Suku Moriori
Moriori adalah penduduk asli Kepulauan Chatham (Rēkohu dalam bahasa Moriori, Wharekauri dalam bahasa Maori) yang terletak di sebelah timur Selandia Baru di Samudra Pasifik. Suku Moriori memiliki hukum yang melarang kekerasan. Akibatnya, suku Maori Taraniki hampir memusnahkan mereka pada tahun 1830-an.
Pada awal abad ke-20, Moriori diyakini merupakan penetap Selandia Baru sebelum suku Maori datang dengan bahasa dan genetik yang berbeda (mungkin Melanesia). Kisah ini, yang merupakan bagian dari hipotesis kano migrasi Maori Stephenson Percy Smith, banyak didukung pada awal abad ke-20, tetapi teori ini kini dianggap tidak benar. Menurut penelitian, nenek moyang Moriori adalah orang Maori yang bermigrasi ke Kepulauan Chatham dari Selandia Baru.
Asal usul
Suku Moriori secara budaya merupakan bagian dari budaya Polinesia. Mereka mengembangkan budaya Moriori yang berbeda dan disesuaikan dengan keadaan di Kepulauan Chatham. Walaupun sebelumnya mereka diduga datang ke Kepulauan Chatham langsung dari kepulauan Polinesia tropis atau bahkan merupakan orang Melanesia, penelitian saat ini menunjukkan bahwa nenek moyang orang Moriori adalah orang Maori yang datang dari Selandia Baru sebelum tahun 1500.[1] [2] [3] [4]
Bukti yang mendukung teori ini berasal dari karakteristik bahasa Moriori yang mirip dengan dialek Maori yang dituturkan oleh suku Ngāi Tahu di Pulau Selatan Selandia Baru, serta perbandingan genealogi Moriori ("hokopapa") dan Māori ("whakapapa").
Berdasarkan pola angin di Pasifik Selatan, terdapat spekulasi bahwa Kepulauan Chatham merupakan kepulauan terakhir yang dimukimi oleh para pendatang Polinesia pada masa persebaran mereka.[1][4]
Beradaptasi dengan keadaan setempat
Kepulauan Chatham lebih dingin dari Selandia Baru. Walaupun terdapat banyak sumber daya alam, sumber daya tersebut berbeda dari tempat asal nenek moyang suku Moriori. Tanaman-tanaman yang dimiliki orang Polinesia tidak dapat tumbuh di Kepulauan Chatham, sehingga suku Moriori menjadi pemburu-pengumpul. Sebagian besar makanan berasal dari laut - protein dan lemak dari ikan, anjing laut, dan burung laut.
Dengan ketiadaan sumber daya alam dengan kepentingan budaya seperti batu hijau dan kayu yang berlimpah, mereka memenuhi kebutuhan ritual mereka dengan mengukir dendroglif. Selain itu, karena jumlah penduduknya sedikit, Moriori adalah suku yang damai dan menghindari peperangan. Nenek moyang mereka Nunuku-whenua melarang peperangan dan kanibalisme. Maka Moriori dapat melestarikan sumber daya alam mereka dan tidak menghabiskannya untuk peperangan (seperti yang mungkin terjadi di Pulau Paskah).
Untuk mengontrol pertumbuhan populasi, suku Moriori juga mengkastrasi beberapa bayi laki-laki.[5]
Kontak dengan bangsa Eropa
William R. Broughton mendarat di Kepulauan Chatham pada 29 November 1791 dan mengklaim kepulauan tersebut untuk Britania Raya. Kepulauan itu kemudian dinamai dari kapalnya, HMS Chatham. Pemburu anjing laut dan paus segera menjadikan kepulauan ini sebagai pusat aktivitas mereka, sehingga berkompetisi memperebutkan sumber daya alam dengan penduduk asli. Populasi Moriori diperkirakan sebesar 1.600 pada pertengahan tahun 1830-an dengan 10% hingga 20% penduduk tewas akibat penyakit menular seperti influenza yang menyebar semenjak datangnya pemburu anjing laut, mantan narapidana, dan Maori dari sekitar tahun 1810.
