Lompat ke isi

Amstrong Sembiring

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Amstrong Sembiring
Berkas:JJ Amstrong Sembiring 2014-03-02 19-12.jpg
LahirJJ Amstrong Sembiring
PekerjaanPraktisi Hukum
Tempat kerjaPBH Komparta Indonesia
Dikenal atasAktivis & Praktisi Hukum Publik

JJ Amstrong Sembiring
Lahir1970
Indonesia
PekerjaanPraktisi Hukum

JJ Amstrong Sembiring (lahir 26 Juli 1970} [1]) adalah praktisi hukum, aktivis [2]) , pendiri LSM KOMPARTA Indonesia. Selain sebagai aktivis dan praktisi hukum, ia adalah penulis. [3])

Karier

Amstrong adalah Penulis [5]) dan Aktivis, [6])serta praktisi hukum, [7]) ia adalah pendiri LSM KOMPARTA Indonesia , [8]) merupakan LSM “anti privatisasi air” yang peduli dengan permasalahan tentang air sekitarnya [9]) dan ia juga merupakan pendiri lembaga hukum bernama Pusat Bantuan Hukum KOMPARTA Indonesia , [10]) selain aktivis, [11]) ia aktif membentuk forum sosial [12]) politik. [13]) Ia lulus dari Universitas Indonesia (UI) dengan mengantungi gelar M.H. (Magister Hukum). [14])Sebelum mempelajari ilmu hukum ia pernah kuliah di Fakultas Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB Bandung) tidak selesai, dan kemudian gelar sarjana hukum diperolehnya dari salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta. Karier sebagai Pengacara diawali bertahun-tahun sebagai Pengacara Publik di lembaga hukum yang dibentuk bersama dengan teman seperjuangan, maupun program sosial bermitra dengan lembaga lain dan sejalan dengan idealisme gerakan hukum tersebut. Berbagai Kasus Publik ditangani antara lain koordinator Tim Advokasi Hukum 150 PKL di Bandung Pada tahun 2001(ada korban meninggal dunia 1 (satu) orang) dimana Walikota Bandung kemudian dituntut sebesar Rp.5 Rupiah (lima rupiah) sebagai sebuah simbol arti dari perlawanan hukum. Di tahun 2002 ia ditunjuk sebagai koordinator Tim Kuasa Hukum Forum Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta menggugat pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pengadilan Jakarta Pusat maupun PTUN Jakarta. Pada tahun 2003 sebagai koordinator Lembaga untuk melakukan Gugatan Hukum terhadap Privatisasi Air di Jakarta terhadap kebijakan Gubernur DKI Jakarta di PN Jakpus, kemudian perkara tersebut menang [15]) dan kemudian melakukan gugatan terhadap mitra asing Perusahaan Air Minum (PAM Jaya) yaitu TPJ (THAMES PAM JAYA) dan Palyja (PAM LYONNAISE JAYA). [16]) Pada tahun yang sama [17]) mengajukan permohonan Judicial Review [18]) terhadap UU SDA (Sumber Daya Air) di Mahkamah Konstitusi (MK). [19]) Pada tahun 2004 ia ditunjuk sebagai koordinator dari Gerakan rakyat Indonesia Baru (GRIB) bersama Sri Bintang Pamungkas dan kawan-kawan menggugat KPU dan mengajukan permohonan Judicial Review terhadap UU PILPRES [20]) ke Mahkamah Konstitusi . Kemudian, ia juga aktif menangani kasus-kasus hukum aktivis , seperti hal peristiwa Longmarch Jakarta Bandung 2003 dalam rangka memperingati 5 (lima) Tahun Reformasi [21]) dan 10 (sepuluh) tahun Reformasi [22]) dalam rangka memperingati Kebangkitan Nasional, [23]) serta aktivis 98 [24]) Penolakan BBM 2008 [25]) sempat tersangkut nama Rizal Ramli (Mantan Koordinator Bidang Perekonomian di Era Gus Dur). [26]) Dan kasus lainnya masih banyak lagi baik perdata maupun pidana. Keahlian meliputi litigasi pidana, perdata, tata usaha negara; advokasi kebijakan meliputi legal reform atau judicial reform khususnya bidang hak-hak sipil dan politik dan filsafat hukum.

Peristiwa Hukum Pertama Kali Di Indonesia

  • Pengadilan Putuskan Kenaikan Tarif Air Minum Ditunda 29 Januari 2004

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan tuntutan subsider Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (KOMPARTA) terhadap Gubernur dan DPRD DKI Jakarta. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Andriani Nurdin memerintahkan Gubernur dan DPRD DKI Jakarta menunda kenaikan tarif air minum sebesar 40 persen untuk golongan III/K3A dan IV sampai batas waktu yang wajar.

Hakim menilai Pemprov harus melakukan sosialisasi kenaikan tarif, meningkatkan pelayanan, baik administrasi dan kualitas air minum, kepada masyarakat, khususnya kepada pelanggan terlebih dahulu. Tergugat, menurut hakim, berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat terhadap air bersih dengan memberikan kebijakan berdasarkan kaidah keadilan, kepatuhan, ketelitian, serta sikap hati-hati sesuai Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, majelis menilai masyarakat selaku konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur, mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Namun, hakim tidak mengabulkan tuntutan primer KOMPARTA yang meminta pembatalan kebijakan kenaikan tarif air minum tersebut. Hakim berpendapat tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum sehingga bisa membatalkan kebijakan tersebut. Selain itu kebijakan itu belum diberlakukan sehingga kerugian secara faktual akibat kenaikan tarif air minum belum ada.

