Lompat ke isi

Pinisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 19 Februari 2019 04.39 oleh Dhiosk (bicara | kontrib) (Membatalkan 2 suntingan oleh 203.78.117.79 (bicara) ke revisi terakhir oleh HsfBot. (TW))
Pinisi di pelabuhan Paotere, Makassar
Gambar Pinisi type Lamba
Pinisi Lamba bermesin

Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya di desa Bira kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba sebagai sentra pembuatan. Namun asal mula kapal Pinisi ini masih simpang siur. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau[1]. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan 2 kalimat syahadat dan tujuah buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah.[butuh rujukan] Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi lima samudera besar di dunia.[butuh rujukan] Pinisi adalah kapal layar tradisional Bugis terbesar sejak menghilangnya jong raksasa.[2]

Sejarah

Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan[3] kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500-an. Menurut[4] naskah Sure' I Lagaligo yang muncul pada abad ke 14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Cina Pammana hendak meminang Putri yang bernama We Cudai.

Sawerigading berhasil ke negeri Cina Pammana dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Cina Pammana, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Lemo dan Bira. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi. Orang Ara adalah pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira yang merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar tersebut lahir dari pemikiran orang-orang Bira.

Konon, nama Pinisi ini diambil dari nama seseorang yang bernama Pinisi itu sendiri. Suatu ketika dia berlayar melewati pesisir pantai Bira. Dia melihat rentetan kapal sekitar laut sana, dia kemudian menegur salah seorang nakhoda kapal tersebut bahwasanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki. Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini. Atas teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi.

Pada abad ke-19, para pelaut Sulawesi mulai menggabungkan layar-layar persegi panjang besar dari layar tanjaq dengan jenis-jenis layar depan dan belakang yang mereka lihat di kapal-kapal Eropa yang berkeliaran ke Nusantara. Sejak awal abad ke-18, VOC mulai membangun kapal-kapal bergaya Eropa untuk perdagangan inter Asia di galangan-galangan Jawa, sehingga terus memperkenalkan metode konstruksi dan rig baru, termasuk versi Belanda dari layar depan dan belakang yang baru. Selama abad ke-19, angkatan laut kolonial dan perusahaan perdagangan Eropa, India, dan Cina mengoperasikan sekunar Barat yang jumlahnya terus meningkat; tetapi, meskipun laporan sejak awal tahun 1830 menyebutkan perahu, “sekunar dengan layar kain”, digunakan oleh 'bajak laut' yang beroperasi di Selat Malaka.

Pinisi berevolusi dari lambung dasar padewakang dengan layar depan dan belakang ke model lambungnya sendiri dengan "layar pinisi" pribumi. Selama dekade-dekade evolusi ini, para pelaut Indonesia dan pembangun kapal mengubah beberapa fitur dari sekunar barat yang asli. Pinisi asli Sulawesi pertama dibangun untuk kapten Biran oleh orang-orang Ara sekitar tahun 1900.

Pada mulanya, layar sekunar dipasang di atas lambung padewakang, tetapi setelah beberapa lama pedagang Sulawesi memutuskan untuk menggunakan palari berhaluan tajam yang lebih cepat. Seluruh lambung adalah ruang kargo, dan hanya ada kabin kecil untuk kapten ditempatkan di dek buritan, sementara kru tidur di dek atau di ruang kargo. Dua kemudi panjang yang dipasang di sisi buritan seperti yang digunakan pada padewakang, dipertahankan sebagai perangkat kemudi.

Sejak tahun 1930-an, kapal layar ini mengadopsi jenis layar baru, yaitu layar nade, yang berasal dari cutter dan sloop yang digunakan oleh pencari mutiara Barat dan pedagang kecil di Indonesia Timur.

Selama tahun 1970-an semakin banyak palari-pinisi yang dilengkapi dengan mesin, lambung dan layar kapal tradisional Indonesia dengan cepat berubah: Karena desain lambung pribumi tidak cocok untuk dipasangkan mesin, lambung tipe lambo menjadi alternatif. Pada tahun-tahun berikutnya, kapasitas muatan terus ditingkatkan, hingga hari ini rata-rata Perahu Layar Motor (PLM) dapat memuat hingga 300 ton.

