Lompat ke isi

Suku Dayak Modang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 10 April 2019 10.22 oleh DYAHSARS (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Suku Dayak menggunakan HotCat)

Suku Dayak Modang adalah bagian dari suku Dayak yang mendiami wilayah Kabupaten Kutai, Provinsi Kalimantan Timur. Suku Dayak Modang terutama menempati Kecamatan Kembang Janggut, Long Beleh, Muara Ancalong, dan Muara Wahau. Y. Mallinckrodt mengemukakan bahwa masyarakat Dayak Modang adalah sub kelompok orang Bahau. Tetapi, saat ini Dayak Modang dianggap sebagai kelompok tersendiri atau lepas dari kelompok Bahau.[1] Jumlah populasi suku Dayak Modang sekitar 15.000 (1981 Wurm and Hattori).[2]

Asal usul

Suku Dayak Modang berasal dari daerah Apo Kayan, yang merupakan daerah yang seolah-olah menjadi pusat pulau Kalimantan. Daerah ini berbatasan dengan Serawak, Malaysia Timur. Saat ini, daerah Apo Kayan menjadi bagian wilayah Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Masyarakat Modang menjadi kelompok awal yang meninggalkan Apo Kayan dibanding sub kelompok Bahau lainnya. Kemudian, orang Modang mendiami wilayah di sekitar aliran Sungai Belayan, Sungai Kelinjau, dan Sungai Telen. Ketiga sungai tersebut adalah anak Sungai Mahakam. Selama perjalanan dalam migrasi tersebut mereka bertemu dengan budaya lain dan membetuk budaya yang bervariasi atau membentuk budaya yang berbeda dari kelompok asalnya (kelompok Bahau).[1]

Kehidupan

Suku Dayak Modang pada umumnya memanfaatkan aliran sungai sebagai sarana prasarana perhubungan dengan mengendarai perahu motor atau perahu dayung. Masyarakat ini hidup dari berladang dengan tanaman padi dan sistem yang digunakan adalah ladang berpindah. Mereka juga memenuhi kebutuhan dengan mengumpulkan hasil hutan, serta menangkap ikan dari sungai di sekitar pemukiman.

Kekerabatan yang dianut suku Dayak Modang adalah bilateral, yang artinya menarik garis keturunan baik pada pihak ayah maupun ibu. Sesudah menikah, sepasang pengantin bebas menentukan tempat tinggal, apakah di lingkungan kerabat suami atau istri.[1]

Bahasa

Masyarakat Dayak Modang menggunakan bahasa Modang dalam percakapan sehari-harinya.

Kesenian

Tarian

Hudoq

Tari Hudog adalah tarian yang menggunakan topeng dan terdapat kepercayaan bahwa saat melaksanakan tari Hudoq para dewa utusan Sang Pencipta datang ke dunia untuk membantu kehidupan manusia, membantu mengusir hama penyakit padi dan segala hal buruk yang akan menimpa kampung. Penari Hudoq mengenakan kostum yang berasal dari daun pisang hingga menutupi mata kaki dan memakai topeng kayu yang menggambarkan ekspresi tokoh – tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Dayak.[3] Hudoq dimulai dengan Sakaeng Ngaweit, yaitu ritual monolog yang mempunyai tujuan untuk menyampaikan permohonan. Setelah itu, sekelompok ibu/perempuan dewasa menari dan melantunkan syair, membentuk arak-arakan di sepanjang jalan menuju rumah adat (lamin adat atau Maeso Puen).[4] Pada zaman dahulu, sebagian masyarakat percaya bahwa orang yang sakit akan lekas sembuh apabila terkena kibasan kostum dari penari Hudoq tersebut.[3]

Ngewae

Ngewae adalah tari untuk menyambut kelahiran anak bangsawan.[1]

Njiek hapoi

Njiek hapoi merupakan tarian sebagai wujud penghormatan terhadap raja atau tamu terhormat.[1]

Njiek tewea

Tarian ini adalah tari merumput padi atau setelah memotong padi yang bersifat hiburan.[1]

Njiek kenkah gundea

Njiek kenkah gundea adalah tari yang bersifat hiburan.[1]

Njiek ndaae tegun

Njiek ndaae tegun atau biasa disebut dengan tarian burung enggang merupakan tari yang juga berguna untuk hiburan.[1]

Nyanyian

Ding wuk

Nyayian ini mengiringi tarian Ding wuk, yang digunakan sebagai hiburan pada malam ada keramaian, menyambut tamu, pesta makan nasi baru, dan sebagainya. Tarian Ding wuk berkaitan dengan legenda dari cerita perkawinan anak raja Modang dengan putri raja lain.[1]

Dung

Dung merupakan nyanyian para laki-laki ketika pulang berperang yang bernada sedih mengenang anggotanya yang gugur. Saat menyanyikannya, para lelaki itu duduk melingkar dalam rumah panjang semalaman. Dini hari, mereka turun dari rumah dan berjalan hilir mudik dalam kampung sambil bernyanyi sampai siang hari.[1]

Netna

Netna adalah nyanyian hiburan pada saat memotong padi untuk mendorong semangat dalam bekerja.[1]

Ngen jiu hen ie

Ngen jiu hen ie merupakan lagu hiburan ketika duduk bersama menikmati sinar bulan purnama. Nyanyian ini dilakukan oleh pria dan wanita dengan saling bersahutan dengan lirik yang panjang.[1]

Jong nyelong

Jong nyelong adalah nyanyian sebagai pengiring tari untuk ungkapan rasa syukur karena keberhasilan panen di ladang. Jong nyelong dibawakan oleh pria dan wanita tanpa iringan musik.[1]

