Lompat ke isi

Sejarah ekonomi Tiongkok (1949–sekarang)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gambaran sejarah ekonomi di Tiongkok dari pendirian Republik Rakyat Tiongkok (RRC) pada tahun 1949 hingga saat ini.

Latar belakang

Proses pembuatan kebijakan ekonomi di Cina sudah cukup berubah. Pada awalnya kebijakan ekonomi di Cina tertutup dan sangat disetir oleh negara yang mana dalam hal ini adalah Partai Komunis Cina. Pertimbangan yang digubris hanya berasal dari kalangan pemerintah dan tidak berdasarkan kebutuhan pasar[1]. Perubahan orientasi Cina yang menjadi lebih terbuka pada pasar baru terjadi setelah terjadinya reformasi ekonomi di masa Deng Xiaoping. Deng Xiaoping dalam reformasinya melakukan restrukturisasi dalam system ekonomi negara Cina.

Cina dalam proses pembuatan kebijakan terkenal dengan proses birokrasi yang terfragmentasi dan harus membuat sebuah konsensus dasar. Konsensus dasar ini menurut Tony Saich dalam bukunya dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu tawar menawar dan negosiasi. Tawar menawar dan negosiasi menjadi faktor penting mengingat Cina adalah negara yang otoriter. Kebijakan yang dikeluarkan harus disukai dan disetujui oleh pemimpin negaranya. Meski pun memang proses tawar menawar dan negosiasi akan berlangsung cukup lama dan panjang. Hal ini karena banyak petinggi Partai Komunis Cina yang tidak bisa menyambut perbedaan pandangan di dalamnya[2]. Padahal Cina berusaha untuk lebih terbuka dalam ekonominya maka negosiasi ini ditujukan agar para petinggi tersebut dapat setuju. Dengan adanya dua faktor tersebut juga memudahkan agar bisa terlibatnya pihak lain seperti akademis,praktisi ekonomi,think-tanks dan sebagainya dalam pembuatan kebijakan. Di samping itu dalam prosesnya kebijakan tersebut dibuat agar bisa fleksibel dalam implementasinya. Kebijakan tersebut harus bisa diterapkan dimana saja mengingat wilayah geografi negara Cina yang luas.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah Cina saat ini dapat dikatakan sukses dalam implementasinya. Melihat sejak reformasi ekonomi pada tahun 1978, Cina banyak mengalami kemajuan dalam sektor ekonomi[3]. Salah satu bentuk kebijakan ekonomi Cina adalah mereka memiliki five year plan. Itu merupakan sebuah panduan dan tujuan ekonomi Cina yang akan diraih dalam jangka waktu lima tahun. Di dalam five year plan tersebut terdapat beberapa sektor yang dilakukan modernisasi seperti[4]

·        Agrikultur

·        Industri

·        Edukasi

Banyak hal lain yang diimplementasikan Cina di dalam rancangan tersebut. Dapat dilihat kebijakan tersebut menyeluruh ke banyak sektor yang terkait. Bahkan Cina merespon era globalisasi dengan adanya kebijakan cyber economy. Implementasi kebijakan ekonomi Cina yang juga dianggap berhasil adalah dengan bergabungnya Cina ke dalam WTO. Masuknya Cina ke WTO memiliki dampak yang besar bagi Cina. Seperti bisa bekerja sama dengan regional lain dan terjadinya pertumbuhan di sektor ekonomi baru yaitu di bidang teknologi dan industry servis.

Gradualisme sebagai Strategi Transisional

Pengalaman reformasi bertahap Tiongkok dibandingkan dengan ekonomi transisi negara lainnya, khususnya Rusia dan persemakmuran negara-negara merdeka, bekas uni soviet. Terdapat perbedaan besar antara apa yang terjadi di negara-negara tersebut dengan China. Di negara-negara tersebut, para ekonom menyarankan para pemimpin untuk mengadopsi Big-Bang atau pendekatan shock therapy. Kondisi dimana institusi pasar dan privatisasi ekonomi terjadi sekaligus. Dimana, hal ini sangat berdampak bagi banyak perusahaan dan pelaku ekonomi. Akibatnya terjadi penurunan output yang sangat besar selama hampir 10 tahun. Butuh hampir satu dekade bagi negara-negara ini untuk pulih dan mencapai pertumbuhan positif. Berbeda dengan negara-negara tersebut, China tingkat pertumbuhan ekonominya terus menunjukan positif dan relatif tinggi.

