Lompat ke isi

Student Hidjo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Student Hijo
Sampul edisi Bentang tahun 2002
PengarangMarco Kartodikromo
NegaraHindia Belanda
BahasaMelayu
GenreNovel
PenerbitSinar Hindia (serial)
Masman & Stroink (buku)
Tanggal terbit
1918 (serial)
1919 (buku)
Jenis mediaCetak (Serial, sampul keras, & sampul lunak)
OCLC63225475

Student Hidjo (EYD: Student Hijo) adalah novel tahun 1918 karya Marco Kartodikromo. Novel ini awalnya diterbitkan dalam bentuk serial di Sinar Hindia, kemudian diterbitkan lagi dalam bentuk buku oleh Masman & Stroink pada tahun 1919.

Student Hidjo ditulis ketika Kartodikromo dipenjara. Novel ini menceritakan kisah Hidjo, seorang pelajar Jawa yang dikirim ke Belanda untuk menuntut ilmu dan jatuh cinta dengan seorang perempuan Belanda. Alur lain yang paralel terhadap cerita utamanya menceritakan kisah asmara administrator Belanda, Willem Walter. Ditulis dalam bahasa Melayu, novel ini merupakan salah satu karya penulis Jawa yang ikut memopulerkan kata "saya" sebagai kata tunjuk pribadi orang pertama.

Novel ini menggambarkan budaya pemuda baru Indonesia yang mengadopsi budaya dan bahasa Barat. Elemen tersebut dianggap Kartodikromo sebagai simile tambahan. Nilai-nilai budaya Jawa tradisional dan budaya Belanda diperbandingkan dan Kartodikromo berpendapat bahwa keduanya tidak bisa saling melengkapi. Nilai tersebut meliputi cinta yang digambarkan di novel ini sebagai sesuatu yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan orang tradisional melihat pernikahan sebagai jalan mencapai mobilitas sosial.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Student Hidjo ditulis oleh Marco Kartodikromo, seorang jurnalis dari Blora[1] yang memulai kariernya di Bandung dan sangat menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda.[2] Selama beberapa tahun ia bekerja sebagai editor di harian Doenia Bergerak yang berpusat di Surakarta;[1] kota ini kelak dijadikan latar novelnya.[3] Ia menghabiskan lima bulan di Belanda[1] sejak akhir 1916 sampai awal 1917.[4] Sepulangnya ke Hindia Belanda, ia ditangkap oleh otoritas pemerintah Belanda karena "menyebarkan kebencian" dan dipenjara selama satu tahun di Weltevreden, Batavia (sekarang Sawah Besar, Jakarta). Di penjara itulah Kartodikromo menulis Student Hidjo.[5]

Pada awal abad ke-20, pengenalan teknologi dan budaya Barat mengakibatkan fragmentasi dalam gaya hidup tradisional Jawa.[6] Sementara itu, Politik Etis Belanda, yang menjamin hak-hak dan kebebasan tertentu seperti hak pendidikan dan kebebasan pers, menyebabkan kerusuhan masyarakat. Pengekangan pers yang lebih ketat setelah 1906 membuat Student Hidjo diterbitkan dengan embel-embel "tak boleh dikoetip" di sampulnya.[7]

Hidjo adalah seorang pemuda dari Surakarta, Jawa Tengah, yang bertunangan dengan Biroe sesuai keinginan ayahnya. Ayahnya, seorang pedagang bernama Raden Potronojo, meminta Hidjo pergi ke Belanda dan menuntut ilmu di sana. Ia berharap hal ini dapat menaikkan status keluarga, karena umumnya hanya keluarga priyayi yang mengirim anak-anaknya ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Di sisi lain, administrator Belanda Willem Walter, yang memandang suku Jawa secara positif, bertunangan dengan seorang wanita Belanda bernama Jet Roos; Roos mengandung anaknya.

Di Belanda, Hidjo tinggal bersama keluarga setempat dan menikmati keindahan Belanda. Anak perempuan keluarga tersebut, Betje, menganggap Hidjo unik dikarenakan etnisnya. Meski Hidjo awalnya menanggapi secara dingin, keduanya pun akhirnya berhubungan secara romantis dan seksual. Di Surakarta, Walter tertarik dengan Woengoe dan memutuskan pertunangannya dengan Roos; Roos kemudian mengaborsi anak mereka. Berakhirnya pertunangannya dan penolakan dari Woengoe membuat Walter pulang ke Belanda. Ia bertemu Hidjo di sana.

Hidjo, yang semakin teralihkan dari studinya karena hubungannya dengan Betje, dipanggil pulang ke Hindia Belanda oleh keluarganya. Ia mengakhiri hubungannya dengan perempuan Belanda tersebut dan memberikan tabungannya sebagai permintaan maaf. Sepulangnya ke Surakarta, Hidjo menikahi Woengoe yang datang dari kelas keluarga yang lebih tinggi daripada Biroe. Dua tahun kemudian, Hidjo menjadi jaksa distrik Djarak. Sementara itu, Walter menikahi Betje dan menjadi asisten residen di Surakarta. Biroe menikahi saudara Woengoe, Wardojo, yang merupakan bupati di sana. Roos menikahi administrator daerah itu, Boeren.

