Lompat ke isi

Pembicaraan Pengguna:Komparta

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mohon jangan gunakan templat "{{Infobox Person}}" di ruang nama pengguna Anda. Gunakan {{Infobox pengguna}}.

JJ Amstrong Sembiring (lahir 26 Juli 1970} [1]) adalah praktisi hukum, aktivis [2]) , pendiri LSM KOMPARTA Indonesia. Selain sebagai aktivis ia penulis. [3])

Karier

Ia adalah Penulis [5]) dan Aktivis, [6])serta praktisi hukum, [7]) ia adalah pendiri LSM KOMPARTA Indonesia , [8]) merupakan LSM “anti privatisasi air” yang peduli dengan permasalahan tentang air sekitarnya dan ia juga merupakan pendiri lembaga hukum bernama Pusat Bantuan Hukum KOMPARTA Indonesia , [9]). Pada tahun 2003 ia sebagai koordinator Lembaga untuk melakukan Gugatan Hukum terhadap Privatisasi Air di Jakarta terhadap kebijakan Gubernur DKI Jakarta di PN Jakpus, dan perkara tersebut dimenangkannya [10]). Kemudian pada tahun sama Komparta Indonesia melakukan gugatan terhadap mitra asing Perusahaan Air Minum (PAM Jaya) yaitu TPJ (THAMES PAM JAYA) dan Palyja (PAM LYONNAISE JAYA). [11]). Komparta Indonesia juga [12]) mengajukan permohonan Judicial Review [13]) terhadap UU SDA (Sumber Daya Air) di Mahkamah Konstitusi (MK). [14])

Peristiwa Hukum Pertama Kali Di Indonesia

  • Pengadilan Putuskan Kenaikan Tarif Air Minum Ditunda 29 Januari 2004

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan tuntutan subsider Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (KOMPARTA) terhadap Gubernur dan DPRD DKI Jakarta. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Andriani Nurdin memerintahkan Gubernur dan DPRD DKI Jakarta menunda kenaikan tarif air minum sebesar 40 persen untuk golongan III/K3A dan IV sampai batas waktu yang wajar.

Hakim menilai Pemprov harus melakukan sosialisasi kenaikan tarif, meningkatkan pelayanan, baik administrasi dan kualitas air minum, kepada masyarakat, khususnya kepada pelanggan terlebih dahulu. Tergugat, menurut hakim, berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat terhadap air bersih dengan memberikan kebijakan berdasarkan kaidah keadilan, kepatuhan, ketelitian, serta sikap hati-hati sesuai Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, majelis menilai masyarakat selaku konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur, mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Namun, hakim tidak mengabulkan tuntutan primer KOMPARTA yang meminta pembatalan kebijakan kenaikan tarif air minum tersebut. Hakim berpendapat tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum sehingga bisa membatalkan kebijakan tersebut. Selain itu kebijakan itu belum diberlakukan sehingga kerugian secara faktual akibat kenaikan tarif air minum belum ada.

Putusan ini sekaligus mematahkan eksepsi yang diajukan pihak tergugat. Eksepsi tergugat yang antara lain menyatakan gugatan itu kurang pihak di mana seharusnya melibatkan Pemerintah RI cq Departemen Dalam Negeri cq Gubernur DKI ditolak majelis hakim. Hakim berpendapat, sesuai UUD 1945 dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Daerah Otonomi maka dasar gugatan itu bisa dibenarkan. Dalam hal ini Gubernur dan DPRD DKI Jakarta adalah penyelenggara otonomi daerah. Hakim juga mengatakan penggugat sesuai putusan Mahkamah Agung bisa menentukan siapa saja yang akan digugatnya.

