Lompat ke isi

Masyarakat adat Ngata Toro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 17 Oktober 2017 05.14 oleh Abdullah Faqih (bicara | kontrib) (Mengedit)

Masyarakat adat Ngata Toro adalah sekelompok masyarakat adat (lokal) yang bermukim di sekitar kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Masyarakat adat ini terbentuk ratusan tahun yang lalu dan telah mewujudkan sebuah komunitas yang mapan sejak masa pra-kolonial di wilayah Sulawesi Tengah. Keseluruhan wilayah Ngata Toro, termasuk wilayah adat yang diklaimnya, didominasi oleh daerah pegunungan. Di dalam wilayah itu mengalir beberapa sungai besar seperti: Sungai Sopa, Biro, Pangemoa, Alumiu, Pono, Bola, Mewe dan Kadundu. Wilayah pemukiman dan pertanian mereka merupakan sebuah hamparan lembah yang dikelilingi pegunungan dengan dua barisan bukit yang menjulur keluar. Dengan kontur seperti ini perkembangan perkampungan mengikuti kontur fisik yang ada dan membentuk serupa huruf “W“ apabila dilihat dari sisi kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah pemukiman penduduk terkosentrasi di salah satu potongan yang hampir simetris, sementara wilayah persawahan tersebar di sepanjang jari-jari huruf “W“ tersebut.[1]

Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi pusat Biodiversitas dunia. Potensi keanekaragaman spesies satwa yang dimiliki Indonesia sangat tinggi: sekitar 12% (515 spesies, 39% endemik) dari total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia; 7,3% (511 spesies, 150 endemik) dari total spesies reptilian, urutan keempat di dunia; 17% (1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia, urutan kelima; 270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam di dunia; dan 2827 spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar.[2] Dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia juga menuliskan keanekaragaman tumbuh-tumbuhan di Indonesia[3]. Dalam dokumen tersebut, Indonesia menempati peringkat lima besar dunia sebagai negara dengan keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan, yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, 55% endemik. Menurut literatur yang sama, Indonesia adalah sumber terbesar keanekaragaman jenis–jenis palm, mengandung lebih dari 400 spesies meranti-merantian dari Famili Dipterocarpaceae (yang merupakan jenis kayu pertukangan paling komersil di Asia Tenggara; dan diperkirakan menyimpan 25.000 species tumbuhan berbunga. Selain itu, lebih dari setengah seluruh spesies pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting juga terdapat di negara ini, 155 di antaranya endemik di Kalimantan.[2]

Biodiversitas Indonesia yang begitu beragam perlu dilestarikan agar mampu menopang kehidupan masyarakat lokal hingga masa-masa mendatang. Upaya untuk melestarikan jenis-jenis tumbuhan dan satwa tersebut telah diwujudkan pemerintah dengan menetapkan bentangan-bentangan alam tertentu, baik daratan maupun lautan, sebagai kawasan konservasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia merilis data bahwa Indonesia memiliki kawasan hutan konservasi berjumlah 521 unit dengan luas 27.108.486,54 hektar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah luasan tersebut sepadan dengan kurang lebih 21% dari luas total kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan di Indonesia. Diperkirakan sejumlah 40 juta orang di Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung kepada keanekaragaman hayati yang ada di sekitar kawasan konservasi tersebut. Dua belas juta di antaranya hidup di dalam dan sekitar hutan dan lebih banyak lagi bergantung kepada sumber daya pesisir[4]. Mereka memenuhi kebutuhan hidup –mencari sumber makan, pakaian, dan bahan bangunan– dari dalam kawasan konservasi. Kebanyakan dari mereka juga berkebun dan bahkan bermukim dalam kawasan tersebut.

