Teori keterikatan
Teori keterikatan (attachment theory) adalah model psikologi untuk menjelaskan aspek tertentu dalam dinamika hubungan antarpersonal jangka panjang.[1] Keterikatan merupakan insting biologis untuk mencari kedekatan dengan sosok keterikatan (attachment figure) ketika seorang anak merasakan ancaman atau ketidaknyamanan, dengan harapan bahwa sosok keterikatan akan menghilangkan ancaman atau ketidaknyamanan tersebut. Berkembangnya sebuah keterikatan ialah karena adanya kebutuhan anak pada keamanan, keselamatan, dan perlindungan, hal yang sangat diperlukan pada masa kecil dan masa kanak-kanak.[1][2]
Istilah
- “Alarm” ialah istilah yang digunakan untuk mengaktifkan sistem perilaku keterikatan, yang disebabkan oleh adanya rasa takut akan suatu bahaya.
- “Kecemasan” ialah antisipasi atau ketakutan akan keterputushubungan dengan pemberi perhatian/orang tua. Jika pemberi perhatian mereka tidak ada atau bersikap tidak responsif, maka akan terjadi perpisahan yang berbahaya (separation distress). Hingga usia anak mencapai tiga atau empat tahun, perpisahan secara fisik dapat menyebabkan kecemasan dan kemarahan, yang diikuti dengan kesedihan dan keputusasaan.
- Teori keterikatan dapat diringkas dalam empat poin utama: 1) keterikatan aman, 2) keterikatan kecemasan-ambivalen, 3) keterikatan kecemasan-penghindaran, 4) keterikatan tidak beraturan.
- Keterikatan aman (secure attachment) ialah ketika anak-anak merasa aman dengan kehadiran pemberi perhatian utama mereka. Ketika orang tua meninggalkan anak sendiri, anak merasakan kecemasan karena perpisahan dengan orang tua mereka. Kecemasan karena perpisahan (separation anxiety) ialah apa yang anak-anak rasakan ketika mereka berada terpisah dari pemberi perhatian utama (primary caregiver) mereka.
- Keterikatan kecemasan-ambivalen (anxious-ambivalent attachment) terjadi ketika anak merasakan kecemasan karena perpisahan dengan pemberi perhatian utama mereka, dan tidak merasa yakin mengenai kapan pemberi perhatian mereka tersebut akan kembali.
- Keterikatan kecemasan-penghindaran (anxious-avoidant attachment) terjadi ketika anak-anak menghindari orang tua mereka.
- Keterikatan tidak beraturan (disorganized attachment) terjadi ketika adanya kekurangan dalam perilaku keterikatan antara anak dan orang tua.[1][2]
Sejarah
Teori keterikatan dipopulerkan oleh seorang ahli psikoanalisis Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1950an. Sebelum teori keterikatan tersebut mengemuka, bidang psikologi perkembangan sangat fokus pada dorongan interior masing-masing individu, bukan pada hubungan antarindividu. Teori yang dikemukakan Bowlby itu dipengaruhi oleh studi perilaku hewan primata yang diketahuinya membutuhkan pemberi perhatian utama mereka untuk dapat bertahan hidup, bukan dalam artian untuk menerima makanan sebagaimana yang dipercayai oleh ahli perilaku/behaviorist, melainkan agar merasa dekat dengan sosok pelindung mereka. Menurut Bowlby, yang disebut dengan perilaku keterikatan (“attachment behaviors”) ialah pelayanan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dan perasaan terlindungi yang menyertainya yang berkembang untuk mendatangkan respon dari sosok pemberi perhatian, berupa menangis, mengikuti, tersenyum, menyusui, menempel, dll. Dengan kata lain, anak atau bayi berkembang mengirimkan sinyal kepada pemberi perhatian mereka ketika mendapat serangan (takut, sakit, terluka, dll.) yang membutuhkan respon agar menjaga mereka tetap aman dari bahaya. Di dalam pusat sistem keterikatan terjadi semacam panggilan primitif dan respon yang menjaga spesies dapat tetap hidup.[3] Bowlby mendapat pengaruh dari beberapa ahli klinik selama pengembangan teorinya, tetapi terutama ia mendapat pengaruh dari ahli psikoanalisis.[1]
- Freud (1856-1939), menulis tentang Prinsip Kebahagiaan (Pleasure Principle) yang menjelaskan bahwa sejak tahap awal kehidupan, manusia membutuhkan untuk mencari apa yang memenuhi kebutuhan dasar mereka.
