Hegemoni media
Hegemoni media adalah upaya yang dilakukan oleh segelintir orang yang memiliki peran strategis dalam perusahaan media[1] untuk menyebarkan pemikirannya kepada masyarakat dengan cara doktrin halus melalui program-program yang ditayangkannya sehingga masyarakat yang tidak kritis tidak menyadari adanya penanaman ideologi yang dilakukan secara subtil,[2] dan dalam konteks ini, wartawan belum tentu memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan terkait penyampaian pesan kepada masyarakat.[1]
Konsep
[sunting | sunting sumber]Konsep mengenai hegemoni sendiri dicetuskan oleh Antonio Gramsci, seorang aktivis dan politisi Italia berpaham Marxis dalam sebuah buku yang berjudul Selection from Prison Notebook ketika sedang berada dalam tahanan tahun 1924. Dalam teori Marxisme, hegemoni menjelaskan relasi antara kelas atas dan kelas bawah, kelas atas dalam konsep ini merupakan mereka yang berkuasa dari segi ekonomi. Hegemoni dilakukan oleh kelas atas agar dapat mendominasi wacana publik di masyarakat sehingga kelas bawah diharapkan dapat menerima nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh kelas atas sehingga lama kelamaan, kelas bawah menerima begitu saja dan akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang wajar di masyarakat. Seiring berjalannya waktu, hegemoni diaplikasikan secara luas dalam berbagai bidang, termasuk media. Hegemoni media merupakan percampuran antara kepentingan bisnis dan politik.[3]
Melawan hegemoni
[sunting | sunting sumber]Hegemoni media memiliki dampak dan efek yang cukup besar di masyarakat dalam hal mempengaruhi pola pikir mereka. Jika pengaruh tersebut mempunyai nilai positif, tentu hal ini baik, tetapi yang dikhawatirkan adalah jika hegemoni bersifat negatif. Pola pikir dan ideologi yang keliru diterima begitu saja di masyarakat. Dengan demikian, perlu ada perlawanan (counter hegemony) untuk mengimbangi wacana dan ideologi yang beredar.[4] Terlebih lagi, media massa yang awalnya dikelola oleh suatu yayasan yang memiliki idealisme tinggi telah berubah sehingga pengelolaannya diatur oleh sebuah perusahaan yang tujuannya ke arah komersil. Sehingga, media lebih menjurus ke arah hiburan daripada mengedukasi dan memberikan informasi kepada khalayak luas.[5]
Menciptakan media alternatif
[sunting | sunting sumber]Karena adanya penguasaan media di masyarakat, maka perlu ada perlawanan untuk mengimbanginya agar iklim demokrasi dalam suatu negara tetap sehat, salah satu cara dengan menciptakan media alternatif sebagai ruang untuk mereka yang tidak memiliki kuasa.[1]
Menanamkan literasi media ke masyarakat
[sunting | sunting sumber]Sesuai dengan Pasal 4 UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka penggunaan teknologi informasi harus mengarah kepada upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan perekonomian nasional untuk kesejahteraan masyarakat, meningkatkan efektivitas dan efisiensi terkait pelayanan publik, serta memberi kesempatan kepada siapa saja untuk berkontribusi secara positif dalam penggunaan teknologi informasi agar dapat optimal. Implementasi secara praktis adalah dengan menanamkan cara berpikir kritis di masyarakat agar mereka tidak menjadi audiens yang pasif yang dapat dilakukan dengan cara: selalu mempertanyakan sesuatu ketika mendapatkan informasi, mampu menganalisis informasi secara mendalam, serta bijak dalam menyampaikan pesan kepada orang lain.[6]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Birowo, YudhiMario Antonius (2005). "Melawan Hegemoni Media Dengan Strategi Komunikasi Berpusat Pada Masyarakat". Jurnal Ilmu Komunikasi. 2 (2): 102142. doi:10.24002/jik.v2i2.246. ISSN 1829-6564.
- ^ Putri, Shinta Hartini; Yusian, Shafira Afranisa (November 2018). "Fungsi Media Massa dalam Hegemoni Media" (PDF). Artcomm. 1 (2): 96.
- ^ Sari, Nigar Pandrianto, Gregorius Genep Sukendro, Roswita Oktavianti, Wulan Purnama (2023-02-06). Budaya Pop: Komunikasi dan Masyarakat. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 133. ISBN 978-602-06-6870-3.
- ^ Nalar, Tim FKI (2020-04-01). Membela Indonesia: Mencintai, Merawat, Menjaga, dan Mensyukuri Anugerah Nusantara. Autad Lirboyo. hlm. 121–122. ISBN 978-602-5743-42-9.
- ^ Samsuar (2018-06-25). "Hegemoni Media Massa dan Pentingnya Membangun Kompetensi Khalayak". Al-Hikmah Media Dakwah, Komunikasi, Sosial dan Kebudayaan (dalam bahasa Inggris). 9 (1): 12–23. doi:10.32505/hikmah.v9i1.1723. ISSN 2655-0539.
- ^ Samsuar (2018-06-25). "Hegemoni Media Massa dan Pentingnya Membangun Kompetensi Khalayak". Al-Hikmah Media Dakwah, Komunikasi, Sosial dan Kebudayaan (dalam bahasa Inggris). 9 (1): 20–21. doi:10.32505/hikmah.v9i1.1723. ISSN 2655-0539.