Lompat ke isi

Joehana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Berkas:Sketsa Joehana.jpg
Sketsa Joehana, tanpa tanggal

Akhmad Bassah (juga Bassakh; [axˈmad baˈsax]; aktif pada 1920–1930), paling dikenal dengan nama pena Joehana ([juˈhana]; EYD: Yuhana) adalah sastrawan Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berdarah Sunda yang menulis karya-karyanya dalam Bahasa Sunda. Ia bekerja pada suatu waktu di jalur kereta api sebelum menjadi seorang pengarang pada 1923, dan semasa hidup memiliki pemahaman dalam bidang kesejahteraan sosial; pemahaman ini mempengaruhi novel-novelnya. Ia juga merupakan seorang penerjemah, pembuat drama, dan wartawan yang produktif, dan mengoperasikan sebuah perusahaan yang ditujukan untuk pelayanan penulisan. Sumber-sumber menyatakan tahun kematian Joehana yang berbeda; beberapa sumber menyebut tahun 1930, sementara sumber lainnya menyebut tahun 1942–1945.

Pada tujuh tahun masa aktifnya, Joehana menulis sejumlah cerita dan artikel, serta beberapa novel. Tahun-tahun penerbitannya umumnya tidak pasti, karena cetakan ulangnya tidak mencantumkan tahun penerbitan pertama atau nomor percetakannya. Secara khusus, Joehana diklasifikasikan sebagai seorang realis yang menggunakan nama-nama tempat dan produk yang sebenarnya dalam karyanya, serta umumnya menggunakan penulisan Sunda dalam novel-novelnya. Namun, pengaruh-pengaruh dari bentuk-bentuk teatrikal tradisional seperti wayang dan sastra seperti pantun juga ditambahkan. Karya-karya Joehana menyoroti sebagian besar tema, meskipun umumnya karya-karyanya berorientasi pada kritisisme sosial dan mempromosikan modernisasi.

Meskipun karya-karya Joehana diterbitkan secara independen, karya-karya tersebut terkenal di wilayah Bandung dimana karya-karya tersebut diterbitkan. Para pengusaha lokal menyalurkan sumbangan untuk penempatan produk, dan karya-karya Joehana diadaptasi pada permainan panggung dan film. Namun, karya-karya tersebut meraih sambutan akademik yang sedikit sampai 1960an, dan konsensus kritikal sejak itu telah menjadi negatif. Dua karyanya diterbitkan ulang sejak 1960an, dan produksi panggung dari novelnya Rasiah nu Goreng Patut berlanjut sampai 1980an.

Riwayat

Tanggal lahir Akhmad Bassah tidak diketahui dengan pasti, meskipun ia diduga telah dibesarkan di Bandung, Jawa barat. Dia sempat bekerja di perusahaan kereta api yang dioperasikan pemerintah Hindia Belanda, rupanya naik ke posisi cukup tinggi, namun akhirnya dipecat karena mengorganisir aksi mogok Serikat Pekerja Kereta Api dan Trem.[1] Meskipun dia meninggalkan perusahaan itu, ia tetap aktif dalam gerakan-gerakan sosial. Ia adalah anggota aktif Sarekat Rakyat, dan membantu kelompok tersebut dalam misi pelayanan sosialnya.[2]

Melalui pemberitaan modern, jelas bahwa tahun 1923 Bassah mulai mendapat pengakuan sebagai penulis,[3] dan bahwa ia juga telah menjadi aktif di dunia seni teater dan sebagai jurnalis.[2] Untuk karya tulisnya, Bassah menggunakan nama pena "Joehana", yang diambil dari nama putri angkatnya; sejak saat itu pun disebut dengan nama ini.[3] Meskipun ia menikah dengan seorang guru bernama Atikah, pasangan ini tidak memiliki anak mereka sendiri.[3]