- Melanie Klein (1882-1960), mendapat pengaruh dari gagasan Freud mengenai ketidaksadaran, untuk kemudian menciptakan Teori Hubungan Obyek (Object Relations Theory) dengan menggunakan teknik psikoanalitik pada anak kecil.[4] Ia juga merupakan salah satu di antara orang-orang yang mendapat pengaruh dari karya-karya Bowlby.[5]
- René Spitz (1887-1974), mendapat pengaruh dari karya Freud- konsep perkembangan anak- melakukan pengamatan dan penelitian mengenai perilaku anak, dan menciptakan Teori Perkembangan Ego.[6] Ia menyimpan penemuannya mengenai dampak kehilangan pada perkembangan anak, di dalam film yang dibuatnya, berjudul Psychogenic Disease in Infancy (penyakit psikogenik pada masa kanak-kanak).[6]
- Ana Freud (1895-1982), pendiri psikoanalisis anak. Penelitiannya tentang anak muda yang terpisah dengan pemberi perhatian mereka, yang dikenalnya selama perang dunia, sangat kuat mempengaruhi Bowlby.[7]
- Sullivan (1953), mencoba menjelaskan bagaimana gangguan mental terjadi akibat adanya distorsi dalam hubungan antarpersonal.[8]
- Bowlby (1988, 2008), mengembangkan Teori Keterikatan (Attachment Theory).[2]
- Seymour Epstein (1990), menciptakan Teori Kognitif-Pengalaman Sendiri (Cognitive-Experiential Self-Theory), menunjukkan bagaimana keterikatan dan pengendalian merupakan dua kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi untuk memfasilitasi perubahan.[8]
- Klaus Grawe (2004, 2007), pencipta neuropsikoterapi, mendemonstrasikan bagaimana neuropsikoterapi memainkan peranan penting dalam hubungan therapeutik, dengan menempatkan keterikatan sebagai bagian penting kebutuhan neurobiologis.[8]
Teori keterikatan Bowlby
Bowlby berteori bahwa bayi tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri, seperti ketakutan, kesedihan, basah dalam diapernya, rasa lapar, dll., dan membutuhkan seseorang untuk membantu mengatasinya. Proses tersebut dimulai dengan co-regulation atau mutual regulation- pengaturan simultan oleh dua sistem, yakni ibu dan bayi, dengan tujuan yang sama- dan berakhir idealnya dengan pembentukan diri sebagai agen eksekutif utama dari strategi yang berdasarkan pada keamanan. Dengan kata lain, anak yang secara efektif ditenangkan oleh pemberi perhatian mereka pada akhirnya akan belajar bagaimana melakukan hal-hal tersebut untuk dirinya sendiri.[3] Bowlby juga percaya bahwa bayi mempunyai kebutuhan bawaan untuk mencari dan menjaga keterikatan dengan pemberi perhatian utama mereka,[1][2] dan bahwa “bayi serta anak kecil seharusnya merasakan kehangatan, kedekatan, dan hubungan yang terus menerus dengan ibunya, yang mana keduanya mendapatkan kepuasan dan kenyamanan.” Bila tidak, maka bayi akan mendapat konsekuensi kesehatan mental yang signifikan, yang tidak dapat dikembalikan ke keadaannya yang semula.[9] Sementara Bowlby dikenal sebagai Bapak Teori Keterikatan, peneliti yang bekerja membantu Bowlby, Mary Salter Ainsworth, seorang psikolog pandai dan berprestasi yang membawa teorinya menjadi hidup.[3]
