Lompat ke isi

Dewi Danu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 30 Oktober 2015 18.32 oleh Okkisafire (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '{{Infobox dewa Hindu Bali | name = Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar | image = | imagesize = | caption = | God of = Dewi Danau Batur</br> Dewi Kesuburan | Abode =Pura U...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar
Dewi Danau Batur
Dewi Kesuburan
SimbolDanau Batur
PasanganRatu Sakti Pancering Jagat (Trunyan)
Orang tuaSanghyang Pasupati atau Dewa Surya (Trunyan)
SaudaraRatu Sakti Meduwe Ujung Sari (Trunyan)
Sang Hyang Gnijaya dan Sang Hyang Putrajaya
AnakRatu Gede Dalam Dasar (Trunyan)
KendaraanNaga bersisik dan berjengger emas (Trunyan)

Dewi Danu yang juga bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar atau I Ratu Ayu Mas Membah adalah dewi penguasa Danau Batur bersama-sama dengan putera sulungnya, yaitu Ratu Gede Dalam Dasar. Ia adalah permaisuri Ratu Sakti Pancering Jagat yang dipuja bersama suaminya di Pura Pancering Jagat Terunyan. Dewi Danu merupakan salah satu Batara Kawitan (dewa yang asalnya merupakan leluhur yang telah lama wafat) yang memiliki silsilah kedewaan. Perayaan odalannya jatuh pada Purnama Sadha ("purnama ke-12").[1]

Dewi Danu juga memiliki pura-pura pemujaan sendiri. Salah satunya yang paling terkenal adalah Pura Ulun Danu Batur. Sebagai penguasa Danau Batur yang airnya digunakan untuk mengairi persawahan, Dewi Danu juga dipuja sebagai dewi kesuburan. Bersama dengan Sang Hyang Gnijaya dan Sang Hyang Putrajaya, mereka bertiga disebut Sang Hyang Tri Purusha putra-putri Hyang Pasupati.[2]

Legenda

Cerita rakyat penduduk Trunyan

Aroma harum yang dikeluarkan taru menyan ("pohon kemenyan") membuat sesosok dewi turun dari kayangan dan tinggal di tempat tersebut, yang selanjutnya diberi nama Terunyan. Dewa Surya merasa gusar karena ada dewi yang turun ke bumi sehingga mencarinya. Dewi tersebut merasa jengkel karena terus-menerus diamati oleh Dewa Surya sehingga ia menungging dan menunjukkan kelaminnya dengan maksud menghina. Tiba-tiba dewi tersebut mengandung anak dari Dewa Surya kemudian melahirkan kembar buncing (kembar tetapi berbeda kelamin), yang pertama waria dan kedua wanita. Dewi tersebut kembali ke langit setelah kedua anaknya cukup besar.[1]

Pada suatu hari, seorang pria datang ke tempat tinggal mereka dan bertemu dengan si gadis. Gadis itu hendak melarikan diri karena takut. Namun, pria tersebut berhasil menangkap dan menyetubuhinya. Setelah kejadian tersebut, pria yang ternyata adalah putra sulung Dalem Solo menghadap kakak dari si gadis untuk melamarnya. Kakak si gadis bersedia menerima lamaran itu asalkan si pangeran bersedia menjadi pancer jagat ("pasak dunia") di Desa Trunyan, yang selanjutnya berkembang menjadi kerajaan kecil. Pangeran menerimanya dan memperoleh gelar Ratu Sakti Pancering Jagat. Gadis tersebut menjadi permaisurinya dengan gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar, sementara kakak si gadis bergelar Ratu Sakti Meduwe Ujung Sari.[1]

Purana Tatwa

Pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari, Dewa Pasupati memindahkan puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya menjadi dua bagian. Belahan di tangan kanan dijadikan Gunung Agung sebagai tahta Dewa Putranjaya sementara yang di tangan kiri menjadi Gunung Batur untuk tahta Dewi Danu.[3]

Purana Tatwa, salah satu bagian Raja Purana Pura Ulun Danu Batur yang populer diantara umat Pura Ulun Danu Batur, menceritakan kisah mengenai Dewi Danu. Dewi Danu bersama I Ratu Ayu Arak Api mengantar ketiga putra Dewa Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, atas permintaan kakek ketiganya, yaitu Hyang Pasupati di Gunung Semeru. Setelah bertemu, Dewa Indra meminta Mangku Pucangan untuk mengantar I Ratu Ayu Mas Membah ke kediamannya di Pura Ulun Danu. Di tengah perjalanan, Mangku Pucangan merasa kelelahan menjunjung Dewi Danu sehingga ia terengah-engah dan bersuara "ah ... ah ...". Oleh sebab itu, tempat Mangku Pucangan beristirahat selanjutnya disebut Basang Ah.[4]

Setelah melanjutkan perjalanan, mereka tiba di Desa Pengotan yang saat itu penduduknya sedang bermusyawarah. Mangku Pucangan memanggil mereka untuk menghentikan sidang mereka karena junjungan mereka datang. Penduduk Pangotan tertawa melihat Dewi Danu yang dijunjung Mangku Pucangan mirip sampyan ("ukiran lontar") dan tidak percaya ada Dewi Danu di sana. Dewi Danu menunjukkan wajahnya kemudian berkata bahwa jika mereka akan memuja dirinya, persembahan mereka akan diterbangkan angin sesampainya di pintu gerbang. Oleh sebab itu, sesaji warga Pengotan biasanya hancur setiba di Pura Ulun Danu.[4]

Mangku Pucangan melanjutkan perjalanan hingga melihat air payau yang sangat luas. Dewi Danu meminta benang dan bulu ayam untuk dilemparkan ke tengah paya, sementara Mangku Pucangan mengikuti benang hingga ke tengah. Di sana, Bhatari Ayu Mas Membah meminta untuk diturunkan. Tiba-tiba tanah di tengah paya tersebut semakin tinggi sehingga menjadi Gunung Tempur Hyang (artinya "bekas pijakan kaki Ida Bhatari").[4]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c James Danandjaja (1989). Kebudayaan petani desa Trunyan di Bali. Penerbit Universitas Indonesia. ISBN 979-456-034-0. 
  2. ^ Mawar Kusuma (30 Agustus 2015). "Air untuk Kemakmuran Bali". Kompas. Diakses tanggal 31 Oktober 2015. 
  3. ^ Jro Mangku I Ketut Riana. "Sejarah Pura Batur". Pura Ulun Danu Batur. Diakses tanggal 31 Oktober 2015. 
  4. ^ a b c Jro Mangku I Ketut Riana. "Tinjauan Babad: Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur". Yayasan Bali Galang. Diakses tanggal 31 Oktober 2015.