Ki Juru Martani
Kyai Juru Martani ꦩꦂꦠꦤꦶ | |
---|---|
Meninggal | 1615 |
Makam | Pasarean Mataram |
Gelar | Adipati Mandaraka I |
Pengganti | Adipati Mandaraka II |
Suami/istri | Ratu Mas Banten |
Orang tua |
|
Kyai Juru Martani bergelar Kyai Adipati Mandaraka adalah seorang patih pertama Mataram dan penasihat politik Panembahan Senapati. Sebelum diangkat menjadi patih, ia dikenal sebagai tokoh yang cukup berjasa dalam berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Asal-usul
[sunting | sunting sumber]Ki Juru Martani adalah putra dari Ki Ageng Saba dan Nyai Ageng Saba. Ayahnya adalah putra dari Pangeran Made Pandan. Sedangkan ibunya adalah putri dari Ki Ageng Sela.[1] Ia memiliki adik perempuan bernama Nyai Sabinah, yang kemudian dinikahi oleh Ki Ageng Pamanahan, putra Ki Ageng Enis. Sedangkan Ki Ageng Enis adalah adik dari Nyai Ageng Saba. Dengan demikian, Ki Ageng Pamanahan adalah adik sepupu sekaligus saudara ipar dari Ki Juru Martani.[1]
Ki Juru Martani menikah dengan Ratu Mas Banten dan memiliki putra yang nantinya diberi kedudukan oleh raja Mataram, antara lain Pangeran Mandura (bergelar Adipati Mandaraka II) dan Ki Juru Kiting Natanigrat. Pangeran Mandura memiliki putra bernama Pangeran Mandurareja dan Pangeran Upasanta.[1]
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Pangeran Mandurareja diangkat menjadi bupati Pekalongan. Sedangkan Pangeran Upasanta diangkat menjadi bupati Batang. Putri Pangeran Upasanta, menikah dengan Sultan Agung dan diangkat menjadi permaisuri bergelar Ratu Wetan menggantikan Ratu Kulon dari Cirebon.[1]
Peran awal
[sunting | sunting sumber]Ki Juru Martani adalah tokoh yang membujuk Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh Sultan Adiwijaya dalam mengalahkan Arya Panangsang. Selain itu, ia dikenal sebagai tokoh perintis berdirinya kerajaan Mataram, bersama Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi. Ketiganya dijuluki Tiga Serangkai dari Mataram.[2]
Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi semula tidak bersedia mengikuti sayembara. Setelah dibujuk Ki Juru Martani, maka keduanya pun mengikuti sayembara itu. Ki Juru Martani juga melibatkan Sutawijaya, putra Pamanahan yang diangkat anak oleh Adiwijaya. Sementara itu, Ki Juru Martani tidak terlibat secara langsung pada sayembara tersebut. Ia mengambil peran sebagai pengatur strategi.[1][3]
Dalam menyusun strategi melawan Arya Panangsang, Kiai Juru Martani terlebih dahulu menangkap seorang tukang kuda yang dicurigai telik sandi Arya Penangsang. Tanpa ampun ia melukai telinganya. Ki Juru Martani menyuruhnya menyampaikan surat tantangan perang tanding dengan Adiwijaya di Sungai Bengawan Sore. Tukang kuda tersebut pulang ke Jipang dan melaporkan tantangan itu. Arya Panangsang yang tidak terima atas perlakuan tersebut akhirnya berangkat untuk menuntut pembalasan.[1][3]
Arya Panangsang tiba di tepi timur Bengawan Sore berteriak menantang Adwijaya. Ia tidak berani menyeberang karena teringat pesan Sunan Kudus, untuk tidak menyeberangi sungai itu. Namun, Ki Juru Martani telah menyusun rencana jitu. Sutawijaya disuruh menunggang kuda betina yang telah dipotong ekornya. Akibatnya, kuda jantan yang ditunggangi Arya Panangsang yang bernama Gagak Rimang secara tidak langsung melihat kemolekan kuda betina itu. Kuda Arya Panangsang pun menjadi liar dan tak terkendali sehingga membawanya menyeberangi sungai mengejar kuda betina Sutawijaya.[1][3]
Ketika Arya Penangsang baru saja mencapai tepi barat, Sutawijaya segera menusuk perutnya menggunakan tombak Kyai Plered. Perut Arya Panangsang robek dan ususnya terburai. Namun ia masih dapat bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya. Karena Sutawijaya bersenjatakan tombak Kyai Plered, maka Arya Panangsang harus memakai pusakanya jika ingin membunuhnya. Arya Penangsang pun mencabut keris pusaka Kyai Setan Kober yang terselip di pinggangnya. Akibatnya, usus yang tersampir di pangkal keris tersebut ikut terpotong, Kyai Setan Kober yang dikenal sebagai keris sakti penuh energi mistis secara tidak langsung telah membunuh tuannya sendiri.[1][3]
Pasukan Jipang dipimpin Patih Matahun datang menyusul majikan mereka. Melihat Arya Panangsang telah tewas, mereka pun menyerbu untuk bela pati. Kesemuanya itu dapat ditumpas oleh pasukan Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi.[1][3]
Diangkat menjadi patih
[sunting | sunting sumber]Selama merintis Mataram, Ki Juru Martani berperan sebagai penasihat politik Sutawijaya. Ia juga mendukung berbagai perjuangannya untuk mendirikan Mataram menjadi kerajaan yang berdaulat.[3]
Ki Juru Martani diangkat sebagai patih Mataram bergelar Adipati Mandaraka I ketika Sutawijaya naik takta sebagai raja Mataram yang pertama bergelar Panembahan Senapati. Dilanjutkan pada periode kepemimpinan Raden Mas Jolang yang bergelar Anyakrawati.[1]
Akhir hayat
[sunting | sunting sumber]Ki Juru Martani menjabat sebagai patih di Kerajaan Mataram sejak masa pemerintahan Panembahan Senapati dan dilanjutkan di bawah pemerintahan Anyakrawati.
Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Juru Martani meninggal karena usia lanjut.[1] Ia dimakamkan di Pasarean Mataram. Dengan demikian ia menjadi patih Mataram pada kepemimpinan dua raja yaitu Panembahan Senapati dan Susuhunan Anyakrawati.[3]
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, putra Ki Juru Martani yang bernama Pangeran Mandura diangkat menjadi patih Mataram dengan gelar Adipati Mandaraka II. Sedangkan putranya yang bernama Ki Juru Kiting Nataningrat diangkat menjadi jaksa Mataram.[1]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l Olthof, W. L. (2014), Babad Tanah Jawi, (terj.), Yogyakarta: Media Pressindo, ISBN 9789791680479
- ^ de Graaf, H. J. (1987), Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, (terj.), Jakarta: Grafiti Press, ISBN 9794440116
- ^ a b c d e f g Mardiyono, Peri (2020), Tuah Bumi Mataram: Dari Panembahan Senopati hingga Amangkurat II, Yogyakarta: Araska Publisher, ISBN 9786237537793
Bacaan lebih lanjut
[sunting | sunting sumber]- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius