Lompat ke isi

Wikipedia:Menyunting sebuah halaman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 13 Februari 2008 07.40 oleh Anasluthfi (bicara | kontrib) (Manusia Ulang-Alik, Biografi Umar Kayam')

Manusia Ulang-Alik, Biografi Umar Kayam

Umar Kayam adalah sastrawan yang sosiolog, atau sosiolog yang sastrawan. Umar Kayam dilahirkan dari seorang guru Hollands Inlands School (HIS) . Lahir 30 April 1932, di Ngawi Jawa Timur. Menempuh pendidikan di HIS Mangkunegoro Surakarta, di mana ayahnya juga mengajar di sana. Di sekolah tersebut dia berteman akrab dengan Kliwir panggilan akrab Wiratmo Sukito, salah seorang tokoh Manikebu Gelanggang Tahun 6. Setelah itu dia melanjutkan sekolah di MULO (setingkat dengan SMP), dan melanjutkan SMA bagian bahasa (bagian A) di Yogyakarta. Lulus dari SMA tahun 1951, Umar Kayam atau biasa dipanggil UK melanjutkan pendidikan di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pada tahun 1955 UK melanjutkan studinya di USA di New York University School of Education (1963). Setelah mendapatkangelar gelar Master of Education di Univerasitas ini, UK melanjutkan program doktoralnya di Cornell University USA (1965) dengan desertasi “Aspect of Interdepartemental Coordination Problems in Indonesian Community Development”. Semasa kecil, UK sudah akrab sekali dengan dunia membaca. Saat masih duduk di sekolah setingkat SD, UK terbiasa dengan bacaan-bacaan dongeng, dan pelajaran-pelajaran yang terkait cerita dalam bahasa Belanda. Saat duduk di MULO—setingkat dengan SMP—UK akrab sekali dengan Margareth Mitchel Gone with the Wind, serta novel-novel yang lain. Pada saat SMA, salah satu di antara teman-temannya saat itu adalah Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef yang kelak kedua-duanya menjadi menteri pendidikan, UK mengelola majalah dinding sebagai medan untuk mengeksplorasi karya-karya sastranya. Di tempat ini pula UK membincangkan karya sastra Tagore, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Karya-karya yang lain. Cerpen “Bunga Anyelir” merupakan cerpen pertama UK yang dimuat di sebuah majalah di Jakarta, dan itu ditulisnya saat masih duduk dibangku SMA.

Saat Mahasiswa UK aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan tentu saja dunia kesastraan saat itu. Salah satunya, UK adalah perintis “Universitaria” di RRI Nusantara II Yogyakarta yang menyajikan berbagai informasi kegiatan mahasiswa. Selain itu, UK juga mendirikan majalah Minggu dan berbagai kegiatan yang lain, terutama terkait dengan kebudayaan. Selanjutnya, saat kuliah di USA, UK juga aktif menulis karya sastranya yang dikirimkan ke Indonesia di berbagai media. Hingga kemudian, sepulangnya di Indonesia UK ditunjuk untuk menjadi Direktur Jendral Radio, Televisi dan Film Departemen Penerangan RI (1966-1969). Pada tahun 1969 UK terpilih untuk menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta dan pada saat yang bersamaan UK juga menjabat sebagai Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (Sekarang IKJ) dan juga menjabat sebagai anggota Board of Trustee International Broadcast Institute yang bermarkas di Roma. Selain sebagai seorang sastrawan, UK juga merupakan pemain Film, tercatat pernah menjadi salah satu pemain dalam Film Karmila,yang disutradarai oleh Ami Priyono. UK juga pernah memerankan sosok Bung Karno dalam Film G-30-S/PKI yang disutradarai Arifin C Noor, berperan Sebagai Pak Bei dalam Canting, Senetron yang diangkat dari Novel Arswendo Atmowiloto. Kariernya sebagai akademisi dan iluwan, UK tercatatat pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (1975-1976), Direktur Pusat Studi Kebudayaan UGM (1977-1997), Dosen Pasca Sarjana, Jusrusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1998-2001). Dan pada tahun 1989 mendapat pengukuhan sebagai Guru Besar di UGM. Terlepas dari karir dan karyanya, UK tetaplah manusia biasa, UK menikah dengan Rooslina Hanoum, dan dikaruniai dua orang putri: Sita Aripurnami dan Wulan Anggraini. (Sumber, B Rahmanto, Umar Kayam dan Duniannya, 2004) Manusia Ulang-Alik, Biografi Umar Kayam