Student Hidjo ditulis dalam bahasa Melayu. Saat novel ini ditulis, pemerintah kolonial Belanda sedang melakukan standardisasi bahasa Melayu. Bentuk standar tersebut dianggap terlalu kaku oleh Hendrik Maier, dosen Universitas Leiden. Akan tetapi, Kartodikromo tidak mau mengikuti standar tersebut. Menurut Meier, tidak seperti penulis yang memakai bahasa Melayu standar seperti Armijn Pane dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah dengan nada "sedih", bahasa di Student Hidjo hanya menunjukkan "kebahagiaan, kesenangan, ketegangan" sang penulis yang "dipenuhi kemarahan".[8]

Tsuyoshi Kato, pakar sastra Indonesia dari Jepang, melihat bahwa Kartodikromo, seperti penulis Jawa lainnya, memilih untuk memakai kata "saya" saat menulis dari sudut pandang orang pertama, berbeda dengan penulis Minangkabau yang memilih "hamba". Ia menulis bahwa "saya" lebih diutamakan ketimbang kata Jawa karena kata tunjuk orang pertama memiliki beragam tingkatan kesopanan. Ia menulis bahwa melalui karya-karya seperti Student Hidjo dan Rasa Merdika (1924; Soemantri), penulis Jawa semakin memopulerkan kata ini. Kato berpendapat "saya" lebih aktif daripada "hamba" namun lebih "kontemplatif dan mencerminkan diri" ketimbang kata tunjuk "aku" dalam bahasa Jawa ngoko.[9]

Maier menulis bahwa nama-nama tokoh utama Student Hidjo harus dibaca secara alegoris. Nama Hidjo (hijau), Woengoe (ungu), dan Biroe (biru) menunjukkan keterkaitan antartokoh. Kartodikromo menyebutnya simile tambahan.[3]

Novel ini menggambarkan kaum muda Indonesia sebagai orang-orang yang mengerti bahasa Belanda.[a] Maier menulis bahwa pemahaman ini tidak terbatas pada bahasa yang digunakan, tetapi juga tindakan. Tindakan tersebut mencakup berpegangan tangan di depan umum dan minum air limun, aktivitas yang tidak pernah dilakukan masyarakat tradisional Indonesia.[10] Student Hidjo juga memperbandingkan orang Belanda dan Jawa.[11] Maier menemukan bahwa melalui peralihan peristiwanya, novel ini menunjukkan bahwa bangsa Belanda dan suku Jawa tidak bisa saling melengkapi. Maier menyimpulkan bahwa "orang Jawa tidak merasa nyaman di Belanda, [dan] orang Belanda tidak merasa nyaman di Jawa."[6] Menurut Maier, novel ini menganggap celah antara kedua budaya ini "tidak terjembatani".[12]

Maier menulis bahwa novel ini menyertakan tema cinta: Cinta Hidjo untuk Woengoe, Betje, dan Biroe bersinggungan dengan cinta Walter untuk Roos, Woengoe, dan Betje. Ia juga melihat keberadaan tema mobilitas sosial, yaitu ketika hubungan Hidjo dengan perempuan bangsawan didukung oleh ayahnya agar keluarganya mendapat posisi sosial yang lebih tinggi. Harga mempelai juga diangkat di novel ini; elemen tersebut menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi bangsawan melalui pernikahan jika ia memiliki uang yang cukup. Ia melihat bahwa menjelang akhir novel, cinta dijelaskan sebagai sesuatu yang hanya dapat ditemukan orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan makna sosial-finansial dalam pernikahan masih mendominasi orang Jawa tradisional.[11] Tokoh-tokohnya, meski semuanya tidak menikah karena cinta, pada akhirnya bahagia dengan pasangan mereka dan memiliki kehidupan yang nyaman.[13]

Rilis dan tanggapan

[sunting | sunting sumber]

Student Hidjo pertama diterbitkan tahun 1918 dalam bentuk serial di harian Sinar Hindia yang berpusat di Semarang;[5] Kartodikromo menjadi editor di sana.[1] Cerita ini kemudian dijadikan buku dan diterbitkan oleh Masman & Stroink, perusahaan asal Semarang, pada tahun 1919.[5] Saat itu karya-karya berbau politik diterbitkan oleh penerbit kecil. Karya-karya terbitan Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah Hindia Belanda, cenderung bersifat apolitik.[14]

Kato menulis bahwa novel ini "biasa saja dalam hal aktivisme radikal", tetapi imajinasinya tak tertandingi jika dibandingkan dengan Sitti Nurbaya (1922; Marah Rusli), Salah Asuhan (1927; Abdoel Moeis), dan Rasa Merdika.[15]

  1. ^ Original: "... jang mengerti Bahasa Belanda."

Referensi

[sunting | sunting sumber]
Catatan kaki
  1. ^ a b c d Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis.
  2. ^ Maier 1996, hlm. 186-187.
  3. ^ a b Maier 1996, hlm. 185.
  4. ^ Eneste 2001, hlm. 143.
  5. ^ a b c Maier 1996, hlm. 195.
  6. ^ a b Maier 1996, hlm. 198.
  7. ^ Maier 1996, hlm. 206.
  8. ^ Maier 1996, hlm. 192.
  9. ^ Kato 2003, hlm. 103-104.
  10. ^ Maier 1996, hlm. 190.
  11. ^ a b Maier 1996, hlm. 197.
  12. ^ Maier 1996, hlm. 204.
  13. ^ Kato 2003, hlm. 96.
  14. ^ Latif 2008, hlm. 127.
  15. ^ Kato 2003, hlm. 121.
Daftar pustaka