Lompat ke isi

Seminari Petrus Kanisius Mertoyudan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 22 Januari 2017 02.42 oleh Jzsj (bicara | kontrib) (undo)
Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan
Informasi
JenisSeminari
AkreditasiA+
MaskotCanis
Rektor / Ketua(alm) Rm. Ign. Sumarya, SJ
Kepala SekolahRm. Y.Alis Windu Prasetyo, SJ
KurikulumKTSP
Alamat
LokasiJalan Raya Mayjend Bambang Soegeng 15 Magelang, Magelang, Yogyakarta, Indonesia
Moto
MotoSanctitas, Sanitas, Scientia

Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan atau akrab disebut Seminari Mertoyudan adalah suatu seminari menengah atau tempat pendidikan untuk para calon imam/pastor yang masih belajar pada tingkat SMA. Terletak di Mertoyudan, di pinggir jalan raya Magelang-Yogyakarta.

Sejarah

Berdirinya Seminari Menengah Mertoyudan berawal darikeinginan dua orang pemuda Jawa lulusan Kweekschool Muntilan pada tahun 1911 untuk menjadi imam atau pastor, yakni Petrus Darmaseputra dan F.X. Satiman. Pada bulan November 1911 mereka menghadap Romo Van Lith dan Romo Mertens SJ dan mohon agar diperkenankan belajar menyiapkan diri menjadi imam atau pastor. Niat kedua pemuda ini, sejalan dengan adanya kebutuhan akan imam bumi-putera di Indonesia, memicu munculnya gagasan untuk menyelenggarakan suatu lembaga pendidikan bagi para calon imam. Proses perizinan dari Tahta Suci Vatikan pun diurus, dan pada 30 Mei 1912 izin resmi dari Vatikan didapatkan untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Dan lembaga pendidikan Seminari Menengah yang diselenggarakan ini merupakan yang pertama di Indonesia. Pendidikan tersebut pada mulanya dilaksanakan sebagai kursus bagi para lulusan sekolah guru, dan diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan. Selain kedua pemuda pemula dari tahun 1912 itu, pada tahun 1913 bergabung satu orang lagi, dan selanjutnya pada tahun 1914 dua murid tambahan. Namun karena sistem dan pelaksana pendidikan calon imam di Muntilan saat itu belum memadai, para seminaris dari Muntilan atas suatu kerjasama kemudian dititipkan ke Uden - Belanda.

Antara tahun 1916-1920 10 siswa seminari dari Muntilan dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan para pastor Ordo Salib Suci di Uden, Belanda. Di antara mereka itu dua siswa meninggal, dan seorang lagi terganggu kesehatannya, mungkin karena tidak cocok dengan iklim di sana; maka kemudian diambil kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan seminari kembali lagi di Indonesia. Untuk itu sistem dan kurikulum Kursus di Muntilan pun disempurnakan.

Tanggal 7 September 1922, dua lulusan Seminari Menengah ini menjadi novis pertama pada Novisiat Serikat Yesus yang baru dibuka di Yogyakarta dengan rektor dan pimpinan novisiatnya Romo Strater SJ.

Pada bulan Mei 1925 dimulailah Seminari Kecil (Klein Seminarie), menempati gedung yang dibangun di sebelah barat Kolese St. Ignatius Yogyakarta tanggal 19 Desember 1927 dan diberkati oleh Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, SJ. Kursus diadakan bagi mereka yang baru tamat Sekolah Dasar Hollands Inlandse School (HIS) dan Europese Lagere School (ELS). Sejalan dengan itu kursus di Muntilan, bagi mereka yang sudah memiliki ijasah guru Kweekschool juga tetap berlangsung. Sekitar tahun 1927 kedua kursus ini digabungkan menjadi Seminari Kecil di Yogyakarta, dengan tujuh jenjang kelas. Yang terendah adalah kelas yang disebut Candidatus Probatus (CP) setara kelas VII dalam sistem pendidikan sekarang, kemudian kelas Figura Minor (setara kelas VIII), kelas Figura Maior (setara kelas IX), kelas Grammatica (setara kelas X), kelas Sintaxis (setara kelas XI), kelas Poesis (setara kelas XII) dan kelas Rhetorica. Lulusan sekolah lanjutan tingkat pertama diterima dan dimasukkan dalam kelas khusus yang diberi nama By Cursus (BC), yang jika lulus, melanjutkan pendidikan dalam kelas Grammatica. Begitu juga lulusan sekolah lanjutan tingkat atas, yang selanjutnya bergabung dengan kelas Rhetorica. Karena jumlah siswa meningkat hingga 100 orang lebih, seminari ini kemudian dipindah ke Mertoyudan Magelang. Pelajaran pertama di tempat baru ini dimulai pada 13 Januari 1941.