<gallery caption="Amstrong Sembiring Saat Bersidang Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

File:Persidangan Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tahun 2004 2014-03-18 13-11.jpg|Komparta Memenangkan Perkara

Putusan ini sekaligus mematahkan eksepsi yang diajukan pihak tergugat. Eksepsi tergugat yang antara lain menyatakan gugatan itu kurang pihak di mana seharusnya melibatkan Pemerintah RI cq Departemen Dalam Negeri cq Gubernur DKI ditolak majelis hakim. Hakim berpendapat, sesuai UUD 1945 dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Daerah Otonomi maka dasar gugatan itu bisa dibenarkan. Dalam hal ini Gubernur dan DPRD DKI Jakarta adalah penyelenggara otonomi daerah. Hakim juga mengatakan penggugat sesuai putusan Mahkamah Agung bisa menentukan siapa saja yang akan digugatnya.

Selain menunda kenaikan tarif air minum, pihak tergugat juga dibebani biaya perkara secara tanggung renteng. Menanggapi keputusan itu, kuasa hukum tergugat I dan II, M Natsir, menyatakan masih pikir-pikir atas vonis yang dijatuhkan. "Masih ada waktu dua minggu. Nanti baru kita putuskan," ujarnya usai persidangan, Kamis (29/1). Sementara kuasa hukum KOMPARTA, JJ Amstrong Sembiring, menyatakan puas atas putusan yang sempat tertunda-tunda pembacaannya itu. Ia mengatakan akan membawa putusan pengadilan ini ke Komisi D DPRD DKI Jakarta. "Kita bicara dulu dengan Komisi D," ujarnya. Edy Can - Tempo News Room

  • Pertama di Indonesia, Hakim PN Jakbar Mainan Handycam Saat Sidang

Rina Atriana - detikNews. Jumat, 10/01/2014 16:43 WIB. Jakarta - Seorang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY). <ref> [31] </ref>) Hakim berinisial SH itu dinilai tidak serius karena menggunakan handycam saat persidangan berlangsung. "Dia merekam dengan handycam saat sidang. Rekam dengan handphone saja tidak boleh, ini malah pakai handycam," ujar pelapor Amstrong Sembiring, di kantor KY, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2014). [27])

Amstrong merupakan kuasa hukum dari pihak berperkara yang kasusnya tengah ditangani SH dan dua hakim lainnya. Sebelum ditemui komisioner KY Taufiqurrohman, Amstrong sempat terlibat adu mulut dengan resepsionis. [28]) Ia meminta segera dipertemukan dengan komisioner. Kasus yang ditangani SH adalah terkait pembagian warisan yang melibatkan adik kakak. SH diketahui merekam saat berlangsungnya persidangan dengan agenda mendengarkan putusan sela 4 Desember 2013 lalu. "Laporan itu sudah masuk, nanti KY akan periksa setelah majelis selesai memutus perkaranya. Baru pertama hakim sidang mainan handycam, kalau smsan sih sudah pernah dilaporkan," jelas Taufiq kepada wartawan di KY.

Artikel Hukum Menarik Perhatian Publik

  • Hakim Dan Keadilan Ditengah Degradasi Moral

Dalam konteks tersebut, [29])degradasi dapat diartikan sebagai penurunan suatu kualitas. Degradasi moral hakim dapat diartikan bahwa moral hakim pada saat ini terus menerus mengalami penurunan kualitas atau degradasi dan tampak semakin tidak terkendali. Penurunan kualitas moral terjadi dalam segala aspek mulai dari tutur kata, cara pandang hingga perilaku. Degradasi moral hakim merupakan salah satu masalah krusial sosial bagi pencari keadilan yang perlu mendapat perhatian baik dari pemerintah/ lembaga terkait secara khusus serta masyarakat luas pada umumnya. Sebagaimana Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial RI Nomor 03/PB/MA/IX/2012 – 03/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama dan Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial RI Nomor 04/PB/MA/IX/2012 – 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. Dimana kode etik dan pedoman perilaku hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.

