Lompat ke isi

Pabrik Gula Kemanglen

Halaman yang dilindungi semi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pabrik Gula Kemanglen atau Suikerfabriek Kemanglen merupakan salah satu perusahaan pengolahan tebu menjadi gula yang pernah berdiri pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pabrik Gula Kemanglen terletak di Dukuh Kemanglen, Pakembaran, Slawi, Tegal yang lokasinya dekat dengan Stasiun Slawi.

Pabrik Gula Kemanglen pada tahun 1870-1875, Litografi berdasarkan lukisan oleh Abraham Salm.

Sejarah

Berdirinya Pabrik Gula Kemanglen

Colonel Theodore Lucassen (1792-1854) pendiri dan pemilik pertama PG Kemanglen dan PG Dukuhwringin.

SF Kemanglen didirikan oleh Lucassen dan Hoevenaar dengan sistem kontrak gula yang dibangun pada tahun 1841 dan selesai pada tahun 1842.[1]

Pada awal Maret 1839, Lucassen dan Holmberg yang saat itu berada di Belanda mengajukan petisi kepada Raja Willem I atas dasar studi mandiri teoretisnya tentang pembuatan gula yang lebih modern, keduanya meminta agar diberikan kontrak gula untuk membangun sebuah pabrik gula seluas 600 hektar di Jawa. Namun niat kerjasama Lucassen dan Holmberg untuk bersama-sama membangun perusahaan pabrik gula akhirnya gagal karena masalahnya tidak satu pun dari mereka memiliki pengetahuan teknis yang diperlukan tentang pengelolaan tebu menjadi gula, mereka berdua memutuskan untuk membangun pabrik gula sendiri-sendiri. Lucassen memilih mengasosiasikan dirinya dengan Hoevenaar. Terkait kapasitas pengolahan yang optimal, mereka mengubah permintaan dari satu pabrik menjadi dua pabrik dengan masing-masing mendapatkan tanah 400 hektar.[2]

Pada tahun 1840 Menteri Koloni JC Baud mengeluarkan sistem kontrak gula. Lucassen yang dibantu Hoevenaar mendapatkan dana sebesar 120.000 gulden untuk pembelian mesin dan 130.000 gulden untuk pembangun pabrik. Sedangkan Holmberg hanya diberikan dana sebesar 80.000 gulden.

Setelah dana persiapan untuk pembangunan pabrik, Lucassen dan Holmberg mengunjungi keluarga Hoevenaar di Paris. Dari tempat inilah Lucassen dan Holmberg menjalin kerjasama dengan pengusaha baja Perancis Derosne et Cail. Pengusaha inilah yang sebelumnya membuat mesin-mesin pabrikasi di Karibia dan Amerika. Mereka berdua juga mengumpulkan para insinyur-insiyur muda asal Skotlandia untuk merancang pabrik.

Setelah beberapa waktu menetap di Paris, Lucassen, Holmberg, dan Hoevenaar yang juga membawa para pekerja berangkat menuju Jawa menggunakan kapal. Kapal yang mereka tumpangi juga membawa mesin-mesin dan beberapa material bangunan yang digunakan untuk membangun pabrik. Berbulan-bulan lamanya mereka mengarungi lautan, hingga akhirnya mereka sampai di Pulau Jawa, mereka kemudian menuju ke sekitar Tegal yang wilayah tanahnya menjadi sistem kontra gula. Lucassen dan Hoevenaar memilih wilayah Slawi untuk membangun sebuah pabrik gula, sedangkan Holmberg sendiri membangun pabrik gula di desa Ujungrusi.

Pada tahun 1841 Lucassen dan Hoevenaar mendirikan Pabrik Gula Kemanglen, ditahun yang sama Holmberg mendirikan Pabrik Gula Adiwerna. Setelah selesainya pembangunan Pabrik Gula Kemanglen, Lucassen kemudian mendirikan Pabrik Gula Dukuhwringin pada tahun 1842 bersamaan berdirinya Pabrik Gula Jatibarang.

