Lompat ke isi

Brawijaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Brawijaya atau Prabu Brawijaya adalah gelar mitologis yang dianggap melekat pada penguasa Majapahit, khususnya Brawijaya V yang dianggap penguasa terakhirnya. Sebagai gelar historis, gelar ini diragukan karena sampai saat ini tidak ada sumber dari masa Majapahit yang menyebutkan adanya gelar Brawijaya. Istilah "Brawijaya" sendiri baru muncul dalam sumber-sumber berbentuk babad dan serat yang ditulis kemudian, seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, dan Serat Darmogandul[1]; serta sumber cerita rakyat. Sumber-sumber babad dan serat berisi keterangan yang berbeda-beda mengenai Brawijaya[1], begitu pula sumber cerita rakyat. Di samping itu, sumber arkeologis berupa prasasti yang dibuat pada masa akhir Majapahit menunjukkan penguasa terakhir Majapahit bergelar Girindrawarddhana dan berkuasa pada 1474-1519 M.[2]

Banyak situs di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikaitkan dengan Brawijaya, dan dikeramatkan karena itu.

Sumber sastra

Meski tidak ditemukan di prasasti, gelar Brawijaya ada dalam berbagai karya sastra Jawa berbentuk babad dan serat. Penyebutannya yang umum dalam karya-karya sastra tersebut adalah Prabu Brawijaya, tanpa diikuti angka.

Dalam Babad Tanah Jawi terdapat cerita tentang keruntuhan Majapahit. Prabu Brawijaya disebutkan menyaksikan kedatangan tentara Demak yang dipimpin putranya untuk menyerang Majapahit. Karena itu, Brawijaya dan pengikutnya kemudian meninggalkan keraton.[3] Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, Raden Patah sebagai raja Demak dianggap sebagai putra dari Brawijaya. Dalam Serat Kandha, Brawijaya dan keluarganya mengungsi ke Senggaruh saat Demak menyerang. Mereka kemudian mengungsi ke Bali dan tetap menolak masuk Islam.[3] Dalam Serat Darmogandul, Brawijaya dan pengikutnya diceritakan pergi mengungsi, namun ditemukan oleh Sunan Kalijaga saat di Blambangan dan diislamkan di sana.[3] Dalam Serat Centhini, Majapahit diceritakan sebagai kerajaan besar saat di bawah pemerintahan Brawijaya V. Dalam Jilid III-nya, disebutkan sekitar 101 nama yang dianggap keturunan Brawijaya, seperti Bathara Katong yang merupakan julukan Jaka Pitutur alias Raden Arakkali yang menjabat Adipati Ponorogo.[4]

Catatan Mangkudimeja

Mangkudimeja dalam Wewahaning Serat Pararaton[a] (Tambahan Serat Pararaton) karyanya mencatat memang cerita-cerita tentang penguasa Majapahit dalam berbagai serat tidak sama satu dengan lainnya. Sebuah serat dari Surakarta, yang ia katakan berasal dari istri Hamengkubuwana VI di Yogyakarta, berisi daftar penguasa Majapahit. Dari tujuh penguasa yang disebutkan, hanya penguasa ke-3 hingga ke-7 yang bergelar Brawijaya. Dalam Serat Momana disebutkan 6 penguasa Majapahit, semuanya bergelar Brawijaya, kecuali penguasa ke-4. Sebuah serat yang ia katakan diterbitkan oleh Raffles dan berasal dari Sumenep menyebutkan 7 penguasa Majapahit dan hanya penguasa pertama dan ketujuh yang bergelar Brawijaya. Serat Pararaton sendiri tidak menyebutkan gelar Brawijaya.[5]

Berikut ini daftar penguasa Majapahit dalam catatan Mangundireja tersebut.