Karena layar mereka hanya digunakan untuk mendukung mesin, layar belakang dari hampir semua PLM dihilangkan. Pada kapal yang lebih besar dipasang sebuah rig pinisi, sementara kapal berukuran sedang dipasang dengan layar nade. Namun, karena tiang mereka terlalu pendek dan area layarnya terlalu kecil, kapal ini tidak dapat bergerak hanya dengan layar, sehingga mereka menggunakannya hanya pada angin yang menguntungkan.[5]

Ritual pembangunan Pinisi

Upacara kurban untuk pembuatan perahu pinisi adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan. Para pembuat perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu ini, Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah ditangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.

Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamin. Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan. Pembuatan perahu pinisi di Tanah Beru.

Peletakan lunas juga memakai upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Setelah dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu, pemotongan harus dilakukan oleh orang yang bertenaga kuat.

Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedangkan potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.

Pemasangan papan pengapit lunas, disertai dengan upacara Kalebiseang. Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.

Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan a’panisi, yaitu memasukkan majun pada sela papan. Untuk merekat sambungan papan supaya kuat, digunakan sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk Selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya.

Proses terakhir kelahiran pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan diadakan lagi. Peluncuran kapal diawali dengan upacara adat Appasili, yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam air dan kemudian dipercikkan dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu. Untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton keatas, dipotong seekor sapi,setelah dipotong kaki depan kambing atau sapi dipotong bagian lutut kebawah digantung di anjungan sedangkan kaki belakang digantung di buritan phinisi[6] maknanya memudahkan saat peluncurannya seperti jalannya binatang secara normal. Selanjutnya ada upacara Ammossi, yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu ditarik ke laut. Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' punggawa atau Panrita Lopi sehingga dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara Ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir. Ketika pinisi sudah mengapung di laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas. Doa, atau lebih tepatnya mantra, pun diucapkan.

Jenis kapal pinisi

Ada beberapa jenis kapal pinisi, namun yang pada umumnya pinisi ada 2 jenis :

  1. Palari adalah bentuk awal pinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba. Biasanya dikemudikan dengan 2 kemudi (rudder) samping di buritan. Jenis yang sudah bermesin juga dilengkapi kemudi di belakang baling-baling, tetapi kebanyakan kapal pinisi bermesin menggunakan lambung jenis lambo.
  2. Lamba atau lambo. Pinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM). Menggunakan 1 kemudi tengah, namun beberapa ada yang memiliki 2 kemudi samping sebagai hiasan.

Pinisi Masa Kini

Di era globalisasi phinisi sebagai kapal barang berubah fungsi menjadi kapal pesiar mewah komersial maupun ekspedisi yang dibiayai oleh investor lokal dan luar negeri, dengan interior mewah dan dilengkapi dengan peralatan menyelam, permainan air untuk wisata bahari dan awak yang terlatih dan diperkuat dengan teknik modern. Salah satu contoh kapal pesiar mewah terbaru adalah Silolona berlayar di bawah bendara.

Kapal pinisi umumnya memiliki panjang 20-35 m dengan berat sekitar 350 ton. Layarnya bisa mencapai tinggi 30 m diatas dek. Pada 2011 sebuah pinisi besar telah diselesaikan di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia memiliki panjang 50 m dan lebarnya 9 m, dengan tonase sekitar 500 ton.[7]

Kapal pinisi juga menjadi lambang untuk gerakan WWF yaitu #SOSharks, program pelestarian ikan hiu dari WWF, dan pernah digunakan oleh perusahaan terkenal di Indonesia yaitu Bank BNI.

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
  2. ^ Zainun, Nazarudin (2015). Antropologi Dan Sejarah Dalam Kearifan Tempatan. Penerbit USM. 
  3. ^ [1] The Indonesian Phinisi
  4. ^ [2] Pusat Kerajinan Perahu Pinisi
  5. ^ 2004 Horst H. Liebner, Malayologist, Expert Staff of the Agency for Marine and Fisheries Research, Department of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia
  6. ^ [3] Phinisi tradisional asli Indonesia
  7. ^ Sastrawat, Indra (22 November 2011). "Largest Pinisi Launched". Kompasiana. Diakses tanggal 15 July 2018.