Faktor Modernisasi dan globalisasi sangat berpengaruh pada degradasi moral hakim pada saat ini. Globalisasi menuntut kesiapan mental dari masyarakat. Ketidak siapan mental menimbulkan kelengahan akan bahaya globalisasi yang timbul. Masyarakat modern seringkali digambarkan sebagai masyarakat yang diwarnai kapitalisme dan pemisahan antara dunia dan akhirat (sekularisme). Bahkan teori moralitas modern—sesuai dengan pemikiran jaman Pencerahan yang kini tidak lagi diterima—masih percaya akan konsep kemajuan historis yang secara linier menuju ke arah cara hidup masyarakat komersial sebagai kemajuan peradaban. Dunia modern memunculkan konsep-konsep moralitas tertentu, namun juga mencabut alasan-alasan untuk sungguh-sungguh menerima konsep-konsep tersebut. Modernitas membutuhkan moralitas, maupun membuat moralitas mustahil. Bernard James bahkan mengatakan bahwa modernitas memiliki kekuatan maut yaitu ‘kebudayaan progres modern’ dan kekuatan tersebut harus dihancurkan sebelum ia menghancurkan seluruh umat manusia. Istilah modern berasal dari kata Latin, modo , yang berarti “barusan”. Istilah ini muncul ketika Suger, seorang kepala biarawan, merekonstruksi basilika St. Denis di Paris pada sekitar tahun 1127. Gagasan arsitekturalnya menghasilkan suatu gaya yang belum pernah tampak sebelumnya, satu “tampakan baru” yang bukan Yunani, Romawi, maupun Romanesque. Ia tidak tahu bagaimana menamainya, hingga dia melirik istilah Latin, opus modernum yang berarti sebuah karya modern. Konsep ‘modernisme’ pada umumnya selalu dikaitkan dengan fenomena dan kategori kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan estetika atau gaya. Konsep ‘modern’ sering dikaitkan dengan penggal sejarah atau periodisasi. Sementara, konsep ‘modernitas’ digunakan untuk menjelaskan totalitas kehidupan.

Bahaya tersebut secara tidak sadar bukan dihindari tetapi diikuti oleh sebagian dimasyarakat. Kurang fokus perhatian pemerintah/ lembaga akan bahaya yang mengintai ikut berperan, sehingga yang ada saat ini adalah sebagian dari hakim Indonesia mengalami degradasi moral yang akan berdampak pada kelanjutan proses penegakan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perilaku perilaku tidak terpuji yang terjadi pada hakim saat ini seperti:

1. Berita tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstiusi, Akil Mochtar bagaikan “petir” yang menyambar rumah proses penegakan hukum Di Indonesia.

2. Daftar nama 8 hakim yang bakal dipecat KY dan MA . Menurut sumber KomisionerKY bidang Hubungan Antar Lembaga, Imam Anshori Saleh, mengatakan MKH untuk ke delapan hakim ini akan digelar pada minggu keempat bulan Februari 2014. Sidang digelar secara ‘maraton’ dari hari selasa hingga hari kamis. “Ya minggu keempat FebruariKY dan MA akan sidang maraton. Sehari sidangkan dua hakim. Dari selasa sampai kamis. Terus dilanjutkan minggu pertama pada 4 Maret 2014,” kata Imam saat dihubungi Line Indramayunews Biro Jakarta, Selasa (18/2).

Berikut identitas kedelapan hakim yang menunggu detik-detik MKH:

PZJ Wakil Ketua PN Mataram. Rekomendasi: Pemberhentian tetap dengan tidak hormat Majelis dari KY: Eman suparman, Imam Anshori, Taufiqurrohman, dan Jaja Ahmad Jayus Kasus: Suap. ES Hakim PN Tebo, Jambi Rekomendasi: Pemberhentian tetap dengan hak pension Majelis dari KY: Eman Suparman, Imam Anshori, Taufiqurrohman, dan Jaja Ahmad Jayus Kasus: Selingkuh MA Pengadilan Agama Tebo, Jambi. Rekomendasi: Pemberhentian tetap dengan hak pension Majelis dari KY: Eman Suparman, Imam Anshori, Taufiqurrohman, dan Jaja Ahmad Jayus Kasus: Selingkuh RL Hakim PN Ternate Rekomendasi: Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri Majelis dari KY: Abbas said, Imam Anshori, Taufiqurrahman, dan Ibrahim Kasus: Selingkuh dengan Staf RC Hakim Ad Hoc Tipikor PN Bandung Rekomendasi: Pemberhentian tidak dengan hormat dari jabatan hakim Majelis dari KY: Eman Suparman, Imam Anshori, Ibrahim, dan Jaja Ahmad Jayus Kasus: Suap J Wakil PTUN Banjarmasin Rekomendasi: Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri Majelis dari KY: Abbas Said, Eman Suparman, Taufiqurrohman, Ibrahim Kasus: Selingkuh PR hakim PTUN Surabaya Rekomendasi: Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri Majelis dari KY: Abbas Said, Eman Suparman, Taufiqurrohman, Ibrahim Kasus: Selingkuh PSL hakim PTUN Pekanbaru Rekomendasi: Pemberhentian tidak dengan hormat Majelis dari KY: Abbas Said, Eman Suparman, Taufiqurrohman. Kasus: Narkoba. 3. Seorang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dibulan Januari 2014, yakni Hakim berinisial SH diketahui bernama Sigit Hariyanto SH dalam perkara perdata No 320 pada tahun 2013 dinilai tidak serius karena menggunakan handycam saat persidangan berlangsung. Seharus dalam mengemban profesinya dipegang teguh, Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.

4. Dan masih banyak lagi etika dan perilaku tidak sesuai dalam mengemban profesi hakim. [30])

Degradasi moral Hakim secara nasional dapat dilihat dari pemberitaan media masa seperti : etika dan perilaku yang banyak disimpangi, pemberitaan yang dapat menggambarkan turunnya moralitas sebagian citra hakim dan turunnya moralitas kinerja hakim: Dari gambaran diatas serta tak habis habisnya pemberitaan di media masa tentang turunnya moral hakim seakan tidak mampu mengusik telinga pemerintah kita yang sibuk mengurus masalah politik yang tidak pernah habis. Mereka tidak menyadari bahwa dengan banyaknya kasus korupsi, sebenarnya merekapun sudah terkena degradasi moral.

