Muslich
K.H. Muslich (1910 - 1998)
Ulama & Pejuang
Banyak ulama yang memiliki peran besar, tetapi di kalangan ulama dan warga Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Muslich tidak asing lagi. Ia dikenal sebagai seorang pejuang dan pergerakan kemerdekaan yang gigih. Kegigihan perjuangan itu ternyata tidak hanya dilakukan saat perang kemerdekaan, namun dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga kemandirian dan kemerdekaan pribadi, dengan bekerja sebagai pedagang kambing, kontraktor, pemimpin kantor departemen agama di beberapa daerah, hingga kemudian menjadi pedagang tanah di Jakarta. Atas kegigihannya dalam berjuang itu memperoleh penghargaan Bintang Maha Putera Utama, karena jasa-jasanya yang besar terhadap negara dan bangsa.
KH Muslich juga pembuat tonggak sejarah, karena dia lah, sosok ulama pertama kali yang didudukkan dalam DPR mewakili golongan karya ulama (1960). Sejak itu selama satu generasi, kiai kelahiran Purwokerto (1910) itu tidak pernah berhenti berkhidmat melalui berbagai fungsi yang diembannya dan ditunaikan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pengalaman perjuangan itu yang membuat etos kerjanya di alam merdeka itu tinggi, karena juga dihayati sebagai gerak perjuangan.
Posisi strategis yang pernah diduduknya juga beraneka ragam, pernah menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas),Penasihat Menteri Urusan Transmigrasi,Penasihat Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat, Anggota Badan Otorita Jalan Lintas Sumatera, Anggota Badan Penyalur Sandang Pangan, Anggota Badan Usaha Perbaikan Pondok Pesantren hingga menjadi staf ahli bidang Keamanan/Pertahanan pada masa Perdana Menteri Djuanda.
Sebelumnya ia menjadi Anggota Badan Penampungan Bekas Tawanan SOB, dan menjadi anggota DPRGR/MPRS, yang diangkat Presiden Soekarno sebagai pengganti Konstituante yang dibubarkannya. Namun sebagai pemilik ilmu agama(ulama), akhirnya KH Muslich kembali menekuni dunia pendidikan melalui Yayasan Perguruan Diponegoro yang didirikannya di Purwokerto dan Jakarta, hingga akhir hayatnya 28 Desember 1998.
Karakter Orang Pergerakan
KH Muslich yang dilahirkan di desa Tambaknegara Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas tahun 1910 hidup di lingkungan pedesaan yang santri. Ayahnya bernama Hasan Basari dan ibunya bernama Sri Inten. Selesai Sekolah Rakyat-SR, Muslich melanjutkan belajar ke Madrasah Mambaul Ulum Solo hingga kelas sembilan. Siang harinya belajar di pesantren Sunniyah Keprabon Tengah dan malam harinya belajar mengaji al-Qur’an di Pesantren KH Cholil Kauman. Juga belajar kitab fiqih di pesantren Keprabon dan Jamsaren.
Selama berada di Solo, Muslich banyak mengikuti kursus-kursus agama Islam dan pengetahuan umum dari berbagai kalangan. Secara temporer dia juga belajar mengaji dan mondok di pesantren Bogangin Sampyuh, Leler Kebasen, Tebuireng-Jombang, Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Untuk memperoleh pengetahuan umum ia tempuh dengan otodidak dengan banyak membaca dan diskusi dengan para tokoh yang ditemui.
Pada zaman pergerakan kemerdekaan, Muslich menjadi anggota kepanduan SIAP (Syariat Islam Afdeling Pandu), waktu itu usianya baru 16 tahun. Setelah itu menjadi anggota Pemuda Muslimin Indonesia dan menjadi anggota Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Setelah HOS Tjokroaminoto meninggal dunia, bersama AM Sangaji, Mr Muhammad Roem dan H Agus Salim, Muslich dipecat dari PSII oleh Abikusno Tjokrosujoso.. Bersama teman-temannya yang dipecat kemudian ia mendirikan Gerakan Penyadar PSII yang dipimpin H Agus Salim.
Setelah gerakan penyadar tidak aktif, Muslich baru bergabung ke dalam pengurus cabang NU Cilacap, kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU wilayah Jawa Tengah dan akhirnya dipromosikan lagi menjadi pengurus besar NU di Jakarta. Dengan karirnya yang cemerlang dan meyakinkan itu menjadikan Muslih sebagai kader yang militan, karena itu ketika NU bergabung dalam Masyumi (1946), Muslich ikut ke dalamnya dan ketika NU keluar dari Masyumi (1952) Muslich juga ikut keluar. Ia selalu mengikuti perkembangan situasi, baik ketika NU bergabung ke dalam PPP (1973), maupun ketika kembali ke khittah 1926. Walaupun hanya sebatas mengamati, karena perhatinnya sudah tersita untuk bidang pendidikan yang digelutinya sejak lama.
Menjadi Guru dan Penghulu
Ketika masa tugasnya dianggap telah selesai dan tidak ada tugas baru yang harus diembannya, maka ia segera kembali ke daerahnya, untuk mengabdikan diri sebagai guru Madrasah Mambaul Ulum Purwokerto (1930), dan menjadi guru pada Kweekschool Islamiyah (1935) milik PSII Cabang Cilacap. Pada tahun 1946 ia diangkat sebagai penghulu Kabupaten Cilacap, merangkap sebagai anggota tentara dengan pangkat Kapten. Atas restu Komandannya Letkol Gatot Subroto, setahun kemudian Muslich diangkat sebagai Kepala Jawatan Agama Karesidenan Madiun Jawa Timur.
Tahun 1951, Muslich mulai hijarah ke Jakarta dan turut menyusun Jawatan Urusan Agama Pusat dan kemudian dia diangkat menjadi Kepala Kantor Agama Sumatera Tengah, berkedudukan di Bukittingi. Tidak lama kemudian diangkat menjadi Kepala Jawatan Agama Sumatera Utara di Medan hingga tiga tahun kemudian diangkat sebagai kepala jawatan agama Jawa Tengah di Semarang. Sesuai hasil pemilu 1955 KH Muslich terpilih sebagai anggota DPR namun masih merangkap sebagai pegawai tinggi di Kementerian Agama Jakarta.
Pensiun sebagai anggota DPR kembali ke Departemen Agama dan mendapat tugas untuk menata kembali kantor Departemen Agama Sumatera Tengah akibat meletusnya PRRI (1958), dan ketika duduk di Komando Mandala-pada masa Trikora (1961-1963), Kiai Muslich mendapat tugas menyusun Kantor Departemen Agama Provinsi Irian Barat yang sudah resmi menjadi wilayah Republik Indonesia. Tugas-tugas rintisan yang berat selalu dilaksanakan dengan senang hati, agar bisa mencapai keberhasilan. Tugas itu hanya bisa diemban oleh orang yang gigih yang memiliki jiwa pergerakan.
Dari Lasykar ke Tentara Reguler
Sebagai pejuang pergerakan, Muslich mengawali karier militernya dengan masuk lasykar Hizbullah di Purwokerto tahun 1944. Kemudian ia diangkat menjadi komandan pasukan lasykar Islam untuk Divisi Hizbullah Banyumas dengan anggota tidak kurang dari seribu orang. Setelah kemerdekaan ia juga ikut mebentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) daerah Banyumas dan Cilacap, di bawah pimpinan bekas Daidanco Sudirman dengan pangkat Kapten.
Pada tahun 1947, Kapten Muslich diperbantukan di Markas Besar Pertempuran (MBP), Jawa Timur yang dipimpin oleh Mayjen Dr. Moestopo. sebagai perwira penghubung untuk daerah Madiun dan Blitar, saat itu Muslich sudah menyandang pangkat Mayor. Ketika MBP Jawa Timur dilikwidasi dan dilebur ke dalam Divisi Brawidjaja dibawah pimpinan Kolonel Sungkono, dia ditempatkan di Kediri. Tugas Muslich menjadi penghubung tentara dengan alim ulama dan umat Islam Jawa Timur. Atas jasa-jasanya pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel dan kemudian ditempatkan di Divisi Diponegoro di Semarang. Pada tahun 1951 Jenderal Sudirman wafat, dan Letnan Kolonel Muslich mengajukan permohonan berhenti dari dinas ketentaraan.
Pada suatu kesempatan, Kiai Muslich pernah menyatakan bahwa ia berkawan sangat baik dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Karena itu ia termasuk salah seorang penggagas dibangunnya Monumen Jenderal Sudirman di Banyumas beberapa tahun silam. Monumen tersebut dimaksudkan s ebagai tanda untuk mengenang jasa tokoh tersebut dalam perjuangan kemerdekaan.
Berdagang
Sejak muda, sebagai orang pergerakan Muslich tidak mengabaikan kepentingan ekonomi rumah tangganya. Dan sebagai Lasykar dia tidak pernah mengandalkan bayaran. Karena itu ia menerjuni dunia bisnis dengan aneka ragam bidang. Dimulai dengan hanya berjualan kayu bakar, berjualan pakaian, mensuplai kitab-kitab ke pesantren dan lain sebagainya.Usaha tersebut cukup maju, tapi kemudian dia berpindah jenis dagangan dengan berdagang bahan bangunan yang juga maju pesat, karena Cilacap memiliki banyak proyek besar, salah satunya pembangunan pelabuhan besar, sehingga usaha materialnya banyak memproleh order untuk menjadi supplier bahan bangunan.
