Lompat ke isi

Suhardi Somomoeljono

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suhardi Somomoeljono
Suhardi Somomoeljono
LahirSuhardi Somomoeljono
06 September 1959 (umur 64)
Indonesia Trenggalek
KebangsaanIndonesia
PekerjaanPengacara

Lahir di Trenggalek, 6 September 1959 sebagai anak keenam dari 10 bersaudara. Ia adalah keturunan para pejuang kemerdekaan. Kakeknya yang pernah menjadi Lurah, ikut andil menentang penjajahan Belanda pada masa Budi Utomo. Darah pejuang itu lalu turun ke ayah Suhardi yang berprofesi sebagai tentara. Ia ikut berperang melawan penajajahan sejak jaman Jepang. Di samping itu, ajaran Islam tumbuh subur di keluarga ini sejak lama. Ayah Suhardi yang meski seorang tentara, ternyata juga dikenal sebagai pribadi religius yang memiliki latar belakang lulusan pesantren di Trenggalek. Di tengah keluarga seperti inilah, Suhardi tumbuh. Maka wajar kalau jiwa nasionalis-religius sudah tertanam dalam diri Suhardi sejak kecil.

Suhardi Somomoeljono menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN 1 Trenggalek. Selanjutnya ia diboyong ke Madiun, tempat ayahnya kemudian bertugas. Di daerah ini pula pendidikan tingkat menengah pertama dan menengah atas ia selesaikan, tepatnya di SMP ABRI Madiun dan SMAN 2 Madiun. Pindah ke Madiun membawa perkenalan Suhardi dengan Universitas Islam Indonesia (“UII”). Saat itu, kampus bersejarah ini memang membuka cabang di Madiun untuk Fakultas Syari’ah dan Fakultas Tarbiyah. Paham mengenai latar belakang berdirinya UII, ayahnya pun banyak bercerita. Dari perihal tentang pendirian UII yang merupakan prakarsa anak bangsa sekaligus para pejuang kemerdekaan, tentang keinginan Bung Karno menjadikan UII sebagai universitas terbesar di Asia sampai perihal posisi UII yang merupakan cikal bakal beberapa kampus ternama di Yogyakarta, semua diceritakan kepada Suhardi. Lantaran sering mendapat cerita, keinginan untuk menempuh kuliah di UII sudah mantap dalam dirinya jauh sebelum lulus SMA. Benar saja, setelah lulus, Suhardi sudah tidak lagi memikirkan kampus lain sebagai tempat melanjutkan studinya selain UII. Pilihan Fakultas Hukum sendiri merupakan saran dari orang tuanya. Meski di Madiun ada Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah, Suhardi justru diminta untuk berangkat ke Yogyakarta, masuk FH UII.

Masa Kuliah

Suhardi Somomoeljono menjalani masa kuliah dalam jangka waktu normal, yakni selama enam tahun. Untuk ukuran masa itu, masa kuliah enam tahun bahkan bisa dibilang cepat. Ia tercatat sebagai angkatan tahun 1979 dan lulus sarjana pada tahun 1985. Ke Yogyakarta, Suhardi diantar oleh ayahnya. Satu hal yang paling diingatnya adalah saran yang disampaikan sang ayah kepadanya tentang bagaimana masa kuliah dijalani. Kata ayahnya, ada tiga rumus yang harus dipegang dalam menjalani kuliah di UII, yang disederhanakan menjadi tiga kata: studi, organisasi dan cinta.

Yang pertama dan paling utama adalah persoalan studi. Kepada Suhardi, ayahnya sangat menekankan agar proses belajar harus selalu diutamakan. Bukan berarti hanya di dalam kelas melainkan juga di luar kelas. Sembari itu, kegiatan berorganisasi tidak boleh dikesampingkan karena ini adalah media bersosialisasi, belajar manajemen dan berbagai manfaat lainnya. Sementara untuk urusan cinta, harus diletakkan diurutan ketiga. Elemen keteiga ini mendapat penekanan khusus. Ayahnya tidak melarang, namun terlebih dulu memenuhi syarat. Boleh cari calon istri dalam posisi sudah selesai teori dan baru boleh menikah jika lulus kuliah. “Lebih baik kamu jadi aktivis daripada pacaran”, kata ayahnya.

Nasehat ini diinsyafi dengan baik oleh Suhardi. Berbagai organisasi lalu ia ikuti, internal maupun organisasi ekternal kampus. Berbagai kegiatan organisasi pula ia jadikan pula sebagai tempat belajar lain, selain di bangku kuliah. Tercatat, Suhardi pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa, Wakil Ketua Senat Mahasiswa dan juga Sekretaris BKK. Sementara di eksternal, ia juga tercatat aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Kehidupan Organisasi

Pemikiran Suhardi Somomoeljono mulai berkembang. Ia banyak belajar bagaimana mengelola satu lembaga dan sekaligus belajar menyelesaikan persoalan-persoalan. Saat menjadi Wakil Ketua Senat pada tahun 1981-1982, satu persoalan yang menyita perhatian civitas akademik adalah munculnya stigma bahwa UII adalah kampus ekstrimis. Suhardi dan kawan-kawan sampai menghadirkan sosok Soetomo ke UII untuk memberi ceramah demi meredam anggapan tersebut. Banyak yang tidak setuju dengan keputusan itu karena terkesan akan mengarah kepada kekuasaan. Namun, keputusan tetap diambil untuk tetap melaksanakan langkah itu. saat itu, mereka sudah sampai pada pemikiran bahwa alumni UII umumnya jadi pejabat dan kader bangsa sehingga justru tidak boleh mengambil jarak dengan kekuasaan.

