Lompat ke isi

Peristiwa Talangsari 1989

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 18 Agustus 2014 10.39 oleh 210.79.217.29 (bicara) (Talang sari - kejahatan kemanusiaan)

Kasus Talangsari Lampung adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Atas dasar tersebut pemerintah tidak mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).

Saat itu, situasi menjadi tidak menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. Berturut-turut pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang sedang meronda di Pos Kamling.

Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabibuta terhadap jema’ah dan setelah kehabisan peluru, jema’ah yang tadinya bertahan balik menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman.

Lalu pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono yang saat itu menjabat Danrem Garuda Hitam Lampung, atasan dari Kapten Soetiman.

Dampak dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar oleh militer.

Setelah peristiwa itu, digelar peradilan untuk mengadili para jama’ah yang tertangkap dan ditahan. Peradilan diantaranya digelar di Tanjung Karang Lampung, Jakarta, Jawa Tengah dan Lombok Nusa Tenggara Barat. Rata-rata Jema’ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043 Garuda Hitam Bandar Lampung, LP Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan dan tempat-tempat lainnya. Hendropriyono yang jelas terlibat bebas dari segala tuduhan.

Proses hukum terhadap para pelaku kejahatan tidak transparan. Hukuman tertinggi adalah seumur hidup dan sejak reformasi bergulir 1998, atas perintah Habibie, seluruh tahanan  dibebaskan.‬

Pada tahun 2008, Komnas Ham membuka kembali kasus ini dengan memanggil kembali Hendropriyono sebagai mantan Danrem yang terlibat di lapangan dan Try Sutrisno sebagai Pangab waktu itu.