Dari permasalahan permasalahan yang timbul seperti contoh diatas, akan muncul pertanyaan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut? Sebenarnya moral itu berkembang mulai dari bayi hingga akhir hayat, namun moral akan menjadi baik apabila pada saat moral berkembang diiringi dengan menanamkan kebiasaan kebiasaan yang akan membentuk karakter anak. Dalam pembentukan karakter tersebut perlu ditanamkan moral yang meluhurkan peradaban, kemanusiaan serta prinsip prinsip moral dan ilmu pengetahuan. Beberapa hal yang menyebabkan turunnya moral hakim antara lain, dari lingkungan, tak terlepas juga pengaruh budaya asing yang tanpa tersaring sama sekali dimana akan memberi dampak negatif. Salah satunya dalam hal pergaulan. Karena, kalau kita lihat di kota-kota besar budaya clubbing, minum-minuman keras, dan narkoba menjadi budaya baru. Dan kemudian, demikian juga media masa atau media informasi. Kemajuan IPTEK melahirkan berbagai macam media yang mutakhir seperti televisi,handpone, internet dan lain-lain dan banyaknya informasi yang bisa di peroleh dari media tersebut

Dunia modern memunculkan pemahaman-pemahaman tertentu tentang moralitas, tetapi juga menghancurkan dasar-dasar untuk menganggap serius pemahaman tertentu. Sampai sejauh ini perdebatan seputar permasalahan tersebut masih menjadi bahan pembicaraan. Masyarakat yang atomistik, impersonal, dan penuh persaingan dalam dunia pasar dan kapitalisme, membuat orangtidak lagi menemukan jati-diri-individualnya dalam jati-diri-sosial. Dalam masyarakat tersebut jati diri individual seseorang menjadi abstrak dan berdasarkan pilihan bebasnya sendiri. Moralitas publik tidak lagi dapat didasarkan atas kesadaran untuk mengejar keutamaan hidup sebagai manusia, karena mengenai mana yang disebut keutamaan dan mana yang disebut cacat semakin sulit diperoleh kata sepakat. Apa yang secara tradisional dijadikan dasar material, objektif dan rasional untuk hidup bermoral, yakni kodrat kemanusiaan yang secara ontologis terarah pada Yang Baik, kini rupanya dipertanyakan, karena dianggap tidak sesuai dengan tuntutan kebebasan eksistensial manusia. Moralitas dalam masyarakat modern tidak lagi dilihat dan dihayati sebagai wujud pemenuhan diri, tetapi sebagai pemberi batas-batas yang menjamin kebebasan individu dalam hubungan kontraknya dengan individu lain.

Adanya penyimpangan sosial

Longgarnya pegangan terhadap agama .Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang peda ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila dalam masyarakat itu banyak orang yang melakukan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.

Kurang efektifnya pengawasan terhadap moral hakim yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga, maupun masyarakat. Pengawasan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semestinya atau yang sebiasanya. Ditambah adanya budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis.dimana gajala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan,bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Hedonisme dapat didefinisikan sebagai bentuk dari kecintaan seseorang pada dunia, sehingga apa saja yang dilakukannya berorientasi pada kepuasan duniawi semata. Media massa, dalam hal ini, memiliki pengaruh terhadap penciptaan kriteria daya tarik seks pada pria dan perempuan. Dukungan terhadap kriteria daya tarik seks itu sendiri pada dasarnya dilandasi oleh kepentingan ekonomi. Hal tersebut juga dapat diartikan bahwa pria dapat digolongkan sebagai pengendali perekonomian, dimana mereka merupakan pasar potensial bagi barang konsumen.

Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral. Degradasi moral memang seharusnya mendapat perhatian lebih. Luangkan waktu sejenak wahai petinggi Negara, Lihat anak bangsa ini! Moral mereka ter-degradasi. Marilah kita perbaiki bersama.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana di atas, perlu terus diupayakan secara maksimal tugas pengawasan secara internal dan eksternal, oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI. Wewenang dan tugas pengawasan tersebut diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi, jujur, dan profesional, sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Sejalan dengan tugas dan wewenangnya itu, hakim dituntut untuk selalu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta etika dan perilaku hakim.

Hakim Menegakkan Hukum

Hakim adalah orang yang mengadili perkara, yang keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Dapat dibayangkan bila hakim tidak benar maka pengambilan keputusannya pasti sewena-wena, hanya menguntungkan atau mengakomodir kepentingan pribadi atau kelompok sang hakim yang tidak benar dan merugikan orang lain. Itulah sebabnya, orang yang mejadi hakim harus orang yang benar, yang memutuskan perkara secara benar dan adil. Hakim yang benar adalah seseorang yang tidak berdosa, yang hatinya tidak ada kejahatan, adakah manusia yang demikian?

Dalam memutuskan perkara duniawi saja dibutuhkan hakim yang memenuhi mekanisme fit dan proper test supaya tidak terjadi ketimpangan dalam pengambilan keputusan, terlebih lagi dalam memutuskan perkara rohani, kita membutuhkan hakim yang benar supaya tidak tersesat

Menghakimi berarti juga mengadili atau berlaku sebagai hakim. Dalam bahasa yunani kata Krino adalah kata utama yang menjelaskan menghakimi, selain kata Krino ada juga turunan dari kata ini yakni Katakrino dan Anakrino yang memiliki kenotasi yang sama yakni, memutuskan atau membuat penilai terhadap sesuatu. isinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Berdasarkan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta itu merupakan cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsip-prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim ini bermakna pengamalan tingkah laku sesuai agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini akan mampu mendorong hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran dan tuntunan agama dan kepercayaan yang dianutnya.

  • Pengacara, Hakim Dan Keadilan

Supremasi hukum di Indonesia cuma pemanis bibir hakim sebagai penguasa ruang sidang. Lihat saja kinerja institusi hukum, terutama lembaga peradilan dimana banyak masyarakat pencari keadilan belum puas, danmasih kecewa dengan institusi kehakiman yang belum bebas dari praktik suap. Padahal kesejahteraan hakim sudah di atas rata-rata, dengan penghasilan sekitar Rp 10 juta/bulan untuk hakim baru (0 tahun). “Dari hasil survei, 60 persen responden menyatakan kekuasaan kehakiman dinilai belum bersih dari praktik suap,” kata peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natoesmal dalam jumpa pers di Warung Daun, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (detiknews, 9/4/2013).

Badan Peradilan dalam lingkungan peradilan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 8/198 diubah dengan UU No.8/2004 dan terakhir di ubah dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Tentang Peradilan Umum memberi difinisi,” Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Pengadilan sebagai ujung tombak pelaku kekuasaan kehakiman bagi para pencari keadilan harus menjamin terlaksana keadilan dan kepastian hukum. Tetapi dalam praktik mencari keadilan peradilan belum dapat memberikan pelayanan sebagai public servise (pelayan publik) yang memadahi, apalagi berkaitan dengan kekusaan dan kewenangan yang dimiliki dari putusan yang dijatuhkan justru malah menimbulkan ketidakadilan bagi pencari keadilan.

Lembaga tersebut terkesan lemah dan “kurang vitamin” menahan runtuhnya supremasi hukum. Tak heran bila jika masyarakat pencari keadilan menilai berbagai peristiwa hukum yang digelar hakim tak lebih dari rangkaian tontonan hukum yang semu. Kinerja peradilan hingga kini tetap tidak dapat diprediksi, dan opini masyarakat maupun pasar pun semakin menguat bahwa peradilan tidak dapat dan belum dapat melaksanakan fungsinya secara independen bebas dari pengaruh kepentingan. Korupsi dan suap tetap menjadi permasalahan utama yang membayangi kinerja dan kredibilitas institusi peradilan. Reformasi peradilan yang berjalan hingga kini kurang memperhatikan strategi dan arah reformasi yang seharusnya hendak dituju. Dengan kata lain hingga kini Reformasi Peradilan belum memenuhi harapan publik

Indenpendesi Bukan Semata

Independensi Peradilan secara umum dipakai untuk mewakili lembaga peradilan, termasuk individu-individu hakimnya, sebagai lembaga yang bebas dari intervensi dari pihak lain. Prinsip-prinsip dari Prinsip Dasar Independensi Peradilan Versi PBB menjelaskan bahwa imparsialitas peradilan ditentukan oleh perilaku hakim yang selalu memutus perkara yang diajukan kepada mereka berdasarkan fakta-fakta dan kaitannya dengan hukum yang berlaku, tanpa adanya pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak seharusnya ada, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman, atau intervensi-intervensi, baik secara langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun dan dengan alasan apapun.

Secara konstitutional, independensi peradilan merupakan prinsip yang harus dijabarkan, secara eksplisit, dalam konstitusi guna memastikan adanya jaminan pelaksanaan kekuasaan yudikatif yang selalu independen. Prinsip 1 dari Prinsip dasar lansiran PBB menyebutkan: “The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary.” Secara Nasional, pengakuan terhadap independensi peradilan termaktub pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Dimana independensi peradilan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan suatu lembaga peradilan yang ideal. Katanya jika hal ini absen, maka peranan dari lembaga peradilan akan terdistorsi dan mengakibatkan turunnya kepercayaan publik kepada lembaga peradilan khususnya dan penyelenggara negara pada umumnya. Sayangnya, hal ini tengah dialami oleh lembaga peradilan Indonesia. Reduksi kepercayaan publik secara konstan adalah diakibatkan absennya prinsip independensi peradilan dalam upaya melindungi hak warga negara untuk mendapatkan keadilan dan akses terhadap keadilan. Penyebabnya, adalah perilaku korup dari institusi peradilan.

Namun justifikasi independensi hakim juga bukan semata-mata sebagai “alat“, karena sekarang ini profesi hakim itu telah memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.

Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.

Barangkali ada “joke” dapat kita bisa refleksikan seabagai sebuah kisah lucu mempunyai intepretasi makna arti yang dalam sebagaimana kata “independensi” selalu sebagai alat justifikasi oleh hakim membawa atas nama keadilan dan kenyataan itu kerap membodohi dan semu semata bagi pencari keadilan. Alkisah tersebut, dimana beberapa hari sebelum sidang antara 2 perusahaan yang berperkara, seorang pengacara mendatangi kliennya, seorang pejabat yang korup. “Saya peringatkan kepada anda, hakim yang akan mengadili perkara kita ini sangat terkenal sebagai hakim yang bersih. Jadi, kalau anda benar-benar ingin menang dari lawan kita, jangan sekali-kali mencoba menyuapnya…” kata pengacara. “Tenang saja pak pengacara…. Saya tidak akan melakukannya dan saya malah semakin yakin bahwa kitalah yang akan menang” kata si pejabat. Singkat cerita, waktu persidangan pun tiba. Tanpa melalui proses yang terlalu lama, hakim pengadilan tersebut langsung memvonis bersalah Lawan si pengacara dan kliennya tersebut.

Pengacara itu heran ketika seusai sidang kliennya mengatakan bahwa perkara itu berhasil mereka menangkan karena dia telah mengirim sejumlah uang kepada hakim tersebut. “Hah…., bagaimana mungkin ?? Hakim itu terkenal sebagai hakim yang jujur dan bersih. Apakah dia sudah berubah dan menerima uang dari anda ?? tanya pengacara. “Hakim itu sama sekali tidak berubah….. Saya mengirim uang tersebut dengan mengatasnamakan lawan kita….” kata si pejabat sambil tersenyum penuh kemenangan. (sumber : http://www.kaskus.com)

Menurut Prof. JE Sahetapy menjadi salah satu pembicara dari 3 narasumber yang hadir dalam diskusi media KPK ini. Yang lainnya adalah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Wakil Ketua KPK Bambang Wdjojanto dan yang menjadi moderatornya yakni Juru Bicara KPK Johan Budi, SP, mengatakan, “Saya melihat dari sisi politik, zaman Pak Harto korupsi di bawah meja, sekarang korupsi termasuk mejanya, kurang ajar koruptornya, dan biasanya di dalam negara,” jelasnya. (sumber, baranews.co ,Selasa, 28 Januari 2014 ).

Pengacara

Ironis kenyataan, lembaga peradilan sebagai penegakan keadilan Republik Indonesia belum bisa diharapkan. Begitupun Polisi dan Jaksa sebagai aparat hukum, masih banyak yang “nakal”. Faktanya, hukum ternyata hanya mampu meloloskan para pelanggar HAM dan pelaku-pelaku praktek KKN. Sementara disisi lain, para profesional pengacara ‘alpa” lupa daratan dan hanya ingin membangun dunianya sendiri, dengan bergaya hedonisme serta pernak-perniknya. Hedonisme merupakan sebagai bentuk dari kecintaan seseorang pada dunia dipraktekkan dengan kasat mata, sehingga apa saja yang dilakukannya berorientasi pada kepuasan duniawi semata.

Celakanya media massa, dalam hal ini, turut memiliki pengaruh terhadap penciptaan kriteria daya tarik. Kecenderungan ini dapat dilihat dari fenomena mulai maraknya menunjukkan barang-barang mewah yang diperlihatkan . Bukan saja barang-barang yang memang dekat dengan bidang produksi (mobil, alat-alat telekomunikasi, dan sebagainya), tetapi juga bidang gaya domestik perawatan tubuh dan wajah, dan pakaian. Walaupun menunjukkan supaya mereka dapat digolongkan sebagai pasar yang menjanjikan. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya majalah atau media massa lain yang mulai dari majalah, tabloid, dan radio semakin mengukuhkan mereka sebagai golongan yang memiliki tempat khusus dihati pelaku ekonomi yang kapitalistik.

Tak heran juga, jika sebagian para pengacara tiba-tiba menjadi sadar citra, bergerak menuju lebih sering atau memelihara pemunculan di berbagai media secara teratur, khususnya televisi. Mereka hadir terus dan terus berbicara di televisi, sekalipun apa yang disampaikan tak ada manfaat atau konkretnya: tidak ada yang langsung bisa dirasakan oleh rakyat setelah mereka mematikan pesawat televisinya.

Ironis, masih teringat berapa tahun lalu dalam tayangan sebuah media televisi swasta, seorang pengacara menyatakan, bila tidak membela kasus Koruptor, tidak ada pekerjaan. Maka tak heran jika Prof Sahetapy mengatakan, “Kalau ada pengacara tutup mulut mu jangan bicara, pengacara ini dibayar dengan uang haram dan halal? Karena bayar pengacara paling mahal. Kalau uang haram, harus usut pengacara baik itu TPPU,” ujar Guru Besar ilmu hukum di Universitas Airlangga JE Sahetapy dalam diskusi media KPK berjudul “Pemberantasan Korupsi Politik, Politisasi Pemberantasan Korupsi” di KPK, Jakarta (28/1).