Serangan Maori
Suku Maori Taranaki yang tinggal di Port Nicholson (kini Wellington telah bertemu untuk membahas tempat yang tepat untuk diserbu. Invasi besar-besaran Samoa atua Kepulauan Norfolk sempat dipertimbangkan pada awal tahun 1835, tetapi pada akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang Kepulauan Chatham karena lebih dekat dan mereka tahu bahwa Moriori memiliki hukum anti kekerasan. Maka pada tahun 1835 suku Maori Taranaki mulai menyerbu Kepulauan Chatham. Mereka memiliki senapan dan memperbudak, membunuh, dan memakan orang Moriori. Para tetua Moriori berkumpul di permukiman yang disebut Te Awapatiki. Walaupun tahu bahwa suku Maori cenderung membunuh dan memakan suku yang telah ditaklukan, dan walaupun beberapa tetua telah memperingati bahwa hukum Nunuku pada saat itu sudah tidak tepat, dua kepala suku yang bernama Tapata dan Torea menyatakan bahwa "hukum Nunuku bukan strategi bertahan yang dapat diubah-ubah jika keadaan berubah; hukum ini adalah kewajiban moral."[6] Akibatnya, seperti yang dikatakan oleh orang Moriori yang berhasil selamat: "[Maori] membunuh kami seperti domba.... [Kami] ketakutan, melarikan diri ke semak-semak, bersembunyi di lubang di bawah tanah, dan di tempat manapun untuk melarikan diri dari musuh kita. Hal tersebut tidak berguna; kami ditemukan dan dibunuh - laki-laki, perempuan, dan anak-anak tanpa pandang bulu." Penakluk Maori juga menjelaskan, "Kami mengambil barang milik... sesuai dengan adat kami dan kami menangkap semua orang. Tidak ada satu pun yang lolos....." [7] Para penyerbu membunuh 10% penduduk dalam ritual. Setelah Moriori ditaklukan, Maori melarang penuturan bahasa Moriori. Mereka memaksa orang Moriori merusak tempat suci mereka dengan membuang air kecil dan besar di tempat tersebut.[8] Moriori juga dilarang menikahi orang Moriori. Semuanya menjadi budak penyerbu Maori. Banyak perempuan Moriori yang melahirkan anak dari orang Maori. Sejumlah perempuan Moriori menikah dengan orang Maori atau Eropa. Beberapa diambil dari Chatham dan tidak pernah kembali. Hanya 101 orang Moriori yang masih hidup pada tahun 1862 (sementara jumlah sebelumnya adalah 2.000.[9] Walaupun orang Moriori berdarah murni terakhir yang bernama Tommy Solomon[10] meninggal pada tahun 1933, hingga kini masih ada beberapa ribu orang Moriori berdarah campuran.
Kebangkitan budaya
Saat ini, budaya Moriori mengalami renaisans, baik di Rekohu maupun di Selandia Baru. Budaya dan identitas Moriori dipulihkan, yang disimbolisasikan pada Januari 2005 dengan diperbaharuinya Perjanjian Perdamaian.[11]
Bahasa
Sebelum invasi Maori, suku Moriori menuturkan bahasa Moriori. Bahasa Moriori merupakan bahasa Malayo-Polinesia yang berhubungan dekat dengan bahasa Maori. Bahasa ini saat ini sudah punah.[12] Namun, telah dilakukan berbagai upaya untuk merekonstruksi bahasa ini, seperti dalam film dokumenter Barry Barclay pada tahun 2000 yang berjudul The Feathers of Peace.[13] Pada tahun, sebagai bagian dari gerakan pemulihan budaya, suku Moriori juga mulai mencoba membangkitkan kembali bahasa ini, dan mengumpulkan basis data kata-kata dalam bahasa Moriori.[14]
Catatan kaki
- ^ a b Clark, Ross (1994). "Moriori and Maori: The Linguistic Evidence". Dalam Sutton, Douglas G. The Origins of the First New Zealanders. Auckland: Auckland University Press. hlm. 123–135.
- ^ Solomon, Māui (updated 2-Sep-11). "Moriori". Te Ara - the Encyclopedia of New Zealand. Diakses tanggal 2012-05-04.
- ^ Howe, Kerry R. (updated 24-Sep-11). "Ideas of Māori origins". Te Ara - the Encyclopedia of New Zealand. Diakses tanggal 2012-05-04.
- ^ a b King, Michael (2000 (Original edition 1989)). Moriori: A People Rediscovered. Viking. ISBN ISBN 0-14-010391-0 Periksa nilai: invalid character
|isbn=
(bantuan). - ^ "The Encyclopedia of New Zealand".
- ^ King (2000).
- ^ Diamond, Jared (1997). Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies. New York: W. W. Norton. hlm. 53.
- ^ King, M. The Silence Beyond. Penguin, 2011 ISBN 9780143565567; hal. 190.
- ^ Kopel et al., 2003.
- ^ Tommy Solomon
- ^ Berry, Ruth (22 January 2005). "Chathams embrace peace ethic". The New Zealand Herald. Diakses tanggal 26 October 2011.
- ^ "Maori: A language of New Zealand". 2005. Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition. Diakses tanggal 2007-03-27.
- ^ "The Feathers of Peace (2000)" IMDb.
- ^ Denise Davis & Māui Solomon (28 Oct 2008). "Moriori: The second dawn". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand. NZ Ministry for Culture and Heritage. Diakses tanggal 2009-02-07.