Lompat ke isi

Dayah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 5 Januari 2014 08.25 oleh LonNyoe (bicara | kontrib)

Dayah (dalam bahasa Arab; زاوية‎ zawiyah. Arti harfiahnya adalah sudut, karena pengajian pada masa Rasulullah dilakukan di sudut-sudut mesjid). Dibeberapa negara muslim lain dayah atau zawiyah juga lazim disebutkan sebagai sekolah agama Islam (madrasah) Di Indonesia penyebutan dayah untuk sebuah lembaga pendidikan agama Islam adalah di Aceh (di pulau Jawa disebut pesantren, asal kata "pe-santri-an". Artinya tempat para santri menetap dan menimba ilmu).

Dayah di Aceh

Pada zamana pra-kolonial di Aceh, dayah adalah satu-satunya institusi pendidikan resmi Kesultanan Aceh Darussalam. Dayah berdiri hampir disetiap gampong (desa) dan menjadi tempat anak-anak belajar aksara Arab. Dayah tingkat rendah dalam struktur dayah di Aceh adalah disebut Meunasah, kemudian Rangkang dan Dayah. Dayah resmi negara Aceh pada masa yang merupakan lembaga dayah tertinggi di ibukota Kesultanan Aceh yang disebut sebagai Jami'ah Baiturrahman.

Peran dayah dalam masyarakat Aceh

Dayah di Aceh merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk membimbing anak didik (Aneuk Dayah, santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian islami, yang sanggup menjadi umat yang berguna bagi bangsa dan negara serta agama. Diharapkan dari dayah lahir insan-insan yang menekankan pentingnya penerapan akhlak agama Islam yang merupakan pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.

Bila ditinjau dari sudut historis kultural, dayah di Aceh dapat dikatakan sebagai pusat pelatihan yang secara otomatis menjadi pusat budaya Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat di Aceh.

Dayah-dayah di Aceh dapat dikatakan sebagai "bapak" dari pendidikan Islam yang didirikan berdasarkan tuntutan dan kebutuhan zaman, yang mana dayah dilahirkan atas kesadaran kewajiban islamiah, yaitu menyebarkan dan mengembangkan agama Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da'i.

Tidak sedikit ulama-ulama dayah yang terkenal, baik dari segi keilmuannya juga dari sumbangsihnya kepada negara. Banyak ulama-ulama Aceh yang syahid, gugur di medan perang melawan penjajah, membela negara dan tanah air, seperti Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Fakinah dan seumpama beliau. Mereka ini adalah insan pilihan yang merupakan hasil dari didikan dayah.

Sekarang sudah banyak dayah-dayah di Aceh, dari berbagai jenis. Dayah Salafiyah masih bertahan dengan sistem pendidikan yang diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi. Salah satu contoh terbaik sistem Dayah di Aceh adalah Dayah MUDI Mesra yang merupakan Dayah dengan alumni terbanyak saat ini di Serambi Mekkah.

Kebanyakan dari dayah tradisional masih dikelola oleh seorang pimpinan dayah yang bila sudah wafat kemudian digantikan oleh pimpinan yang lain setelahnya, biasanya digantikan oleh anak-anak dari pimpinan dayah tersebut, atau juga dapat digantikan oleh menantu dan mungkin juga kerabat yang lain. Ini dikarenakan dayah tradisional di Aceh kebanyakannya milik pribadi seseorang pimpinan dayah atau milik orang lain yang dikelola oleh seorang teungku chik atau abu pimpinan dayah.

Di Aceh juga terdapat dayah/pesantren terpadu, dimana lembaga yang satu ini sudah menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang lebih modern, dengan fasilitas yang lebih maju, manajemen yang teratur. Dengan penambahan-penambahan pada materi pendidikannya, bahkan menyamai sekolah. Pada umumnya dayah terpadu ini lebih banyak diminati.