Roger Knight mencatat bahwa pada tahun 1841-1842 di Kemanglen dan Dukuhwringin telah dibangun sebuah pabrik yang dilengkapi dengan teknologi paling canggih pada waktu itu. Kedua pabrik dilengkapi dengan mesin-mesin uap yang diimpor dari pengusaha baja Prancis Belgia Derosne et Cail. Pengusaha inilah yang sebelumnya membuat mesin-mesin pabrikasi di Karibia dan Amerika. Pemilik kedua pabrik gula ini merupakan seorang pensiunan tentara kerajaan Belanda yang kaya raya yaitu Colonel Theodore Lucassen. Lucassen inilah yang mengerahkan insinyur-insiyur muda asal Skotlandia untuk merancang pabrik gula yang menggunakan teknologi maju pada saat itu.

Hoevenaar mengelola Pabrik Gula Kemanglen dan Nicholas Lucassen (putra Lucassen) mengelola Pabrik Gula Dukuhwringin. Pada tahun 1843 kedua pabrik gula milik Lucassen ini menghasilkan gula untuk pertama kalinya. Pada tahun berikutnya Lucassen mendirikan rumah-rumah untuk para pegawai dan karyawan yang dibangun dekat dengan kedua pabrik gula ini. Rumah Lucassen sendiri sangatlah megah, orang-orang Jawa dan Belanda menggambarkan rumahnya sebagai "istana Indo-Eropa salah satu yang terindah dan termegah ada di Jawa" pada saat itu.

Tidak jauh dari lokasi SF Kemanglen atau sebelah timur pabrik ini terdapat Pasar Ketapan (Pasar Lawas) yang sekarang ini menjadi komplek Ruko Slawi, terdapat juga Stasiun Slawi yang dibuka pada tanggal 25 Agustus 1885 bersamaan peresmian jalur kereta api lintas Tegal-Balapulang yang awalnya difokuskan sebagai pengangkutan barang, terutama gula yang termasuk distribusikan oleh PG Kemanglen. Stasiun Slawi dioperasikan oleh perusahaan kereta api swasta Javasche Spoorweg Maatschappij atau JSM, namun JSM mengalami kerugian, pada tahun 1895 lintas Tegal-Balapulang resmi dijual kepada perusahaan kereta api swasta Semarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij atau SCS. Stasiun Slawi masih beroperasi hingga saat ini , dahulu disebelah selatan stasiun terdapat percabangan rel ke pabrik gula dan juga persilangan rel kereta api dengan rel kereta lori tebu, rel kereta lori tebu ini kemudian melewati Pasar Ketapan (sekarang Kompleks Ruko Slawi), melewati Kali Gung dan terus mengarah ke timur sampai di Pabrik Gula Pangkah.

Panorama Gunung Slamet dan persawahan dari belakang Pabrik Gula Kemanglen pada tahun 1890.
Gerardus Johannes Netscher (1822-1877), Insinyur di Stoomwezen Hindia Belanda yang kemudian menjadi Direktur dan Administrator Pabrik gula kemanglen dan Dukuhwringin.

Berakhirnya Pabrik Gula Kemanglen

Namun, sayangnya Pabrik Gula Kemanglen sudah tidak beroperasi lagi sejak kedatangan Jepang ditahun 1942. Bangunan utama pabrik telah dihancurkan dan mesin-mesin serta lokomotif uapnya sendiri dijarah, seluruh bangunan utama pabrik dibumihanghuskan oleh Jepang tanpa sisa, rumah-rumah pegawai pabrik kemudian dijadikan kamp tentara Jepang. Para pegawai dan karyawan pabrik gula yang kebanyakan berkebangsaan Belanda kemudian ditawan oleh Pasukan Nippon Jepang di kamp penahanan perang sampai Menyerahnya Jepang kepada sekutu ditahun 1945.

Setelah kemerdekaan Indonesia beberapa rumah petinggi pabrik digunakan sebagai kantor TNI, pada saat Agresi Militer Belanda I tahun 1947, Belanda berhasil menduduki kantor TNI di Kemanglen Slawi.[3] Pada Juli 1947 kontrol perusahaan Pabrik Gula Kemanglen dan juga Pabrik Gula Dukuhwringin diperoleh kembali oleh Belanda, Belanda berupaya menghidupkan kembali kedua pabrik gula ini. Namun upaya yang dilakukan Belanda ternyata sia-sia, pada akhirnya keberlangsungan perusahaan terbukti tidak menguntungkan. Pada tahun 1950 rapat pemegang saham memutuskan untuk melikuidasi kedua perusahaan pabrik gula ini, proses ini akhirnya selesai pada tahun 1956, kemudian pada tahun 1957 komplek Pabrik Gula Kemanglen dan juga Dukuhwringin secara resmi dinasionalisasikan oleh pemerintah Indonesia.[4]