Menurut Sahetapy, KPK harus menduga penghasilan dari para pengacara, apakah dengan membela orang bersalah para pengacara itu juga turut ‘bermain’ dengan hukum, seperti menyuap jaksa dan hakim. “Harus (diusut TPPU) begitu. Supaya kapok-kapok pengacara ini,” ujar Sahetapy. (sumber,baranews.co , Selasa, 28 Januari 2014 )

Di negeri ini profesi pengacara seharus mempunyai andil buat penegakan hukum yang lebih baik, namum tak terbantahkan kenyataan tak sedikit banyak yang berinter-play dengan berbagai pihak guna mempraktekkan hukum pada sebuah institusi hokum, dimana mereka bekerja semata-mata demi uang.

Hebatnya lagi, mereka bisa berinter-play dengan lembaga pencari keadilan. Mereka sangat bangga jika membela pejabat, mantan pejabat atau para konglomerat hitam dari jeratan hukum. Kabut tebal yang menyelimuti iringan-iringan kepalsuan, kesemuan dan kepura-puraan telah menghiasi wajah hukum kita selama ini selama berpuluh-puluh tahun hingga kini.Lebih naif, ada sebuah pengadilan (misalnya) menghadirkan tersangka, pengacara, jaksa dan saksi. Akan tetapi, apa yang terjadi di dalamnya tak lebih dari wacana kepura-puraan. Yang dipentungkan didalam wacana semacam itu bukanlah substansi dan kebenaran hukum. Melainkan kemampuannya menciptakan sebuah citra (image) bahwa aparat hukum telah sungguh-sungguh memeriksa, bahwa Kejaksaan Agung telah serius dalam penyelidikan. Mereka kerap menari-nari diatas tinta pers dan mempermainkan sumber berita. Dengan santainya, tanpa beban apapun manipulasi saksi, bukti-bukti, intimidasi absurb pada institusi. Dan berkolaborasi dengan massa sidang (internal maupun eksternal) dengan cara mempolitisasi.

Berapa waktu lalu ICW pernah menguraikan daftar para pengacara hitam, sebagaiberikut daftar advokat ‘nakal’ versi ICW sebagaimana sumber Tempo, (temp.co, 29 Jul ,2013), sebagai berikut:

Haposan Hutagalung, Nama Haposan mencuat ketika menangani kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan dan kasus suap kepada Komisaris Jenderal Susno Duadji sewaktu menjabat Kepala Bareskrim Polri. Dalam kasus Gayus, sejumlah nama memang terseret masalah, termasuk jaksa Cyrus Sinaga. Haposan kemudian divonis MA 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta. Lambertus Palang Ama, Seperti juga Haposan, Lambertus diduga terlibat kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan. Dia divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 3 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta.

Ramlan Comel, Pengacara ini diduga korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako US$194.496 atau setara dengan Rp1,8 miliar. Pada 2005, Comel divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Pekan Baru. Namun ia kemudian dibebaskan di Pengadilan Tinggi Riau pada 2005 dan Mahkamah Agung pada pada 2006 (Putusan Nomor 153K/PID/2006). “Saya enggak berani jawab karena nanti malah salah. Silakan selidiki dan teliti ke MA atau Pak Denny (Indrayana), ya, silakan,” kata Ramlan soal ini. Ramlan Comel pada tahun 2010 diterima sebagai hakim adhoc tipikor dan ditempatkan di Pengadilan Tipikor Bandung. Pada tahun 2011 dia menyatakan kepada pimpinan MA mengundurkan diri. Waktu itu, Ramlan merupkan satu dari majelis hakim tipikor yang membebaskan Walikota Bekasi Mochtar Mohammad. Hingga kini dia masih berdinas dan mengadili di Pengadilan Tipikor Bandung.

Tengku Syaifuddin Popon. Tengku Syaifuddin mencuat ketika menangani perkara korupsi yang melibatkan gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Ia diduga berupaya menyuap pegawai pengadilan tinggi tipikor sebesar Rp 250 juta. Tengku pun divonis Pengadilan Tinggi tipikor 2 tahun 8 bulan.

Harini Wijoso, Hariani masuk advokat bermasalah setelah dianggap berusaha menyuap pegawai MA dan hakim agung. Suap diduga terkait kasus yang melibatkan pengusaha Probosutejo. Dia akhrinya divonis MA tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Adner Sirait, Adner dituding berupaya menyuap Ibrahim, Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dalam perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektar di Cengkareng, Jakarta Barat, melawan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada 2010, dia divonis Pengadilan Tipikor 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 150 juta.

Mario C. Bernardo, Pemberian uang kepada pegawai MA Djodi Supratman diduga berkaitan dengan kasus yang tengah berada di tingkat kasasi. Dia ditangkap KPK setelah sebelumnya menyerahkan uang Rp 80 juta kepada pegawai MA Djodi Supratman. Saat ini kasus ini masih diusut KPK. Data lain disebutkan oleh Komisi Yudisial menerima 2.046 laporan dari masyarakat terkait perilaku hakim selama 2013. Laporan dugaan penerimaan suap paling banyak disampaikan oleh masyarakat. “Laporannnya jauh lebih banyak dugaan suap, terlepas terbukti atau tidak terbukti,” kata Ketua KY Suparman Marzuki dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (26/12/2013). Selain suap, laporan yang juga banyak disampaikan oleh masyarakat antara lain perilaku hakim yang tidak disiplin sidang dan mengabaikan keterangan saksi yang berkaitan dengan teknis yudusial. “Lalu ketiga, laporan soal perilaku moral. Seperti narkoba dan perselingkuhan,” ujarnya. (sumber, http://www.pa-sintang.go.id, 24 Februari 2014).

