biasa, Pesantren Al-Khairiyah yang sebelumnya ditutup kemudian dibuka kembali.[1]
Kehidupan pribadi
Ahmad menikah dengan seorang wanita bernama Rohimah yang merupakan putri dari Haji Sani, pada tahun 1899. Dari pernikahannya ini mereka dikaruniai 15 orang anak yaitu:
- Mariah binti Ahmad (1 Februari 1900 – 25 Desember 1955), menikah dengan Zakaria bin Muhammad Amin (Maret 1908 – 1 Januari 2006) pada tahun 1933, dan memiliki tujuh orang anak yaitu:
- Nashruddin Zakaria (10 April 1934 – 1 Januari 1999)[1]
- Aminah Zakaria (17 September 1938 – 15 Juli 2011)[1]
- Zaharah Zakaria (1 Februari 1942 – 29 Oktober 2007)[1]
- Ulfah Zakaria (lahir 14 April 1943)[1]
- Azra'ie Zakaria (31 Juli 1947 – 18 Juli 2019)[1]
- Hanim Zakaria (lahir 11 September 1950)[1]
- Syakrani Zakaria (lahir 23 November 1952)[1]
Lalu selama mengajar di Kota Bengkalis, Ahmad menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang wanita bernama Khadijah binti Haji Sulaiman. Dari pernikahannya ini mereka dikaruniai lima orang anak yaitu:
- Erman Zaruddin Usman (lahir 25 Mei 1967)[1]
- Ahmad Idris[1]
Kematian dan peninggalan
Tuan Guru Haji Ahmad meninggal dunia di Bengkalis, Sumatera Tengah, pada sekitar ca 1949 di dalam usia 64 tahun,[1] jenazahnya kemudian dimakamkan di Desa Pangkalan Batang, Kecamatan Bengkalis.[1]
Pada tanggal 23 Oktober 2017, nama Tuan Guru Haji Ahmad diabadikan sebagai nama Gedung Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Bengkalis,[2] yang sebelumnya telah didirikan pada tanggal 11 Februari 2013.[2]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai Saputra, Amrizal, Wira Sugiarto, Suyendri, Zulfan Ikhram, Khairil Anwar, M. Karya Mukhsin, Risman Hambali, Khoiri, Marzuli Ridwan Al-bantany, Zuriat Abdillah, Dede Satriani, Wan M. Fariq, Suwarto, Adi Sutrisno, Ahmad Fadhli (2020-10-15). PROFIL ULAMA KARISMATIK DI KABUPATEN BENGKALIS: MENELADANI SOSOK DAN PERJUANGAN. CV. DOTPLUS Publisher. hlm. 7–11. ISBN 978-623-94659-3-3.
- ^ a b Suryaman, Babam (2017-10-23). Sutrisno, Adi, ed. "Siapakah Sosok Tuan Guru Haji Ahmad". DISKOMINFOTIK Kabupaten Bengkalis (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2022-06-28.