Sepanjang karier menulisnya, Joehana menulis secara independen, tidak terikat pada perusahaan penerbit apapun. Pada saat itu, Balai Pustaka, penerbit yang dioperasikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, menarik banyak penulis berbahasa Sunda. Kartini et al. menunjukkan bahwa Joehana menolak pendekatan rekan-rekan sezamannya, memilih untuk bekerja secara independen daripada bekerja lagi untuk pemerintah yang telah memecatnya dan pasti akan menyensor karya-karyanya. Hal ini, menurut Kartini et al., ditunjukkan melalui tema-tema yang umum dalam cerita-cerita tersebut: di mana rekan-rekan sezamannya memfokuskan karya mereka pada sastra eskapisme dan hiburan, Joehana memfokuskan karyanya pada kritik sosial.[4] Namun, sarjana sastra Sunda Ajip Rosidi, menyatakan bahwa keengganan Joehana untuk menggunakan bahasa Sunda formal membuat Balai Pustaka tidak menerima karya-karyanya.[5]

Pada tahun 1928, Joehana membuka Romans Bureau, yang diiklankan menawarkan berbagai layanan, termasuk penulisan dan pencetakan iklan, penerjemahan (dari atau ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Melayu, dan Sunda), dan persiapan konsep cerita untuk penulis lain. Joehana mungkin juga telah membuka sekolah kursus menulis, meskipun tampaknya sebagian besar pendapatannya berasal dari royalti dari publikasi karya-karyanya.[2] Publikasi-publikasi tersebut, yang sebagian besar adalah novel-novel buatannya, umumnya terinspirasi dari jenis-jenis karya yang terkenal pada masa penulisan tersebut. Salah satu muridnya, Abdullah Syafi'i Sukandi, menyatakan bahwa Nangis Wibisana (Tangisan Wibisana) ditulis ketika dangding (sebuah bentuk penulisan lirik tradisional) Tjeurik Oma (Tangisan Oma) menjadi terkenal, sementara Goenoeng Gelenjoe ditulis pada saat pemahaman dalam anekdot-anekdot humor meraih ketenaran.[6]

Joehana diketahui telah meninggal setelah membantu mengatur penampilan drama panggung berdasarkan novelnya, Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama ("Kesalahan Putra adalah Dosa dari Ibu dan Ayah"), di Tasikmalaya. Dia dimakamkan di Bandung. Sumber-sumber tidak memiliki kesepakatan dalam memberikan tahun kematiannya. Atikah, istrinya, menanggalinya sekitar tahun 1930,[7] sebuah tahun yang didukung Rosidi.[8] Sedangkan penerbit Kiwari, yang menerbitkan kembali Rasiah nu Goreng Patut, menulis bahwa penulis ini telah meninggal saat masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda (1942-1945);[9] perkiraan ini juga dikabarkan oleh kritikus sastra Jakob Soemardjo, yang memperkirakan bahwa Joehana berusia 35 tahun pada saat kematiannya.[10]

Karya tulis

Tjarios Agan Permas (volume ketiga; edisi 1926)
Moegiri (volume kedua; edisi 1928)

Joehana menerbitkan 14 buku, serta berbagai editorial dan artikel di koran Soerapati. Namun, tidak semuanya masih ada hingga kini; misalnya, dalam sebuah kajian tahun 1979 tentang penulis ini, Tini Kartini et al. hanya menemukan 6 dari publikasi Joehana tersebut. Sulit untuk menentukan tahun awal publikasi karya-karya tersebut, karena meskipun buku Joehana umumnya mencatat tahun publikasinya, edisi tersebut tidak mencatatnya.[11] Dengan demikian, beberapa sumber mencatat karya-karyanya diterbitkan dalam tahun yang berbeda; misalnya, Carios Agan Permas ("Kisah Agan Permas"), tertulis diterbitkan dalam berbagai tanggal, seperti 1923, 1926, dan 1928.[12]

Daftar berikut ini didasarkan pada daftar yang disusun oleh Kartini et al. dalam penelitian tahun 1979 mereka. Daftar ini tidak memasukkan karya Joehana sebagai wartawan, juga tidak mencakup karya yang ia terbitkan melalui Romans Bureau-nya. Meskipun novel lain, seperti Eulis Tjinio, telah dikaitkan dengan namanya, karya tersebut tidak dimasukkan di daftar ini karena kurangnya verifikasi.[a][13]