Gradualisme merupakan sistem yang bersifat evolusioner. Artinya, transformasi ekonomi harus dilakukan secara bertahap, termasuk dalam hal liberalisasi dan privatisasi. Dengan melakukan transformasi ekonomi secara bertahap, China berharap transformasi ekonomi berhasil dilaksanakan. Pada awal reformasi tahun 1978, China dianggap memiliki beberapa kelebihan. China sangat diuntungkan dengan memiliki struktur ekonomi yang cukup sederhana dan terdesentralisasi, di mana pemerintah daerah memiliki wewenang jauh lebih banyak daripada di negara lain. Walaupun, China mendapat beberapa kendala politik dan ideologis yang membatasi apa yang dapat hendak suatu aktor lakukan dan memaksanya ke dalam strategi bertahap. Partai komunis yang berkuasa yang juga diikuti dengan unsur-unsur ideologi komunis yang anti-pasar atau anti-privatisasi. China berhasil memberi semua pemimpin pemerintahan di setiap tingkatan insentif yang kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui jenis-jenis insentif yang disesuaikan. Faktor penting lain yang menjelaskan kemampuan China ialah mempertahankan modal sosial dan organisasi yang telah mendukung produktivitas ekonomi sebelum reformasi.

Saat China melakukan reformasi ekonomi, para pemimpin lokal diizinkan untuk memimpin dalam mendirikan perusahaan, baik perusahaan yang terdapat di sentral maupun yang dikelola desa. China mengeksploitasi peluang ekonomi yang sangat kuat dengan mengejar strategi keunggulan komparatif dan mulai membuka diri ke dunia luar. Terdapat sejumlah komponen penting dalam strategi reformasi China. Salah satunya ialah China berkomitmen untuk membuka pasar dan menunda proses privatisasi jauh di kemudian hari dalam proses reformasi. Sistem ini dilakukan China secara bertahap. Pada awalnya, sebagian besar perusahaan menghadapi kedua komponen yang direncanakan dari produksi mereka yang diarahkan oleh pemerintah, semua perusahaan bebas untuk membuat strategi demi mencapai target dan keuntungan di pasar. Dengan memiliki komponen yang direncanakan, pemerintah dapat secara implisit terus mensubsidi perusahaan dan membuat pihak mereka tidak khawatir bahwa reformasi akan merugikan mereka. Hal tersebut berdampak pada mengurangi oposisi mereka terhadap reformasi, win-win strategy.

Kebijakan Agrikultur

Sektor agrikultur/pertanian merupakan salah satu sektor yang mendapat dampak yang cukup besar dari reformasi Deng Xiaoping. Reformasi pertanian sendiri merepresentasikan sebuah perubahan besar dan awal yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Disaat kematian Mao Zedong, daerah-daerah pedesaan di China diatur dalam sebuah komune. Kedudukan dari komune ini sendiri adalah sebuah organisasi ekonomi tertinggi di daerah pedesaan dan berada di level dasar pemerintahan setempat. Dibawah komune, terdapat brigade produksi (production brigades) dan the teams. Bagi para petani, the teams merupakan struktur yang paling penting karena mereka lah yang menentukan keputusan final terkait dengan produksi barang dan distribusi pendapatan sesuai dengan akumulasi poin kerja.[1] Sistem komune lama memberikan kontribusi kepada perencanaan pusat, produksi skala besar dadistribusi terpadu dalam kebijakan pedesaan.