Hingga saat ini bangunan utama pabrik sudah tidak berbekas, sedangkan rumah-rumah tua Belanda yang merupakan pegawai PG Kemanglen sendiri kini dijadikan kantor serta asrama-asrama polisi, militer, dan lainnya. Untuk bekas-bekas komplek Pabrik Gula Kemanglen yang masih bisa dilihat saat ini meliputi SMA Negeri 1 Slawi, Benglap IV/1-1 Slawi, Kantor Subdenzibang 041, Taman Bunga (Tambun), Gereja Katolik Mariana Immaculata Slawi, hingga Polres Slawi. Konon kabarnya, salah satu bangunan yang ada di SMA Negeri 1 Slawi juga merupakan salah satu bekas PG Kemanglen.

Berberapa bekas bangunan SF Kemanglen yang masih utuh hingga saat ini.
Sisa-sisa pilar dari jembatan kereta lori PG Kemanglen disebelah timur Pabrik Teh Gopek Slawi.

Seiring berjalannya waktu, PG Kemanglen tidak banyak dikenal, hal ini dikarenakan bangunan SF Kemanglen yang telah dihancurkan oleh Jepang pada tahun 1942, sehinggga sulit untuk menemukan sisa-sisa SF Kemanglen, hanya segelintir orang tahu bahwa dulu disekitar Slawi pernah berdiri sebuah pabrik gula yang besar. Nama Pabrik gula Kemanglen sekarang hanya menyisahkan sebuah nama yang terpampang pada sebuah Halte bus dengan nama Kemanglen dan sebuah Pedukuhan di Pakembaran, Slawi, Tegal.

Cerita Walter Mannot

Walter Mannot lahir di Hindia Belanda tepatnya di Kemanglen Slawi, Tegal, pada tahun 1932. Keluarga Mannot Van Der Hoek merupakan salah satu pegawai di Pabrik Gula Kemanglen. Walter memiliki Saudara yaitu Rob lima tahun lebih tua, dan mereka adalah pemuda yang suka berpetualang dan nakal yang tahu bagaimana menikmati hidup.[5]

Namun, ketika Jepang menginvasi dan menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, Walter ditahan bersama ibu dan saudara perempuannya di kamp tawanan perang selama tiga tahun. Ketika baru berusia dua belas tahun, dia dikeluarkan dari kamp wanita dan ditahan bersama para pria. Untungnya, dia dikirim ke kamp yang sama dengan ayah dan saudara laki-lakinya yang mampu melindunginya, tidak demikian halnya dengan semua anak laki-laki yang terpisah dari ibu mereka. Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Walter menjadi sukarelawan bersama dengan anak laki-laki Belanda lainnya di Kemayoran, sebuah bandara militer dekat Jakarta (dahulu Batavia). Dia kemudian dipulangkan bersama keluarganya ke Belanda pada tahun 1946. Negeri yang bagus, kenangnya. Tetapi sulit untuk mengejar ketinggalan pendidikan dan juga hidup di Belanda yang memiliki iklim dingin. Pada tahun 1958, Walter memutuskan untuk menetap di Australia. Di Australia Walter mendapatkan pekerjaan, pertama sebagai ahli teknologi, dan kemudian sebagai ahli kimia. Dia pensiun pada tahun 1993, kemudian dia membuka bisnis penjualan makanan ringan sebelum memutuskan benar-benar pensiun pada tahun 2005.

Walter pertama kali menceritakan kisahnya kepada putri kelas Helené di Sekolah Dasar Deniston di New South Wales Australia sekitar tahun 1970. Dia hanya berharap untuk bercerita dengan satu kelas, tetapi seluruh sekolah muncul di ruang perpustakaan. Dan kemudian, dua puluh lima tahun kemudian di pertengahan tahun 1990-an dia diberi kesempatan untuk menceritakannya kepada cucu perempuan Jessica Stanfield di Sekolah Dasar Ermington di New South Wales. Mereka menyukainya! Sekarang dia telah menawarkan cerita ini untuk dinikmati semua anak, dan cucu.

