Hebo
Hebo (Hanzi: 河伯; harfiah: 'Dewa Sungai Kuning') adalah makluk suci yang dipuja sebagai dewa penguasa Sungai Kuning. Ia memegang peranan penting dalam sejarah peribadatan di Tiongkok (khususnya Tiongkok bagian utara) serta budaya Tiongkok, baik sastra maupun puisi. Sungai Kuning sendiri merupakan salah satu sumber air utama untuk irigasi bagi lahan pertanian semenjak masa kelahiran peradaban Tiongkok hingga sekarang.
Nama
Nama "Hebo" memiliki arti "Tuan penguasa Sungai": dalam hal ini, sungai yang dimaksudkan adalah Sungai Kuning, yaitu sungai utama yang mengalir di Tiongkok Utara. Hebo (bahasa Tionghoa: 河伯; Pinyin: Hébó) diartikan sebagai "nama atau desa sungai yang diasosiasikan dengan Sungai Kuning". Hé 河 diterjemahkan sebagai "sungai; sungai kecil; Sungai Kuning", secara umum digunakan untuk merujuk sungai atau air yang mengalir, tetapi juga bisa digunakan untuk merujuk Sungai Kuning. Aksara ini tersusun atas radikal shuǐ (氵) "air", kǒu (口) "mulut", yī (一) "satu", dan jué (亅) "kait". Bó, bǎi, atau bà 伯 diterjemahkan sebagai "kakak laki-laki; kakak laki-laki ayah; pria yang lebih senior; pangkat feodal", tersusun atas radikal rén (亻) "manusia" dan bái (白) "putih".[1]
Sungai Kuning
Sungai Kuning disebut sebagai "tempat lahirnya peradaban Tiongkok" karena lembah sungainya merupakan tempat kelahiran peradaban kuno Tiongkok. Tempat ini merupakan wilayah yang paling makmur pada masa sejarah Tiongkok awal. Namun, karena seringnya terjadi banjir dan perubahan jalur sungai akibat peningkatan dasar sungai yang terus menerus (sebagian juga disebabkan erosi akibat aktivitas manusia di hulu), terkadang permukaan airnya bertambah tinggi sehingga merendam lahan pertanian di sekitarnya. Itulah sebabnya sungai ini juga dinamai "Duka cita Tiongkok" atau "Bencana para Putera Han".[2]
Karakter
Sebagai dewa Sungai Kuning, salah satu sungai utama di dunia yang berasosiasi dekat dengan budaya Tiongkok, Hebo merupakan personifikasi dari karakteristik sungai tersebut: ia dipandang penuh kebajikan, tetapi juga serakah, tidak dapat diprediksi, serta berbahaya karena dapat merusak.[3]
Pelajar dari Dinasti Jin bernama Guo Pu menyatakan bahwa Hebo pertama kali digambarkan sedang menaiki keretanya yang ditarik dua naga melintasi awan-awan ke seluruh penjuru. Bagian "Sembilan Lagu" dalam antologi puisi Chu Ci memiliki syair yang menceritakan sebuah petualangan pernikahan bersamanya di atas kereta yang ditarik dua naga. Beberapa sumber awal -seperti Shizi yang mengisahkan dirinya menyerahkan diagram sungai kepada Yu yang Agung- mendeskripsikan Hebo memiliki wajah manusia yang berkulit putih dengan tubuh ikan.[3]
Salah satu bab Zhuangzi mengisahkan Hebo mengunjungi laut utara, tempat tinggal Ruo -Dewa Laut, sebagai berikut:
Banjir musim gugur tiba, dan ratusan sungai kecil mengalir ke dalam Sungai Kuning. Arusnya yang deras menjadi meluas hingga suatu ukuran yang, jika dilihat dari tepi sungai ke tepi yang lain atau dari pulau ke pulau, tidak mungkin untuk membedakan seekor kuda dengan seekor sapi. Lalu Hebo merasakan kegembiraan, meyakini bahwa segala keindahan di dunia adalah hanya miliknya sendiri. Mengikuti arus, ia berkelana ke timur hingga akhirnya mencapai Laut Utara. Melihat ke timur, ia tidak dapat melihat batas dari air. Hebo mulai menggelengkan kepalanya dan memutar bola matanya. Mengintip jauh ke arah Ruo, ia menarik napas panjang dan berkata: "Pepatah umum mengatakan, 'Ia telah mendengar Tao ("Jalan") sebanyak ratusan kali, tetapi ia berpikir dirinya lebih baik dibandingkan siapapun.' Hal ini terjadi padaku. Di masa lalu, aku mendengar seseorang merendahkan ajaran Konfusius dan meremehkan kebajikan Bo Yi, meskipun aku tidak pernah mempercayai mereka. Sekarang, bagaimanapun, aku telah melihat luasmu yang tak terhingga. Jika aku tidak datang ke gerbangmu, aku pasti berada dalam bahaya. Aku pasti akan ditertawakan untuk selama-lamanya oleh para guru Metode Agung!"[4]
Kultus pemujaan
Pada masa lampau, aliran Sungai Kuning dipercaya berasal dari Gunung Kunlun mitologis. Kultus Hebo dimulai dari negara-negara kuno di wilayah barat laut dan tengah Tiongkok kemudian menyebar ke selatan.[3]