Ketika Revolusi Budaya ingin menjadikan sistem komune ini menjadi level yang lebih maju lagi, Reformasi di tahun 1980-an justru mengembalikan kuasa tanah pertanian dan segala aktivitas pertanian ke tangan individu rumah tangga. Reformasi memandang bahwa sistem komune tidak akan memeberikan keuntungan yang lebih baik kepada masyarakat China, tapi menghancurkan kehidupan masyarakat itu sendiri. Kebijakan pasca Mao lebih berupaya mendorong sektor produksi pertanian dengan meningkatkan harga pengadaan dan memodernisasikan sektor pertanian melalui brigade dan tim pembiayaan. Disaat yang sama, kebijakan di daerah-daerah juga diberi kelonggaran untuk menggunakan “law of comparative advantage” (Hukum keunggulan komparatif).[2] Bidang tanah pribadi dan produksi sampingan juga ditekan sebagai peran penting untuk pertumbuhan agrikultur. Private market (pasar swasta) dibiarkan sebagai pasar untuk petani atau orang desa menjual produk-produk mereka.

Pada tahun 1978, harga pengadaan terhadap kuota gandum ditingkatkan dengan rata-rata 20%, diatas kuota gandum 50%, dan kapas 30%.[3] Dampaknya pun cukup signifikan kepada kehidupan petani. Kebanyakan petani pada saat itu berubah kehidupannya dan berhasil keluar dari kemiskinan. Hasil dari kebijakan ini untuk meningkatkan pengeluaran negara di sektor pertanian. Menteri keuangan dan pemerintah provinsi mulai menghabiskan sekitar 1 miliar yuan per tahun untuk mensubsidi suplai gandum di daerah pedesaan. Sebuah strategi yang baru tetap harus dicari untuk meningkatkan pemasukkan dari sektor pertanian, melakukan modernisasi yang tidak meningkatkan investasi negara secara signifikan.

Salah satu kebijakan signifikan yang diterapkan dalam sektor pertanian adalah sistem tanggung jawab rumah tangga (household responsibility system). Sistem ini sendiri diperkenalkan pada tahun 1978 namun perubahan yang signifikan terjadi pada tanun 1980. Dalam sistem ini, keluarga petani tidak lagi bekerja sama dalam suatu komune, melainkan melakukan perjanjian dengan pemerintah administratif setempat untuk mengerjakan sebidang tanah dan mendapatkan keuntungan langsung. Sehingga melalui sistem ini, masyarakat mendapatkan upah yang cukup. Sistem ini memperbolehkan petani untuk mengelola tanahnya sendiri. Sehingga pengambilan keputusan dipercayakan kepada masing-masing individu dan kebijakan-kebijakan kolektivisasi dari pemerintah dihapuskan di pedesaan.[4]

Kurangnya keamanan disekitar penguasaan lahan menyebabkan adanya peningkaan lebih lanjut dalam panjang kontrak. Sistem kontrak rumah tangga sendiri membuat rumah tangga petani di desa menjadi pusat dari produksi pertanian, yang bekerja dalam penguasaan lahan dalam periode waktu yang spesifik. Kontrak ini meliputi semua bahan mentah dan faktor produksi kecuali hak penggunaan lahan dan hak akses ke fasilitas irigasi. DI tahun 1993, terdapat perpanjangan masa kontrak menjadi 30 tahun yang dikonfirmasi dalam Hukum Pengelolaan Tanah (1998) dan Hukum Kontrak Tanah Desa. Dua hukum ini juga melindungi petani terhadap perampasan tanah secara illegal oleh pejabat setempat yang kemudian dijual untuk pengembangan komersial, selagi memberi kompensasi yang tidak cukup bagi petani. Petani diberi wewenang untuk mengalihkan penggunaan lahan dan memperoleh pendapatan dari penggunaannya. Sementara otoritas lokal dilarang merevisi kontrak atau menyita tanah selama periode kontrak.[5] Aturan ini menggambarkan sebuah langkah masif kedepan dalam pengakuan terhadap petani.

Pada Januari 1985, negara mengumumkan keinginannya untuk menghapuskan monopolinya terhadap pembelian dan pemasaran produk-produk pertanian utama. Negara memperkenalkan sistem pembelian kontrak daripada menetapkan kuota tetap untuk produk-produk pertanian untuk dibeli oleh petani. Secara jelas, tujuan dari reformasi ini adalah untuk meningkatkan distribusi dari komoditas dan menghargai usaha dari produsen itu sendiri. Kebijakan ini diharapkan akan mendorong petani yang lebih kaya untuk menginvestasikan kembali modal dan tenaga kerja dalam tanahnya.[6] Kebijakan sistem pembelian kontrak ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan hubungan antara negara dan petani dan hubungan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan.