Jantung Utang

Jantung utang artinya adalah kayu yang dipukul. Jantung Utang adalah sejenis alat musik pukul yang terdiri dari bilah-bilah kayu. Alat musik ini dimiliki oleh suku Dayak Kenyah, tetapi seiring dengan perpindahan suku Dayak Kenyah dari pedalaman ke daerah lain, Jantung Utang dapat ditemukan pada suku Dayak Modang, Bahau, Segai, Tumbit, Kayan, Brusu, dan lain-lain. [5]

Tradisi

Ritual Pelekatan Nama

Nama merupakan doa dan harapan agar seseorang yang menyandang nama tersebut mendapatkan kebaikan dalam kehidupan. Pada suku Dayak Modang, pemberian nama untuk seseorang diiringi dengan prosesi pelekatan nama. Prosesi tersebut diawai dengan ritual Nen Kaeg Heig Metae atau permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Setelah membacakan mantera atau doa-doa dengan menghadap ke sungai Mahakam, pimpinan upacara adat menaruh sembilan telur ayam kampung ke ujung masing-masing tongkat mambu yang sudah ditancapkan berjejer, yang dibagian bawahnya terdapat sirih, rokok dan beras. Kemudian seekor ayam jantan berwarna merah pun disembelih, darahnya di sangga dalam piring putih berisi beras dan telur, untuk kemudian ditaruh di Mahakam. Seluruh rangkaian ritual pelekatan nama diiringi oleh bunyi tetabuhan gong dan gendang.

Kemudian, anak laki-laki yang akan diberi nama dibawa oleh orangtuanya menuju ke tempat pelaksanaan adat atau disebut Hewat yang beralas tikar purun. Anak tersebut dipasangi gelang manik oleh ibunya, yang bermakna sebagai ikatan hubungan. Setelah itu, dilaksanakan prosesi Me et Jiem atau pemotongan rambut anak oleh tetua adat, yang bermakna penataan awal tata adat kehidupan atau merupakan ungkapan proses pertumbuhan. Selanjutnya, dilakukan ritual Net Leug atau memohon calon nama anak lewat sarana daun pisang ambon yang dibentuk kotak berukuran 3x4 cm sebanyak tiga rangkap.

Dua potong daun pisang ambon itu lalu dipegang oleh pemimpin upacara dalam posisi berdiri. Sambil mengucap doa, daun tersebut dilemparkan keatas dan dibiarkan jatuh ke tanah. Posisi daun yang baru jatuh tersebut dilihat, apabila dua-duanya terlentang atau tertelungkup berarti merupakan pertanda Tidak, maka prosesi harus dilakukan lagi. Apabila posisi daun pisang yang dijatuhkan satu terlentang dan satunya tertelungkup, itu berarti nama yang sudah diajukan pihak keluarga mendapat jawaban Ya dari leluhur mereka atau disetujui.

Para tetua akan melakukan ritual Ensoet Kenean atau pemasangan pakaian adat dan pusaka warisan kepada anak, yang merupakan simbol ikatan hubungan kekerabatan turun temurun yang bermakna penguatan identitas. Untuk mewujudkan rasa syukur, kemudian dilakukan ritual Newag Jip Edat atau pemotongan hewan berupa babi jantan yang diganti dengan dua ekor ayam jantan. Ritual pemotongan hewan ini merupakan penghantar adat yang telah dikukuhkan kepada Yang Maha Kuasa dan leluhur. Darah ayam tersebut akan dioleskan ke kepala, tangan dan kaki pada anak dan orang tuanya, serta dioleskan pula ke benda-benda pusaka keluarga, diantaranya yaitu Mandau, sebagai simbol pengukuhan secara spiritual.

Setelah ritual Ensoet Kenean selesai, akan dilaksanakan tarian adat Ngewai, yakni para tetua dan seluruh keluarga menari sebanyak delapan kali putaran mengelilingi tempat ritual adat tersebut. Tarian tersebut merupakan simbol tahapan proses kehidupan alam fana hingga alam baka. Prosesi pemberian nama itu ditutup dengan ritual penetral lingkungan dari hal-hal yang akan mengganggu kehidupan. Pada prosesi ini setelah membaca mantera, seorang tetua adat mengibas-ngibaskan rangkaian daun temali, daun bambu, peredang dan anak ayam ke lingkungan sekitar, termasuk kepada keluarga yang hadir pada ritual itu. Masing-masing anggota keluarga juga diminta meludahi dedaunan tersebut. Berikutnya, anak ayam itu disembelih di bawah tongkat bambu lalu tetua adat melihat isi perutnya, untuk mengetahui apakah para leluhur berkenan tidak atas upacara adat yang telah dilaksanakan.[6]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm. 578-579. 
  2. ^ Hidayah, Zulyani (2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor indonesia. hlm. 264. 
  3. ^ a b Herjayanti, Risna (2014). "MAKNA SIMBOLIK TARI HUDOQ PADA UPACARA PANEN BAGI MASYARAKAT SUKU DAYAK GA'AY KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR". Universitas Negeri Yogyakarta. 
  4. ^ ditindb (2015-12-17). "HUDOQ". Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  5. ^ Achmat, Hasjim (1986). Peralatan hiburan dan Kesenian Trasisional Daerah Kalimantan Timur. Samarinda: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 50-53. 
  6. ^ Kukar, Humas. "Ritual Pelekatan Nama Dayak Modang, Meriahkan EIFAF". humas.kukarkab.go.id (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2019-04-10. 

Pranala luar