Kisah Walter

Ketika saya diminta untuk berbicara tentang Indonesia yang dulu bernama Hindia Belanda, saya langsung mengirim e-mail ke Belanda kepada kakak tertua saya yang bernama Rob yang sangat akademis dan memiliki memori seperti drive C komputer. Rob menanggapi dengan membalas surat enam halaman yang sangat membantu. Orang tua saya, saudara laki-laki, dan perempuan saya tinggal di dekat sebuah pabrik gula, di mana ayah saya adalah kepala teknisi pabrik, yang bertanggung jawab untuk menjalankan pabrik dan yang membangun sebagian besar infrastruktur. Ini berarti menjaga rumah, listrik dan pasokan air dan sebagainya, singkatnya memelihara semua aset. Pabrik Gula Kemanglen itu terletak di dekat Tegal, sebuah tempat kecil di Jawa Tengah. Pabrik Gula Kemanglen merupakan pabrik yang besar, lokasinya hampir berdekatan dengan Pabrik Gula Dukuhwringin di sebelah selatan. Dan sekitar 30 km dari kaki bukit Gunung Slamet. Melihat ke luar jendela ruang tamu kami, kami bisa melihat gunung yang mengesankan dengan segala kemegahannya. Kata 'Slamet' digunakan dalam bahasa Jawa untuk mewakili 'membawa keberuntungan'.

Gunung Slamet dilihat dari Slawi pada tahun 1890

Namun sebelum melangkah lebih jauh, izinkan saya menjelaskan seperti apa perkebunan gula kami: ada serangkaian bangunan besar dan tinggi yang menampung pabrik dan halaman pabrik yang sangat luas. Dari pabrik, rel kereta lori berselang-seling ke berbagai arah untuk menuju ke ladang tebu yang jaraknya beberapa kilometer. Di sekitar pabrik terdapat rumah bata tempat tinggal para karyawan pabrik gula yang sebagian besar berkebangsaan Belanda. Tidak jauh dari desa tempat tinggal orang Jawa, rumah mereka terbuat dari bambu yang tertata rapi. Banyak dari mereka dipekerjakan di pabrik gula (mungkin beberapa ratus selama musim penggilingan). Rumah kami berada di komplek Pabrik Gula Kemanglen dan dekat dengan Pasar Ketapan Slawi serta ada pemandangan Gunung Slamet. Ini adalah gunung terbesar kedua di Jawa yang dikelilingi semak lebat, dan rumah bagi banyak hewan liar saat itu. Taman depan kami keluar ke jalan utama yang menuju ke pasar yang berjarak beberapa ratus meter. Saya dan kakak saya membawa sangkar yang dilapisi kain coklat, sehingga tidak langsung terlihat jelas apa isinya. Di dalam kandang ada macan kumbang hitam, yang kami bawa dengan tujuan membuat lelucon praktis. Ayah saya dikenal sebagai seorang penyayang binatang dan baik hati bagi siapa saja yang membawa masuk hewan yang kelangsungan hidupnya terancam. Begitulah cara kami datang untuk memiliki seekor bayi macan kumbang, orang Jawa lah yang menangkapnya di dekat kaki gunung dan membawanya ke rumah kami untuk sebagai hadiah.

Walter dan Rob sedang bermain perampokan dengan pistol mainan pada tahun 1941.

Pada pagi hari, pasar Ketapan Slawi selalu ada arus besar pedagang yang melewati rumah kami di sepanjang jalan setapak. Banyak dari mereka adalah wanita yang membawa barang dagangan mereka menggunakan keranjang di punggung mereka. Rencana kami hanyalah berjalan ke pasar dengan membawa sangkar, berbaur di antara para pedagang, mengeluarkan macan kumbang dari sangkar, memasang tali pengikat di kerahnya dan mulai berjalan di tengah-tengah orang untuk melihat bagaimana reaksi mereka. Kami keluar dari gerbang rumah dan sedang berjalan melewati halaman depan kami. Tiba-tiba, dengan keras macan kumbang membanting pintu kandang hingga terbuka, melompat keluar dan mulai memanjat pohon di halaman depan kami. Macan kumbang sudah terbiasa dengan kami, tetapi masih bersifat liar. Pada saat yang sama, seorang wanita jawa dengan membawa sekeranjang penuh ayam hidup sedang berjalan melewati pohon. Macan kumbang turun dari pohon lalu menghampiri ayam-ayam yang didalam keranjang yang dibawa wanita jawa itu, kemudian macan kumbang langsung memakan ayam-ayam. Sontak wanita tersebut dan beberapa orang disekitarnya berlarian menjauhi macan kumbang.