Pada tahun 1954, Ainsworth menemani suaminya yang mendapat pekerjaan di Uganda, memutuskan melakukan proyek penelitian menguji teori baru yang ia dan Bowlby ciptakan dengan manusia nyata.[3] Ainsworth mula-mula menjelaskan fenomena dasar aman (‘‘secure base phenomenon’’) dalam istilah keseimbangan antara perilaku eksplorasi dan keterikatan (misalnya kedekatan, kontak).[10] Ia mengusulkan bahwa observasi perilaku dasar aman seiring waktu dan konteksnya merupakan kriteria terbaik untuk menentukan tipe keterikatan tertentu seorang anak terhadap pemberi perhatian utama mereka.[10] Kemudian Bowlby memberikan ciri pada sosok keterikatan sebagai dasar aman (“secure base”) untuk eksplorasi anak.[11] Ia menggunakan analogi kekuatan ekspedisi, pergi menjauh dari benteng pertahanan, yakin pada kepercayaan bahwa dasar aman tersebut akan selalu tersedia dan mampu memberikan perlindungan dan dukungan lainnya pada saat ekspedisi membutuhkan bantuan atau tempat berlindung selama eksplorasi. Dalam pandangannya, kepercayaan diri anak di dalam dasar aman membuatnya dapat bertualang lebih jauh, ekspansif, dan bermanfaat, sebelum menjauh yang sebenarnya dari dasar tersebut ketika mereka beranjak dewasa. Hubungan dasar aman mula-mula seorang anak dengan pemberi perhatian utama mereka terbentuk selama beberapa tahun pertama kehidupannya dan berdasarkan sejarah unik transaksi perilaku yang memberikan ciri pada anak dan pemberi perhatiannya tersebut. Ainsworth menunjukkan bahwa perbedaan individu dalam organisasi perilaku dasar aman anak (misalnya representasi sensor motorik dalam hubungan) secara kritis bergantung pada fitur interaksi ibu dan anak, termasuk sensitivitas terhadap sinyal yang diberikan anak, kooperasi dengan perilaku anak, akses terhadap anak, dan penerimaan atas peran pemberi perhatian dan pemenuh kebutuhan anak.[12]
Dengan berkembangnya anak, hubungan dasar aman semakin meluas dan termodifikasi, sebagian sebagai fungsi kualitas transaksi dengan keterikatan di antara dua individu, dan sebagian lagi karena konsekuensi perubahan kognisi, pengaruh, dan perilaku yang menandai pertumbuhan manusia. Salah satu konsekuensi pengalaman berulang dari sensitivitas, kooperasi, dll., berkaitan dengan perubahan perkembangan ialah penyusunan model mental penjelas hubungan dasar aman dan unsur-unsur penyusunnya.[13][14][15] Bowlby berpendapat bahwa representasi mental tersebut membuat dasar aman lebih dapat diaplikasikan, yakni bahwa anak mungkin terus menerus merasa aman dan terdukung ketika pemberi perhatian mereka tidak hadir secara fisik. Lebih jauh, karena model mental keterikatan ini dibuat berdasarkan pengalaman yang dirasakan dan organisasi perilaku dasar aman dengan referensi sosok keterikatan daripada bahasa atau pengertian rasional diri atau pemberi perhatian, model mental keterikatan tersebut berfungsi secara implisit dan di luar perhatian utama dan kesadaran.[16] Setelah satu tahun melakukan pengamatan pada ibu-ibu di Uganda dan anak/bayinya, ia memperhatikan bahwa anak yang paling sedikit menangis mendapatkan lebih banyak perhatian. Dan ia menyaksikan bagaimana hubungan simpati ibu (“maternal attunement”) terhadap tanda yang diberikan bayinya tersebut terlihat menentukan pola tersebut. Pengamatan original Ainsworth yang paling terkenal ialah mengenai sensitivitas hubungan (relational sensitivity) yang dapat dilihat dari kehangatan ibu atau senyum maupun tangisan anak.