Inskripsi tulang ramalan menyediakan bukti kuat mengenai adanya persembahan kurban kepada Hebo pada masa Dinasti Shang.[3][5] Ia dipuja pada berbagai waktu sebagai obyek dari pengurbanan manusia dan sebagai figur dalam kultus imperial.[6] Selain hewan dan manusia yang ditenggelamkan untuk menjadi kurban bagi Hebo, gadis perawan juga dipersembahkan untuk menjadi istrinya.[3] Persembahan manusia sepertinya masih dilakukan hingga Periode Negara Perang, terutama dalam bentuk persembahan gadis perawan sebagai pengantin wanita yang ditumpangkan di atas rakit pengantin dan dihanyutkan ke sungai.[5] Praktik tersebut dihentikan di akademi shamanik Ye oleh pejabat-pelajar Ximen Bao ("Hsi-men Pao"). Namun, praktik persembahan pengantin masih dilakukan di tempat lain hingga masa Shi Huangdi dari Qin.[6]
Buku Zhuangzi menyebutkan bahwa para shaman Wu dan pendeta Zhu -yang bertugas menjalankan ritual- menganggap lembu berdahi putih, babi dengan moncong menghadap ke atas, dan manusia yang menderita wasir, tidak cocok untuk dijadikan kurban persembahan. Terdapat pula kasus orang-orang menenggelamkan kuda dan mempersembahkan benda berharga ke dalam sungai. Pada masa Dinasti Han, terdapat catatan mengenai persembahan berupa benda-benda giok bersama dengan seekor kuda hidup.[3]
Legenda
Hebo juga dikenal dengan nama Bingyi (冰夷).[7][8]
Hebo has been said to have helped Yu the Great to end the Great Flood of China, by providing a map of the Yellow River; and, sometimes the mythology of Hebo is connected with that of Yi, also known as Houyi.[9]
Puisi "Pertanyaan-pertanyaan Surga" menyinggung legenda tentang Houyi yang memanah Hebo.
The Han commentator Wang Yi annotated it with the following story:
Lord of the River transformed himself into a white dragon and was traveling alongside the river when Yi the Archer saw him and shot an arrow at him, hitting his left eye. Lord of the River complained to the Supreme God of Heaven, Di, and said, "Kill Yi to avenge me!" The Supreme God asked, "Why were you struck by an arrow?" and he answered, "I had transformed myself into a white dragon and was traveling about." The Supreme God stated, "If you had only dedicated yourself to carrying out your duties as a god, how would Yi have transgressed? Now you became a beast, and it is natural that someone would shoot at you. Yi acted properly, so what crime has he committed?"[10]
The Huainanzi stated that Houyi had shot Hebo for the latter had drowned people.[11]
Culture
Hebo is one of the main characters in the cast of Jiu Ge, the Nine Songs, a work anthologized in the ancient poetic source Chu Ci. The Jiu Ge lyrics, including the "He Bo" section seem to have originally been a lyrical part an ancient religious dramatic performance which also included costuming, choreography, musical accompaniment and other features which unlike the lyrics themselves failed to survive the vicissitudes of history. Of the deities specified therein, Hebo is the one who has had the most mainstream cultural appeal.[12]
Lihat pula
Referensi
- ^ anonim. "河伯". MDBG Chinese Dictionary. Diakses tanggal 8 November 2015.
- ^ New York Times "A Troubled River Mirrors China's Path to Modernity". 19 November 2006 p. 4.
- ^ a b c d e f Strassberg, Richard E. (2002). A Chinese Bestiary: Strange Creatures from the Guideways Through Mountains and Seas. Berkeley: University of California Press. hlm. 201-203. ISBN 0-520-21844-2.
- ^ Watson, Burton (2013). The Complete works of Zhuangzi. New York: Columbia University Press. ISBN 9780231164740.
- ^ a b Hawkes, David (2011 [1985]). The Songs of the South: An Ancient Chinese Anthology of Poems by Qu Yuan and Other Poets. London: Penguin Books. hlm. 113-114. ISBN 978-0-14-044375-2.
- ^ a b Christie, Anthony (1968). Chinese Mythology. Feltham: Hamlyn Publishing. hlm. 79, 82-83. ISBN 0600006379.
- ^ Christie, 79
- ^ Strassberg 2002, 201
- ^ Yang, 131
- ^ Strassberg 2002, 203
- ^ Strassberg 2002, 203
- ^ Hawkes, 113
- Yang, Lihui, et al. (2005). Handbook of Chinese Mythology. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-533263-6