Kegandrungan berorganisasi terus juga berlanjut setelah ia tamat kuliah. Saat ini, Suhardi menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), Ketua atau Provisional Chairman Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) dan Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (ISMI) .

Profesi Advokat

Tersemai sejak kecil ingin menjadi advokat, Suhardi Somomoeljono mulai menapaki karir itu setelah menyelesaikan kuliahnya di UII pada tahun 1985. Banyak hal yang menginspirasi Suhardi menetapkan memegang teguh cita-cita menjadi advokat. Saat masih kecil, tepatnya kelas 3 SD, ia sempat melihat bagaimana kakek dan ayahnya menyelesaikan satu kasus pencurian. Pencurian dengan obyek 2 buah ketela itu dilakukan oleh seseorang yang disebabkan karena istrinya yang hamil besar dan mau melahirkan. Si pencuri sendiri adalah masyarakat dengan kondisi sangat miskin. Kakek Suhardi yang seorang Lurah dan berlatarbelakang pendidikan Belanda cukup keras terhadap si pencuri. Sebaliknya, meski seorang militer sang ayah justru membela si pencuri dengan mengemukakan berbagai argumen. Suhardi kagum melihat tindakan sang ayah. Setelah melalui perdebatan, akhirnya si pencuri tidak jadi dihukum. Hanya dimarahi dan diminta mengembalikan satu buah ketela, sedangkan satu lainnya boleh dibawa pulang.

Kebijaksanaan ini menginspirasi Suhardi kelak akan menjalani aktivitas sebagai pembela. Ia sangat senang melihat ada masyarakat yang dibela. Apalagi masa kecil suami Sri Sadiyani Utami ini diwarnai berbagai pemberontakan sehingga membela orang lain ia anggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Suhardi bahkan memberanikan diri menolak permintaan orang tuanya untuk menjadi hakim beberapa saat setelah lulus kuliah.

Berselang dua tahun sejak kelulusannya, 1987, ia membuka kantor hukum di Yogyakarta bernama Suhardi Somomoeljono & Assosiates. Kantor ini lalu pindah ke Jakarta pada tahun 1993.

Rentang waktu lebih dari 25 tahun menjalankan profesi sebagai pengacara, Suhardi telah menangani hampir semua bidang kasus, baik kecil maupun besar dan menyita perhatian publik. Dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, ia mendampingi tersangka Pollycarpus Budihari Priyanto sampai bebas pada tahun 2007 silam. Itu setelah MA menyatakan mantan pilot Garuda Indonesia itu tidak terbukti melakukan pembunuhan.

Tidak hanya dalam menangani kasus, sepakterjang Suhardi Somomoeljono sebagai advokat juga mendapat pengakuan dari teman sejawat. Dengan berbagai jabatan yang diemban di organisasi advokat, lulusan Magister Hukum Universitas Padjajaran ini sejatinya termasuk inisiator pembentukan UU Advokat. Dengan begitu, seluk beluk organisasi keadvokatan secara umum persis ia ketahui.

Suhardi menilai, kondisi advokat di Indonesia saat ini masih miris baik dari sisi personal advokat secara umum maupun dari sisi oraganisasinya. Ia memimpikan suatu saat advokat dapat berperan sebagai pengawal keadilan (guardian of justice).

Hanya saja, ini tidak bisa terwujud karena orientasi yang ada dalam diri advokat secara umum cenderung berkutat pada membela klien semata. Kondisi inilah yang menjadikan orientasi pembelaan lebih berat pada sisi materi. Padahal, menurutnya, seorang advokat seharusnya menunjukkan jati diri sebagai negarawan. Bagi Suhardi Somomoeljono, profesi advokat mengandung filosofi perlawan terhadap ketidakadilan dan makna inilah yang saat ini hilang.
Advokat seolah menjadi profesi yang kehilangan dalam fungsi kenegaraan. Akan halnya dengan kondisi organisasi advokat yang juga belum mendukung untuk dapat menunjukkan peran signifikan peran sebagai pengawal keadilan itu. Suhardi menilai organisasi advokat di Indonesia saat ini yang mulai kehilangan arah. Di tengah banyak advokat senior yang gundah melihat kondisi ini dan mulai menempuh berbagai solusi, Suhardi adalah satu di antaranya.

Pranala luar