Pulau Sebesi
Geografi | |
---|---|
Lokasi | Lampung Selatan |
Koordinat | |
Luas | 2620 Ha km2 |
Pemerintahan | |
Negara | Indonesia |
Kependudukan | |
Penduduk | 2911 jiwa jiwa |
Pulau Sebesi (Sebesi Islan) adalah sebuah pulau yang secara administratif berada di wilayah Desa Tejang, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, Indonesia. Berbentuk seperti gunung berapi dengan ketinggian 844m, secara geografis pulau ini terletak di selat Sunda atau wilayah selatan perairan Lampung. Lebih tepatnya P. Sebesi berada di sebelah selatan dari Pulau Sebuku, sebelah timur Pulau Serdang dan Pulau Legundi, serta sebelah Timur Laut Gugusan Krakatau.
Pulau ini merupakan daratan yang paling dekat dengan Gugusan Krakatau dan turut menjadi saksi kedahsyatan letusan besar Krakatau tahun 1883. Sejak dulu Pulau Sebesi sangat terkenal akan kesuburan tanahnya. Kini, selain memiliki keunggulan di sektor perkebunan, pulau ini juga sedang dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata andalan Lampung Selatan selain Krakatau dan sejumlah pantai seperti Merak Belantung, Kalianda resort, dll.
Nama Pulau Sebesi diduga berasal dari bahasa Sansekerta, Sawesi (Savvesi). Masyarakat sekitar biasa menyebut Pulau Sebesi dengan sebutan Pulo'.
Riwayat Kepemilikan
Hingga kini catatan yang menggambarkan mengenai awal mula keberadaan pulau ini belum pernah ditemukan. Namun beberapa dokumen yang dibuat oleh orang-orang Eropa pada abad ke-17 mengindikasikan bahwa pulau ini pernah disinggahi oleh orang-orang Eropa yang berlayar dari wilayah perairan Utara menuju Banten atau sebaliknya. Pada saat itu Pulau Sebesi dihuni oleh masyarakat yang ada di sepanjang pesisir di wilayah IV Marga (kaki gunung Raja Basa) yang mayoritas bertani rempah-rempah. Meski begitu nama pemilik pulau ini tidak pernah ditemukan dalam catatan hingga memasuki abad ke-19.
Pangeran Cecobaian
Menurut legenda, dahulu pulau ini berada dibawah kekuasaan Sultan Banten. Lalu pada akhir abad ke-16 seorang Mekhanai (Pemuda) Lampung dari Desa Damaian datang ke gunung Raja Basa.
Sang Pemuda juga datang ke Pulau Sebesi dan Gugusan Krakatau untuk membeli hasil lada yang ditanam warga. Sebagian dari hasil lada tersebut diserahkan oleh pemuda itu kepada Sultan Banten. Sebagai imbalannya Sultan memberikan pemuda tersebut gelar Pangeran Cecobaian (ejaan dalam arsip Belanda : Pangeran Tjetjobaian / Pangeran Tjoba Tjoba), sebagai percobaan karena saat itu Kesultanan Banten belum pernah memberikan gelar Pangeran kepada orang Sabrang (sebutan untuk orang Lampung pada masa itu).
Pangeran Cecobaian adalah keturunan Keratuan Dibalau Kedamaian, gelar Pangeran diberikan olehSultan Banten, yaitu Sultan Agung Banten pada tahun 1863. Kembalinya Pangeran Cecobaian yang bersama Istrinya yaitu Ratu Minangsih dari Banten menuju Keratuan Dibalau Kedamaian terhalang oleh faktor jarak dan alat transportasi yang digunakan pada saat itu yang hanya berupa gerobak sapi, mengharuskan Pangeran Cecobaian dan Ratu Minangsih untuk tidak kembali lagi ke Keratuan Dibalau Kedamaian dan memutuskan untuk menetap di Gunung Rajabasa yang kemudian mendirikan Keratuan Darah Putih di Gunung Rajabasa. Karena hubungan Pangeran Cecobaian dengan Kesultanan Banten sangatlah dekat, maka Sultan Agung Banten memberikan wilayah kekuasaan dan kedudukan kepada Pangeran Cecobaian yang meliputi wilayah sekitar pulau Krakatau, pulau Sebesi, dan pulau Sebuku. Pangeran Cecobaian dan Ratu Minangsih memiliki keturunan yaitu Pangeran Singa Beranta dan Raden Tinggi.