Kebijakan Industri

Dalam reformasi ekonomi di sektor industri, Cina mengambil langkah bertahap yang dinilai cukup besar dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi Cina. Reformasi industri juga menjadi tantangan besar bagi pemerintahan pusat mengingat bahwa dengan dilakukannya reformasi itu berarti melakukan perubahan sistem yang mendasar yang telah ditetapkan oleh elit politik PKC dengan kepentingan yang dibawa.

Pemerintah menilai reformasi perlu dilakukan karena adanya beberapa masalah yang timbul dan menjadi akar penyebab Cina tetap tertinggal perekonomiannya dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Timur seperti Korea Selatan dan Jepang. BUMN yang di anggap penting pada masa pemerintahan Mao Zedong nyatanya menjadi salah satu perusak aset bersih negara sedangkan perusahaan swasta yang jauh lebih produktif mengalami kekurangan modal serta sistem perekonomian yang terpusat cenderung menyampingkan sektor swasta. Dalam keputusan tentang reformasi struktur ekonomi pada Oktober 1984 mencatat bahwa dalam masalah ekonomi industri, cacat pada sektor ekonomi perkotaan secara serius menghambat perkembangan kekuatan produksi industri. Hal ini semakin menguatkan tekanan pada pemerintah untuk segara melakukan reformasi ekonomi khususnya dalam sektor industri.

Selain faktor dari dalam pemerintahan, reformasi juga dirasa perlu dilakukan karena adanya tekanan internasional bahwa China harus menyesuaikan kebijakannya yang berbasis pasar agar dapat bersaing dan bisa menghadapi resiko gesekan dengan WTO dan terutama Amerika Serikat. Sejak pertangahan tahun 1990-an dua reformasi diperkenalkan untuk mencoba mereformasi sektor industri. Yang pertama yaitu pembentukan sistem tanggung jawab manajerial perusahaan dengan diatur oleh pemerintah. Yang kedua adalah memperketat hambatan anggaran dengan mengendalikan pinjaman bank.

Kunci dari program reformasi industri adalah membuat perusahaan lebih bertanggung jawab secara ekonomi dan juga pentingnya pengenalan mengenai retensi keuntungan perusahaan. Pada 1983, sistem pajak diperkenalkan dan kemudian diadopsi dalam keputusan tahun 1984 sebagai kebijakan yang berlaku untuk semua perusahaan. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai usaha untuk menstabilkan pendapatan negara dan mendorong perusahaan untuk menjadi lebih bertanggung jawab secara fiskal. Secara administratif manajer pabrik dan perusahaan diberikan kekuatan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan rencana produksi dan pemasaran, sumber pasokan, distribusi keuntungan dalam perusahaan hingga perekrutan dan pemecatan tenaga kerja. Namun kebijakan ini memunculkan perdebatan dikarenakan manajerial perusahaan masih dibawahi kontrol partai. Pada 1986 dikeluarkan kebijakan sistem tanggung jawab manajerial dimana manjer perusahaan secara independen menangani masalah internal tanpa harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan komite partai untuk mendapat persetujuan.

Di tahun yang sama pula dalam hal ketenagakerjaan, pemerintah merubah sistem upah dengan menaikkan upah dan menghimbau perusahaan untuk memberikan bonus bagi pekerja. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Pada Oktober 1986, undang-undang kontrak tenaga kerja baru dan peraturan pelengkap diperkenalkan untuk mengatasi perekrutan dan pemecatan karyawan yang tidak disiplin. Selain perusahaan diberikan kekuatan yang lebih besar begitu pula dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah diberi otonomi untuk mengontrol perekonomian di daerahnya masing-masing dengan membuat kebijakan terkait investasi asing dan ekspor maupun impor.

Restrukturisasi juga dilakukan kepada industri ringan yang diberikan porsi hukum sama dengan industri berat. Investasi di sektor industri ringan diberikan porsi yang seimbang dengan sektor industri berat. Hal ini dilakukan sebagai usaha agar dapat mendorong pertumbuhan industri ringan yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat juga sebagai upaya efisiensi energi dimana industri ringan hanya mengonsumsi sedikit energi.

