Indeks glikemik
Indeks Glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan glukosa darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara sederhana dapat dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah.[1]
Faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Para ahli telah mempelajari faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan IG antara pangan yang satu dengan pangan yang lainnya.[1] Pangan dengan jenis yang sama dapat memiliki IG yang berbeda apabila diolah atau dimasak dengan cara yang berbeda.[1] Hal ini dikarenakan proses pengolahan dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan komposisi zat gizi penyusun pangan, sehingga akan mempengaruhi daya cerna zat gizi yang terdapat pada pangan.[1] Varietas yang berbeda pada jenis pangan juga akan mempengaruhi IG pangan tersebut, contohnya adalah beras yang memiliki kisaran IG antara 50 – 70.[2] Beberapa faktor yang mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), rasio amilosa-amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-zat gizi pangan.[3]
Proses pengolahan
Teknik pengolahan pangan yang menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran, dan rasa yang berbeda menyebabkan struktur pangan tersebut menjadi halus, sehingga pangan tersebut menjadi lebih mudah dicerna dan diserap. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi peningkatan glukosa darah yang menyebabkan pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak.[4]
Ukuran partikel
Ukuran partikel sangat mempengaruhi proses gelatinisasi pati, sehingga ukuran butiran pati yang semakin kecil akan menjadikan semakin rentan terhadap proses pendegradasian oleh enzim. Hal tersebut akan mempercepat proses pencernaan dan penyerapan karbohidrat pati, sehingga dapat dikatakan semakin kecil ukuran partikel maka semakin tinggi nilai IG pangan tersebut.[4]
Tingkat gelatinisasi pati
Pati dalam pangan mentah berada dalam bentuk granula yang tersusun rapat. Proses pemasakan yang melibatkan panas dan air akan memperbesar ukuran granula pati sehingga akan mudah dicerna oleh enzim pencerna pati di usus halus. Reaksi yang cepat dari enzim tersebut akan meningkatkan kadar glukosa darah yang cepat, sehingga dapat dikatakan pangan yang mengandung pati tergelatinisasi penuh memiliki nilai IG yang tinggi.[5]
Kadar amilosa dan amilopektin
Pati di dalam pangan terdiri dari dua jenis yang berbeda, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer glukosa sederhana yang tidak bercabang, sehingga lebih terikat dengan kuat serta lebih sulit tergelatinisasi dan tercerna. Sementara itu, amilopektin adalah polimer glukosa sederhana yang bercabang serta memiliki ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan dicerna oleh tubuh. Berdasarkan dari berbagai penelitian, pangan yang memiliki proporsi amilosa lebih tinggi dibandingkan amilopektin akan memiliki nilai IG yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya.[6][7]
Keasaman dan daya osmotik pangan
Pati di dalam pangan terdiri dari dua jenis yang berbeda, yaitu amilosa dan amilopektin.[3] Keasaman dan daya osmotik pangan akan mempengaruhi tinggi rendahnya IG yang dimiliki oleh pangan.[3]
Kadar lemak dan protein pangan
Pangan yang memiliki kadar protein dan lemak yang tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung sehingga pencernaan yang terjadi di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan yang memiliki kadar lemak yang tinggi cenderung memiliki IG yang lebih rendah dibandingkan pangan sejenis dengan kadar lemak yang lebih rendah. Hal ini dibuktikan oleh kentang goreng yang memiliki IG lebih rendah (IG:54) dibandingkan kentang bakar (IG:85).[2] Protein (asam amino) yang terdapat pada pangan dapat mempengaruhi respon glukosa darah sehingga dapat menimbulkan peningkatan atau penurunan respon glukosa darah. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis dari asam amino yang terkandung didalamnya. Penelitian yang dilakukan oleh Lang et al. (1999) menunjukkan bahwa pangan yang diujicobakan dengan kandungan kasein memberikan respon tertunda pada peningkatan glukosa darah dan insulin dibandingkan dengan pangan yang mengandung protein kacang kedelai.
Kadar anti zat-gizi pangan
Anti zat-gizi yang terdapat di dalam pangan dapat mempengaruhi nilai IG dari pangan tersebut. Contoh dari anti zat-gizi pangan adalah serat pangan yang dapat berperan sebagai inhibitor alfa-glukosidase (enzim pemecah gula kompleks) (Wolever 2006).
Referensi
- ^ a b c d (Inggris) Wolever, TMS (2006). The Glycaemic Index - A Physiological Classification of Dietary Carbohydrate (dalam bahasa English). Oxfordshire: Cabi International Publishing. ISBN 978-1-84593-051-6.
- ^ a b (Inggris) Foster-Powell (2002). "International table of glycemic index and glycemic load values:2002". American Journal of Clinical Nutrition (dalam bahasa English). 76: pp. 5–56. PMID 12081815.
- ^ a b c (Indonesia) Rimbawan (2006). Indeks Glikemik Pangan (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Penebar Swadaya. ISBN 979-489-847-3.
- ^ a b (Inggris) Ostman EM (2001). "Inconsistency between glycemic and insulinemic responses to regular and fermented milk products". American Journal of Clinical Nutrition (dalam bahasa English). 74 (1): pp. 96–100. PMID 11451723.
Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Ostman" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ (Inggris) Liljeberg H, Granfeldt Y, Björck I. (1992). "Metabolic responses to starch in bread containing intact kernels versus milled flour". European Journal of Clinical Nutrition (dalam bahasa English). 46(8): pp. 561–575. PMID 1396475.
- ^ (Inggris) Behall KM, Scholfield DJ, Canary J. (1988). "Effect of starch structure on glucose and insulin responses in adults". American Journal of Clinical Nutrition (dalam bahasa English). 46(8): pp. 428–432. PMID 3279746.
- ^ (Inggris) Miller JB, Pang E, Bramall L (1992). "Rice: a high or low glycemic index food?". American Journal of Clinical Nutrition (dalam bahasa English). 56: pp. 1034–1036. PMID 1442654.