  • Bambang Hendrasaputra (dalam bahasa Sunda).  (berdasarkan cerita wayang)
  • Tjarios Agan Permas (dalam bahasa Sunda). Bandung: Dakhlan Bekti.  (tiga jilid; total 148 halaman)
  • Tjarios Eulis Atjih (dalam bahasa Sunda). Bandung: Dakhlan Bekti.  (tiga jilid)
  • Goenoeng Gelenyoe (dalam bahasa Sunda). Bandung: Dakhlan Bekti.  (buku humor; 31 halaman)
  • Kalepatan Poetra Dosana Iboe Rama (dalam bahasa Sunda). 
  • Kasoeat koe Doeriat (dalam bahasa Sunda). Bandung: Dakhlan Bekti.  (setidaknya dua jilid)
  • Lalampahan Pangeran Nampabaja sareng Pangerang Lirbaja (dalam bahasa Sunda). Bandung: Dakhlan Bekti.  (satu jilid; 44 halaman)
  • Moegiri (dalam bahasa Sunda). Bandung: Kusradie.  (dua jilid; 74 halaman)
  • Nangis Wibisana (dalam bahasa Sunda).  (sebuah dangding)
  • Neng Jaja (dalam bahasa Sunda). Batavia: Krakatau.  (dua jilid)
  • Nj. R. Tedjainten (dalam bahasa Sunda).  (tidak diterbitkan)
  • Rasiah nu Goreng Patut (dalam bahasa Sunda). Bandung: Dakhlan Bekti.  (satu jilid; dengan Soekria[b])
  • Roro Amis (dalam bahasa Sunda). 
  • Sajarah Pamidjahan (dalam bahasa Sunda). 

Gaya

Joehana tampaknya cukup mengenal sastra-sastra tradisional Asia Tenggara Maritim, misalnya ketika ia mengambil Ramayana sebagai inspirasi untuk karyanya Nangis Wibisana.[14] Berbagai karater wayang seperti punakawan Cepot muncul dalam tulisan-tulisannya,[15] dan ia menggunakan berbagai teknik cerita tradisional Sunda, misalnya pantun, yaitu sejenis puisi yang sering ditampilkan pada pagelaran wayang golek. Namun, terdapat beberapa perubahan penting. Beragam tulisannya tidak menggunakan bentuk-bentuk sastra tradisional, seperti wawacan, namun memakai bentuk novel yang merupakan bentuk sastra Eropa. Tidak seperti bentuk-bentuk sastra tradisional yang memakai bahasa Sunda resmi, Joehana menulis dalam bahasa sehari-hari.[16] Tata bahasa dan strukturnya memperlihatkan adanya pengaruh bahasa-bahasa lain, dan kosakatanya pun tidak murni Sunda; beberapa kata Belanda (bahasa pemerintah kolonial) termasuk di dalamnya.[17]

Penulis asal Sunda M. A. Salmoen menggolongkan Joehana sebagai seorang realisme.[18] Rosidi menuliskan bahwa jiwa realisme diangkat ke dalam karya tulisan Joehana melalui penggunaan referensi merk dan produk (populer) yang sudah ada, termasuk cerutu, produk ikan asin, dan biskuit (meskipun begitu, Joehana menulisnya untuk orang Bandung, yang diharapkan dapat mengetahui produk ini, tetapi mereka tetap tidak memberikan tanggapan apapun). Joehana menggunakan kota Bandung sebagai lokasi nyata pada novel karyanya, dan beberapa tokoh lokal terkemuka yang pernah diberitakan (seperti seorang pencopet Salim) secara sepintas.[16] Ada kemungkinan bahwa penggunaan nama-nama tersebut hanya sebagai cara untuk memperkenalkan produk saja, dimana Joehana dibayar untuk memuat nama-nama produk tersebut ke dalam novel karyanya; pembayaran ini mungkin tidak dilakukan secara langsung, tetapi dalam bentuk barang atau jasa,[19] atau berupa sumbangan masyarakat.[20]