Penguasa Majapahit menurut serat dari Surakarta
  1. Radèn Bratana
  2. Radèn Brakumara
  3. Radèn Adaningkung atau Arya Adiwijaya (Brawijaya I)
  4. Radèn Hayamwuruk atau Arya Partawijaya (Brawijaya II)
  5. Radèn Arya Martawijaya atau Lembu Amisani (Brawijaya III)
  6. Radèn Siwaya atau Radèn Bratanjung (Brawijaya IV)
  7. Radèn Alit atau Angkawijaya (Brawijaya V)
Penguasa Majapahit menurut Serat Momana
  1. Prabu Sesuruh (Brawijaya I, 1301-1310)
  2. Radèn Brakusuma (Brawijaya II, 1310-1325)
  3. Radèn Udaningkung atau Angkawijaya (Brawijaya III, 1325-1329)
  4. Ratu Ayu Kencanawungu (1329-?)
  5. Radèn Damarwulan (Brawijaya IV, 1337)
  6. Lembu Amisani (Brawijaya V, 1337-1341)
Penguasa Majapahit menurut serat dari Sumenep
  1. Jaka Sesuruh (Brawijaya, 1158)
  2. Prabu Anom
  3. Udaningkung
  4. Prabu Kencana
  5. Lembu Amisani
  6. Bramatunggung
  7. Radèn Alit (Brawijaya)
Penguasa Majapahit menurut Serat Pararaton
  1. Radèn Wijaya atau Prabu Kertarajasa atau Jayawardhana (1216-1217)
  2. Kalagemet atau Prabu Jayanagara (1217-1250)
  3. Bre Kahuripan II atau Prabu Putri I atau Jaya Wisnuwardhani (1250-?)
  4. Hayamwuruk atau Prabu Rajasanagara atau Sang Hyang Wekasing Suka atau Janèswara (?-1311)
  5. Hyang Wisésa atau Prabu Ajiwikrama (1311-1322)
  6. Dèwi Suhita atau Prabu Putri II (1322-1351)
  7. Tanpa penguasa (1351-1359)
  8. Bre Daha IV atau Prabu Putri III (1359-1369)
  9. Bre Tumapèl IV atau Prabu Kertawijaya(?) (1369-1373)
  10. Bre Pamotan II atau Prabu Rajasawardhana (1373 - 1375)
  11. Tanpa penguasa (1375-1378)
  12. Bre Wengker III atau Prabu Hyang Purwawisésa (1378-1388)
  13. Bre Pandhan Salas III (1388-1390(?))

Sumber cerita rakyat

Selain karya sastra, sumber lain yang menyebutkan keberadaan Brawijaya dari Majapahit adalah cerita rakyat. Sama seperti dalam karya-karya sastra, penyebutannya yang umum dalam cerita-cerita rakyat adalah Prabu Brawijaya, tanpa diikuti angka.

Di Kabupaten Gunungkidul, cerita rakyat tentang orang-orang Majapahit yang melarikan diri ke wilayah Gunungkidul terdapat di beberapa daerah. Di Dusun Betoro Kidul, Desa Karangasem, Kecamatan Ponjong, masyarakat setempat meyakini adanya tokoh bernama Bathara Katong yang pernah tinggal di sana. Menurut sesepuh setempat, nama asli dari Bathara Katong adalah Jaka Umbaran yang berasal dari Majapahit dan merupakan keturunan Brawijaya.[6] Di Kecamatan Panggang malah terdapat cerita tentang Brawijaya sendiri. Dalam cerita tersebut, Brawijaya bersembunyi di Pantai Ngobaran untuk menghindari kejaran tentara Demak dan kemudian melakukan pati obong untuk meninggalkan jejak. Setelah itu, Brawijaya berpindah ke Goa Langse dan moksa di sana.[7] Cerita lain menyebutkan Brawijaya alias Bondansurati melakukan pati obong di sebuah hutan di wilayah Gunungkidul.[8]

Kisah orang-orang Majapahit yang melarikan diri juga terdapat di Dusun Dukuhan, Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman. Dalam cerita rakyat setempat, seorang abdi dalem Majapahit bernama Ki Ageng Tunggul Wulung ditugasi oleh Brawijaya menyelamatkan pusaka kerajaan karena Majapahit akan hancur diserang Demak dan menyerahkannya kepada seorang kesatria. Ki Agung Tunggul Wulung dan rombongan sampai dan menetap wilayah yang sekarang bernama Dukuhan. Pusaka kerajaan berupa tombak Tunggul Wasesa, keris Pulung Geni, dan bendera Kiai Tunggul Wulung akhirnya diberikan kepada Danang Sutawijaya, kesatria yang mendirikan Kerajaan Mataram Islam. Orang-orang Majapahit yang tersisa di Dukuhan kemudian moksa. Lokasi yang diyakini tempat moksa mereka masih dirawat warga setempat.[9]

Di Kabupaten Bantul, Brawijaya diceritakan menyamar menjadi wong cilik bernama Ki Dipanala untuk mencari burung perkututnya bernama Jaka Mangu yang lepas. Ki Wangsayuda menemukan perkutut tersebut dan merawatnya bersama perkutut-perkututnya yang lain. Ki Dipanala akhirnya berjumpa dengan Ki Wangsayuda dan memberitahunya bahwa ia sedang mencari perkututnya. Ki Dipanala mengenali salah satu perkutut yang dirawat Ki Wangsayuda adalah Jaka Mangu. Akhirnya, Ki Wangsayuda menyerahkan Jaka Mangu kepada pemiliknya. Oleh Brawijaya, Ki Wangsayuda diberi hadiah atas jasanya merawat Jaka Mangu. Hadiah tersebut membuatnya menjadi orang terpandang sehingga dijuluki Ki Ageng Paker. Wilayah tempatnya tinggal kemudian dikenal sebagai Dusun Paker yang terletak di Desa Mulyodadi, Kecamatan Bambanglipuro.[10]