Tak heran kita menyaksikan jika ada Puluhan warga Bali berunjuk rasa ke kantor pengadilan Negeri Denpasar, mereka menuntut pencopotan oknum hakim nakal yang dinilai merusak citra penegak hukum. Oknum hakim nakal tersebut kerap mengeluarkan vonis yang janggal dan tidak adil. (sumber, http://wartatv.com, 06 maret 2014).

Kemudian ada seorang Fatma Watih Mamonto (43) warga Girian nampak berteriak-teriak keras dengan menggunakan megaphone didepan kantor Pengadilan Negeri (PN) Bitung menerikan unek-uneknya kepada seorang hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bitung, Senin kemarin. Fatma bersama puluhan warga kota Bitung melakukan aksi unjuk rasa menuntut pemecatatan kepada seorang hakim di PN Bitung bernama Sugianto yang tidak benar memimpin sidang perdata gugatan kepemilikan tanah dengan mengeluarkan putusan verstek dengan nomor 130/Pdt.G/2013/PN.Btg atas gugatan kepemilikan yang berada dibelakang lapangan Maesa Bitung. (sumber manado.tribunnews.com , 27 januari 2014).

Demikian juga tahun 2013 unjuk rasa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa Hukum Indonesia (GMHI) merupakan aliansi dari mahasiswa-mahasiswa hukum di Jakarta, menyatakan sikap dengan tegas BERANTAS PENGACARA HITAM dan HAKIM HITAM keakar-akarnya karena merusak penegakan hukum di Indonesia.

Para Hakim berserta penegak hukum lainnya berkerja harus secara professional dan praktek-praktek mafia hukum di pengadilan. Meraka berunjuk rasa karena melihat banyak keganjilan-keganjilan secara kasat mata melihat sikap majelis hakim yang tidak adil, tidak jujur, tidak bertanggung jawab, tidak professional dan arogan angkuh sombong,, mereka aksi unjuk rasa pada proses sidang tahap REPLIK, dimana ada penggantian kuasa hukum (pengacara) bernama Manuarang Manalu, SH meruapakan kawan tim hukum saudara Taripar Simanjuntak, SH diganti dengan kuasa hukum bernama Mangapul Sitorus, SH, kemudian diganti lagi oleh Marbun SH dan mereka berempat tersebut merupakan staf hukum dan pengacara bermitra kepada kantor hukum Rudy Lontoh & Partners di daerah Menteng Jakarta pusat, demikian juga pada saat yang bersamaan ada juga penetapan penggantian Ketua Majelis Hakim dan angota-anggotanya, Anggota Majelis yang baru susunan anggota adalah Sigit Hariyanto, SH. MH dan Julien Mamahit, SH serta Ketua Majelis Harijanto, SH, MH.

Ironis sekali, di Indonesia kebenaran hukum erat hubungan dengan kekuasaan. Kebenaran hukum membutuhkan pembenaran (justifikasi) kekuasaan. Dalam konteks sebuah sistem hukum yang tidak bebas dari pengaruh eksekutif, kebenaran hukum akhirnya dipegang penguasa. Akibatnya, semakin dekat tersangka pada pusat kekuasaan, semakin besar pula kebenaran hukum untuk terhindar dari jerat hukum.Di negeri ini beberapa pengacara kerap meniupkan seruling kemanusiaan (humanis), namun mereka menjadi pengacara hitam yang sangat loyal sekali membela para koruptor dan pelaku-pelaku praktek KKN. Kemudian sederetan beberapa pengacara berbicara tentang demokrasi, sekarang menjadi pengacara hitam yang oportunis dan arogan.

Dalam kondisi demikian, pencarian kebenaran dan keadilan dinegeri ini menjadi laksana sebuah pencarian di sebuah lorong gelap. Wajah hukum kita sarat berjuta-juta parasit, virus dan topeng-topeng. Sulit mengembalikan keasliannya. Supremasi hukum hanya kepura-puraan dan menambal borok-borok hukum dengan berbagai kepalsuan (oportunis). Akhirnya, lihatlah para pengacara hitam mencari kesenangan fana. Mereka menari-nari diatas pelangi nan jauh di langit biru, tanpa pernah ingin turun kebumi. Ironis sekali !

Referensi

  1. ^ [1]
  2. ^ [2]
  3. ^ [3]
  4. ^ [4]
  5. ^ [5]
  6. ^ [6]
  7. ^ [7]
  8. ^ [8]
  9. ^ [9]
  10. ^ [10]
  11. ^ [11]
  12. ^ [12]
  13. ^ [13]
  14. ^ [14]
  15. ^ [15]
  16. ^ [16]
  17. ^ [17]
  18. ^ [18]
  19. ^ [19]
  20. ^ [20]
  21. ^ [21]
  22. ^ [22]
  23. ^ [23]
  24. ^ [24]
  25. ^ [25]
  26. ^ [26]
  27. ^ [27]
  28. ^ [28]
  29. ^ [29]
  30. ^ [30]

Pranala luar