[3] Pemberi perhatian yang sensitif, Ainsworth menulis, “mengangkat bayinya ketika bayi tersebut menginginkannya, dan meletakkannya ketika bayi tersebut ingin melakukan eksplorasi… Pada sisi lain, pemberi perhatian yang memberi respon secara tidak tepat, mencoba bersosialisasi dengan anak ketika anak itu lapar, bermain dengannya saat ia lelah, atau memberinya makan ketika ia sedang mencoba menginisiasi interaksi sosial.” Ainsworth juga memperhatikan bahwa bayi yang paling merasa nyaman melakukan eksplorasi ialah bayi yang ibunya menunjukkan dengan jelas bahwa ia tidak akan pergi kemana-mana.[3] Ainsworth melanjutkan penelitiannya di Uganda tersebut dengan studinya yang terkenal, Studi Baltimore (“Baltimore Study”). Langkah pertama pengamatan secara berurutan hubungan ibu dan bayi yang dilakukan di rumah, selanjutnya melakukan prosedur di laboratorium yang dirancang dengan menduplikasi apa yang dilihat di rumah, yang dikenal dengan Strange Situation (Situasi yang Asing).[3]
Keterikatan aman
Orang tua yang konsisten atau senantiasa memberikan respon pada kebutuhan anak akan membentuk anak yang terikat dengan aman.[17] Anak akan melakukan eksplorasi secara bebas sementara pemberi perhatian mereka hadir (biasanya berupa keterlibatan dengan orang asing), seringkali kesal ketika pemberi perhatian mereka itu pergi meninggalkan mereka, dan umumnya gembira melihat pemberi perhatian mereka kembali.[17] Anak yang terikat aman paling baik melakukan eksplorasi ketika mereka mengetahui/memiliki tempat aman untuk kembali pada saat yang dibutuhkan. Ketika bantuan diberikan, rasa keamanan mereka meningkat, dan juga mengasumsikan bantuan dari orang tua bermanfaat, akan mendidik anak bagaimana mengatasi masalah yang sama di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, seorang anak menjadi terikat aman ketika orang tua mereka hadir dan bisa memenuhi kebutuhan anak dengan responsif dan cara yang pantas. Anak-anak yang seperti itu akan lebih cenderung mempunyai keterikatan aman.[18] Orang dewasa yang terikat aman akan lebih mempunyai pandangan positif mengenai diri mereka sendiri, pasangan, dan hubungan yang mereka jalin.[19] Mereka merasa nyaman dengan kedekatan dan kemandirian, dan senantiasa menyeimbangkan keduanya.[19]
Keterikatan kecemasan-ambivalen
Seorang anak dengan tipe keterikatan ini sedikit melakukan eksplorasi (dalam situasi yang asing) dan sering waspada terhadap orang asing, bahkan dalam kehadiran orang tua mereka.[12] Ketika ibu mereka pergi, mereka seringkali merasa sangat menderita.[12] Namun anak tersebut bersikap ambivalen ketika ibu mereka kembali.[12] Karena respon/tanggapan pemberi perhatian yang tidak dapat diprediksi kepada anak, reaksi anak akan menjadi marah atau tidak berdaya terhadap pemberi perhatian mereka tersebut.[12] Campuran antara mencari dan menahan kontak serta interaksi menghasilkan kemarahan yang tidak terelakkan dan nada kemarahan tersebut menandakan perilaku yang berlaku sebelum tahap perpisahan dengan pemberi perhatian mereka… Kepasifan/ketidakpedulian dan aktivitas eksplorasi anak dengan keterikatan kecemasan-ambivalen sangat terbatas. Perilaku interaktif mereka relatif kurang dalam hal inisiasi aktif. Namun pada tahap pertemuan dengan orang tua/pemberi perhatian mereka, mereka secara jelas menginginkan kedekatan dan kontak, meskipun mereka lebih cenderung menggunakan sinyal/tanda-tanda daripada pendekatan aktif, dan memprotes melawan saat ditinggalkan daripada secara aktif mencegahnya.