Dalam Perang Dunia II, pada 8 Maret 1942 tentara Belanda yang menduduki Indonesia menyerah kepada tentara Jepang. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang dan digunakan untuk sekolah Pertanian Nogako. Sistem pendidikan kolonial barat dilarang oleh pemerintah pendudukan Jepang. Maka pada tanggal 5 April 1942 para seminaris terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Meski demikian, pendidikan calon imam tetap dilangsungkan tersebar di berbagai pastoran, di antaranya di Boro, Yogyakarta, Ganjuran, Muntilan, Girisonta, Ungaran, Semarang dan Solo. Pelajaran diberikan secara sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, seminari lazim disebut Seminari dalam diaspora. Situasi ini berlangsung hingga Republik Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Dalam masa Revolusi Fisik, gedung Seminari Mertoyudan sempat dibumihanguskan. Sisa-sisa bangunan menjadi jarahan. Setelah situasi tenang, gedung Seminari dibangun kembali oleh Vikariat Apostolik Semarang dan berakhir Agustus 1952. Bangunan tersebut sekarang merupakan bagian dari gedung Domus Patrum dan Medan Madya dalam kompleks Seminari Menengah Mertoyudan. Setelah pembangunan selesai, para seminaris yang tersebar dikumpulkan kembali ke Mertoyudan.

Tanggal 3 Desember 1952 gedung Seminari Menengah Mertoyudan diberkati Mgr Albertus Soegijapranata SJ. Lima tahun kemudian dibangun gedung tambahan yang dipergunakan untuk seminari, yaitu Medan Utama dan Medan Pratama. Sejak saat itu semakin banyak murid tamatan SD yang diterima di Seminari Mertoyudan. Namun selang dua puluh lima tahun kemudian, berdasar pertimbangan lain, tamatan SD tidak diterima lagi sejak tahun 1968. Yang diterima hanya tamatan SLTP dan SLTA. Nama-nama kelas juga berubah, disesuaikan dengan tiga kelas SMA pada waktu itu (kelas I SMA atau kelas X sekarang, kelas II SMA atau kelas XI, dan kelas III SMA atau kelas XII), dan juga dikenal penjurusan Sosial-Ekonomi (Sos-Ek, atau IPS sekarang) dan Pasti-Alam (IPA). Setelah itu ada kelas Propadeuse. Lulusan SLTP ditampung dalam kelas BC (bij cursus) Pertama lebih dahulu sebelum kemudian mengikuti sistem dan kurikulum SMA. Sedang lulusan SLTA ditampung dalam kelas BC (bij cursus) Atas.

Tahun 1971 siswa lulusan SLTA yang diterima Seminari tinggal di Yogyakarta, dan mengikuti kuliah di IKIP Sanata Dharma hingga menyelesaikan pendidikan sarjana muda. Namun pada tahun 1972 siswa tamatan SLTA juga ditampung di Seminari Menengah Mertoyudan. Pada tahun 1973 kelas Propadeuse dihapuskan, sehingga siswa kelas III SMA waktu itu atau kelas XII dalam sistem sekarang setelah lulus diperkenankan melanjutkan ke Novisiat atau Seminari Tinggi. Karena berbagai alasan, tahun 1974 di Wisma Realino Yogyakarta dibangun cabang Seminari Menengah Mertoyudan khusus untuk menampung siswa tamatan SLTA. Istilah BC (bij cursus) pada tahun ini diganti menjadi Kelas Persiapan. Maka ada Kelas Persiapan Pertama (KPP) untuk lulusan SLTP dan Kelas Persiapan Atas (KPA) untuk lulusan SLTA.

Di kompleks Seminari Menengah Mertoyudan sementara itu dilakukan penambahan gedung. Tahun 1976 dilakukan penambahan gedung, yang diresmikan dan mulai dihuni oleh Seminaris Medan Utama. Tahun itu juga Seminari Cabang Yogyakarta digabung lagi dengan Seminari Mertoyudan hingga sekarang.

Peringatan

Pada tahun 2012 diselenggarakan Peringatan 100 Tahun Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan (1912-2012) Magelang dengan tema "Setia Menyemai: memersiapkan bibit imam yang multi-kultural dan berwawasan lingkungan sebagai kader pemimpin Gereja dan bangsa". Perayaan diwujudkan dalam pelbagai kegiatan mulai dari sosialisasi pada awal Januari 2011, novena dengan Misa bulanan yang dipersembahkan oleh Uskup-uskup alumni Seminari Menengah Mertoyudan dengan tema yang berbeda-beda sejak Mei 2011

Juga dilakukan "Pertemuan Akbar Seminari Regio Jawa-Bali pada bulan Juni 2011; berbagai lomba-lomba menulis, membuat karikatur, melukis; Training for Trainers untuk pembimbing iman anak dan remaja; bakti sosial pengobatan gratis dan seminar kesehatan; serta Misa Syukur 100 Tahun Seminari Menengah Mertoyudan pada 2 Juni 2012, dilanjut dengan aneka pentas seni dan malamnya ditutup dengan pagelaran wayang kulit dengan dhalang Ki Radya Harsono, dengan lakon Dewa Ruci.

Pranala luar