Tata Kelola Kawasan Konservasi

Penetapan status sebuah kawasan menjadi Kawasan konservasi bukan berarti membuat habitat dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya terlindungi dengan baik. Kawasan-kawasan konservasi di seluruh Indonesia masih memiliki masalah yang mengancam kelestariannya. Salah satu ancaman tersebut adalah perilaku masyarakat lokal yang memanen hasil alam secara tidak terkendali dan cenderung eksploitatif, seperti penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, dan lain-lain. Ancaman tersebut terus berlangsung manakala pemerintah menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan konservasi. Alih-alih untuk melindungi Keanekaragaman hayati di dalam kawasan, kebijakan kawasan konservasi tersebut justru menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal. Salah satu konflik yang timbul dari tata kelola konservasi adalah akibat ketidaksamaan persepsi akan konservasi itu sendiri. Masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka. Kebanyakan dari mereka juga menyangka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di daerah mereka.[5]

Konflik tersebut sangat sulit dihindari mengingat kepentingan masyarakat lokal kerap kali berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Adalah rahasia umum bahwa konflik sosial kehutanan merupakan persoalan lama yang menjadi bagian dari pengelolaan hutan (termasuk kawasan hutan konservasi) di Indonesia. Keberadaan kawasan konservasi di seluruh Indonesia memang selalu melakat konflik di dalamnya. Tidak sedikit di antara konflik-konflik sosial tersebut yang berujung menjadi konflik Agraria. Apabila dilacak lebih jauh, konflik pengelolaan kawasan konservasi sudah bermula sejak awal industri kehutanan didesain. Sebab, saat Hak Pengelolaan Hutan (HPH) direncanangkan pada awal 1970-an, pemerintah tidak sempat memikirkan, atau sengaja mengabaikan, keberadaan masyatakat lokal di sekitar kawasan hutan.  Padahal hutan bukan hanya suatu tegakan kayu dan kehidupan fauna di dalamnya. Hutan merupakan suatu Ekosistem sosial politik yang merupakan medan tempur berbagai kepentingan sumber daya alam.[6]

Perbedaan cara pandang pemerintah dengan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan konservasi secara jelas telah menimbulkan konflik yang berujung pada tidak optimalnya upaya konservasi itu sendiri. Pemerintah memandang bahwa alam yang unik, khas dan utuh harus dilindungi sehingga penduduk sekitar dianggap sebagai ancaman. Alokasi, akses dan kontrol ditetapkan oleh negara dengan landasan ilmu pengetahuan modern. Sementara masyarakat memandang bahwa hutan adalah hasil konstruksi sosial antara masyarakat dan ekosistem di sekitarnya, pengetahuan lokal masyarakat adalah landasan dalam mengalokasikan, mengakses dan mengontrol sumberdaya alam tersebut.[4] Kedua cara pandang tersebut penting untuk memperoleh keberlanjutan pengelolaan Sumber daya alam karena tidak dimungkiri bahwa kawasan konservasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Cara pandang dan kearifan lokal masyarakat sudah sepatutnya dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan konservasi di Indonesia.[4]

Kearifan Lokal dan Konservasi Alam

Sejak tahun 1993, masyarakat adat Ngata Toro telah menggencarkan berbagai prakarsa untuk menegaskan identitas budaya mereka. Prakarsa itu meliputi aturan adat, lembaga adat, dan penggalian serta upaya transformasi tradisi dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas yang lestari dan membawa manfaat bagi seluruh anggota komunitas. Semua tindakan kolektif ini pada dasarnya memiliki tiga tujuan pokok, yaitu: menjaga keberlanjutan ekosistem hutan tropis di sekeliling komunitas ini—yang kini telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Lore Lindu—melalui pranata sosial-budaya dan kepemimpinan lokal; memperoleh manfaat optimal dari perlindungan Ekosistem Hutan tropis dalam rangka menjamin keberlanjutan komunitas dan seluruh struktur sosial politiknya dan aktivitas ekonomi lokal yang bergantung pada pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam setempat; menjamin keadilan antar generasi dalam akses, kontrol, dan pemanfaatan atas sumber daya alam setempat.[7]

Masyarakat adat Ngata Taro juga mengembangkan konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berbasis kearifan lokal di lingkungan mereka. Dalam hal kepemilikan tanah, mereka tidak serta merta memperolehnya melalui perampasan atau mengambil tanah orang lain tanpa izin, melainkan melalui suatu transaksi dan mempunyai keabsahan yang kuat menurut hukum adat mereka.[1] Masyarakat adat Ngata Toro membagi hak kepemilikan atas Sumber daya alam dalam dua kategori, yakni hak kepemilikan bersama (katumpuia hangkani) dan hak pemilikan individu (katumpuia hadua). Kedua komponen hak kepemilikan tersebut adalah aturan adat yang sangat dipatuhi oleh masyarakat adat Ngata Toro. Selain itu, secara turun-temurun, masyarakat adat Ngata Toro sudah dibekali dengan aturan yang dinamakan Mopahilolonga Katuvua (mengurus alam secara arif). Menurut aturan tersebut, di bumi persada ada tiga unsur kehidupan yang mempunyai hubungan timbal balik, tumbuh dan berkembang biak serta saling menghidupi, yaitu manusia (tauna), hewan (pinatuvua), tumbuhan (tinuda). Pandangan tersebut juga memuat aturan-aturan yang harus diperhatikan dalam membuka lahan baru, diantaranya keadaan tempat yang direncanakan dibuka, apakah penjaga hutan itu memberikan lahan itu untuk dibuka atau tidak, saling menghimbau satu dengan yang lain agar senantiasa memperhatikan hulu sungai dan kemiringan yang terjal (Taolo), adat dan budaya tidak membenarkan menebang kayu sembarangan untuk dijadikan ramuan rumah utamanya di hulu air atau di kemiringan yang terjal, terlebih lagi kalau kayu yang di tebang diperjualbelikan di tempat lain.[8]

Dalam mengatur dan memanfaatkan sumber daya alam, masyarakat adat Ngata Taro selalu berpegang pada tradisi leluhur dan kearifan lokal yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu toipetagi (larangan) dan toipopalia (pantangan). Toipetagi (larangan) meliputi: tidak diperkenankan membuka hutan atau mengolah hutan di mana ada mata air ‘ue ntumu’, mata air ‘ue bohe’; larangan memangkas dan menebang pohon yang tumbuh di palungan sungai atau kali-kali kecil yang ada dalam hutan atau pun kali kecil yang melewati pemukiman penduduk; dilarang menebang habis pohon yang diketahui mempunyai khasiat obat tradisional seperti pohon beringin dan melinjo; dilarang menebang pohon/membuka lahan perkebunan di daerah kemiringan yang terjal; larangan keras pembukan lahan di Wana ngkiki dan Wana;  dilarang membuka kebun di bekas Pangale, Oma, Balingkea,Pohawa pongko orang lain. Sedangkan toipopalia (pantangan) meliputi: dilarang membawa hasil hutan seperti Rotan, pandan hutan, bambu mentah dalam jumlah yang banyak ke rumah melewati persawahan pada masa padi dalam keadaan berbuah, dilarang mengilir rotan di sungai pada masa padi akan keluar buah, karena akan mempengaruhi keberhasilan panen (buah padi banyak yang hampa/kurang berisi); larangan membuka hutan di mana diketahui ada pohon damar; larangan menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung dalam hutan.[8]

Sanksi Adat

Aturan-aturan adat tersebut memiliki konsekuensi atau sanksi apabila dilanggar oleh masyarakat adat Ngata Taro. Dalam penelitian Mahfud dan Tohake juga mengungkapkan beberapa sanksi adat yang akan diterima oleh pelanggar. Beberapa di antaranya adalah kepemilikan yang tidak berdasarkan hukum adat dikenakan sanksi adat berupa Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau (tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tiga puluh dulang, dan tiga lembar kain Mbesa) yang apabila dirupiahkan bernilai 5 juta rupiah; pengelolaan hasil hutan kayu, rotan, pakanangi, gaharu, dan Damar (pohon) yang tidak berdasarkan ketentuan hukum adat dikenakan sanksi adat berupa Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Tigkau (tiga ekor hewan kerbau atau sapi, 30 dulang, dan 30 lembar kain Mbesa); pemasangan jerat untuk hewan yang dilindungi (anoa dan babi rusa), dikenakan sanksi adat yaitu Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau. (Tiga ekor hewan kerbau atau sapi, 30 dulang, 30 (kain Mbesa); penangkapan ikan yang menggunakan alat kimia, strom, racun, dikenakan sanksi adat: Rongu, Rompulu, Rongkau (dua ekor kerbau atau sapi, 20 dulang, 2 lembar kain Mbesa), setara dengan 3 juta rupiah; penggunaan senjata api, senapan angin, bedil dikenakan sanksi adat yaitu: Hangu, Hampulu, Hongkau (Satu ekor hewan kerbau atau sapi, 10 dulang, satu lembar kain Mbesa) yang apabila dirupiahkan sekitar 1,5 juta rupiah.[1]

