D&R (majalah)
Majalah D&R
Sebelumnya majalah ini dikenal sebagai Majalah Detektif & Romantika dengan konten berita kriminil dan misteri. Paska pembredelan Majalah TEMPO oleh pemerintah Orde Baru tahun 1994, PT Grafiti Pers yang sebelumnya menerbitkan TEMPO mengambil alih majalah tersebut dan menerbitkannya dalam format baru, nama baru (Detektif Romantika menjadi D&R) dan konten baru (kriminil dan misteri menjadi politik dan bisnis)
SEJARAH
Setelah Majalah TEMPO dibredel oleh pemerintahan Suharto, melalui Menteri Penerangan Harmoko , awak redaksi TEMPO terpecah dan bekerja dibeberapa media. Sebagian besar bekerja dengan Media Indonesia menerbitkan koran Media Indonesia Minggu (MIM). Beberapa bergabung dengan Gatra. Sisanya masih mencari-cari tempat yang pas untuk menuangkan idealism jurnalistiknya. Disaat yang sama, PT Grafiti Pers sebagai penerbit Majalah Tempo berencana menerbitkan majalah baru. Alasan utamanya adalah untuk ‘menampung’ dokumentasi dan buku buku diperpustaan TEMPO yang saat itu bisa dikatakan terbesar kedua setelah perpustakaan KOMPAS.
Pada tahun 1996, PT Grafiti Pers membeli perusahaan PT Analisa Kita; dimana salah satu produknya adalah majalah Detektif & Romantika. Saat majalah ini diambil alih statusnya sudah vacuum atau tidak lagi terbit selama bertahun tahun, tanpa awak redaksi namun tercatat masih memiliki pemimpin redaksi yang non aktif yakni Gusti Imran.
Pertengahan tahun 1996, edisi percobaan terbit. Namun kini namanya tidak lagi Detektif Romantika namun menjadi Majalah D&R pun. Semula awak redaksi akan ditempatkan dikantor TEMPO namun dikhawatirkan hal tersebut akan menimbulkan kecurigaan dipihak PWI dan Departemen Penerangan tentang keterkaitan D&R dan TEMPO. Akhirnya diputuskan untuk ruangan disalah satu gedung dijalan Salemba Jakarta. Tepat didepan kampus Universitas Indonesia.
1996 - 1998
Saat akan meluncurkan edisi perdana, situasi politik ibukota yang memanas pecah pada peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996. Kantor redaksi Majalah D&R di Salemba luluh terbakar dan menghanguskan sebagian dokumentasi foto dan berkas. Manajemen PT Grafiti Pers memutuskan majalah tetap berjalan. Kantor redaksi kemudian pindah ke Cikini II no 10. Edisi perdana Majalah D&R tidak lama pun terbitlah dengan mengangkat peristiwa 27 Juli 1996 sebagai berita utama dan foto Megawati Soekarnoputri dipilih menjadi covernya.
Edisi percobaan dan edisi pertama mendapat sambutan positif dari kalangan mahasiswa maupun LSM yang saat itu mulai bergerak melawan pemerintah Orde Baru. Majalah D&R dianggap sebagai symbol perlawanan dan sebagai bacaan alternative karena saingannya, GATRA dinilai terlalu pro pemerintah.
Sukses dikalangan muda, tapi Majalah D&R mengalami kesulitan untuk menggarap iklan. Sebagian besar perusahaan pada saat itu merasa khawatir jika memasang iklan akan dianggap terafiliasi dan se-aliran dengan Majalah D&R dalam melawan pemerintah. Tidak hanya itu, dijajaran redaksi juga mengalamai masalah yang sama saat harus mewawancarai narasumber dilapangan. Rata-rata narasumber (pejabat, pelaku bisnis dan aparat) merasa takut untuk berbicara di D&R karena akan diasosiasikan satu idealisme. Itu sebabnya, narasumber narasumber D&R sebelum reformasi (tepatnya sebelum 1999) adalah orang orang yang tidak menyukai pemerintah saat itu dan yang berani melakukan perlawanan. Sebut saja Ali Sadikin, Jendral Darsono, Buyung Nasution. Romo Sandiawan dan lain lain. Mereka inilah yang menjadi critical mass bagi perjalanan Majalah D&R diawal penerbitan dan sepanjang dua-tiga tahun berikutnya. Dengan berbagai kesulitan iklan dan operasional peliputan saat itu, Majalah D&R konsisten terbit setidaknya 10 ribu eksemplar setiap edisi.