Pangeran Singa Brata
Setelah Pangeran Cecobaian wafat, hak kepemilikan atas Pulau Sebesi ini pada akhirnya diwariskan pada Pangeran Singa Brata, yang juga menjabat sebagai Kepala Marga Raja Basa. Pangeran Singa Brata adalah keturunan ke-18 dari Pangeran Cecobaian[1]. Ia juga merupakan salah satu pejuang dari Karesidenan Lampung, onderafdeeling Katimbang, yang turut membantu Raden Inten II berjuang melawan pemerintah Hindia Belanda[2]. Sempat terjadi sengketa kepemilikan Pulau Sebesi dan Sebuku antara Pangeran Singa Brata dengan seorang penduduk Teluk Betung yang bernama Haji Abdurrachman bin Ali. Haji Abdurrachman bin Ali mengajukan permintaan tertanggal 17 Juli 1848 kepada Civiele en Militaire Gezaghebber agar diperbolehkan menanam di Pulau Sebesi dan Sebuku. Hal ini diduga dilakukan untuk melemahkan perjuangan Pangeran Singa Brata terhadap penjajah. Pangeran Singa Brata pun mengajukan keberatan pada pihak pemerintah. Lalu pemerintah Hindia - Belanda pada saat itu melakukan penyelidikan terhadap status hukum Pulau Sebesi dan Sebuku. Dari hasil investigasi itu diketahui bahwa Pangeran Singa Brata adalah pemilik yang sah atas Pulau Sebesi dan Sebuku[3]. Namun pada tahun 1856 Pangeran Singa Brata tertangkap oleh tentara Hindia Belanda dan dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Untuk mengakhiri konflik, maka hak kepemilikan Pangeran Singa Brata atas pulau ini disahkan melalui Besluit (Keputusan) Gubernur Jenderal Hindia - Belanda tahun 1864. Selama masa pengasingan Pangeran Singa Brata ke Manado, pemerintahan Marga Raja Basa dan pengelolaan Pulau Sebesi dan Sebuku ditangani oleh para keluarga dari Pangeran Singa Brata, antara lain Pangeran Warta Manggala I (saudara kandung), Raden Tinggi (anak dari Pangeran Warta Manggala I), dan Dalom Mangku Minggar (tetua dalam marga Raja Basa)[1].
Tahun 1879, atau 23 tahun setelah menjalani pengasingannya, Pangeran Singa Brata dipulangkan ke Raja Basa atas permintaan 14 kepala kampung di pesisir dengan jaminan bahwa Pangeran Singa Brata tidak akan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun 4 tahun setelah kepulangannya, tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1883, Krakatau meletus dengan dahsyat yang memporak-porandakan wilayah pesisir gunung Raja Basa. Pangeran Singa Brata turut menjadi korban atas peristiwa ini dan ia dinyatakan tewas.[1]
Seluruh penduduk pesisir yang tak sempat menyelamatkan diri dinyatakan tewas, termasuk 3000 warga yang menghuni Pulau Sebesi, Sebuku, dan Krakatau. Seluruh flora dan fauna serta rumah warga yang berada di Pulau Sebesi dan Sebuku dinyatakan musnah total. Kedua pulau ini seketika berubah menjadi pulau tak berpenghuni untuk beberapa saat.
Pangeran Singa Beranta memiliki 2(dua) Istri yaitu Ratu Munah dan Ratu Galuh. Pangeran Singa Beranta dengan Ratu Galuh tidak memiliki keturunan sedangkan dengan Ratu Munah melahirkanDalom Mangku Minggar dan Khaiya Sabak. Ketika perang terjadi dengan Belanda Sultan Agung Banten memberikan perintahkan kepada Pangeran Singa Beranta agar membuat Benteng pertahanan di Gunung Rajabasa, benteng pertahanan Singa Beranta tersebut bernama Benteng Berhulu, benteng lain yang dibuat adalah Benteng Salai Tabuan dan Benteng Merambung. Tujuan didirikanya benteng-benteng pertahanan tersebut adalah untuk mempersiapkan pertempuran dengan tentara Belanda. Kalahnya Kesultanan Banten oleh tentara Belanda pada saat itu mengharuskan para tentara Kesultanan Banten merapat ke Gunung Rajabasa. Pangeran Singa Beranta dan keluarganya serta pengikutnya terus berjuang menahan serangan Belanda di Benteng Benhulu yang berada di Desa Pangkul (daerah pesisir pantai).
Tentara Belanda pun tidak kehabisan akal, mereka mulai menghasut, menakuti, dan mengiming-imingi masyarakat pribumi yang berada di sekitar daerah tersebut. Akibatnya banyak masyarakat yang menjadi pengkhianat, mereka membela serta membantu Tentara Belanda menyerang Benteng Pertahanan Singa Beranta. Tentara Belanda pun berhasil menjatuhkan Pangeran Singa Beranta dan Sultan Agung. Di dalam pertempuran tersebut keluarga Pangeran Singa Beranta yang selamat adalah anaknya yaitu Khaiya Sabak dan istrinya yang kedua yaitu Ratu Galuh. Ratu Galuh di larikan ke Kota Agung, Sedangkan Khaiya Sabak dan Istrinya melarikan diri dan bersembunyi di Gunung Rajabasa. Belanda pun berhasil mendirikan Pos Opdeling Katimbang di kaki Gunung Rajabasa.