Hubungan Masyarakat Adat Ngata Toro dengan Pemerintah

Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Ngata Toro memiliki peran penting dalam memelihara dan menjaga Kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Sejak tahun 2000, pemerintah secara resmi memberikan otonomi kepada masyarakat adat Ngata Toro untuk ikut merencanakan dan memantau pemanfaatan sumber daya alam di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu.[8] Pemberian otonomi tersebut tidak terlepas dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Toro sebagaimana yang dikemukakan oleh Fremerey bahwa penguasaan, distribusi dan penggunaan pengetahuan masyarakat adat Toro memungkinkan untuk mengembangkan pola pembelajaran secara organisasional sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan.[8] Pemberian otonomi oleh pemerintah kepada masyarakat adat Ngata Toro merupakan bentuk perhatian pemerintah yang “mengakui” keberadaan masyarakat lokal. Namun demikian, hal itu tidak serta merta membuat masyarakat adat tersebut bebas memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar kawasan. Masyarakat Adat Ngata Toro juga perlu “mengakui” keberadaan pemerintah sebagai stakeholder yang juga memiliki kepentingan atas kawasan tersebut, terutama berkaitan dengan upaya-upaya konservasi. Sikap “saling mengakui” antar-keduanya ditunjukan dengan disepakatinya KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat).

Implementasi KKM di kawasan Taman Nasional Lore Lindu diwujudkan dalam beberapa langkah, di antaranya:[8] pembatasan pengambilan sumber daya alam untuk waktu yang ditentukan yang dikenal masyarakat setempat dengan istilah “Ombo”; pengembangan jenis tanaman asli Taman Nasional Lore Lindu, yaitu eucalyptus deglupta (leda), agathist sp (damar), aleurites moluccana (kemiri); pembuatan batas hidup Taman Nasional Lore Lindu (living boundary) dengan pengembangan tanaman kemiri dan damar yang mampu memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat sekitar; monitoring partisipatif wilayah kesepakatan yang melanggar diproses melalui sidang adat oleh lembaga adat desa; pengembangan obat-obatan tradisional, madu hutan, bahkan kerajinan pandan hutan dan tanaman produktif lain di wilayah penyangga TNLL; mengembangkan pola pengelolaan multipihak untuk Danau Lindu dan DAS Mui; dan monitoring kesehatan hutan secara partisipatif dan ilmiah.

Referensi

  1. ^ a b c Mufid, Rizal dan Rukmini Paata Toheke. 2013. Masyarakat Adat Ngata Toro Sulawesi Tengah. Lihat di http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/hutan-untuk-masa-depan-pengelolaan-hutan-adat-di-tengah-arus-perubahan-dunia
  2. ^ a b Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Rencana Kerja Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Tahun 2016. Lihat melalui http://ksdae.menlhk.go.id/assets/uploads/@@Buku%20Renja%20DJ%20KSDAE%20Tahun%202016.pdf
  3. ^ "Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015–2020". www.bappenas.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-17. 
  4. ^ a b c United States Agency for International Development (USAID). 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan. Lihat melalui http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadu286.pdf
  5. ^ Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Dilihat melalui http://www.rareplanet.org/sites/rareplanet.org/files/PNACM597.pdf
  6. ^ Cahyono, Eko. 2012. Konflik Kawasan Konservasi dan Kemiskinan Struktural. Dilihat melalui http://www.akbartandjunginstitute.org/images/pdf/73544.pdf
  7. ^ Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). 2008. Melestarikan Lore Lindu bersama Masyarakat. Lihat di http://lorelindu.info/index.php/component/content/article/47-home/76-melestrikan-lore-lindu-bersama-masyarakat 
  8. ^ a b c d e Rachman, Imran. “Model Pengelolaan Sumber Daya Hutan pada Pembangunan Kawasan Penyangga Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah”. (Disertasi S3 Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada: 2013)