Joehana memiliki selera humor yang dapat diterima dengan baik oleh kawan sebayanya: misalnya, katak pemburu Karnadi Rasiah nu Goreng Patut yang menggambarkan perjalanan ke sawah untuk menangkap katak, yang berarti "berangkat ke kantor" dan tongkat yang ia gunakan untuk membunuh katak sebagai "pensil",[21] sedangkan Van der Zwak asal Belanda Tjarios Agan Permas menggunakan laras bahasa Sunda paling santun[c] ketika berbicara pada orang yang tidak disukainya.[22] Beberapa dari lelucon ini masih populer; Rosidi membukukan salah satu lelucon, tentang bagaimana cara berbicara dengan bahasa Belanda, sebagai keberhasilannya pada tahun 1980-an.[d][15]

Tema

Joehana tampaknya sering membaca karya-karya tradisional mengenai Asia Tenggara Maritim. Nangis Wibisana terinspirasi dari Ramayana.[14] Tokoh-tokoh Wayang seperti Cepot disebut dalam tulisan-tulisannya.[15] Ia memakai teknik cerita tradisional Sunda seperti pantun, bentuk syair yang lazim dalam pertunjukan wayang golek. Akan tetapi, ada sejumlah perbedaan besar dibandingkan karya sastra pada umumnya. Karya-karyanya menggunakan bentuk sastra tradisional seperti wawacan, bukan bentuk sastra Eropa (novel). Alih-alih bahasa resmi, Joehana menulis dalam bahasa Sunda sehari-hari.[16] Tata bahasa dan strukturnya menunjukkan bukti pengaruh dari bahasa lain, dan kosa katanya tidak murni dari bahasa Sunda; ada pula campuran kosa kata Belanda (bahasa pemerintah kolonial).[17]

Penulis Sunda, M. A. Salmoen, menggolongkan Joehana sebagai sastrawan realis.[23] Rosidi menulis bahwa realisme dapat ditemukan di karya-karya Joehana dalam bentuk merek-merek produk ternama seperti rokok, ikan asin, dan biskuit (meski Joehana menulis untuk pembaca kontemporer di Bandung yang mungkin kenal produk tersebut, tidak ada penjelasan mengenai mereknya). Joehana menggunakan tempat-tempat nyata di Bandung dalam beberapa novelnya, dan tokoh setempat yang jadi buah bibir (misalnya Salim si pencopet) juga disebutkan sekali-kali.[16] Mungkin saja penempatan merek tersebut merupakan bagian dari penempatan produk, artinya Joehana dibayar untuk memasukkan merek-merek produk di dalam novelnya; pembayarannya bisa jadi tidak dalam bentuk tunai, melainkan dalam bentuk barang atau jasa,[19] atau donasi untuk Sarekat Rakyat.[20]

Joehana menunjukkan selera humornya yang ditanggapi baik oleh para koleganya; contohnya, dalam Rasiah nu Goreng Patut, Karnadi si pemburu kodok "pergi ke kantor" (sawah) untuk menangkap kodok dan membunuhnya dengan "pensil" (ranting pohon);[21] dalam Tjarios Agan Permas, tokoh Belanda Van der Zwak menggunakan register bahasa Sunda[e] saat berbicara dengan anjingnya.[22] Beberapa lelucon Joehana terus bertahan; Rosidi mencatat bahwa lelucon tentang cara mengucapkan bahasa Belanda masih bertahan sampai tahun 1980-an.[f][15]

Warisan

Iklan surat kabar untuk Eulis Atjih (1927), yang diadaptasi dari novel Joehana

Karya Joehana sering diadaptasi ke panggung pementasan. Rasiah nu Goreng Patut, misalnya, diadaptasi ke dalam berbagai bentuk, termasuk sebagai lenong berbahasa Melayu.[1] Tiga film telah diadaptasi dari novel karya Joehana, dua film dari Tjarios Eulis Atjih dan satu dari Rasiah nu Goreng Patut. Film ang pertama, Eulis Atjih, disutradarai dan diproduksi oleh G. Krugers dan dirilis pada tahun 1927 yang meraih sukses dan popularitas.[24] Film yang kedua, umumnya disebut sebagai Karnadi Anemer Bangkong, diadaptasi dari Rasiah nu Goreng Patut oleh Krugers dan dirilis pada awal 1930-an; film ini diketahui telah ditimpa kegagalan secara komersil, dilaporkan menimbulkan kontroversi karena menggambarkan seorang pria Muslim yang mengkonsumsi daging kodok.[25] Adaptasi ketiga novel Joehana , juga berjudul Eulis Atjih, diselesaikan oleh Rd Ariffien pada tahun 1954.[26] Penampilan panggung dari Rasiah nu Goreng Patut berlanjut sampai akhir 1980, meskipun pada waktu itu karya tersebut dianggap oleh masyarakat umum sebagai bagian dari cerita rakyat.[27]