Selain menunda kenaikan tarif air minum, pihak tergugat juga dibebani biaya perkara secara tanggung renteng. Menanggapi keputusan itu, kuasa hukum tergugat I dan II, M Natsir, menyatakan masih pikir-pikir atas vonis yang dijatuhkan. "Masih ada waktu dua minggu. Nanti baru kita putuskan," ujarnya usai persidangan, Kamis (29/1). Sementara kuasa hukum KOMPARTA, JJ Amstrong Sembiring, menyatakan puas atas putusan yang sempat tertunda-tunda pembacaannya itu. Ia mengatakan akan membawa putusan pengadilan ini ke Komisi D DPRD DKI Jakarta. "Kita bicara dulu dengan Komisi D," ujarnya. Edy Can - Tempo News Room

Artikel Tentang Air Menarik Perhatian Publik

  • Globalisme Dan Privatisasi Air di Indonesia

Membuat keharusan kepada kita semua melakukan perubahan strategis khususnya bagi negara-negara yang sedang berkembang, seperti halnya Indonesia untuk dapat menciptakan daya saing tinggi dengan negara-negara semi maju atau sudah maju yang tentunya hal ini jelas lebih dititik beratkan pada ekonomi. Maka tak heran dengan kondisi seperti ini. Kita dimabukkan oleh sebuah keadaan sehingga seluruh unsur kehidupan sepertinya ter-arsobsi (terserap) ke sana. Dan begitu hebatnya pesona globalisme, maka apapun tak luput menjadi sasaran arus globalisasi.

Demikian pula, tak terkecuali dengan sektor jasa pelayanan air bersih yang di privatisasi. Dimana perusahaan multinasional dengan topeng manisnya untuk memprivatisasi air adalah untuk memperbaiki mutu pelayanan, alih teknologi, bahkan menutupi resiko utang sejumlah PDAM yang ada di Indonesia”, baik PDAM yang ada di Bali, Tangerang, Bekasi, Sumatera Utara, Kalimantan, Jakarta dan lainnya, terhadap sejumlah landers yang ada di jagad raya ini seperti halnya IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui lewat persyaratan pinjaman, tak lain merupakan bagian dari kepentingan kapitalisme global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air milik pemerintah (PDAM).

Air Bagian Dari HAM

Air yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang mengandung suatu nilai universal, dimana kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang tidak boleh dilimitasi, dieleminir sebagian dan atau seluruhnya, hal kebutuhan tersebut juga sudah menjadi hak konstitusional setiap warga negara, yang bisa dirtikan bahwa keberadaan air bagi rakyat banyak tidak bisa lagi di dalam pemenuhannya tergantung pada Undang-undang atau Peraturan Pemerintahan yang berlaku di sebuah Negara, misalkan dibatasi dengan keberadaan oleh adanya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Apalagi air yang merupakan suatu kebutuhan pokok bagi masyarakat, serta merupakan suatu elemen yang terpenting bagi kelangsungan kehidupan manusia, suadah merupakan keharusan mendapatkan suatu proteksi yang memadahi bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan umat manusia.

Dan fundamentalisnya, hal ini tentunya telah bertentangan, sebagaimana air di dalam perspektif konsep hak asasi manusia (HAM) yang berlaku secara universal, di dalam keterkaitan hubungannya negara dengan warganya, dalam hal ini rakyat yang berkedudukan sebagai pemegang hak (right holder), kemudian di sisi lain negara berkedudukan sebagai pengemban kewajiban (duty holder) mengandung imperatif. Dan kemudian dimana kewajiban negara yang mendasar seharusnya adalah melindungi (proteksi) dan menjamin hak asasi warganya (rakyat), dalam hal itu dimana salah satunya adalah hak atas air – mengupayakan pemenuhan secara positip atau menjamin akses rakyat atas air yang sehat untuk segala kebutuhannya mulai dari urusan rumah tangga, urusan irigasi, urusan produksi lainnya.

Dengan demikian keberadaan air lebih dari sekadar cuma barang konsumsi; sebab air adalah barang sosial yang artinya rakyat disini bukan sekedar berkedudukan sebagai konsumen an sich, melainkan rakyat didudukkan lebih sebagai pemilik hak. Maka dengan sendirinya upaya apapun dari pihak negara ataupun kekuatan di luar negara untuk memperlakukan air sebagai barang komoditi ekonomik “harus kita tolak”.

Bahwasanya air merupakan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus menjadi tanggung-jawab pemerintah. Dan dengan demikian juga, bilamana pemerintah tidak sanggup mengelola perusahaan penyedia air untuk rakyat sebagaimana telah diamanatkan di dalam konstitusi maka sebenarnya yang harus diubah adalah cara-cara pengelolaannya bukan menjualnya ke pihak mitra strategis asing.