Kami segera mengembalikan macan kumbang ke kandang dan pulang ke rumah. Di sana, kami mengembalikan macan kumbang ke kandang yang semestinya di halaman belakang. Benar saja, segera setelah itu sepasang polisi Belanda dan Jawa tiba di depan pintu gerbang kami dengan bersepeda. Kami berlari ke gerbang depan dan berkata, "Halo petugas, ada apa? Apakah ada kecelakaan? ” Mereka berkata, "Kami ingin menanyakan hal yang sama kepada kalian, apa yang terjadi dengan macan kumbang?" Macan kumbang apa? kami menjawab. Pada saat itu, kami semua sudah berjalan ke halaman belakang rumah kami dan polisi menunjuk ke kandang macan kumbang dan berkata, "Macan kumbang itu!". Kami ditegur habis-habisan oleh ayah, kehilangan uang saku beberapa minggu, kami harus membantu ayah bekerja di pabrik gula, dan juga kami harus pergi ke desa menemui wanita Jawa itu untuk meminta maaf dan membayar ayamnya.

Pasar Ketapan Slawi (Pasar Lawas) dekat PG Kemanglen tahun 1890, kini lokasi Pasar Ketapan telah menjadi kompleks Ruko Slawi pada saat ini.

Orang-orang di perkebunan tebu

Pertama kami harus membawa tebu ke pabrik Gula Kemanglen. Pekerja perkebunan memotong tebu di ladang tebu dan memasukkan batangnya ke dalam gerobak atau gerbong lori terbuka. Tongkat besar memiliki panjang dua sampai lima meter, dan tampak seperti bambu, memiliki cangkang luar yang keras dan jaringan berserat lunak di dalamnya. Lalu tebu-tebu dimasukkan ke rangkaian gerbong lori terbuka kemudian ditarik oleh lokomotif uap yang akan dibawa menuju ke pabrik gula. Sedangkan ladang tebu yang lokasinya tidak bisa dijangkau oleh kereta lori, biasanya tebu-tebu akan dibawa ke sebuah gerobak, Gerobak-gerobak itu kemudian ditarik beberapa kilometer ke pabrik dengan kerbau. Setibanya gerobak atau gerbong lori yang berisi tebu ditimbang, para pekerja perkebunan diberi tanda terima pembayaran. Selama musim penggilingan, pabrik gula hidup selama enam minggu. Pekerja Jawa secara singkat memberi makan tungku ketel uap besar. Boiler mengalirkan uap ke mesin uap. Mesin uap besar mulai menggerakkan rol penghancur tebu dan mesin lainnya, asap mulai menyembur dari cerobong asap yang tinggi, dan pabrik menjadi sarang aktivitas. Mereka yang mengingat ruang mesin di film Titanic akan dengan mudah mendapatkan gambarannya. Itu seperti di pabrik gula, hanya mesin yang jauh lebih besar.

Ketika ada cukup banyak gerbong lori yang diisi dengan tebu, sebuah lokomotif uap datang dan mendorong lori-lori tersebut menuju pintu masuk pabrik, dan tongkat tersebut kemudian diangkat dari lori oleh para pemotong tebu pabrik yang memotong tebu menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian menjatuhkannya ke atas. ban berjalan. Sabuk konveyor kemudian membawa potongan tongkat ke rol baja raksasa (satu rol di atas yang lain).

Penggulung memeras sari dari tebu (begitulah pabrik gula mendapatkan nama penggilingan gula). Sari tebu yang telah diperas kemudian ditampung dalam tong, siap untuk diolah. Sisa tebu kemudian diangkut ke serangkaian mesin press besar, dan ditekan menjadi balok-balok limbah tebu yang besar.