[12] Orang dewasa yang terikat dengan kecemasan mencari kedekatan dalam level yang tinggi, penerimaan dan responsivitas dari pasangan mereka, sehingga menjadi sangat bergantung pada orang lain.[19] Mereka cenderung kurang percaya, memiliki pandangan yang kurang positif mengenai diri mereka sendiri dan pasangan, dan kemungkinan menunjukkan ekspresi emosi dalam level yang tinggi, serta memiliki perasaan khawatir dan impulsif dalam hubungan yang mereka jalani.[19]
Keterikatan kecemasan-penghindaran
Anak dengan tipe keterikatan ini akan menghindari atau mengabaikan pemberi perhatian mereka dengan menunjukkan sedikit emosi dan tidak ada kesusahan/penderitaan ketika pemberi perhatian mereka itu pergi ataupun kembali.[20] Anak tersebut tidak mengeksplor banyak mengenai siapa yang ada di sekitarnya.[20] Ainsworth dan Bell berteori bahwa perilaku yang tampak tenang dari anak penghindar merupakan sebuah topeng kesusahan dan penderitaannya. Hipotesis itu kemudian dibuktikan melalui studi laju detak jantung anak penghindar.[16] “…penghindaran yang mencolok pada pertemuan dengan ibu mereka, yang berupa pengabaian, meskipun ada pula saat membuang muka, berbalik badan, atau pergi menjauh… jika ada pemberian salam ketika ibu mereka datang, hal tersebut hanya berupa lirikan atau senyum… Anak tidak mendekati ibu mereka pada saat pertemuan dengannya, atau mereka mendekatinya dengan gaya yang gagal, atau mendekati ibu mereka cenderung hanya terjadi setelah bujukan berkali-kali…[12] Jika anak dengan keterikatan kecemasan-penghindaran didekati/diraih, ia menunjukkan sedikit atau tidak ada kontak yang terjaga. Ia cenderung tidak memeluk; melihat ke arah lain, dan mungkin menggeliat turun.[12] Orang dewasa penolak dan penghindar menginginkan independensi yang sangat tinggi, seringkali disertai menghindari keterikatan.[19] Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang cukup dengan diri mereka sendiri, tidak rentan terhadap perasaan keterikatan dan tidak membutuhkan hubungan dekat.[19] Mereka cenderung menekan perasaan mereka, mengatasi penolakan dengan memberi jarak terhadap pasangan atau siapapun yang mereka seringkali mempunyai pendapat buruk.[19] Orang dewasa yang takut dan penghindar mempunyai campuran perasaan terhadap hubungan yang dekat, yakni menginginkan sekaligus tidak nyaman dengan adanya emosi kedekatan.[19] Mereka cenderung tidak mempercayai pasangan mereka dan melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak pantas. Seperti halnya orang dewasa penolak dan penghindar, orang dewasa yang takut dan penghindar cenderung mencari sedikit kedekatan, dan menekan perasaan mereka.[19]
Keterikatan tidak beraturan
Ainsworth dkk. mengobservasi gerakan yang tegang seperti membungkukkan bahu, meletakkan tangan di belakang leher dan secara tegang memiringkan kepala, dll.[12] Gerakan tersebut merupakan pertanda stres karena seringkali muncul terutama pada tahap yang terpisah, dan karena anak yang diamati menunjukkan gerakan tersebut cenderung rentan menangis. Berdasarkan hipotesis, gerakan-gerakan tersebut terjadi ketika seorang anak mencoba menahan tangis, dan gerakan tersebut menghilang ketika tangis itu pecah.