Dan sebenarnya yang perlu diperhatikan oleh perusahaan air minum sebagai public utilities, terlepas dari keberadaan PDAM yang masih sulit memenuhi kebutuhan masyarakat konsumennya, yang disebabkan oleh berbagai kendala yang komplek akibat dari laju urbanisasi (pertumbuhan penduduk), aktivitas ekonomi (perkembangan industri yang cepat), persoalan kelembagaan, teknologi, anggaran, pencemaran maupun sikap masyarakat turut mempengaruhi, sebagai berikut :

Pertama, adalah masalah hal penyediaan air oleh PDAM di Indonesia yang sebagaimana patut diketahui, di Indonesia terlalu berlebihan jika menggunakan istilah “air minum” sebagaimana yang telah dikenal selama ini, dengan istilah “air minum” yang disediakan oleh PDAM; namun sebaliknya yang ada fakta empiriknya yang dirasakan masyarakat pelanggan adalah justeru “air bersih” yang setelah dimasak terlebih dahulu oleh para pelanggan yang kemudian “air bersih” tersebut baru dapat dijadikan “air minum”. Jadi, dengan kata lain PDAM tidak menyediakan (baca ; menjual) “air minum”, tetapi sekedar “air bersih”.

Kedua, bahwa PDAM di Indonesia, termasuk PDAM Jaya yang ada di DKI Jakarta yang menyediakan air bersih bagi masyarakat konsumennya adalah merupakan termasuk “cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak”. Dan analogis dari cabang-cabang produksi lainnya sejenis itu adalah seperti perusahaan yang menyediakan aliran listrik, bahan bakar gas untuk memasak, dan angkutan umum; dan bahkan telepon pun sudah pula menjadi bagian dari produk yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Oleh karena ia sebagai cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak, “harus dikuasai negara”, termasuk tegasnya PDAM dalam artian, sebagaimana juga yang telah diamanatkan di dalam pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang bukan saja berlaku untuk Republik Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara, termasuk negara-negara yang sudah maju, seperti halnya di Amerika dan Eropa.

Dan di dalam pengertian yang dimaksud “dikuasai negara” disini adalah “dikuasai” yang bisa dilakukan oleh “pemerintah pusat” atau “pemerintah daerah”. Dan kemudian lebih lanjutnya disisi lain yang dimaksud “penguasaan” itu adalah tentunya dengan komposisi penyertaan modal (equitas, saham) dari pihak pemerintah yang harus lebih dari 50 persen (tidak sekedar mayoritas) dari total penyertaan seluruh modal. Dan baru kemudian sisanya, kurang dari 50 persen dikuasai oleh penyerta-penyerta yang lain.

Disini pemerintah pusat, atau pemerintah daerah yang mempunyai otoritas tersebut, bisa saja menunjuk pihak swasta untuk menyelenggarakan penyediaan air minum (bersih), akan tetapi harus jelas ditetapkan dalam sebuah perjanjian tertulis dan dimana proses tendernya tentunya haruslah juga secara terbuka bagi perusahaan-perusahaan swasta lain, dan khusus swasta nasional yang memang ingin bekerjasama dalam usaha penyediaan air, sehingga pihak-pihak swasta nasional pun mempunyai kemampuan untuk ikut serta dalam usaha tersebut, dengan hal tentunya meliputi suatu minimum ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh perusahaan air minum itu sendiri, yaitu pertama, masalah kualitas air dan pelayanan. Kedua, masalah akses air yang tidak boleh diskriminatif terhadap semua pelanggan. Dan ketiga, masalah besarnya tarif yang terjangkau oleh semua jenis pelanggan.

Sementara, untuk dalam hal masalah kualitas air dan pelayanan, bisa diartikan secara tegas, yakni bahwa air yang disediakan haruslah berkualitas. Misalnya, tidak boleh tercampur dengan kotoran atau semacamnya (contohnya, air keruh, air yang berbau kaporit, air berwarna kecoklat-coklatan yang tak layak untuk bisa dikonsumsi bagi kesehatan). Dan jangan terulang lagi kisah sangat tak sedap seperti halnya dari pelanggan yang ada di Jakarta setahun lalu yang pernah diberitakan pernah menemukan seekor “cacing” dari air yang disediakan oleh PDAM. Dan dengan demikian berarti hal tersebut menunjukkan kualitas produk dan pelayanan yang sangat rendah.

