Lompat ke isi

Brigade Manguni

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Brigade Manguni
Lambang Brigade Manguni
SingkatanBM
Tanggal pendirian2000; 24 tahun lalu (2000)
TipeOrganisasi adat
Kantor pusatKota Manado
Wilayah layanan
Minahasa Raya
Bahasa resmi
Melayu Manado
Indonesia
Rumpun bahasa Minahasa
Tonaas Wangko
Lendy Wangke
AfiliasiLaskar Adat Minahasa

Aliansi Makapetor Laskar Manguni Manguni Makasiow

dan lainnya

Brigade Manguni, adalah sebuah organisasi masyarakat tertua yang berdiri di Sulawesi Utara. Organisasi ini diketuai oleh Tonaas Wangko (pemimpin besar) Lendy Wangke. Organisasi ini dikenal Saat Keterlibatannya Dalam Memobilisasi Massa dari Sulawesi Utara untuk Terjun dalam Konflik Poso & Ambon Membantu Pihak Kristen. awal Didirikannya Organisasi ini Bertujuan Untuk Menjaga Stabilitas Keamanan di Sulawesi Utara Pada Tahun 2000 ketika Kerusuhan Melanda dua Provinsi tetangga Yaitu Sulawesi Tengah dan Maluku.[1]

Sejarah

Brigade Manguni Lahir dari sentimen kerusuhan Ambon dan Poso Juga  perlawanan terhadap Laskar Jihad. Suatu Saat Jagoan Lorong Anoa Teling ,Kota Manado bernama Donal Pandeirot Moselman meminta kepada beberapa  wartawan untuk memilih nama yang bagus dan mengekspose pembentukan Posko Perlawanan anti Jihad di Lorong Anoa. Akhirnya 7 jagoan Anoa berseragam hitam diantar oleh beberapa wartawan ke redaksi Harian Telegraf (koran terbesar Sulut ketika itu). Besoknya Sulut heboh berita Headline Telegraf dengan foto 7 anak Anoa berseragam hitam dengan tema berita  pembukaan Posko Brigade Manguni di Lorong Anoa. Tak disangka ,hanya dalam 3 minggu saja posko tersebut didatangi Oleh Masyakarat dari seluruh penjuru Sulawesi Utara untuk Mendaftar.

Singkat cerita kerusuhan Ambon dan Poso tuntas setelah diadakan Deklarasi Malino 1 dan 2. Beberapa Tonaas Termasuk Pendeta Renata Ticonuwu dan Tonaas Wangko Decky Maengkom sepakat mengambil alih Brigade Manguni.  Saat Memasuki masa keemasan Brigade Manguni dibawah Tonaas Wangko Decky Maengkom, BM pun berganti menjadi BMI dan kian menjadi Ormas nasional bahkan Menjadi Ormas Adat terbesar di Indonesia Kala Itu.

Sepak Terjang

Pisah Brigade dari GMIM pasca Kongres Minahasa Raya 1

Kondisi sosial politik di Indonesia pasca reformasi

memperlihatkan kecenderungan menguatnya sentimen

identitas primordial. menjelaskan bahwa

usaha Islamisasi sejak periode 1990-an menemui

puncaknya di era pasca reformasi. Selain konflik

komunal, contoh Islamisasi yang terjadi pasca reformasi

adalah usaha penambahan tujuh kata dalam amandemen

konstitusi. menguatnya

sentimen identitas primordial yang demikian menjadi

momen negosiasi posisi kelompok etnis dalam sebuah

negara-bangsa. Salah satu kelompok etnis yang terlibat dalam proses  “negosiasi” ini adalah kelompok etnis Minahasa

melalui pelaksanaan KMR I pada tahun 2000.

KMR I hadir sebagai respons atas wacana pengembalian tujuh kata dari piagam Jakarta ke dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 yang digulirkan oleh politisi

dari kelompok partai berbasis Islam. Wacana penambahan tujuh kata ini menyebabkan  keminahasaan yang berkelindan dengan identitas

Kristen menjadi berbeda dan rentan “dipinggirkan”

melalui agenda Islamisasi dalam skala nasional. Elit

GMIM dinilai oleh Karim (2020) mampu merespons hal

tersebut melalui peran diskursif untuk menggagalkan

Islamisasi yang diupayakan oleh elit politik di Jakarta.

