Kapal segel merah
Kapal segel merah (朱印船 , Shuinsen') adalah kapal layar bersenjata pedagang Jepang yang berlayar dalam perdagangannya ke pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, dengan izin bersegel merah yang dikeluarkan di awal Keshogunan Tokugawa, pada paruh pertama abad ke-17. Antara 1600 dan 1635, lebih dari 350 kapal Jepang melakukan pelayaran dagang ke luar negeri di bawah sistem izin ini.
Awal mula
Kapal-kapal Jepang cukup aktif berlayar di perairan Asia selama abad ke-13 sampai ke-16, yang seringkali adalah bajak laut "wakō" kerap menjarah wilayah pesisir Kekaisaran Cina. Misi perdagangan resmi juga dikirim ke Cina, seperti misalnya Tenryūji-bune pada tahun 1341. Aktivitas wakō berhasil dihentikan secara efisien pada akhir abad ke-16 dengan dikeluarkannya larangan pembajakan oleh Hideyoshi, serta suksesnya kampanye melawan kegiatan bajak laut di pesisir Cina oleh jenderal-jenderal Dinasti Ming.
Antara abad ke-15 dan abad ke-16, perantara perdagangan utama di Asia Timur dipegang kerajaan pulau Ryūkyū (sekarang adalah Okinawa), yang mempertukarkan produk-produk Jepang (perak, pedang) dan Cina dengan kayu secang dan kulit rusa dari Asia Tenggara. Secara keseluruhan tercatat 150 kapal Ryūkyū berlayar dari kerajaan itu ke Asia Tenggara, 61 di antaranya menuju Annam (Vietnam), 10 menuju Malaka, 10 menuju Pattani, 8 menuju Jawa, serta lain-lain tujuan. Perdagangan mereka menghilang sekitar tahun 1570 dengan mulai berkembangnya para pedagang Cina dan intervensi dari kapal-kapal Portugis dan Spanyol, serta sehubungan dengan awal dimulainya sistem segel merah. Kerajaan Ryūkyū akhirnya diserang oleh Jepang pada tahun 1609.
Ketika orang-orang Eropa pertama mulai melayari Samudera Pasifik (lihat juga periode perdagangan Nanban), mereka secara teratur bertemu dengan kapal-kapal Jepang, seperti ketika Spanyol pada tahun 1589 menerima di Manila sebuah jung Jepang yang rusak karena badai dalam perjalanannya menuju Siam, atau ketika penjelajah keliling dunia Belanda Olivier van Noort bertemu dengan jung Jepang berbobot 110 ton di Filipina pada bulan Desember 1600, serta dalam pelayaran yang sama ketika ia bertemu dengan kapal segel merah yang bernahkoda seorang kapten Portugis di lepas pantai Kalimantan yang lalu menceritakan kepada mereka mengenai kedatangan William Adams di Jepang.
Sistem segel merah
Sistem segel merah muncul setidak-tidaknya pada tahun 1592 di bawah pemerintahan Hideyoshi, yaitu saat pertama kalinya sistem tersebut disebutkan dalam sebuah dokumen. Surat Izin segel merah (Shuinjō) tertua yang berhasil ditemukan ialah yang dikeluarkan tahun 1604 di bawah pemerintahan Tokugawa Ieyasu, penguasa pertama Dinasti Tokugawa di Japan. Ia mengeluarkan surat izin tersebut untuk para tuan tanah feodal favoritnya serta pedagang-pedagang besar yang tertarik pada perdagangan luar negeri. Dengan hal tersebut, ia dapat menguasai para pedagang Jepang dan mengurangi penjarahan bajak laut Jepang di Laut Selatan. Segel yang dikeluarkannya juga menjamin keamanan kapal-kapal tersebut, karena ia menjanjikan akan mengejar setiap bajak laut atau bangsa manapun yang melanggar kebijakannya itu.
Selain para pedagang Jepang, 12 orang Europa dan 11 orang penduduk Cina juga diketahui menerima izin tersebut, diantaranya termasuk William Adams dan Jan Joosten. Pada suatu waktu setelah tahun 1621, Jan Joosten tercatat telah memiliki 10 buah kapal segel merah untuk perdagangannya.