Kemudian selanjutnya, dalam hal masalah akses air yang tidak boleh diskriminatif terhadap semua pelanggan, artinya, bahwa masyarakat pelanggan, di wilayah mana pun, dan kaya atau pun tidak, haruslah mendapatkan debit air yang cukup sesuai dengan kebutuhannya. Sebab, semua orang membutuhkan air, Apalagi dua pertiga tubuh manusia terdiri atas air, dan seperti kita ketahui sedikitnya setiap orang membutuhkan 50 liter air untuk air untuk minum, masak, mencuci, untuk sanitasi dan sebagainya. Oleh sebab itu tidak bisa dinafikan, betapapun juga, orang tidak akan bisa hidup tanpa air, karena air itu sendiri tak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan, sebab lagi air itu sendiri adalah kehidupan kita semua (aqua vitae, life water).

Lalu serta, dalam hal masalah kebijakan besarnya tarif yang harus terjangkau oleh semua jenis pelanggan, artinya dimana ketika pemerintah memberlakukan kebijakan kenaikan tarif tersebut, maka sebelumnya haruslah sudah mengkalkulasikan atau memperhitungkan kemampuan atau daya jangkau para pelanggan atau masyarakat pelanggan.

Dan dengan demikian juga sebaiknya apabila dari kebijakan tarif sebesar itu ternyata Perusahaan Air Minum tersebut meraih keuntungan lebih besar dari yang telah ditentukan, maka seyogyanya keuntungan yang lebih tersebut seharusnya dikembalikan lagi kepada masyarakat pelanggan (misalnya dengan bentuk kompensasi lain seperti halnya dengan ditingkatkannya lagi soal aspek kualitasnya yang lebih sangat prima dan dengan begitu, ada persyaratan lain selain tarif an sich). Sehingga tingkat keuntungan tersebut mempunyai suatu standarisasi tingkat keuntungan.

Dan kemudian sebaliknya, apabila dengan tarif yang sudah ditentukan tersebut, andaikata Perusahaan Air Minum tersebut bilamana kemudian merugi, yang tentunya kerugian tersebut memang sudah diaudit atau dibuktikan oleh akuntan publik, maka kerugian tersebut haruslah ditanggung oleh pemerintah pusat atau daerah, yaitu dengan cara memberikan sejumlah subsidi, bertujuan agar PDAM tersebut masih tetap bisa beroperasi. Namun subsidi yang dimaksud itu bukan ditujukan bagi perusahaan, tetapi kepada masyarakat pelanggannya keseluruhan. Dengan demikian hal itu telah menjadi bagian tanggungjawab pemerintah pusat (dan Pemda) untuk meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat banyak.

Ketiga, air yang merupakan suatu barang publik atau barang sosial, yang tidak semestinya diperjual-belikan apalagi masih banyak rakyat yang belum dapat akses air bersih, maka PDAM (seperti halnya Palyja dan TPJ yang ada di Jakarta) semestinya harus tetap dibawah tanggung-jawab pemerintah sepenuhnya (sehingga dalam mengambil suatu kebijakan tertentu, misalkan saja dalam hal suatu kebijakan tarif air, yang sejatinya kebijakan itu tidak ada intervensi atau imut campur tangan dari pihak-pihak lain, dalam hal ini mitra asingnya).

Dan kemudian perlu ditekankan disini, bahwa bagaimanapun bentuknya, bahkan juga jika kepemilikan/ownership-nya masih ditangan pemerintah dan swasta hanya mengelola saja, semuanya itu adalah bentuk privatisasi.

Pada umumnya, istilah privatisasi menjadi perdebatan karena orang mengasosiasikannya dengan kepemilikan. Jika sudah terjadi divestasi atau penjualan aset negara secara penuh, baru dikatakan sebagai privatisasi. Padahal, walaupun aset tersebut masih milik negara dan yang dialihkan hanyalah tugas-tugasnya/ pengelolaannya, tetap merupakan bentuk privatisasi atau juga sebagai bagian dari model privatisasi.