Diprotes Oleh Pemerintah ORBA
Tahun 1997, Majalah D&R nyaris ditutup oleh pemerintah akibat cover disalah satu penerbitannya.
Peristiwa ini berawal dari hasil Pemilihan Umum legistlatif yang (lagi lagi) memenangkan Golkar. Pemilihan presiden yang saat itu dilakukan oleh MPR pun sudah diprediksi akan memilih dan mengangkat kembali Soeharto sebagai presiden. Isu ini diputuskan akan diangkat oleh D&R sebagai berita utama. Tantangannya adalah bagaimana menerjemahkan cerita: ‘lagi lagi Suharto’ ini kedalam bahasa visual cover. Setelah melakukan diskusi panjang lebar dengan bagian desain diputuskan redaksi akan memakai “kartu” sebagai visualnya.
Walau diawal terbit tidak ada protes, tapi beberapa hari sesudahnya cover ini dipermasalahkan oleh Menteri Penerangan Hartono yang kemudian membawa majalah tersebut ke (mantan) Presiden Suharto. Tak lama sesudahnya, pihak Kejaksaan Agung (waktu itu dikepalai oleh Jaksa Agung Singgih) pun menelpon redaksi Majalah D&R dan meminta pemimpin redaksinya datang untuk diperiksa oleh Kejagung. Saat peristiwa ini terjadi, telah terjadi pergantian dimana Margiono menjadi pimred secara defacto/formal (tapi non aktif) dan Bambang Bujono yang menjadi pimred aktif dalam kegiatan redaksional sehari hari. Keduanya pun memenuhi panggilan dari Kejagung. Dari Kejaksaan Agung, berkas kasus ini sempat diserahkan ke Mabes Polri karena kejagung tidak menemukan ada bukti bukti unsur politis (subversi) dibalik pemilihan cover tersebut.
Hingga terjadi pergantian pemerintahan dari Suharto menuju BJ Habibie, kasus ini tidak juga tertuntaskan dan akhirnya dianggap kadaluarsa. Namun, selama beberapa bulan sempat mengundang pro dan kontra baik dikalangan media maupun aparat penegak hukum sendiri.
Paska Reformasi
Sesudah reformasi, dibawah kepemimpinan BJ Habibie, perubahan terjadi dibanyak lini urusan kebebasan pers. Direksi PT Grafiti Pers bersepakat untuk kembali menerbitkan Majalah TEMPO. Semula seluruh awak redaksi D&R akan direkrut oleh TEMPO tapi karena adanya keinginan untuk D&R tetap berdiri maka kedua majalah ini terbit secara terpisah. Itu artinya Majalah D&R harus mencari investor (pemilik) baru untuk menggantikan keberadaan PT Grafiti Pers yang hanya akan menerbitkan TEMPO.
Posisi PT Grafiti Pers selanjutnya digantikan oleh The Jakarta Post group per 1 Oktober 1998.
Pergantian kepemilikan yang terburu buru, tanpa dibarengi staregi bisnis yang matang dan mapan membuat Majalah D&R kesulitan secara keuangan. Masalahnya masih tetap pada urusan iklan. Cap sebagai majalah anti pemerintah tetap membuat sungkan perusahaan untuk bekerjasama.
Edisi terakhir Majalah D&R terbit dibulan Febuary 2000. Dan sejak itu vacuum terbit hingga saat ini.
REFERENSI
PRANALA LUAR
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/03/13/0061.html. Wawancara Benjamin Mangkodilaga: "Cover Majalah D&R Yang Bermasalah"
http://www.minihub.org/siarlist/msg00815.html. Polisi Periksa Pemred Majalah D&R dan Harian Merdeka
http://www.tempo.co. --Febrina Siahaan (bicara) 1 Oktober 2014 07.07 (UTC)