Cina mengalami inflasi yang cukup pada akhir tahun 1980-an hongga pertengahan 1990-an. Inflasi ini dipicu oleh mekanisme pasar yang tidak memadai. Perusahaan terus meningkatkan produksi industri terlalu jauh sehingga terjadi masalah ketidakseimbangan dalam pasar. Masalah ekonomi diperparah dengan sektor BUMN yang semakin turun. BUMN sendiri menyerap 60% dari investasi nasional namun BUMN masih belum mampu meningkatkan pendapatan. Akibat penurunan pendapatan, BUMN tidak mampu memenuhi kewajiban seperti pembayaran gaji. Pemerintah pada akhirnya mengeluarkan kebijakan untuk memaksa BUMN menjadi lebih berorientasi pada pasar tanpa harus menggantungkan ekspektasi pada negara. Pada akhir tahun 1990-an, pemerintah mengubah BUMN besar untuk memegang saham atau berbentuk swasta dan menekankan pada sistem kepemilikan campuran. Hal ini dilakukan untuk menarik investor asing dalam upaya menghadapi persaingan pasar.

Pada 1 Juli 2001 ketika Jiang Zemin menyambut pengusaha swasta untuk bergabung dengan partai. Perubahan kebijakan juga telah diperkenalkan untuk mendorong sektor ini. Lebih banyak lisensi ekspor telah diberikan kepada perusahaan swasta, memungkinkan mereka untuk memperoleh valuta asing. Pada tahun 2002 Komisi Pembangunan dan Perencanaan Negara menghapus sejumlah pembatasan investasi oleh perusahaan swasta. Namun perusahaan sering melihat reformasi sebagai undangan untuk mengembangkan monopoli yang bergantung pada koneksi politik untuk memastikan akses istimewa ke pendanaan. Selain itu, banyak dari perusahaan besar yang benar-benar menguntungkan dipaksa untuk mengambil perusahaan kecil yang akan bangkrut tanpa perlindungan tersebut.

Reformasi Sektor Finansial

Reformasi keuangan pada tahun 1980-an tidak begitu dianggap sebagai bagian dari reformasi ekonomi, dan jika dianggap hanya ditafsirkan dalam artian sempit yaitu reformasi perbankan. Keberhasilan reformasi ekonomi secara umum dan reformasi BUMN secara khusus dapat ditunjang dari restrukturisasi sector perbankan dan keuangan. Bank pada system fiscal yang lemah pada dasarnya digunakan untuk memenuhi tujuan pembangunan negara. Namun, pada tahun 1990-an dilakukan perombakan sector ini.

Aset keuangan di China pada dasarnya terkonsentrasi dalam sistem perbankan karena pasar modal kecil dan pinjaman bank merupakan sumber modal paling penting bagi perusahaan.  Pada tahun 1994, sistem perbankan di China dibagi menjadi tiga jenis bank yaitu bank komersial, bank kebijakan dan bank koperasi dengan peran yang terbatas.  Selain itu, ada empat bank utama dibawah wewenang negara tetapi diberi kapasitas lebih besar untuk memberikan pinjaman secara komersial. Keempat bank tersebut adalah Bank Industri dan Komersial, Bank Tiongkok, Bank Konstruksi Tiongkok, dan Bank Pertanian Tiongkok dimana bank-bank ini menyumbang hingga 70 persen dari bisnis perbankan domestik. Terdapat tiga bank yang dipercaayakan untuk tujuan prioritas dalam kapasitas negara untuk pinjaman langsung seperti Bank Pembangunan Cina, Bank Pembangunan Pertanian dan Bank Impor Ekspor China yang akan menjaga pinjaman yang diamanatkan pemerintah.