Blok-blok ini kemudian dipindahkan ke gudang penyimpanan besar, dan dibiarkan dikeringkan. blok limbah tebu kemudian digunakan sebagai bahan bakar untuk musim penggilingan berikutnya. Ini adalah bagian penggilingan dari pabrik gula kemanglen, dan di pabrik gula modern, sari yang diperas kemudian masuk ke bagian pemurnian. Agar Anda tidak bosan dengan terlalu banyak detail teknis dan karena proses pemurniannya agak rumit, saya akan menyebutkannya secara singkat. Ini dimulai dengan sari yang dipompa ke dalam serangkaian tong.

Di tong nomor satu, bahan kimia ditambahkan untuk menghilangkan kotoran, kemudian sisa kotoran akan tenggelam ke dasar tong. Sari yang dimurnikan kemudian pergi ke beberapa ceret reaksi besar dan akhirnya ke panci kristalisasi, di mana kadar gula merah mentah yang berbeda dibentuk melalui kristalisasi.

Beberapa cairan yang tersisa melewati filter karbon untuk membuat larutan gula bening, yang ditambahkan kristal gula yang sangat halus. Hal ini menyebabkan gula mengkristal menjadi gula putih bening. Kesimpulannya: potongan tebu disimpan di satu ujung pabrik dan berbagai jenis gula keluar di ujung lainnya.

Walter Mannot menceritakan tentang binatang peliharaan

Suatu pagi, seorang pria Jawa membawa dua anak babi betina liar dan seekor babi jantan. Setelah ayah saya membayar pria itu, anak babi itu menjadi tanggung jawab saudara laki-laki saya Rob dan saya.

Bayi babi diberi susu botol. Mereka tumbuh dengan cepat dan ayah saya memberi kami bagian dari pekarangan pabrik yang ditutup oleh dinding bata dengan jaring kawat di atasnya. Babi-babi itu sangat gaduh, dan suka mengejar kami, jadi ayah saya harus membuat kandang khusus untuk mereka, dengan pintu angkat, tempat mereka disimpan semalaman.

Setiap pagi kami biarkan mereka keluar, agar mereka bisa bebas berkeliaran di dalam kandang. Babi senang mengejar siapa saja yang masuk ke kandang dan membenturkan kaki Anda dengan kepala mereka. Sekarang untuk terus memberi mereka makan dengan aman, saya dan saudara lelaki saya membangun serangkaian tiang dengan palang, sesuatu seperti yang Anda temukan di halaman bermain anak-anak. Setiap hari ketika kami membawa bahan makanan untuk babi, kami bermain petak umpet dengan mereka.

Kami memanjat dengan sangat diam-diam melewati pagar dan dengan cepat pergi ke tiang di atas kepala dan begitu kami berada di sana kami akan meniup peluit dan babi-babi itu akan bergegas keluar. Kami menjatuhkan makanan dan dengan cepat berpegangan pada tiang untuk mencegah mereka memukul kami dengan kepalanya. Tak lama kemudian babi jantan yang kami beri nama Danny menjadi terlalu berbahaya bagi kami karena gadingnya telah tumbuh. Seperti yang diketahui para petani di Eropa, babi hutan sangat berbahaya dan dapat menanduk seseorang sampai mati.

Walter sedang memberi makan babi dikandangnya pada tahun 1941.

Pada suatu kesempatan itu adalah waktu makan lagi. Tetapi kali ini kami memiliki beberapa teman, yang tetap di sisi lain pagar dan hanya akan mengawasi kami. Yah, setidaknya itulah yang kami harapkan dari mereka. Kakak saya dan saya kemudian memanjat pagar dan teman-teman kami menyerahkan makanan kepada kami. Sepelan mungkin kami pergi ke tiang di atas kepala.

Tanpa sepengetahuan kami, salah satu teman kami diam-diam memanjat pagar dan pergi ke kandang Danny dan melepaskan babi hutan itu.

Hal-hal terjadi dengan sangat cepat! Aku baru saja akan meniup peluit ketika mendengar rumput di belakangku bergemerisik. Saya berbalik dan di sana berdiri babi hutan yang kepalanya menunduk siap untuk menyerang.