Maka dalam hal ini mengenai kasus Jakarta menggunakan model konsesi, yaitu Build-Operate-Transfer (BOT). Pengaturan seperti ini, kadang dianggap sebagai “konsesi sebagian” (partial concession) karena tanggung jawab yang diserahkan pada perusahaan swasta, hanya pada porsi tertentu. Kepemilikan terhadap fasilitas modal akan diserahkan kembali ke pemerintah setelah masa kontrak habis. Namun, model atau bentuk manapun yang digunakan, perlu diingat bahwa pengalaman di seluruh dunia menunjukkan bahwa bisnis swasta, bagaimanapun mereka mencoba untuk bertanggung jawab dalam menjalankan bisnis mereka, tidak didisain untuk menyediakan pelayanan publik atas dasar persamaan dan keadilan.

Pelibatan sektor swasta dalam pengelolaan sumber daya air Indonesia harus benar-benar dilakukan dengan hati-hati. Karena, walau bagaimanapun, perusahaan swasta tidak mempunyai kewajiban sosial dan tidak mungkin menjalankan suatu usaha tanpa mencari keuntungan. Hal ini dapat merugikan rakyat banyak, terutama mereka yang tidak mampu. Apalagi jika penilaian kinerja PDAM seperti yang tertera di atas hanya mementingkan aspek finansial, operasional dan administrasi saja.

Padahal, ada aspek-aspek lain yang juga penting seperti keberlanjutan lingkungan dan konservasi air, yang justru dapat menjamin akses dan ketersedian air untuk masa yang akan datang, tidak menjadi hitungan. Sehingga, PDAM, apalagi jika dikelola swasta yang tujuannya adalah untuk mendapatkan profit, tidak akan mementingkan aspek-aspek tersebut.

Dan mengenai kinerja dan kondisi keuangan PDAM yang buruk juga memang tidak bisa lepas dari masalah tarif yang dikenakan ke pelanggan, tidak dapat menutupi biaya-biaya yang harus dikeluarkan (tidak cost recovery). Jika memang ini masalah, memang tarif pelayanan air PDAM tersebut perlu dinaikkan sehingga dapat menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan, yang harus juga harus dibarengi dengan upaya penyehatan lain seperti mengurangi tingkat kebocoran, menanggulangi korupsi dan peningkatan efisiensi. Sehingga setiap warga dapat menikmati pelayanan air bersih dan kualitas pelayanannya dapat ditingkatkan.

Dan untuk PDAM yang bermasalah tentunya, haruslah diupayakan solusi-solusi penyehatan dan perbaikan manajemen berdasarkan partisipasi publik dan perbaikan kinerja PDAM. Maka sebagai bagian dari upaya peningkatan efisiensi dan pelayanan PDAM, harus juga didisain mekanisme partisipasi masyarakat dimana masyarakat atau pelanggan dapat ikut mengontrol kinerja PDAM tersebut.

Kemudian dalam pola kemitraan publik-swasta itu sendiri, jika memang sudah terjadi atau harus terjadi, harus juga dirumuskan mengenai konsep dan mekanisme partisipasi publik yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dari kemitraan tersebut, supaya masyarakat tidak terlalu dirugikan. Dan dengan demikian, air dan pelayanan air harus diberikan pada harga yang adil, pantas dan terjangkau. Pelayanan air bersih ini memang tidak boleh diberikan secara gratis, namun harus ada sistem subsidi bagi kaum lemah. Pengaturan mengenai sistim tarif diatur oleh regulasi pemerintah.

