Azwar Anas
Azwar Anas | |
---|---|
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia 5 | |
Masa jabatan 17 Maret 1993 – Januari 1998 | |
Presiden | Soeharto |
Menteri Perhubungan Republik Indonesia 21 | |
Masa jabatan 23 Maret 1988 – 17 Maret 1993 | |
Presiden | Soeharto |
Gubernur Sumatera Barat 4 | |
Masa jabatan 1977 – 1987 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 2 Agustus 1933 Padang, Sumatera Barat, Hindia Belanda |
Sunting kotak info • L • B |
Letjen (Purn) Ir. Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman (lahir 2 Agustus 1933) adalah mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998). Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan Indonesia pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Sebelumnya dia menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1977-1987).
Kehidupan
Kehiduapan awal
Azwar Anas lahir pada 2 Agustus 1931 di Padang, yang ketika itu merupakan bagian dari Keresidenan Sumatera Barat, Hindia-Belanda. Ia adalah anak ketiga dari pasangan Anas Malik Sutan Masabumi (ayah) dan Rakena Anas (ibu), yang memiliki sepuluh orang anak. Ayahnya yang masih memiki garis keturunan dengan Raja Pagaruyung terakhir, yakni Sutan Bagagarsyah, bekerja sebagai kepala perbengkelan kereta api di Simpang Haru, Padang, sementara ibunya yang hanya tamatan SD berasal dari Koto Sani, Solok. Sebelum menikah dengan ibunya, ayahnya telah memperoleh seorang anak dari istri pertama yang kemudian diceraikannya, tetapi kehidupan mereka tetap ditanggung oleh ayahnya meskipun telah bercerai.[1][2]
Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran Islam dengan didikan ayah yang berwatak keras tetapi disiplin dan didampingi ibu yang senantiasa mengayomi dan memberikan nasihat akan pentingnya agama dan tanggung jawab. Ia menghabiskan masa kecilnya bersama keluarganya di Mato Aie dalam sebuah rumah yang dibangun di pinggang bukit di tepi Jalan Raya Padang–Teluk Bayur. Tidak seperti kebanyakan anak ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia-Belanda), ia bersama kakak dan adiknya tidak dimasukkan ke sekolah-sekolah Belanda, melainkan dimasukkan ke HIS Adabiyah School, sebuah sekolah agama yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.[3]
Ketika masih berusia kanak-kanak, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk membantu meringankan ekonomi keluarganya yang sedang sulit pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia pernah berdagang kayu untuk kemudian dijual ke pasar Kampung Jawa dan berjualan ikan, bahkan sebelumnya ia juga pernah berjaja pisang goreng di Mato Aie setiap pagi.[4] Di tengah kesulitan ekonomi keluarganya, setelah tamat dari HIS Adabiah, ia masih bisa meneruskan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi; ia masuk ke sekolah bentukan Jepang yang disebut Chu Gakko (setingkat SMP).[5]
Masa awal kemerdekaan
Berita diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru disebarluaskan ke Padang oleh Muhammad Sjafei sekitar akhir bulan Agustus.[6] Namun pada 10 Oktober 1945, tentara Sekutu, yang semula ditugaskan untuk melucuti serdadu Jepang dan mengambil para tawanan Jepang, telah merapat ke pelabuhan Teluk Bayur, tetapi kedatangan ini dicurigai oleh para pemuda di Padang ikut menyertakan tentara Belanda. Kecurigaan ini ternyata benar sehingga ketegangan mulai meningkat di Padang. Kantor-kantor pemerintahan di Padang mulai dipindahkan ke luar kota, termasuk kantor tempat ayahnya bekerja dipindahkan ke Kayu Tanam, sehingga keluarganya kemudian pindah ke tempat itu, sedangkan ia dan adiknya yang bernama Akil tetap menetap di Padang.[7] Namun karena Padang dirasakan tidak aman lagi setelah pembunuhan Bagindo Azizchan oleh tentara Belanda,[8] ia dan adiknya menyusul keluarganya yang ternyata telah berpindah ke Bukittinggi.[9] Di kota berhawa sejuk itu, ia tetap meneruskan sekolahnya; ia dimasukkan ke SMP Negeri 1 Bukittinggi, tetapi kemudian pindah ke SMP Negeri 3 Bukittinggi dan setelah tamat ia masuk ke SMA Negeri 1 Bukittinggi.[9]
Tidak lama setelah ibu kota Indonesia di Yogyakarta diduduki oleh Belanda, Syafruddin Prawiranegara bersama tokoh Minangkabau lainnya membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Pada saat itu, ketika berlangsungnya Agresi Militer Belanda II, keluarganya pindah ke Barulak, Tanah Datar, kemudian setelah gencatan senjata diberlakukan di Sumatera Barat pada 19 Agustus 1948, keluarganya kembali pindah ke Padang. Di Padang, ia bersekolah di SMA Permindo (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tamat pada tahun 1951.[10]
Rujukan
- Catatan kaki
- ^ Yusra 2011, hlm. 5.
- ^ Yusra 2011, hlm. 3.
- ^ Yusra 2011, hlm. 10.
- ^ Yusra 2011, hlm. 17.
- ^ Yusra 2011, hlm. 18.
- ^ Yusra 2011, hlm. 19.
- ^ Yusra 2011, hlm. 20.
- ^ Yusra 2011, hlm. 23.
- ^ a b Yusra 2011, hlm. 24.
- ^ Yusra 2011, hlm. 30.
- Daftar pustaka
- Yusra, Abrar (2011). Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-709-585-7.
Pranala luar
- (Indonesia) Profil Azwar Anas di Tokohindonesia.com.
Jabatan pemerintahan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Soepardjo Roestam |
Menko Kesra 1993–1998 |
Diteruskan oleh: Haryono Suyono |
Didahului oleh: Rusmin Nuryadin |
Menteri Perhubungan 1988–1993 |
Diteruskan oleh: Haryanto Dhanutirto |
Didahului oleh: Harun Zain |
Gubernur Sumatera Barat 1977–1987 |
Diteruskan oleh: Hasan Basri Durin |
Jabatan olahraga | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Kardono |
Ketua Umum PSSI 1991–1999 |
Diteruskan oleh: Agum Gumelar |