Kapal-kapal Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan kerajaan-kerajaan Asia pada dasarnya melindungi kapal-kapal segel merah Jepang, karena mereka mempunyai hubungan diplomatik dengan para shogun Jepang. Hanyalah Dinasti Ming di Cina yang tidak melakukan hal tersebut, karena pihak Kekaisaran Cina dalam kebijakan resminya melarang kapal-kapal Jepang untuk memasuki pelabuhan-pelabuhan Cina. Namun para pejabat Ming tetap tidak mampu mencegah para penyelundup Cina yang diam-diam berangkat ke Jepang.
Desain desain
Kapasitas kapal-kapal segel merah biasanya bervariasi antara 500 dan 750 ton, suatu ukuran yang sama atau mengungguli galiung Eropa, namun lebih kecil daripada carracks Portugis yang besar (seringkali lebih dari 1.000 ton).
Sekitar 200 orang per kapal dapat ditampung dalam kompartemen kapal. Dari lima belas kapal segel merah, rata-rata kapalnya berawak 236 orang.
Kapal-kapal tersebut dibangun di berbagai tempat. Beberapa kapal dibangun di Nagasaki dengan menggabungkan antara desain kapal Barat, Jepang, dan Cina. Ada pula kapal-kapal yang berjenis jung Cina. Pada masa perdagangan dengan Asia Tenggara telah menjadi mapan, banyak pula kapal-kapal yang dipesan dan dibeli di Ayutthaya karena unggulnya konstruksi dan kualitas kayu Siam.
Kapal-kapal pada umumnya dikelola oleh keluarga-keluarga pedagang kaya seperti Sumikura, Araki, Chaya, dan Sueyoshi, serta oleh para petualang individual seperti Suetsugo Heizo, Yamada Nagamasa, William Adams, Jan Joosten, dan Murayama Toan. Dana untuk pembelian barang dagangan di Asia adalah pinjaman yang diberikan kepada para pengatur ekspedisi, dengan bunga mencapai 35%-55% per kunjungan pelayaran, yang bahkan dalam kasus Siam dapat mencapai 100%.
Impor dan ekspor
Para pedagang Jepang terutama mengekspor perak, berlian, tembaga, pedang, dan barang-barang lainnya, serta mengimpor sutra Cina dan produk-produk Asia Tenggara (seperti gula dan kulit rusa). Lada dan rempah-rempah jarang diimpor oleh Jepang karena para penduduknya tidak banyak makan daging, yang disebabkan pengaruh lokal yang cukup kuat dari sistem kepercayaan agama Buddha. Pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara menjadi tempat pertemuan antara kapal-kapal Jepang dan Cina.
Tujuan pelayaran
Para awak kapal-kapal segel merah adalah dari berbagai bangsa, disebabkan banyaknya para mualim Cina, Portugis, dan Belanda serta para penterjemahnya yang bergabung dalam pelayaran tersebut. Kapal-kapal segel merah terawal diharuskan untuk memiliki mualim Portugis di atas kapal, meskipun orang-orang Jepang secara terus-menerus mengembangkan mualim bangsa mereka sendiri. Peta portolan yang digunakan pada kapal-kapal segel merah digambar menurut model Portugis, dengan petunjuk-petunjuk arah dalam bahasa Jepang.
Berbagai pelabuhan besar Asia Tenggara, termasuk Manila (Spanyol), Hoi An (Vietnam), Ayutthaya (Siam), dan Pattani (Melayu), menyambut baik kapal-kapal dagang Jepang, dan banyak orang Jepang menetap di pelabuhan-pelabuhan ini dan membentuk enklave-enklave kecil komunitas Jepang.
Orang-orang Jepang tampaknya cukup disegani di seluruh negara-negara Asia, menurut keterangan kontemporer dari Sir Edward Michelbourne:
Para Japon tidak menderita ketika mendarat di setiap pelabuhan di India (Asia) dengan senjata-senjata; karena dianggap sebagai orang-orang yang nekat dan berani, mereka ditakuti di semua tempat yang mereka datangi.[2]
Filipina
Sekitar 50 kapal-kapal segel merah tercatat antara tahun 1604 dan 1624 berlayar ke Luzon di Filipina (dan hanya tercatat 4 lagi sampai dengan tahun 1635). Orang-orang Jepang cukup awal mendirikan sebuah enklave di Dilao, daerah pinggiran Manila, dan pada tahun 1593 mereka berjumlah antara 300-400 orang. Selama pemberontakan Sangley pada tahun 1603 mereka telah berjumlah 1.500 orang, dan tahun 1606 berjumlah 3.000 orang. Seorang biarawan Fransiskan Luis Sotelo terlibat dalam memberikan dukungan terhadap enklave Dilao ini antara tahun 1600 dan 1608.