Namun, hanya sedikit ceramah akademik mengenai Joehana diterbitkan hingga tahun 1960-an. Hal ini dimulai dengan publikasi dari dua karyanya: Rasiah nu Goreng Patut pada tahun 1963 sebagai sebuah buku, dan Moegiri sebagai awal serial yang dimulai dalam edisi 15 Oktober 1965 dari majalah Sunda. Editor majalah tersebut, Ajip Rosidi, memasukkan diskusi tentang Joehana dalam buku 1966-nya, Kesusastraan Sunda Dewasa Ini. Beberapa diskusi lainnya oleh penulis seperti Yus Rusyana dan Rusman Sutiamarga, diterbitkan dalam majalah seperti Wangsit atau dimasukkan dalam bahan kuliah di universitas. Hingga tahun 1979 karya Joehana belum pernah diajarkan dalam mata pelajaran bahasa Sunda di sekolah-sekolah.[28]

Tanggapan kritikus modernterhadap karya-karya buatan Joehana umumnya negatif. Sumardjo menyatakan bahwa kelemahan terbesarnya adalah kurangnya penjelasan mendalam daei watak-watak para karakternya serta latar belakang sosialnya yang cenderung tidak jelas.[10] Kartini dan kawan-kawannya menyanjung keproduktivitasan Joehana, tapi menemukan kekurangan karakterisasi dalam karya-karyanya. Mereka menemukan bahwa, pada masa ke masa, usahanya untuk memberikan pesan sosial menjadi terlalu dominan sehingga karya-karyanya mengarah ke arah propaganda.[29] Rosidi memberikan pandangan yang lebih postif terhadap penulisan Joehana, dengan menyatakan bahwa, meskipun menggunakan perkataan Sunda non-formal pada 1920an, arti peribahasa dalam karya-karya Joehana lebih dinamis dan "hidup" ketimbang karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.[30]

Catatan penjelas

  1. ^ Meskipun karya-karya lainnya, seperti Eulis Tjinio, juga melibatkan dirinya, karya-karya tersebut tidak masuk dalam ulasan buatan Kartini dan pengulas lainnya karena kurangnya verifikasi (Kartini et al. 1979, hlm. 16).
  2. ^ Tidak jelas siapa itu Soekria, jika Soekria bukan nama pena lain dari Joehana. Menurut Rasiah nu Goreng Patut, Soekria menulis ceritanya, dan Joehana hanya bertugas sebagai penyunting. (Rosidi 2013b, hlm. 12) menyatakan bahwa bahasa dalam buku tersebut secara pasti berasal dari Joehana, dan jika seseorang yang bernama Soekria hanya tercantum pada Rasiah nu Goreng Patut, itu berarti nama tersebut hanya sebuah unsur inti alur. Namun, ia mempertanyakan apakah Soekria benar-benar ada: nama Soekria sebelumnya digunakan untuk menyebut nama putra Eulis Acih dalam Tjarios Eulis Atjih.
  3. ^ Dalam bahasa Sunda, terdapat laras bahasa yang berbeda ketika digunakan untuk percakapan. Frasa yang paling sopan umumnya diperuntukkan bagi mereka yang berada di posisi sosial yang lebih tinggi.
  4. ^ Pada kalimat Rasiah nu Goreng Patut, Karnadi mencoba untuk lulus sebagai seorang kontraktor kaya dan terdidik. Untuk meyakinkan calon ayah mertuanya, Karnadi menceritakan bahwa, untuk berbicara bahasa Belanda, hanya perlu menambahkan de sebelum sebuah kata dan "ceh" pada akhir kata. Misalnya, lamp akan menjadi de lamceh (Joehana & Soekria 2013, hlm. 45).
  5. ^ In Sundanese, there are different registers used for speaking. The most polite form is generally reserved for those of a higher social position.
  6. ^ In Rasiah nu Goreng Patut, the uneducated Karnadi attempts to pass as a rich and well-educated contractor. In order to convince his prospective father-in-law, Karnadi relates that, to speak Dutch, one need only add de before a word and "ceh" at the end of a word. For instance, lamp would become de lamceh (Joehana & Soekria 2013, hlm. 45).