Pada saat yang sama, saudara laki-laki saya Rob, yang berdiri di sebelah saya berteriak, dan kami melompat ke tiang atas tepat pada waktunya. Jika bukan karena saudaraku, babi hutan itu akan menyerangku. Rob kemudian memberikan tendangan pada babi hutan itu di belakang. Itu membuat bani bingung selama beberapa detik, lalu babi berbalik siap untuk menyerang Rob. Tapi Rob punya cukup waktu untuk mencapai kandang, melompat ke atasnya, membuka pintu, sehingga babi hutan itu menyerbu ke dalam kandang. Rob kemudian membanting pintu hingga tertutup. Sekarang babi lain telah melihat makanan tergeletak di tanah dan perhatiannya terganggu, jadi kami berdua bisa lari kembali ke pagar dan naik ke tempat yang aman.

Sekolah Walter dan Rob serta anak-anak Belanda lainnya di Europeesche Lagere School Slawi yang dikenal dengan nama SD Putri, foto diambil pada tahun 1941. Sekolah tersebut sekarang ini menjadi bangunan SD Negeri Slawi Kulon 03.

Berikut sekilas tentang struktur sosial pada masa itu. Orang Jawa dan Belanda hidup rukun; tidak ada yang seperti apartheid yang terjadi.

Standar hidup masyarakat bergantung pada pabrik gula, seperti halnya Newcastle bergantung pada BHP. Hidup mudah pada zaman Hindia Belanda karena standar hidup tinggi, makanan murah, dan iklim sempurna. Praktis tidak ada kejahatan, tidak ada obat-obatan dan pastinya tidak ada geng. Anda bisa berjalan dengan aman di desa sebagai anak laki-laki Belanda.

Karena itu kami menyusun rencana penyelamatan. Pertama, untuk mendapatkan kunci kandang, kami pergi ke sebuah ruangan kecil di dekat pintu masuk pabrik. Invasi pasukan Jepang sudah dekat. Oleh karena itu ayah saya memutuskan untuk memberikan babi-babi itu kepada seorang pemilik restoran Cina yang kaya sebelum pasukan Jepang berdatangan. Tapi Rob tidak mempercayai orang Cina itu dan mengira babi itu akan berakhir sebagai babi asam manis.

Tugas saya adalah mengalihkan perhatian petugas ruang kunci, sementara saudara laki-laki saya dengan cepat melepaskan salah satu kunci duplikat dan mengganti kunci lain sebagai gantinya. Meskipun operasinya sukses, ini terbukti menjadi bagian yang mudah. Kami memiliki semua uang saku gabungan kami yang telah disimpan selama beberapa minggu dan kami serahkan ke pemilik dokar. Dokar adalah gerobak kecil yang ditarik kuda atau sering disebut sebagai pedati kuda. Kami kemudian menawarkan uang tersebut kepada pemilik dokar yang kami kenal, dengan instruksi kerahasiaan yang ketat.

Meski begitu, kami membutuhkan bujukan yang sangat besar untuk membuatnya setuju. Rob harus pergi ke gerbang kandang dan memasukkan babi ke dalam dokar. Kami kemudian pergi menggunakan dokar dan berkendara sekitar delapan kilometer melewati rumah sakit dalam perjalanan ke awal dari kaki bukit pegunungan di hutan. Kemudian Rob harus pergi sendirian dengan babi-babi itu ke hutan lebat dan melepaskan mereka yang merupakan tindakan yang sangat berani bagi seorang anak laki-laki. Pemilik dokar takut masuk ke hutan ini pada siang hari, apalagi pada malam hari. Saya harus tinggal di rumah dan mencari alasan bagi siapa saja yang masuk ke kamar kami malam itu dan menjelaskan bahwa Rob pergi ke toilet.

Sampai hari ini, saya tidak tahu bagaimana Rob berhasil memasukkan tiga babi besar ke dalam dokar yang tidak stabil dengan hanya lampu minyak primitif untuk memimpin jalan. Hebatnya, perjalanan berjalan lancar, melewati sebuah rumah sakit tanpa masalah, Rob yang menaiki dokar melanjutkannya ke awal kaki bukit.

