D. Djajakusuma
Djadoeg Djajakusuma | |
---|---|
Lahir | Temanggung, Jawa Tengah, Hindia Belanda | 1 Agustus 1918
Meninggal | 28 Oktober 1987 Jakarta, Indonesia | (umur 69)
Sebab meninggal | Stroke |
Makam | TPU Karet Bivak |
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Sutradara, produser, kritikus budaya |
Tahun aktif | 1952–87 |
Djadoeg Djajakusuma (1 Agustus 1918 – 28 Oktober 1987) adalah pemeran dan sutradara film Indonesia yang pernah bermain dalam film "Perempuan Dalam Pasungan" pada tahun 1980. Film yang disutradarainya banyak dibintangi oleh para aktris terkenal diera itu seperti Rd Ismail, Bambang Hermanto, Titi Savitri, dan Sulastri.
Biografi
Kehidupan awal
Djajakusuma lahir pada 1 Agustus 1918 di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Hindia Belanda,[1] dari seorang ayah priyayi, Raden Mas Aryo Djojokoesomo, dan istrinya Kasimah. Djajakusuma adalah anak kelima dari enam bersaudara
Ketika pengaruh film-film Hollywood mulai meluas, ia sering menonton film-film Barat dan karya-karya yang dibintangi oleh Charlie Chaplin.[2]
Ia menyelesaikan pendidikannya di Semarang, Jawa Tengah,[3] lulus dari program ilmu pengetahuan alam di sekolah menengah keatas disana pada 1941.[2] Meskipun keluarganya berharap agar ia menjadi karyawan pemerintahan seperti ayahnya, Djajakusuma lebih tertarik pada seni pertunjukan.[4]
Setelah itu, pada awal 1943 – setahun setelah Hindia Belanda diduduki oleh Kekaisaran Jepang – Djajakusuma pindah ke pusat politik koloni tersebut, Jakarta, untuk mencari pekerjaan.[5]
Djajakusuma menjadi karyawan di Pusat Kebudayaan[a] sebagai seorang penerjemah dan aktor dibawah pengarahan Armijn Pane.[6] Ketika bekerja, ia menerjemahkan beberapa karya buatan pembuat drama Swedia August Strindberg dan pembuat drama Norwegia Henrik Ibsen,[b][7] serta sejarah Jepang dan beberapa permainan panggung kabuki.[5]
Bersama dengan Maya, Djajakusuma melakukan perjalanan dari desa ke desa untuk mengadakan pertunjukan.[8]
Revolusi Nasional Indonesia
Presiden Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.
Setelah Revolusi Nasional Indonesia berakhir dengan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 1949, Djajakusuma melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis Patriot (yang kemudian berganti nama menjadi Tentara) dan majalah Kebudajaan Nusantara;[3] Mataram kembali dibuka, dan Djajakusuma mulai mengajar kembali selain mengurusi bioskop Soboharsono dan menulis beberapa drama panggung.[9]
Karir dengan Perfini
Saat mempersiapkan film kedua-nya, Enam Djam di Jogja, Ismail disuruh Djajakusuma ke Jakarta. Pada film tersebut, Djajakusuma membantu Ismail mengadaptasi Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai latarnya.
Peluncuran Embun membuat Djajakusuma menjadi salah satu dari empat sutradara yang berkarya dengan Perfini; yang lainnya adalah Ismail, Nya Abas Akup, dan Wahyu Sihombing.[10]
Pada 1954, Djajakusuma menyutradarai dua film komedi yakni Putri dari Medan dan Mertua Sinting.
