Sastra Korea
Sastra Korea (한국 문학) adalah jenis sastra yang ditulis dan berkembang di Korea. Periode kesusastraan Korea dibagi menjadi 2 periode, klasik dan moderen. Tradisi tulis awal dimulai dari zaman purba dengan didapatnya bukti-bukti epigraf yang diukir di dinding-dinding makam kuno. Pada Zaman Tiga Kerajaan (37 SM-985 M), dikarenakan pengaruh budaya Tionghoa, orang Korea mulai menulis dengan aksara Tionghoa dan membuat kertas. Maka mulai saat itu teks-teks ditulis di atas kertas atau potongan bambu. Tradisi tulis di Korea mulai berkembang pesat semenjak diperkenalkannya Buddhisme dan Konfusianisme di zaman itu dimana banyak kuil-kuil dan perguruan dibangun untuk mendukung kegiatan menulis dan membaca. Berulangnya invasi dan perang pada periode ini membuat hanya sedikit saja peninggalan karya tulis zaman itu yang masih tersisa.
Sastra klasik
Sastra pra-moderen dinamakan sastra klasik. Sastra jenis ini dihasilkan daripada pandangan dan kepercayaan religius seperti ajaran Buddha, Kong Hu Chu dan Tao. Para sarjana dan ilmuwan Korea pada zaman kuno mendalami bahasa dan tulisan Tionghoa. Sastra klasik ditulis menggunakan aksara Tionghoa. Sistem penulisan bahasa klasik (hanmun) digunakan untuk dokumen-dokumen resmi, sementara sistem idu dan gugyeol mulai serta hangeul digunakan untuk karya tidak resmi. Para pembaca karya sastra di Korea pada zaman ini merupakan rakyat kelas atas. Umumnya mereka menikmati karya-karya sastra Tiongkok klasik.
Hyangga
Hyangga adalah jenis syair yang ditulis dalam aksara Tionghoa dengan sistem idu. Hyangga yang merupakan karya sastra Silla dicirikan dengan batasan-batasan formal yang bisa tersusun atas atas 4, 8, atau 10 bait. Syair 10 bait paling digemari, dengan struktur 4-4-2. Tema hyangga sebagian besar adalah mengenai Buddhisme.
Goryeo gayo
Pada zaman Dinasti Goryeo, muncul jenis seni sastra yang lebih populer, yakni Goryeo Gayo atau Lagu Goryeo. Goryeo gayo mempunyai bentuk khusus yakni byeolgok. Goryeo gayo dibagi dalam dua jenis yakni dallyeonche dan yeonjanche. Dallyeonche tersusun atas satu bait sementara yeonjanche tersusun atas banyak bait. Tema-tema Goryeo gayo umumnya menceritakan tentang kehidupan manusia dan keindahan alam. Salah satu syair yang terkenal adalah Gwandong byeolgok (byeolgok pesisir timur) yang menceritakan keindahan pantai di laut timur Gangwon.
Sijo
Sijo berkembang di zaman Joseon dan menjadi sangat digemari kalangan masyarakat umum. Sijo merefleksikan pemikiran Konfusianisme dan tema mengenai kesetiaan. Sijo mempunyai komposisi 3 bait dengan masing-masing bait terdiri atas 4 baris kalimat.
Gasa
Gasa juga muncul dan berkembang pesat di zaman Joseon, terutama pada kalangan bangsawan. Gasa berisikan tema-tema yang umum seperti ekspresi perasaan, keindahan alam, cinta dan kehidupan manusia.
Sastra moderen
Periode sastra klasik berakhir pada saat runtuhnya Dinasti Joseon dan zaman sastra moderen dimulai. Periode ini disebut Gaehwa gyemong (Pencerahan) dimana setelah setelah peristiwa Reformasi Gabo pada tahun 1894, bermunculan sekolah-sekolah barat dan media cetak yang menerbitkan karya sastra yang lebih bebas dan tidak terikat aturan seperti karya sastra klasik. Genre puisi baru dinamakan sinchesi dan gaya puisi bebas dinamakan jayusi.
Awal perkembangan sastra moderen erat kaitannya dengan pengaruh doktrin dari barat dan agama Kristen akibat meningkatnya kontak dagang dan ekonomi. Sastra moderen menjadi semakin pesat semenjak meluasnya penggunaan aksara hangeul. Hangeul sangat bermanfaat meningkatkan melek huruf rakyat. Genre novel baru (sinsoseol) ditulis dalam aksara hangeul menikmati kepopulerannya pada masa itu.
Sastra Korea mengalami tekanan besar pada zaman Penjajahan Jepang (1910-1945) karena segala aspek budaya dan seni Korea ditekan dan diberangus. Ekspresi dan tema tentang rasa percaya diri dan kebebasan tidak lagi berlaku seperti sebelumnya. Sastra Korea pada saat itu mencari bentuk baru untuk beradaptasi dengan tema pencarian jati diri dan kenyataan konkrit. Tema karya sastra tahun 1920-an umumnya menceritakan tentang penderitaan rakyat jelata yang memilukan.
Sampai pada tahun 1980-an, sastra Korea tidak banyak dikenal di luar negeri. Antologi karya sastra Korea yang pertama diterbitkan dalam bahasa Inggris adalah Flowers of Fire pada tahun 1986.
Sastra Korea di Indonesia
Karya sastra Korea di Indonesia tidak banyak dikenal. Namun semenjak berbagai universitas membuka jurusan dan pengajaran bahasa Korea, perlahan pemahaman dan minat akan sastra dan bahasa Korea meningkat. Karya pertama sastra Korea yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah sebuah antologi cerpen berjudul Kumpulan Cerpen Korea: Laut dan Kupu-kupu terbitan Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2007.