Di Kabupaten Ngawi, tepatnya di Desa Babadan, Kecamatan Paron, terdapat cerita rakyat tentang Brawijaya V yang menyinggahi hutan di daerah tersebut dalam pelariannya menuju Gunung Lawu karena dikejar oleh pasukan Demak yang telah menghancurkan Majapahit. Di hutan tersebut, ia dianggap meninggalkan jejak berupa gundukan tanah, yang saat ini dianggap petilasannya. Gundukan tersebut ditemukan pada 1963 oleh kepala desa Babadan dan saat ini dikenal sebagai Punden Syeh Dumbo. Masyarakat setempat percaya, di petilasan tersebut Brawijaya V meletakkan baju kebesaran dan mahkotanya, dan beristirahat. Brawijaya V juga dipercaya sempat menyucikan diri di Sungai Tempur yang terletak tidak jauh dari petilasan tersebut.[11] Kini daerah sekitar punden tersebut dikenal sebagai kompleks Palereman Alas Ketonggo Srigati.

Di Gunung Lawu, Brawijaya V dipercaya moksa. Dalam cerita rakyat setempat, Gunung Lawu dipercaya sebagai tempat persembunyian Brawijaya V dari kejaran pasukan Demak sebelum akhirnya moksa. Di sana, ia didampingi oleh pengikutnya: Sabdo Palon, Dipa Menggala, dan Wangsa Menggala. Brawijaya V dipercaya menitahkan kepada Dipa Manggala menjadi Sunan Lawu yang bertugas menjaga Gunung Lawu dan Wangsa Menggala menjadi Kyai Jalak yang bertugas sebagai patih Sunan Lawu, sementara Sabdo Palon pergi meninggalkan Brawijaya V dan moksa. Kini, tempat moksa Sabdo Palon terkenal sebagai Puncak Hargo Dumiling, dan tempat moksa Brawijaya V terkenal sebagai Puncak Hargo Dalem.[12]

Situs

Banyak situs di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikaitkan dengan Brawijaya, dan dikeramatkan karena itu. Berikut ini daftar situs yang dimaksud.

Nama situs Jenis Keterangan Lokasi
Gunung Genthong Gadhéan &

Gentong

Gadhéan dipercaya sebagai tempat Brawijaya V bersemedi atau singgah saat pelarian meninggalkan keraton Majapahit. Gentong di kompleks Gunung Gentong dipercaya dilemparkan oleh Raden Patah. Dusun Manggung, Ngalang, Gedangsari, Gunungkidul
Pertapaan Bancolono Sendang Dipercaya sebagai lokasi Brawijaya V dan pengikutnya mandi atau bersuci saat pelarian meninggalkan keraton Majapahit. Gondosuli, Tawangmangu, Karanganyar
Pemakaman Onggojoyo Gundukan tanah Dipercaya sebagai tempat bersemedi Brawijaya V yang kemudian memperoleh wahyu mendirikan mendapatkan Candi Sukuh dan Candi Cetho. Lokasi sekitarnya saat ini menjadi kompleks pemakaman. Dusun Sintru, Doplang, Karangpandan, Karanganyar

Keterangan

  1. ^ Dalam Bebuka (Kata Pengantar) buku Wewahaning Serat Pararaton disebutkan bahwa buku tersebut berisi pembahasan berbagai cerita babad, seperti tulisan J.L.A. Brandes, Cohen-Stuart, dan G.P. Rouffaer. Bagi Mangundimeja, buku tersebut diharapkan menjadi bacaan pengantar bagi orang yang ingin membahas Serat Pararaton. Wewahaning Serat Pararaton merupakan Jilid ke-3 dari bundel buku Serat Pararaton karya Manungdimeja.

Referensi

  1. ^ a b Djafar (1978), hlm. 96-97.
  2. ^ Djafar (1978), hlm. 111.
  3. ^ a b c Djafar (1978), hlm. 95.
  4. ^ Putranto (2003), hlm. 231.
  5. ^ Mangkudimeja (1913), hlm. 24-28.
  6. ^ Putranto (2003), hlm. 228.
  7. ^ Anonim (1997/1998).
  8. ^ Soehardji (2002), hlm. 6-7.
  9. ^ Prabowo (2004), hlm. 121-129.
  10. ^ Prabowo (2004), hlm. 179-183.
  11. ^ Andriani (2008).
  12. ^ Pratiwi (2017).

Daftar pustaka