Keempat, adalah masalah prinsip kerjasama PDAM dengan mitra-mitra asingnya dalam rangka untuk mempercepat pelayanan air minum kepada masyarakat seharusnya berpegang pada prinsip kerjasama yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi seluruh stake holders, yakni sebagai berikut :

a. Terhadap Masyarakat : Mendapat kualitas pelayanan yang lebih baik Tarif air yang terjangkau bagi seluruh masyarakat pelanggan b. Terhadap Karyawan PDAM : Seharusnya tidak ada PHK (Putus Hubungan Kerja) Mendapatkan suatu kesejahteraan yang lebih baik c. Terhadap PDAM : Tetap Mampu membayar utang Harus memperoleh keuntungan yang layak d. Terhadap Pemerintah Daerah (Pemda) : Menampakkan perbaikan lingkungan hidup yang berarti Perolehan Asli Daerah (PAD) meningkat e. Terhadap Mitra Swasta-nya : Adanya pengembalian modal (investasi) Harus memperoleh keuntungan yang layak

Privatisasi Air

Bahwa agenda privatisasi air didorong oleh lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalisme global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) yang baru ini merupakan bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program WATSAL dari World Bank. World Bank menyatakan, “Manajemen Sumber Daya Air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis” dan “partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang effisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan” (World Bank, 1992). Privatisasi air akan meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta.

Bahwa selain itu juga politik ekonomi World Bank, mengatakan air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada dibawah “harga pasar” dan perlu dinaikkan. Baik World Bank dan ADB dalam “Kebijakan Air”-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery. Secara singkat Full Cost Recovery berarti konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air.

Bahwa dengan privatisasi air maka jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak tersebut akhirnya ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar, “siapa ingin membeli /siapa ingin menjual”.

Ambil contoh saja ironi sebuah pelayanan publik Pelayanan Sanitasi Nasional (Obras Sanitarias de la Nacion, OSN) Buenos Aires di Argentina, merupakan perusahaan yang berjalan cukup baik tidak dibebani oleh hutang dan mengalami surplus sebelum privatisasi, harus rela diprivatisasi hanya untuk mengikuti anjuran pragmatisnya Bank Dunia untuk melakukan privatisasi sistem penyediaan air. Pada akhirnya menyebabkan 7200 pekerja kehilangan pekerjaan dan jutaan orang seperti yang tinggal di La Matanza dan Laferre masih menunggu keuntungan dari privatisasi ini, seperti adanya pendistribusian air berkualitas dan perluasan sistem saluran air semakin meningkat dibawah kontrol swasta, kemudian di sisi lain dipakai sebagai alat untuk mengeruk kekayaan bagi kepentingan individu atau sekelompok orang.

Dan program privatisasi selalu dianggap sebagai sulap yang dapat membantu Argentina dari krisis ekonomi yang telah menyebabkan inflasi tinggi, tidak lebih daripada kesuksesan fatamorgana yang dipenuhi oleh kebohongan, penghianatan, kerakusan dan keserakahan dari para kroni pejabat pemerintahan mantan Presiden Carlos Menem dan investor telah mengeruk keuntungan sangat besar dari penjualan saham-sahamnya.

Dan privatisasi Buenos Aires yang sebagaimana pernah diumumkan oleh Bank Dunia sebagai kesuksesan besar dan menjadikannya model untuk privatisasi yang diikuti di Filipina dan Afrika Selatan hanyalah ilusif. Dan demikianlah gambaran privatisasi Buenos Aires yang terjadi. Dan buah dari privatisasi air tesebut hanya menjadikan tingginya tarif dan semakin buruknya kualitas pelayanan sebagaimana pernah terjadi di Elsavador, Bolivia dan negara dunia ketiga lainnya. Bahwa dengan begitu, haruskah Indonesia terperangkap di lubang yang sama? Dan inilah sesuatu yang disebut zaman globalisme, dimana di dunia tata kerja berubah sama sekali, dan serta nasib individual atau hak asasi secara individu tak menentu. Dimana alasan motif dasar globalisasi (Neo- Liberal) adalah keuntungan ekonomi jangka pendek, yang membangun sebuah masa depan yang berdasarkan pada logika material (ekonomi), bukan berdasarkan pada logika kemanusiaan (spiritual)..


JJ. Amstrong Sembiring, pendiri LSM Komunitas KOMPARTA INDONESIA / Praktisi Hukum. Dan artikel ini merupakan intisari dari makalah yang disampaikan pada acara YIC (Youth International Conference) 2004 yang berlangsung dari tanggal 4 – 7 Agustus 2004, di Solo, Jawa Tengah. (Sumber Artikel 26 August 2004 – www. sekitarkita.com)


  • Fenomena Air Bersih

Air adalah kebutuhan vital yang menjadi barang publik (public goods) merupakan elemen terpenting bagi kelangsungan kehidupan manusia. Sejak diciptakan, tubuh manusia telah mengandung 60% unsur air. Pakar kesehatan telah menganjurkan minimal 2 liter air harus diminum setiap hari agar dapat menjaga fungsi ginjal. Kebersihan tanpa air sulit diciptakan, demikian pula para cendikiawan maupun ilmuwan menetapkan adanya suatu kehidupan diantaranya ditenggarai adanya air.

Dalam kaitannya dengan kebutuhan masyarakat akan tersedianya air bersih, maka di kota Jakarta berdiri PDAM (Perusahaan Daerah air Minum) semenjak tahun 1922, jauh sebelumnya berdiri atas andil pemerintahan kolonial Belanda dengan infrastruktur yang pada awalnya sangat sederhana. Namun demikian, masih banyak masyarakat memanfaatkan kali Ciliwung / kali Cideng / kali Krukut dan sumur galian menjadi andalan pokok untuk mendapatkan air guna kebutuhan segala macam, dari mulai mandi, memasak, menyuci, minum hingga sampai untuk buang hajat sekalipun dikali.

Tak ada bedanya, pemerintahan kolonial Belanda (red, masyarakatnya sebagian telah maju) membangun prasarana air-minum yang bahan bakunya diambil juga dari sungai. Perbedaanya, air sungai (air kali) itu kemudian diolah lagi dengan kemajuan teknologi dimilikinya hingga diolah agar menjadi lebih bersih dan lebih jernih untuk bisa dimanfaatkan.

Suatu bangsa yang sebagian besar masyarakatnya telah maju “terpelajar” mengisyaratkan kebersihan adalah pangkal kesehatan. Mereka membudayakan bahwa sungai haruslah indah, bersih dari segala kotoran. Maka, rumah mereka sebagian besar dibangun akan menghadap sungai dimana semua limbah di buang ke tanah. Namun, beda sekali dengan suatu masyarakat masih dikatakan terbelakang, biasanya mereka akan membangun rumah dengan membelakangi sungai selain agar bisa praktis untuk membuang segala limbah, sehingga kali di kota cepat sekali menjadi keruh dan dangkal akibat limbah.

Perusahaan yang mengelola air minum tatkala itu disebut Perusahaan Air Leideng. Sementara masyarakat menyebut air yang keluar langsung dari kran dengan menamai istilah AIR LEIDENG. Bahkan nama istilah tersebut akhirnya membahana di semua kota yang telah memiliki sarana-prasarana air minum yang dikelola oleh perusahaan Belanda tersebut. Istilah tersebut yang telah membudaya di dalam masyarakat bahwa dikatakan air minum pada kenyataannya tidak dapat langsung diminum, melainkan harus dimasak dahulu untuk membunuh bakteri yang kemungkinan tidak mati oleh zat kimia (kaporit).

Demikian pula, meski setelah pengambi-alihan Perusahaan Leideng menjadi milik asset Pemerintah daerah (PEMDA) telah berubah nama menjadi Perusahaan daerah Air Minum (PDAM), kemudian berganti nama menjadi PAM JAYA (red, asset tetap milik Pemda DKI) hingga sekarang tak ada bedanya bahwa katanya istilah “air minum” adalah air yang tidak bisa langsung dapat diminum. Kononnya, pihak swasta akan merealisasikan program “Air Langsung Minum” di tahun 2007 dimana air olahan tersebut nantinya dapat langsung diminum oleh para konsumen air minum.

Air bersih adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia yang fundamental harus dipenuhi bagi kelangsungan kehidupan manusia yang berada di atas permukaan bumi, maka sudah sewajarnya mendapatkan suatu proteksi memadai bagi kepentingan pemenuhannya.

Dalam konteks pengelolaan air bersih yang dipersepsikan seolah-olah berlimpah dan merupakan barang bebas, ternyata kian waktu semakin terbatas jumlahnya. Keterbatasan itu bisa disebabkan oleh berbagai alasan, seperti hal pertambahan penduduk sangat signifikan, erosi lingkungan (rusaknya lingkungan), dan sebagainya. Meskipun demikian, pengelolaan air bersih tidak hanya melulu dipacu secara proporsionalitas dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat serta perkembangan wilayah dan industri yang cepat, namun seretnya dana dan mengbengkaknya biaya operasional juga merupakan suatu bencana yang besar.

