Rainha Boki Raja
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Januari 2023. |
Rainha Boki Raja adalah nama gelar milik Sultanah Ternate yang tertera dalam dokumen Portugal. Dia tercatat dengan kisah tragis dan ketiga anaknya yang menjadi Sultan, setragis kisah Kepulauan Maluku. Tanah dan orang-orang yang diluluh lantakan oleh nafsu demi mendapat harta dari rempah-rempah.
Maluku adalah wilayah pertama di Nusantara yang diburu oleh para kolonialis guna mendapatkan rempah-rempah seperti cengkih dan pala yang menjadi komoditas berharga di Eropa dan Timur Tengah pada masanya. Setelah dari Maluku kemudian para kolonialis menancapkan kukunya untuk waktu yang begitu lama di berbagai wilayah di Nusantara. Ternate Tidore telah menjadi kesultanan Islam jauh sebelum Portugal, Spanyol, Inggris, dan Belanda datang. Mereka berdagang rempah-rempah dengan saudagar Islam dari luar Nusantara. Rempah-rempah sempat memakmurkan negeri itu dalam perdagangan hubungan sebanding.
Situasi terbalik ketika bisnis monopoli dimulai oleh Portugal, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Mereka pada akhirnya dapat menemukan tempat di mana rempah-rempah berada dan tak perlu lagi membeli dari perantara. Setelah melalui jalan berliku untuk menemukan titik yang paling tepat, mereka masuk dalam pemerintahan kesultanan Tidore dan Ternate. Berlagak seperti kawan yang pada akhirnya hanya ingin menguasai saja, mulailah mereka menjadi kolonialis dan Imperialis.
Rainha Boki Raja hidup di zaman kejayaan Kesultanan Ternate dan Tidore pada abad ke-16. Dia adalah ratu yang hidup dalam pusaran pertarungan kekuasaan para kolonialis Portugal dan Spanyol, yang memainkan kartu adu domba dan fitnah di antara keluarga. Dia hadapi intrik dan sabotase dari pihak luar dan dalam. Kiprahnya mulai tercatat dari tahun 1522-1548. Kapan persisnya dia lahir dan meninggal masih menjadi sebuah tanda tanya sampai sekarang.
Rainha Boki Raja konon bernama Nyai Cili Nukila, dia merupakan putri kesayangan dari Kesultan Tidore yang bersaing dengan Kesultanan Ternate. Rainha Boki Raja dijodohkan pada saat masih berusia 15 tahun dengan seorang Sultan yang bernama Bayanullah dari Ternate yang berusia 50 tahun dari Ternate atas siasat Portugal. Dia mempunyai dua anak laki-laki dari Sultan Ternate. Menjadi seorang janda muda yang ditahbiskan sebagai sultanah berdasarkan wasiat suami sampai sang anak mampu menjadi seorang penerus.
Rainha memiliki peran penting selama 15 tahun yaitu berupa menyelesaikan sebuah benteng atas permintaan dari Portugal. Kemudian dikhianati oleh iparnya yang berambisi menjadi seorang sultan yang bermain mata dengan penjajah. Dia berjihad menyelamatkan kedua anak yang ditahan Portugal di benteng dengan dibantu suami baru yang memberi seorang anak laki-laki. Kedua anaknya berhasil diselamatkan dengan terbunuhnya pimpinan Portugal.
Sebuah kemenangan sesaat yang diikuti aksi balas demdam dari Portugal. Dia diadili dan tersingkir bersama anak ketiganya ke Goa India. Agar bisa kembali dia dan anak ketiganya pindah agama Katolik. Anak ketiganya terbunuh sebelum sampai di Ternate. Rainha kemudian ikut anak tiri yang menikah dengan perwira Portugal. Setelah itu kisahnya tak tercatat lagi.
Dokumen yang ada diangkat kembali oleh Pramita Abdurrachman seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Diprosa lirikkan oleh Teoti Heraty dengan menghubungkan banyak hal penting yang pernah terjadi dalam sejarah. Sepenggal ingatan yang terpegang terkait dengan perempuan korban Feodalisme, Patriarki, Imperialisme, dan Kolonialisme yang melawan kemudian menyerah.
Kisah Rainha Boki Raja contoh terbaik tentang Indonesia, negeri kaya yang tak menghargai sejarah bangsanya, terombang ambing oleh kekuatan-kekuatan yang ada dan berujung menjadi sebuah kisah pilu atau hanya jalan di tempat. Di mana kekayaannya belum bisa memberi manfaat terbaik untuk rakyatnya.
Sejarah perempuan Nusantara seharusnya dibuka jalannya, untuk kita bisa belajar darinya sebagai dasar perencanaan masa kini dan masa depan. Mungkinkah masa depan perempuan Indonesia dapat menjadi relasi setara dan adil.[1]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Hudiono, Esthi Susanti; Bodjawati, Seruni (2019). Perempuan-Perempuan Menggugat (Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonésia). Yogyakarta: Media Pressindo bekerjasama dengan Komunitas Inklusi Sosial dan Perdamaian Indonésia. hlm. 13–15. ISBN 978-623-7254-10-2.