Karena banyak masyarakat pribumi sekitar yang ikut membela tentara Belanda. Keadaan keluarga singa beranta semakin terdesak dan mengharuskan Khaiya Sabak dan istrinya untuk menetap dipulau Sebesi. Khaiya Sabak dan istrinya melanjutkan tanaman Lada yang lama tidak terurus pasca peperangan. Khaiya Sabak dan istrinya beserta keluarga-keluarga yang lain meninggal dunia dalam peristiwa meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883. Keberuntungan jatuh pada salah satu anak Khaiya Sabak yaitu, Batin Mangukhum karena tidak dibawa kepulau Sebesi melainkan tinggal bersama dengan saudara-saudara yang lain di Desa Merah Saka. Setelah keadaan kembali normal pasca meletusnya Gunung Krakatau, Batin Mangukhum melanjutkan berladang di Pulau Sebuku (suak). Batin Mangukhum pun memiliki anak yaitu Samik yang merupakan seorang ibu dari orang tua ayahanda dari Drs. Sofyan Raden Kemala PS (Narasumber).
Kisah dan Keterangan ini dibuat berdasarkan fakta dari Narasumber yang merupakan keturunan langsung Pangeran Singa Beranta. Pulau Sebuku kini ditanami Kelapa, Pisang, serta Cengkeh.
Sumber Data :
- Keterangan dari Keluarga Besar Marga Balau Kp. Kedamaian
- Keterangan dari Dalom Mangku Minggar
- Keterangan dari Hi. Yusuf, Aminah, & Pangeran Raden Kemala, PS.
- Buku Perang Lampung di Kalianda Staats Blad Gouverment “Zuid Sumatera”
Drs. Sofyan Raden Kemala, PS.
(Narasumber)
.
Hasil Bumi
Sebelum meletusnya Krakatau pada tahun 1883 masyarakat di Pulau Sebesi umumnya bertani karet, lada, dan kelapa. Bahkan riwayat mengenai kebun lada di Pulau Sebesi sudah berlangsung sejak Sultan Banten memberikan perintah pada Pangeran Cecobaian agar mewajibkan seluruh elemen masyarakat Sabrang (sebutan dari orang-orang Banten untuk penduduk Lampung saat itu) mulai dari pembesar, punggawa, maupun orang kecil, untuk menanam lada sebanyak 500 batang per kepala. Setelah berbuah hasilnya boleh dijual kepada siapa saja, baik kepada orang Jawa, Cina, Eropa, maupun ke Banten. Barang siapa yang diketahui tidak menanam 500 batang pohon lada maka Sultan akan menjatuhi hukuman pasung dan seluruh anggota keluarganya diseret ke Banten. Perintah Sultan kepada Pangeran Cecobaian ini dituangkan dalam sebuah piagam tembaga beraksara Jawa yang diundangkan pada tahun 1074 H (1653 M) [4].
Masyarakat
Berdasarkan data sensus tahun 2011, Pulau Sebesi saat ini terdiri dari 771 kepala keluarga dengan jumlah penduduk mencapai 2911 jiwa. Jumlah itu terdiri dari 1636 laki-laki dan 1277 perempuan.
Infrastruktur
Pada tahun 2002, perkerasan jalan di Pulau Sebesi mulai dibangun dengan material paving blok. Awalnya pembangunan paving ini hanya meliputi Dusun Bangunan dan Dusun Inpres saja. Lalu pada tahun 2004 mulai dibangun pula perkerasan jalan dari Dusun Inpres menuju Dusun Regahan Lada. Pembangunan perkerasan jalan terus berlanjut hingga mencapai Dusun Segenom pada tahun 2012.
Terdapat 3 dermaga semi-permanen di Pulau Sebesi. Pada tahun 2013 Pemkab Lampung Selatan dan Kementrian Perhubungan membangun dermaga beton yang mampu memfasilitasi kapal ferry. Pembangunan dermaga ini bertujuan untuk menjadikan Pulau Sebesi sebagai tujuan wisata terutama pada setiap Festival Krakatau.