Orang-orang Jepang memimpin pemberontakan yang gagal di Dilao melawan Spanyol pada tahun 1606-1607. Jumlah populasi mereka meningkat kembali dengan adanya larangan atas agama Kristen oleh Tokugawa Ieyasu pada tahun 1614, ketika 300 pengungsi Kristen Jepang di bawah pimpinan Takayama Ukon memutuskan untuk menetap di Filipina. Mereka lah asal-muasal dari 200.000 penduduk keturunan Jepang yang cukup banyak terdapat saat di Filipina.
Siam (Thailand)
"Catatan Sejarah Kerajaan Ayutthaya" dari Siam menuliskan bahwa pada 1592, sudah terdapat 500 orang tentara Jepang, yang di bawah pimpinan Raja Siam membantunya mengalahkan tentara Burma yang datang menyerang.[3]
Kurang lebih 56 kapal segel merah tercatat berlayar ke Siam antara tahun 1604 dan 1635. Masyarakat Jepang di Siam tampaknya telah mencapai jumlah ratusan, sebagaimana penjelasa Padre Antonio Francisco Cardim yang menceritakan bahwa ia telah memberikan sakramen kepada sekitar 400 orang Kristen Jepang pada tahun 1627 di ibukota bangsa Thai di Ayutthaya ("a japoes 400 christaos").[4] Pada bulan Desember 1605, John Davis seorang penjelajah Inggris yang terkenal, dibunuh oleh sekelompok bajak laut Jepang di lepas pantai Siam, sehingga menjadi orang Inggris pertama yang dibunuh oleh orang Jepang.[5]
Koloni Jepang ini aktif dalam perdagangan, khususnya dalam ekspor kulit rusa dan kayu secang ke Jepang yang dipertukarkan dengan perak Jepang dan barang-barang kerajinan Jepang (pedang, kotak bervernis, dan kertas berkualitas tinggi). Mereka anggap oleh Belanda sebagai penantang monopoli perdagangan Perserikatan Perusahaan Hindia Timur (VOC), karena posisi mereka yang kuat dengan Raja Siam umumnya memungkinkan mereka untuk membeli sedikitnya 50% dari produksi total, sehingga menyisakan sejumlah kecil barang dengan kualitas yang lebih rendah bagi para pedagang lainnya. Seorang petualang Jepang, Yamada Nagamasa, menjadi sangat berpengaruh dan memerintah sebuah bagian dari Kerajaan Siam selama periode tersebut. Koloni mereka juga memiliki peran kemiliteran yang penting di Thailand.
Indonesia
Meskipun sedikit saja kapal-kapal segel merah yang tercatat mengunjungi wilayah-wilayah yang sekarang termasuk Indonesia moderen (Jawa, Kepulauan Maluku), kemungkinan karena letaknya yang terpencil dan adanya keterlibatan langsung Belanda di sana, namun samurai-samurai Jepang direkrut oleh para pemimpin Belanda di sana. Orang-orang Jepang memperlihatkan keistimewaan mereka dalam perebutan Kepulauan Banda dari kekuasaan Inggris dan dalam mempertahankan Batavia, sampai kebiasaan mempekerjakan tentara bayaran Jepang tersebut dilarang oleh Shogun pada tahun 1621. Gubernur Belanda untuk wilayah Jawa Jan Pieterszoon Coen, pada tahun 1618 meminta 25 orang samurai Jepang untuk dikirimkan kepadanya dari Jepang. Pada tahun 1620, tertulis dalam catatan Belanda bahwa 90 orang samurai Jepang direkrut dari pulau-pulau di sekitar Jawa untuk memperkuat benteng di Batavia.
Selama peristiwa Pembantaian Amboyna pada tahun 1623, 9 orang tentara bayaran Jepang tercatat berada bersama dengan 10 orang pedagang Inggris dari kantor dagang Perusahaan Hindia Timur Britania. Mereka disiksa dan dibunuh oleh pasukan Belanda dari kantor dagang yang berdekatan. Kejadian ini menjadi salah satu penyebab pecahnya Perang Inggris-Belanda.