Tiba-tiba dokar berhenti dan pemilik dokar berkata bahwa sejauh ini dia akan pergi. Setelah pertengkaran singkat, saudara laki-laki saya membayarnya, mengingatkannya akan kerahasiaan yang harus dijaga. Perjalanan itu agak pendek dari tujuan akhir, dan karena gelap gulita, Rob salah mengira itu daerah awal hutan dan membawa babi-babi langsung ke daerah yang lebat. Setelah beberapa saat dia merasa muak dan berhasil menjauhkan diri dari hewan dan melanjutkan perjalanan pulang.

Larut malam dia tiba kembali dengan selamat dan tanpa disadari, bersemangat dan bahagia, serta sedikit sedih. Sementara itu, babi di daerah hutan jauh dari bahagia, namun akhirnya babi-babi itu mulai berlari kembali ke rumah kami. Tiba-tiba babi-babi itu menemukan lampu rumah sakit dan menyerbu melewati penjaga yang dilanda ketakutan langsung ke aula rumah sakit. Ini menyebabkan kekacauan yang sangat besar.

Bisa dibayangkan, pispot terbang, perawat berteriak, troli rumah sakit terlempar ke segala arah, dan pasien yang ketakutan mematikan menarik selimut menutupi kepala mereka. Akhirnya ada seorang dokter yang mengenali babi tersebut dan berhasil menguncinya di sebuah ruangan.

Telepon tidak umum digunakan di Hindia Belanda pada waktu itu, jadi dokter mengirim dua pengendara sepeda ke rumah kami. Saat itu adalah musim penggilingan dan ayah saya sangat lelah, telah pulang untuk tidur, dan sekarang tertidur lelap.

Pagi-pagi sekali terdengar suara 'bang, bang, bang' di pintu depan dan jendela. Seorang pria Jawa berteriak: "Tuan, tuan, babi Anda berlari liar di rumah sakit". Jadi ayah saya meraih saudara laki-laki saya yang gemetar, kemudian ayah saya mengambil babi-babi itu dari rumah sakit dan menempatkannya kembali dengan aman ke dalam kandang kami. Bisa dibayangkan betapa banyak masalah yang kami hadapi!. Namun, menurutku ayahku diam-diam bangga dengan kakakku.

Kisah ini memiliki akhir yang bahagia bagi pemilik Tionghoa yang terkesan dengan episode ini dan semua publisitas membangun kandang besar untuk babi dan menggunakannya sebagai barang pertunjukan.

Sebuah rumah tua yang merupakan rumah masa kecil Walter Mannot, Konon saat keluarganya kembali ke Slawi pada tahun 1980, rumah ini dijadikan sebagai rumah dinas militer
Rumah keluarga Mannot van der Hoek yang kini menjadi rumah dinas militer.

Itulah kisah Walter Mannot yang merupakan anak seorang pegawai Pabrik Gula Kemanglen Slawi.

Alamat

Lokasi Ex Pabrik Gula Kemanglen

Lihat pula

Pabrik Gula lainnya yang ada di Tegal :

Referensi

[6][7]

  1. ^ "The Kemanglen Sugar Factory near Tegal (or Tagal), Java - Ab Salm". USEUM (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-09. 
  2. ^ "heddema-000622-p (GensDataPro Site)". www.nazatendevries.nl. Diakses tanggal 2021-03-07. 
  3. ^ "2155_800064, P.A.G. Peloton Inf I in Slawi." nimh-beeldbank.defensie.nl (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal 2021-10-09. 
  4. ^ "Archief van de NV Cultuur Maatschappij Doekoewringin, [1867] 1897-1956 (NL-HaNA - 2.20.01) - Archives Portal Europe". www.archivesportaleurope.net. Diakses tanggal 2021-10-09. 
  5. ^ "Stories : Family and Personal Stories | Dutch Australians at a Glance" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-07. 
  6. ^ Knight, Roger (1999). "The Visible Hand in Tempo Doeloe: The Culture of Management and the Organization of Business in Java's Colonial Sugar Industry". Journal of Southeast Asian Studies. 30 (1): 74–98. ISSN 0022-4634. 
  7. ^ "2.10.11 Inventaris van het archief van de Commissie voor de Opname van de Verschillende Suikerfabrieken op Java (Commissie Umbgrove) [1853-1858], 1854-1857". Nationaal Archief (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal 2021-03-07.