Satu-satunya film buatannya pada tahun tersebut, sebuah drama yang berjudul Arni, menceritakan tentang seorang pria yang menikahi wanita lainnya sementara istrinya yang sakit pergi ke Padang, Sumatra untuk menjalani pengobatan.[11]
Djajakusuma belajar sinematografi di Amerika Serikat, pertama di Universitas Washington di Seattle, kemudian di Sekolah Seni Sinematik Universitas California Selatan, dari 1956 sampai 1957.[4]
Ketika pulang ke Indonesia, Djajakusuma mulai membuat sebuah karya yang berjudul Tjambuk Api, yang mengkritik korupsi di Indonesia
Pada periode ini, ia mempelajari teater tradisional India, dengan cara mengunjungi Kalkuta, Madras, dan New Delhi
Karir selanjutnya
Setelah akhir masanya dengan Perfini, Djajakusuma kembali aktif dalam kesenian tradisional.
Djajakusuma membantu mempromosikan jenis-jenis kesenian seperti lenong dari suku Betawi dan ludruk dari suku Jawa selama beberapa tahun.[12]
Pada 1971, ia menyutradarai film terakhir-nya yakni Api di Bukit Menoreh dan Malin Kundang (Anak Durhaka). Film yang pertama, diluncurkan oleh Penas Film Studio dan berdasarkan pada sebuah novel karya Singgih Hadi Mintardja, menceritakan parap prajurit dari Kerajaan Pajang dalam pertempuran mereka melawan para prajurit dari kerajaan Jipang.[13] Film yang kedua adalah sebuah adaptasi dari legenda Melayu dengan nama yang sama.[4] Dibintangi oleh Rano Karno dan Putu Wijaya sebagai karakter utama
Tahun-tahun terakhir dan kematian
Pada 1977, Djajakusuma bertugas menjadi juri Festival Film Indonesia (FFI).[c]
Perempuan dalam Pasungan memenangkan Penghargaan FFI untuk Film Bioskop Terbaik pada Festival Film Indonesia 1981,[14] dan Djajakusuma berniat ingin membuat film-film berikutnya, namun, tidak pernah terealisasikan.[15]
Pada awal 1987, Djajakusuma didiagnosa telah mengidap serangan jantung oleh dokternya, yang membuat Djajakusuma mulai melakukan diet dan berhenti merokok.[16]
Djajakusuma pingsan pada 28 Oktober 1987 saat memberikan pidato pada upacara peringatan Sumpah Pemuda di IKJ. Setelah dibawa ke Rumah Sakit Umum Cikini, ia dinyatakan meninggal pada pukul 10:05 waktu setempat (UTC+7). Ia dikuburkan di TPU Karet Bivak pada sore hari, setelah upacara pemakaman di IKJ yang dipimpin oleh penulis Sutan Takdir Alisjahbana dan disembahyangkan di Masjid Amir Hamzah di Halaman Ismail Marzuki yang dipimpin oleh penyair Taufiq Ismail.[17]
Djajakusuma tidak pernah menikah, namun meninggalkan beberapa keponakan dan sepupu yang telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.[18]
Dalam sebuah upacara peringatan hari kematian Djajakusuma yang kelima, seluruh dokumen dan bukunya disumbangkan ke perpustakaan IKJ.[19]
Gaya
Djajakusuma sering memasukkan kesenian tradisional ke dalam film-filmnya,[20] dan dua diantaranya (Lahirnja Gatotkatja dan Bimo Kroda) berdasarkan pada cerita wayang tradisional dan menggunakan kostum dan alur yang terinspirasi dari wayang.[21] Fokus pada aspek kebudayaan tradisional ini ditinggalkan secara umum setelah 1965, dengan digantikan oleh film-film mengenai kehidupan perkotaan.[22]
Sosiolog Indonesia Umar Kayam, yang bertugas pada Dewan Kesenian Jakarta bersama Djajakusuma, memandangnya sebagai seorang sutradara yang sangat disiplin.