"Bahkan saat ini di pulau Sebesi sedang dibangun dermaga yang bisa disandari kapal pesiar"
— Yansen Mulya; Kepala Dinas Parawisata, Seni, dan Budaya Kabupaten Lampung Selatan (2013), Tribun Lampung
Untuk menuju Pulau Sebesi, dapat melalui pelabuhan Canti di Kecamatan Raja Basa, Lampung Selatan. Dari pelabuhan Canti disediakan moda transportasi berupa kapal motor terbuat dari kayu dengan tarif sebesar Rp. 20.000,- / orang untuk 1x penyeberangan. Waktu tempuh dari pelabuhan Canti ke Sebesi atau sebaliknya rata-rata sekitar 1,5 jam. Jadwal penyeberangan kapal motor dari Sebesi ke Canti dan umumnya hanya ada 1 kali waktu penyeberangan per hari : Setiap hari pukul 07.00 pagi : Dari Sebesi ke Canti. Setiap hari pukul 13.00 siang : Dari Canti ke Sebesi. Calon penumpang yang ingin membawa sepeda motor dapat membawa naik sepeda motornya ke atas kapal dengan dikenakan tarif Rp. 15.000,- / sepeda motor.
Fasilitas listrik di Pulau Sebesi pada wilayah dusun-dusun utama disediakan oleh PLN. Namun fasilitas tersebut umumnya hanya dapat dinikmati mulai pukul 18.00 - 24.00 WIB. Hal ini disebabkan oleh akses Pulau Sebesi yang tak dapat dijangkau oleh sambungan listrik dari darat / pesisir, sehingga Pulau Sebesi menggunakan generator listrik sendiri berupa PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) dari PLN.
Di pulai ini terdapat beberapa sarana pendidikan yang mencakup 3 buah Taman Kanak-Kanak, 1 Sekolah Dasar Negeri, 1 Sekolah Menengah Pertama Swasta (SMP Swadhipa), dan 1 Sekolah Menengah Atas (SMA Kelautan Swadhipa). Untuk memenuhi kebutuhan kesehatan warga, terdapat 1 buah Pusat Kesehatan Desa (Puskesdes) di Pulau Sebesi yang dikelola oleh 1 orang mantri.
Harta Karun
Letusan besar Krakatau telah memusnahkan seluruh penduduk Sebesi beserta harta bendanya. Namun warga masih sering menemukan harta karun yang terkubur saat sedang menggali sumur atau membuat pondasi rumah. Beberapa harta karun yang berhasil ditemukan antara lain Siger emas, mangkok, koin Belanda, keramik, dan piring berusia ratusan tahun.
"Hingga kini, warga Sebesi kerap menemukan peninggalan yang terkubur, seperti perhiasan, pecahan keramik, dan koin Belanda. Bahkan, beberapa warga juga menemukan kerangka manusia. Salah seorang warga, Hayun (39), mengatakan, peninggalan itu biasa ditemukan saat menggali sumur di kedalaman 6-8 meter."
Referensi
- ^ a b c Helfrich, O.L. 1930. Adatrechtbundels XXXII : Zuid-Sumatra. hlm. 233-241. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
- ^ Pemerintah Provinsi Lampung. Dinas Pendidikan. Pahlawan Nasional Radin Intan II, Leaflet. 2004.
- ^ Nederlands-Indië. 1864. Besluiten van den Gouvernement 6 April 1864. Staatblad No. 54. 1864
- ^ Perbatasari, RG. 2012. : Bandakh Marga Raja Basa. Pesisir Kalianda Lampung Selatan.
Daftar Pustaka
- Perbatasari, RG. 2012. : Bandakh Marga Raja Basa. Pesisir Kalianda Lampung Selatan.* Bataviaasch Nieuwsblad, 1932, Executorial Verkooping, page 3.
- Uitreksee, uit het Register der Besluiten van den Resident der Lampongsche Districten, 1938.
- Surat Keputusan Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi Nomor : 140/03/KD-TPS/16.01/XI/2002.
- Pernamasari, Rieke. 2006. "Adu Besi Di Pulau Sebesi", Teknokra : Pulau Inji Benyak, No. 208, hlm. 24 - 42. Juli - September. Lampung, Universitas Lampung.
- Reproductiebedrijf Topografische Dienst, Batavia. 1932. Poelau Sebesi / opgenomen door den Topografischen Dienst in 1908-1910. Schaal. 1:100.000.
.
Pranala Luar
- Kompas : "Ekspedisi Cincin Api : Dibawah Bayangan Krakatau". Diakses 15 Desember 2013.
- Tribun Lampung : "Pemkab Dituntut Ganti Rugi Rp. 64,562 Miliar". Diakses 16 Desember 2013.
- Lampung Post : "Warga Minta Status Hak Tanah Pulau Sebesi Diperjelas". Diakses 15 Maret 2014.
.