Referensi

  1. ^ a b Kartini et al. 1979, hlm. 5.
  2. ^ a b c Kartini et al. 1979, hlm. 6.
  3. ^ a b c Kartini et al. 1979, hlm. 4.
  4. ^ Kartini et al. 1979, hlm. 10–11.
  5. ^ Rosidi 2013b, hlm. 1.
  6. ^ Kartini et al. 1979, hlm. 63.
  7. ^ dikutip di Kartini et al. 1979, hlm. 4–5
  8. ^ Rosidi 2013b, hlm. 5.
  9. ^ Kartini et al. 1979, hlm. 4–5.
  10. ^ a b Sumardjo 1989, hlm. 461.
  11. ^ Kartini et al. 1979, hlm. 2–3.
  12. ^ Kartini et al. 1979, hlm. 16.
  13. ^ Kartini et al. 1979, hlm. 12–16.
  14. ^ a b Kartini et al. 1979, hlm. 50.
  15. ^ a b c d Rosidi 2013b, hlm. 9.
  16. ^ a b c d Rosidi 2013b, hlm. 7.
  17. ^ a b Kartini et al. 1979, hlm. 62.
  18. ^ in Kartini et al. 1979, hlm. 63
  19. ^ a b Rosidi 2013b, hlm. 10–11.
  20. ^ a b Kartini et al. 1979, hlm. 65.
  21. ^ a b Kartini et al. 1979, hlm. 60.
  22. ^ a b Kartini et al. 1979, hlm. 26.
  23. ^ in Kartini et al. 1979, hlm. 63
  24. ^ Biran 2009, hlm. 76.
  25. ^ Biran 2009, hlm. 98, 143.
  26. ^ Filmindonesia.or.id, Eulis Atjih.
  27. ^ Rosidi 2013b, hlm. 5–6.
  28. ^ Kartini et al. 1979, hlm. 1–2.
  29. ^ Kartini et al. 1979, hlm. 67–68.
  30. ^ Rosidi 2013a, hlm. 52.

Karya yang dikutip

  • Biran, Misbach Yusa (2009). Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa (dalam bahasa Indonesian). Komunitas Bamboo working with the Jakarta Art Council. ISBN 978-979-3731-58-2. 
  • "Eulis Atjih". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfiden Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 March 2014. Diakses tanggal 17 March 2014. 
  • Joehana; Soekria (2013) [1928]. Rasiah nu Goréng Patut (dalam bahasa Sundanese). Bandung: Kiblat. ISBN 978-979-8002-31-1. 
  • Kartini, Tini; Hadish, Yetty Kumsiyati; Sumadipura, Sutedja; Iskandarwassid (1979). Yuhana: Sastrawan Sunda (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Department of Education and Culture. OCLC 248300199. 
  • "Mugiri". WorldCat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 April 2014. Diakses tanggal 15 April 2014. 
  • Rosidi, Ajip (2013a) [1966]. Mengenal Kesusasteraan Sunda (dalam bahasa Indonesian). Bandung: Pustaka Jaya. ISBN 978-979-419-413-3. 
  • Rosidi, Ajip (2013b) [1983]. "Rasiah nu Goréng Patut-na Joehana". Rasiah nu Goréng Patut (dalam bahasa Sundanese). Bandung: Kiblat. hlm. 5–13. ISBN 978-979-8002-31-1. 
  • Sumardjo, Jakob (1989). "Joehana". Ensiklopedi Nasional Indonesia (dalam bahasa Indonesian). 7. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. hlm. 461. OCLC 248133402. 
  • "Tjerita Eulis Atjih Djadi Rewel". Pewarta Soerabaia (dalam bahasa Malay). 29 May 1928. hlm. n.p.  (clipping accessed at Sinematek Indonesia)