Perdana Menteri Zhu Rongji melakukan refomasi terhadap semua badan usaha milik negara (BUMN) pada periodenya 1998. Sejak Zhu mengambil alih tanggungjawab untuk reformasi sektor ini banyak kemajuan besar yang dibuat. Zhu menggerakkan serangkaian reformasi yang dirancang untuk membebaskan bank-bank negara dari politik lokal, untuk memungkinkan Bank Sentral memainkan lebih banyak peran pengaturan. Langkah pertama yang diluncurkan adalah perombakan sistem perbankan, yang intinya adalah reorganisasi cabang lokal Bank Rakyat di sepanjang garis regional untuk mengurangi campur tangan politik oleh kepala partai provinsi yang kuat dalam keputusan peminjaman. Bank Rakyat Tiongkok menunjukkan kebolehannya pada tahun 1998 dan 1999 ketika pindah untuk menutup Perusahaan Kepercayaan dan Investasi Internasional Guangdong yang bangkrut. Perusahaan semacam itu, yang jumlahnya sekitar 200 di Cina, didirikan terutama untuk mengumpulkan modal asing untuk keperluan domestik.

Dalam reformasi ini masalah besar tetap ada dimana bank-bank milik negara masih ceroboh dalam manajemen keuangan. Menurut laporannya, dua bank menahan 10,1 miliar yuan dalam aset yang tidak tercatat dan 790 juta yuan dalam kas kecil yang dikatakan telah merugikan negara 10 miliar yuan. Dari masalah tersebut, Dewan Negara mengirimkan tim inspeksi untuk memantau kinerja lembaga keuangan negara. Hal tersebut juga sama dengan keputusan Zhu Rongji pada tahun 1999 untuk menunjuk 100 inspektur khusus menyelidiki buku-buku dari 500 BUMN terbesar. Kemudian pada tahun 2003 dibentuklah Komisi Pengaturan Perbankan China oleh NPC sebagai organisasi pengawas untuk bank-bank negara. Tugas yang diemban adalah membantu bank-bank negara meningkatkan tata kelola perusahaan, mengalihkan pinjaman ke kriteria komersial dan mengintensifkan upaya untuk memulihkan pinjaman bermasalah (NPL).  Dimana untuk mendapatkan NPL dari pembukuan melalui Komite Manajemen Aset (AMC) yang ada di masing-masing empat bank komersial. Namun, ternyata program ini tidak berhasil bahwa rekapitalisasi bank dan transfer AMC belum menyelesaikan masalah NPL. NPL yang ditransfer di bawah 50 persen dari NPL di 4 bank karena kemungkinan bank tidak mengungkapkan sepenuhnya permasalahannya. Disisi lain, AMC juga mengalami masalah dengan pengembalian uang tunai yang berada di bawah kewajiban bunga mereka, sehingga menciptakan tekanan arus kas. Pemerintah melakukan pemulihan aset dan ini menyebabkan lelang NPL internasional pertama China. Stainfeld mengemukakakn pada akhir tahun 1999 bahwa AMC memiliki sedikit kapasitas atau kekuatan untuk mengatur kembali BUMN.

Bottelier memprediksikan bahwa untuk mempesiapkan bank-banknya dalam kompetisi internasional, China harus mempercepat liberalisasi suku bunga domestik, integrasi penuh antara pasar modal dan domestic, dan mempercepat menuju konektifitas mata uang. Secara finansial hal tersebut mungkin mampu dilakukan, apalagi dalam istilah internasional hutang publik Tiongkok yang terkonsolidasi tidak terlalu buruk. Dengan demikian meskipun ada kemajuan pesat dalam reformasi ekonomi, tidak dipungkiri pemimpin China tetap akan menghadapi tantangan besar di masa depan.


[1] Saich, Tony. 2004. Governance and Politics of China: Second Edition. New York: Palgrave Macmillan. Hal. 244-245.

[2] Ibid. Hal. 245.

[3] Ibid. ha. 245.

[4] Sanjaya, Rico & Syaiful M. Iskandar Syah. Peranan Deng Xiaoping dalam Reformasi China Tahun 1978. Bandar Lampung: FKIP UnilaJalan.

[5] Saich, Tony. Ibid. Hal. 246.

[6] Ibid. Hal. 247.


[1] Tony Saich.2004.Governance and Politics of China. Hal 233.

[2] Ibid. Hal 235

[3] Ibid. Hal 236

[4] China Government. 2016. The 13th Five Year Plan for Economic and Social Development The People’s Republic of China. Hal 7.