[12] Crittenden memperhatikan bahwa seorang anak yang diperlakukan dengan kasar dikelompokkan memiliki keterikatan tidak beraturan karena dalam situasinya, perilaku anak tersebut tidak menunjukkan penghindaran ataupun ambivalensi, namun ia menunjukkan stereotip yang berkaitan dengan stres, yakni memiringkan kepala selama situasi yang asing baginya tersebut.[12] Perilaku tersebut juga merupakan pertanda tingkat stress.[21] Dalam situasi yang asing, sistem keterikatan diharapkan menjadi teraktifkan oleh kepergian dan kembalinya pemberi perhatian.[21] Jika perilaku anak tidak tampak oleh pengamat terkoordinasikan dalam cara yang tenang untuk mencapai kedekatan atau kedekatan relatif dengan pemberi perhatian mereka, maka keterikatan itu dianggap tidak beraturan sebagaimana hal tersebut mengindikasikan kekacauan atau keterluapan sistem keterikatan (misalnya oleh ketakutan).[21] Perilaku anak dalam Strange Situation Protocol (protokol situasi yang canggung) terkodifikasi sebagai ketidakberaturan atau disorientasi, termasuk menunjukkan ketakutan yang jelas, perilaku yang bertentangan atau merusak terjadi secara simultan atau berurutan; stereotip, tidak simetris, salah arah atau gerakan tersentak; atau pembekuan dan disosiasi yang jelas.[21] Lyons-Ruth meski demikian mendesak bahwa seharusnya diketahui lebih luas bahwa 52% anak yang terikat tidak beraturan terus menerus mendekati pemberi perhatian mereka, mencari kenyamanan, dan menghentikan penderitaan mereka tanpa perilaku penghindaran maupun ambivalen yang jelas.[22] Sebagai contoh, anak-anak ditempatkan dalam tempat yang penuh perhatian dan kepedulian, kemudian lebih dari sekali/seringkali diberikan gangguan ke dalamnya. Dalam video Strange Situation Protocol, keterikatan tidak beraturan cenderung terjadi ketika seorang anak yang ditolak atau diabaikan mendekati orang asing dalam keadaan terganggu tersebut untuk mendapatkan kenyamanan, kemudian kehilangan kendali otot dan jatuh di lantai akibat kewalahan oleh gangguan ketakutan yang tidak diketahui.[23] Main dan Hesse menemukan bahwa kebanyakan ibu dari anak-anak dengan keterikatan tidak beraturan tersebut menderita kehilangan yang besar atau trauma lainnya sesaat sebelum atau setelah melahirkan, dan bereaksi dengan menjadi sangat depresi.[24] Pada kenyataannya, 56% ibu yang kehilangan orang tua karena kematian sebelum mereka menyelesaikan sekolah menengah atas, mempunyai anak dengan keterikatan tidak beraturan.[24] Studi berikutnya, dengan menekankan pada potensi penting kehilangan yang belum terselesaikan, setuju dengan penemuan tersebut.[25] Sebagai contoh, Solomon dan George menemukan bahwa kehilangan yang tidak/belum terselesaikan dalam diri seorang ibu cenderung mempunyai hubungan dengan keterikatan tidak beraturan pada anak, terutama ketika mereka juga mengalami trauma yang tidak terpecahkan pada kehidupan mereka sebelum mengalami kehilangan tersebut.[26]
Referensi
- ^ a b c d e "John Bowlby Attachment Theory". www.helplandcentre.com. Diakses tanggal 2017-12-10.
- ^ a b c d Holmes J (1993). John Bowlby & Attachment Theory. Makers of modern psychotherapy. London: Routledge.
- ^ a b c d e f g "Can Attachment Theory Explain All Our Relationships?". The Cut (dalam bahasa Inggris). 2016-07-05. Diakses tanggal 2017-12-10.