Muslich memulai karirnya dengan menjadi leveransir bahan bangunan hingga kemudian menjadi kontraktor dan subkontraktor ketika pengerjaan jembatan Kali Serayu. Pernah juga menjadi pedagang kambing, untuk dikirim ke Jakarta dan Bandung, dan pernah pula menjadi agen pedagang besi tua dari perusahaan Jepang yang berpusat di Surabaya. Keagenan besi tua itu berhenti karena situasi yang tegang menjelang kemerdekaan, di mana Muslich masuk Hizbullah dan mengikuti latihan kemiliteran di Cibarusah Karawang Bekasi.
Kiai Muslich yang ketika pindah ke Jakarta bertempat tinggal di Gang Mayat Paseban, kemudian pindah ke daerah Utan Kayu Jakarta Timur. Di situ kiai yang tidak mau berhenti berkhidmat itu, membuka toko penyalur “Sandang Pangan” Usaha Banyumas” yang sangat maju. Muslich kemudian turut mendirikan dan memiliki saham PT.Bank Aman Makmur, Bank Nusantara serta memiliki juga saham pada PT Pelayaran Samudera Raya Lloyd.
Bisnis Tanah
KH Muslich yang sudah sangat kaya menginvestasikan sebagian uangnya untuk bisnis tanah di daerah Rawamangun. Pada tahun 1960 an Rawamangun baru saja menjadi daerah terbuka , setelah terbangunnya jalan by pass yang dibangun atas pinjaman dari Amerika Serikat Beribu-ribu meter ia miliki tanah kebun/ladang dan kaveling. Dari hasil bisnis tanah itu ia membangun Yayasan Perguruan Diponegoro di Jakarta, sebagai cabang perguruan yang sama yang ada di Purwokerto.Ternyata yang dibangun di Jakarta berkembang lebih maju.
Sebagian tanah yang dimilikinya antara lain yang dibangun asrama mahasiswa dan pelajar Islam Sunan Giri Rawamangun. Ada sekitar 4000 meter tanahnya yang dihibahkan kepada Pemda DKI Jakarta pada masa Ali Sadikin, dengan kompensasi Yayasan Diponegoro dibangunkan gedung sekolah berlantai tiga. Tanah yang dihibahkan itu digunakan untuk pembangunan Pasar Ciremai Rawamangun.
Perguruan Yayasan Diponegoro asuhan KH Muslich berada di Rawamangun dan Cakung Jakarta Timur. Perguruan yang menampung hampir 4000 para siswa/siswi yang belajar dari TK sampai Aliyah (SMP-SMU/Kejuruan) ini, menempati bangunan berlantai tiga , dengan 250 orang guru dan peralatan, dan laboratorium yang lengkap. Sebelum wafatnya Kiai Muslich pernah bertutur, bahwa hidup itu berjuang dan berkhidmat untuk negara dan masyarakat. Karena itu selama masih hayat dikandung badan, berjuang harus terus dikerjakan.
Sampai usia 70 tahun dan sejak muda KH Muslich yang berperawakan kecil namun lincah dan trampil itu, tidak pernah mengenakan bantuan kacamata untuk membaca Qur’an dan Koran.Ketika ditanya apa resepnya? Kiai Muslich mengutip pesan kakeknya, bahwa setiap hari jangan tinggal membaca al-Qur’an, dan jangan bertempat tinggal di rumah yang lebih bagus dari masjid yang ada. Kiai Muslich ternyata konsekuen, meski ia punya banyak tanah, banyak uang, tapi tetap bertempat tinggal di rumah kecil sederhana di dalam komplek Yayasan Diponegoro Rawamangun Jakarta Timur.
Itulah tokoh kita KH Muslich almarhum. Tokoh ulama yang berpuluh tahun malang melintang dalam berbagai dimensi perjuangan dan kehidupan. Amal jariahnya yang amat berguna adalah tiga tempat pendidikan yang dibangunnya di Purwokerto dan Jakarta. Sudah terlalu banyak para lulusan dari sekolah ini yang kini sudah bergumul dalam kehidupan bermasyarakat, dan berbangsa dengan berbagai peran yang dimainkan.Perguruan Diponengoro yang ditinggalkannya, kini pengelolaannya diserahkan pada putera puterinya yang cukup banyak. Mereka antara lain H.Bambang Legowo, H Imam Parikesit, H Munib Tabahati.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia pada masa Presiden KH Abdurrahman Wahid menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada KH Muslich. Dengan mendapatkan bintang itu, KH Muslich sesungguhnya dapat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun hal itu tidak dilakukan. Jasad almarhum tetap dimakamkan di pemakaman umum Purwokerto, atas permintaan atau wasiat almarhum. Itulah sosok kiai pejuang yang gigih berjuaang melawan penjajah, juga gigih berjuang melawan ketergantungan pada orang lain, karena itu ia gigih berjuang untuk mandiri dengan cara berdagang, sehingga hasil kekayannya bisa digunakan tidak hanya untuk menghidupi keluarga tetapi juga ditasarufkan untuk mengembangkan agama dan membangun generasi bangsa yang turut ia dirikan.