Pangeran Jayakarta
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (6 Januari 2011) |
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Pangeran Jayakarta (Sayyid Syarief Ahmad Jaketra . P. Ahmad Jaketra (Ahmad IV) Bin S.Jayawiketra (Ahmad III) . S. Jaya wiketra (Ahmad III) Bin TB. Angke (Ahmad II) . TB. Angke (Ahmad II) Bin Syeikh Nurullah (Ahmad I) . Syeikh Nurullah (Ahmad I) Bin Syarief Abdullah . Syarief Abdullah Bin Ali Nurrul Alim ( Puteri Mesir) . Ali Nurrul Alim Bin Jamaluddin (Al-Husein) . Jamaluddin (Al-Husein) Bin Al-Amir Akhmad Syekh Jalaludin . Al-Amir Ahmad Syekh Jalaludin Bin Amir Abdullah Khanuddin . Amir Abdullah Khanuddin Bin Sayyid Abdul Malik (India Al Azmatkhan Al huseini) adalah nama seorang penguasa kota pelabuhan Jayakarta, yang menjabat sebagai wakil dari Kesultanan Banten dan memiliki nama asli Pangeran Nata Adiguna Masud Thoyib Jayakarta Adiningrat.
Beliau salah satu keturunan Rasulullah Yang berasal Dari Dinasti Kesultanan Banten Dan Merupakan Cucu Dari Sayyid Syarief Abdullah Al Azmatkhan Al Husaini (Mesir) ""Sumber Buku keluarga besar Jatinegara Kaum Yang di keluarkan Pemprov DKI Jakarta"" . Kekuasaan Banten atas wilayah ini berhasil direbut oleh Belanda, setelah Pangeran Jayakarta dikalahkan oleh pasukan VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619.
Asal usul
Asal usul Pangeran Jayakarta masih samar. Dalam situs internet Pemerintah Jakarta Timur disebutkan, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Achmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Namun ada juga yang menganggap Pangeran Jayakarta adalah Pangeran Jayawikarta. Menurut Hikayat Hasanuddin dan Sajarah Banten Rante-rante yang disusun pada abad ke-17 (yaitu sesudah Sajarah Banten, 1662/3), Pangeran Jayakarta atau Jayawikarta adalah putra Tubagus Angke dan Ratu Pembayun, puteri Hasanuddin, anak Sunan Gunung Jati.
Menurut Adolf Heukeun SJ dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II, silsilah ini tidak sesuai dengan sumber-sumber sekunder lain karena sumber-sumber yang digunakan oleh hikayat mengandung banyak cerita dongeng.[1]
Peran politik di Banten
Pada tahun 1596 Pangeran Muhammad, penguasa Banten ketiga, gugur waktu menyerang Palembang. Putera satu-satunya ialah Abdul Kadir, yang baru berusia lima bulan. Maka dipilihlah seorang mangkubumi yang sekaligus menjadi wali putera itu. Tetapi mangkubumi ini wafat pada tahun 1602. Maka ibu putra mahkota menjadi wali dan menikah dengan mangkubumi yang ketiga. Karena ayah tiri disayang putera mahkota Banten dan dihormati rakyat, maka para pangeran menjadi iri dan memberontak. Pangeran dari Jayakarta datang dengan banyak bawahannya sehingga pemberontak mengalah dan berdamai.
Pemakaian Nama Jayakarta
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah berabad abad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun Nama Jayakarta dan kiprah Fatahillah bertahan sampai Belanda mengambil alih. Tanggal 30 Mei 1619, secara resmi Belanda mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia yang dilakukan oleh Jan Peterzoon Coen, atau yang dikenal dengan nama J.P.Coen.
Nama Jayakarta diabadikan pada Kodam Jayakarta di wilayah pertahanan Provinsi DKI Jakarta dan sebagian Provinsi Banten dan sebagian Provinsi Jawa Barat, dan juga memiliki nama Jalan Pangeran Jayakarta di Jakarta Pusat
Baca juga
Rujukan
- ^ Heukeun, Adolf, SJ. Sumber-sumber asli sejarah Jakarta Jilid II: Dokumen-dokumen Sejarah Jakarta dari kedatangan kapal pertama Belanda (1596) sampai dengan tahun 1619, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000.