- ^ Horacio Etchegoyen(2005).The Fundamentals of Psychoanalytic Technique, Karnac Books ed., New Ed
- ^ Bowlby J (1944). "Forty-four juvenile thieves: Their characters and home life". International Journal of Psychoanalysis 25 (19–52): 107–27. sometimes referred to by Bowlby's colleagues as "Ali Bowlby and the Forty Thieves"
- ^ a b Spitz RA (1945). "Hospitalism: An Inquiry into the Genesis of Psychiatric Conditions in Early Childhood". The Psychoanalytic Study of the Child 1: 53–74
- ^ Freud A, Burlingham DT (1943). War and children. Medical War Books.
- ^ a b c Grawe, K. (2007). Neuropsychotherapy: How the Neurosciences Inform Effective Psychotherapy (1st ed.). Routledge.
- ^ Waters, E., Corcoran, D. & Anafarta, M. (2005) ‘Attachment, Other Relationships, and the Theory that All Good Things Go Together’ Human Development 48:80–84
- ^ a b http://repositorio.ispa.pt/bitstream/10400.12/1196/1/AHD%2010%282%29%20189.pdf
- ^ Bowlby, J. (1990). A secure base: Parent–child attachments and healthy human development. New York: Basic Books
- ^ a b c d e f g h i j k Ainsworth, M. D., Blehar, M. C., Waters, E., & Wall, S. (1978). Patterns of attachment: A psychological study of the strange situation. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc
- ^ Bowlby, J. (1973). Attachment and loss. Vol. 2: Separation: Anxiety, and anger. New York: Basic Books.
- ^ Bowlby, J. (1980). Attachment and loss. Vol. 3: Loss: Sadness and depression. New York: Basic Books
- ^ Bowlby, J. (1982). Attachment and loss. Vol. 1: Attachment (2nd ed.). New York (Original work published 1969).
- ^ a b Sroufe, A.; Waters, E. (1977). "Attachment as an Organisational Construct". Child Development 48: 1184–1199.doi:10.111/j.1467-8624.1977.tb03922.x
- ^ a b Schacter, D.L.et al. (2009). Psychology, Second Edition. New York: Worth Publishers. pp.441
- ^ Aronoff, J. (2012). Parental Nurturance in the Standard Cross-Cultural Sample: Theory, Coding, and Scores. Cross-Cultural Research, 46(4), 315-347.
- ^ a b c d e f g h i Hazan C, Shaver PR (1987). "Romantic love conceptualised as an attachment process". Journal of Personality and Social Psychology 52 (3): 511–24. doi:10.1037/0022-3514.52.3.511.PMID3572722
- ^ a b Ainsworth, M. D.; Bell, S. M. (1970). "Attachment, exploration, and separation: Illustrated by the behaviour of one-year-olds in a strange situation". Child Development 41: 49–67. doi:10.111/j.1467-8624.1970.tb00975.x
- ^ a b c d Crittenden, P.M. (1983) ‘Mother and Infant Patterns of Attachment’ Unpublished PhD Dissertation, University of Virginia, May 1983, p.73
- ^ Karlen Lyons-Ruth, Jean-Francois Bureau, M. Ann Easterbrooks, Ingrid Obsuth, Kate Hennighausen & Lauriane Vulliez-Coady (2013). Parsing the construct of maternal insensitivity: distinct longitudinal pathways associated with early maternal withdrawal, Attachment & Human Development, 15:5-6, 562-582
- ^ Crittenden, P. & Landini, A (2011) Assessing Adult Attachment: A Dynamic-Maturational Approach to Discourse Analysis, NY: W.W. Norton, p.269
- ^ a b Colin Murray Parkes (2006). Love and Loss. Routledge, London and New York. p. 13.
- ^ Madigan, Sheri, et al.(2006). "Unresolved states of mind, anomalous parental behaviour, and disorganised attachment: A review and meta-analysis of a transmission gap." Attachment & human development 8.2: 89-111
- ^ Solomon, J., & George, C. (2006). Intergenerational transmission of disregulated maternal care giving: Mothers describe their upbringing and child rearing. In O. Mayseless (Ed). Parenting representations: Theory, research, and clinical implications (pp. 265-295) Cambridge, UK: Cambridge University Press