Pencapaian
Film karya Djajakusuma yang berjudul Harimau Tjampa meraih Penghargaan Permainan Latar Terbaik di Festival Film Asia 1954.[23] Kemudian, filmnya yang berjudul Bimo Kroda dipuji oleh Departemen Informasi Indonesia karena mempromosikan kebudayaan tradisional.[24] Pada 1970, ia mendapatkan Penghargaan Kesenian dari pemerintah Indonesia karena "Jasa terhadap Negara sebagai Pembina Utama Drama Modern".[23] Pada Festival Film Infonesia 1987, ia diberikan penghargaan khusus untuk kontribusinya pada industri film,[15] dan pada November 2003, secara anumerta, ia diberikan Penghargaan Budaya Parama Dharma oleh Presiden Megawati Sukarnoputri untuk kontribusinya pada pengembangan kebudayaan Indonesia.[d][25]
Tanggapan yang didapatkan terbilang positif. Sutradara pemenang penghargaan Teguh Karya menyatakan bahwa karya-karya buatan Djajakusuma, Usmar Ismail, dan Asrul Sani sebagai "legendaris" dan memiliki pengaruh yang sangat besar.[26] Koreografer Bagong Kussudiardjo dikabarkan mengenang Djajakusuma dengan cara menamai putranya dengan nama Djadoeg.[27]
Filmografi
- Embun (1951)
- Terimalah Laguku (1952)
- Harimau Tjampa (1953)
- Mertua Sinting (1954)
- Putri dari Medan (1954)
- Arni (1955)
- Tjambuk Api (1958)
- Pak Prawiro (1958)
- Lahirnya Gatotkatja (1960)
- Mak Tjomblang (1960)
- Masa Topan dan Badai (1963)
- Rima Bergema (1964)
- Bimo Kroda (1967)
- Api di Bukit Menoreh (1971)
- Malin Kundang (1971)
- Perempuan Dalam Pasungan (1980)
Catatan penjelas
- ^ Pusat Kebudayaan memiliki penyebutan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Nama Indonesia-nya adalah Poesat Keboedajaan, sementara nama Jepang-nya adalah Keimin Bunka Shidōsho (啓民文化指導所 ). Pusat Kebudayaan mempromosikan perkembangan berbagai bentuk kesenian, meliputi film dan drama, with the ultimate goal of providing propaganda for posisi politik Jepang (Hoerip 1995, hlm. 8).
- ^ Neither Norway nor Sweden was at war with Japan at the time, meaning such translations were considered acceptable by Djajakusuma's superiors (Hoerip 1995, hlm. 9).
- ^ Djajakusuma subsequently served on the jury several times (Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia).
- ^ Pemenang lainnya meliputi komedian Bing Slamet dan aktris Fifi Young (Unidjaja 2003, Megawati awards).
Referensi
- ^ Setiawan 2009, National Film Month; Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma
- ^ a b Hoerip 1995, hlm. 4.
- ^ a b JCG, Djaduk Djajakusuma.
- ^ a b c Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma.
- ^ a b Hoerip 1995, hlm. 8.
- ^ JCG, Djaduk Djajakusuma; Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma
- ^ Biran 2009, hlm. 331.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 9–10.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 24.
- ^ Anwar 2004, hlm. 84.
- ^ Filmindonesia.or.id, Arni.
- ^ Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma; Kadarjono 1970, hlm. 25
- ^ Hoerip 1995, hlm. 49–50.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 31.
- ^ a b Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia.
- ^ Suara Karya 1987, D.Djajakusuma.
- ^ Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma; Suara Karya 1987, D.Djajakusuma
- ^ Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma; Suara Karya 1987, D.Djajakusuma
- ^ Hoerip 1995, hlm. 80–84.
- ^ Setiawan 2009, National Film Month.
- ^ Suara Karya 1987, D.Djajakusuma; Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang
- ^ Sen & Hill 2000, hlm. 156.
- ^ a b Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma.
- ^ Biran 1979, hlm. 123.
- ^ Unidjaja 2003, Megawati awards.
- ^ National Library of Indonesia, Pandangan Tokoh: Teguh Karya.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 83.