Melalui peristiwa KMR I, GMIM mampu untuk

mewakilkan respons komunitas Minahasa-Kristen atas

perubahan sosial yang terjadi pasca reformasi.

Kosel (2010) dan Karim (2020) mepandang momen

KMR I sebagai awal kehadiran BM dalam bentuk

seksi keamanan. Karim (2020) bahkan lebih spesifik

menjelaskan kehadiran Permesta secara simbolik dapat

dirasakan melalui kehadiran BM. Akan tetapi, studi

terdahulu hanya menunjukkan keterlibatan BM dalam

KMR I.

BM dalam kerangka kerja GMIM selama KMR I melalui

kontrol elit GMIM itu sendiri, seperti Pnt. (Penatua)

Marhany Pua dan Dolfie Maringka sebagai Tonaas

Wangko atau ketua umum BM. Namun, pengamatan

tersebut tidak mampu memindai momen KMR I dan

setelahnya sebagai awal berpisahnya BM dari GMIM.

Momen KMR I justru menjadi kesempatan bagi BM

untuk menilai dan memanfaatkan titik keterbatasan

GMIM. Indikator keberhasilan dari peran diskursif GMIM

yang diuji oleh kelompok kecil bernama BM saat itu

adalah kemampuannya menjaga keamanan komunitas

Minahasa-Kristen dari konflik komunal di beberapa

lokasi, salah satunya Poso. Walaupun momen KMR I

berakhir dengan keberhasilan GMIM dalam menjaga

komunitas Minahasa-Kristen di tengah upaya Islamisasi

melalui jalur parlementer (Karim, 2020), namun di sisi

lain, peran diskursif GMIM tidak cukup kuat untuk

menjaga komunitas Minahasa-Kristen dari dampak

langsung konflik komunal. Peran diskursif GMIM tidak

mampu membendung dampak dari konflik Poso pertama

dan kedua yang memakan banyak korban dari kelompok

Kristen (Aragon, 2001; Aditjondro, 2004). Karena itu, tidak mengherankan jika salah seorang tona’as, Deany

Keintjem, di kediamannya pada tanggal 29 Desember

2019 turut menegaskan bahwa:

“Torang dari pertama memang beda dengan dorang

gereja-gereja sama deng itu PGI. Dorang itu cuma

salaman deng senyum-senyum di TV, konferensi pers,

kong abis itu apa? Torang mo ibadah tetap susah. Nyanda

guna.” “(Kami sejak awal memang berbeda [cara kerja]

dengan gereja-gereja seperti contohnya PGI [Persatuan

Gereja-gereja Indonesia]. Mereka hanya bersalaman dan

senyum di depan TV, tapi setelah itu apa? Kita [orang

Kristen] mau ibadah tetap susah. Tidak berguna).”

Penilaian ini menunjukkan kegagalan gereja,

khususnya GMIM, dari sudut pandang kelompok BM

dalam menjaga keminahasaan di tengah konflik. Karena

itu, peristiwa KMR I dapat dipertimbangkan sebagai

momen awal BM dalam mengajukan ketidaksepakatan

atas dominasi cara kerja diskursif GMIM.

Ketidaksepakatan ini diikuti dengan berpisahnya BM

dari GMIM yang dianggap terbatas dalam melindungi

kelompok Minahasa-Kristen. Pemisahan ini juga terlihat

melalui terbentuknya jejaring dan elit baru yang mampu

untuk menentukan sikap BM pasca KMR I. Jabatan

Tona’as Wangko yang sebelumnya diketuai oleh Dolfie Maringka telah tergantikan oleh Dicky Maengkom pasca KMR I dilaksanakan.


Lihat Pula

Gerakan Minahasa Merdeka

Referensi