Bencana itu mulai dari pengadaan penyedian air minum, mengelola, membangun dan memelihara sistem pelayanan air minum, memasang dan memelihara pipa-pipa transmisi dan pipa distribusi, menglola sistem pendistribusian air minum, menyediakan air minum dalam rangka membantu memenuhi kebutuhan fasilitas kota, meningkatkan mutu dan kesejahteraan untuk meningkatkan pelayanan umum.

Di beberapa wilayah yang memiliki garis pantai, air yang berasal dari sumur sudah tidak bisa direkomendasikan lagi untuk keperluan rumah tangga, terutama untuk aktivitas memasak karena adanya abrasi laut dan bentuk pencemaran lainnya. Maka, pasokan air minum untuk golongan masyarakat / wilayah yang kondisinya seperti itu amat bergantung pada Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) (Kompas /22/10/2001). Namun menjadi ironis lagi, mereka yang hidup pas-pasan itu harus membeli air minum dengan harga yang lebih mahal dari sebagian orang yang tinggal di perumahan elite.

Saat ini pasokan air berkurang hampir sepertiganya dibandingkan dengan tahun 1970 ketika bumi baru dihuni 1,8 milyar penduduk dunia. Sebagian besar masyarakat desa di sebuah negara tropis (red, Indonesia) harus berjalan puluhan kilometer untuk mencari sumber air di musim kemarau. Dan perlu diketahui masyarakat perkotaan belum semuanya mendapatkan pelayanan air bersih, baik kuantitas maupun kualitas. Banyak air tanah di perkotaan telah tercemar oleh bakteri dan logam, penyedotan air tanah secara berlebihan telah menurunkan permukaan air tanah dan menyusupnya (intrusi) air laut, sehingga kualitas air tanah pun makin menurun. Selain itu, hujan deras selama musim penghujan tidak lagi mampu mengisi air tanah di Jakarta dan daerah perkotaan lain yang padat penduduknya. Rumah-rumah yang berdesakan, gedung-gedung yang bertingkat menjulang, jalan-jalan yang beraspal, serta permukaan tanah yang penuh “penuh beton” menghalangi air hujan masuk ke dalam tanah. Sementara penyedian air bersih di masa depan amat bergantung kepada air pemukaan (surface water), selain dari sungai, sumur air artesis, mata air, dan sumber air lainnya.

Bahkan, masyarakat di beberapa wilayah lain di perkotaan ada yang akhirnya hanya menggunakan air PAM (Perusahaan Air Minum) untuk mandi, sedangkan untuk minum mereka terpaksa mengeluarkan uang ekstra untuk membeli Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang harganya lebih mahal dari bensin.

Warning ! harian Jepang Yomiuri Shimbun, Forum Air Dunia yang ke-3 di Osaka, Jepang (19/3) mengemukakan, bahwa air bersih kini sukar di jangkau masyarakat kelas bawah saat perusahaan-perusahaan swasta mulai menggarap bisnis tersebut. Menjadi pertanyaan, bagaimana nantinya 10, 20, 30 tahun mendatang?


JJ. Amstrong Sembiring, pendiri LSM Komunitas KOMPARTA INDONESIA / Praktisi Hukum. Dan artikel ini merupakan intisari dari makalah yang disampaikan pada acara YIC (Youth International Conference) 2004 yang berlangsung dari tanggal 4 – 7 Agustus 2004, di Solo, Jawa Tengah. (Sumber Artikel 26 August 2004 – www. sekitarkita.com)

Referensi

  1. ^ [1]
  2. ^ [2]
  3. ^ [3]
  4. ^ [4]
  5. ^ [5]
  6. ^ [6]
  7. ^ [7]
  8. ^ [8]
  9. ^ [9]
  10. ^ [10]
  11. ^ [11]
  12. ^ [12]
  13. ^ [13]
  14. ^ [14]

Pranala luar