Kompas, Minggu, 03 Juni 2007 Kehidupan Seorang "Multikulturalis" Umar Kayam, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah sosok manusia "multikulturalis", seorang akademisi, birokrat, seniman, sastrawan, budayawan, dan juga penikmat makanan. Sebagai ilmuwan yang seniman (atau sebaliknya), Umar Kayam telah memaknainya sebagai sisi kemanunggalan yang harus direfleksikan dalam lintas disiplin ilmu. Seperti yang selalu ditekankannya bahwa penting bagi seorang sarjana memiliki wawasan "vertikal" yang merupakan refleksi dari masing- masing ilmu, dan wawasan "horizontal" sebagai wawasan yang mendudukkan relevansi bidangnya dengan disiplin ilmu lain sehingga tidak terkotak-kotak. Pejalan budaya atau cultural commuter adalah istilah yang dipakainya untuk menjelaskan lebih jauh, bagaimana orang bergerak secara ulang-alik, dari tradisionalitas ke modernitas, dari desa ke kota, serta dari berbagai komunitas dan kebudayaan. Buku ini mengulas kehidupan Umar Kayam yang berlatar belakang keluarga priayi yang dikemas dengan metode dalam penelitian sejarah, yaitu biografi. Tiga bab pertama menggambarkan fase kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga memasuki mahasiswa yang telah menampakkan jiwa esoterismenya. Benih-benih pemikiran Umar Kayam dalam kesenian dan kebudayaan dapat dilacak mulai tahap ini. Karyanya yang menonjol, seperti Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Sri Sumarah, Bawuk, serta novelnya yang terakhir, Para Priyayi, mencerminkan penghargaan terhadap pluralisme, lintas ideologi, lintas agama, maupun etnik. (DEW/Litbang Kompas)



Jurnal Nasional, Minggu V, Juni 2007 Jalan Menikung Umar Kayam Umar Kayam salah seorang intelektual gemintang yang pernah dimiliki Indonesia digambarkan nyaris utuh dalam buku ini. Kekayaan Umar Kayam terletak pada kemampuannya untuk mendudukkan persoalan pada proporsinya. Dengan demikian pemecahan masalah apapun bentuk dan kesulitannya akan mudah diselesaikan. Agaknya sikap itu pula yang membuatnya jadi buruan para calon doktor untuk menjadikannya pembimbing. Sebagai seorang guru besar yang membimbing calon doktor, ia tidak terlalu memikirkan urusan formal. Ia tak peduli dengan kesalahan titik, koma, atau ejaan, karena menurutnya hal itu bukanlah urusan calon doktor, tapi tukang ketik. Sebagai sebuah biografi ternyata buku ini menggambarkan sosok Kayam dalam lingkaran cerita kehidupan yang terlampau luas. Namun upaya serius dari penulis untuk mendekati gambaran utuh dari sosok Umar Kayam tampak dari sekian banyak orang-orang terdekat mendiang Umar Kayam yang diwawancarainya. Hal itu juga terlihat dari begitu banyaknya karya Umar Kayam yang dijadikan referensi sebagai jalan menelaah pemikiran Umar Kayam. (Bonnie Triyana)

Tempo, 3 Juni 2007 Priyayi Yang Menikung Jalan Buku yang memberikan gambaran tentang priyayi yang sanggup mempopuliskan kepriyayiannya. Biografi Umar Kayam yang cukup kaya. Inilah buku yang menarik dibaca. Manusia Ulang Alik: Biografi Umar Kayam tidak kering, juga tidak romantik—sebagaimana umumnya buku biografi di sini. Ia memberikan gambaran umum sekaligus kejutan-kejutan detail dalam pembahasan yang obyektif. Secara historiografis buku ini sangat menarik. Penulisnya dengan lihai menjaring historical consciousness melalui penekanan pada Umar Kayam on aware of becoming and not only being. Kekayaan detail, sebagai syarat utama sebuah biografi, tampak dari narasumber yang dipakainya, mulai dari istri, saudara, hingga koleganya seperti S.M. Ardan dan Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo. Tampak, penulis mendekati tokohnya dengan teori dasar Freud, childhood is the father of man. Dengan kerangka berfikir ini, akar kebudayaan sang tokoh bisa dilacak dan dinilai dari masa kecilnya. Kepriyayian yang mewarnai masa kecilnya justru menjadi semacam epiphany, turning points moments, atau momen krisi bagi kehidupan pribadinya begitu ia menyaksikan perubahan dunia yang sedemikian cepat dan menuntut sikap adaptif. Dengan begitu ia manjadi priyayi yang kritis untuk kemudian memilih menikung jalan: mempopuliskan priyayi. Karya ini sebagaimana buku sejarah pada umumnya memang masih menyisakan banyak pertanyaan, sebuah tanda yang sebenarnya sangat baik. (M. Yuanda Zara)

www.umarkayam.org Sebuah Buku yang Mak Nyus “Manusia Ulang Alik” demikian buku ini memberikan label untuk Umar Kayam. Sebuah ekspresi apresiatif segala hal tentang Umar Kayam. Sudah barang tentu, setelah melakukan proses panjang: penelusuran koran-koran berdebu, keliping, analisis berbagai karya, hingga wawancara. Demi sebuah pelajaran tentang hidup dari sosok pria kelahiran Ngawi yang bernamakan Umar Kayam. Umar Kayam adalah sastrawan, namun juga sosiolog. Lebih tepatnya sosiolog yang sastrawan, dan sastrawan yang sosiolog. Dia adalah orang Jawa, sebagaimana orang Jawa yang lain, harmonitas lebih utama dari nyawa. Namun, Umar Kayam, bukanlah sekedar orang Jawa, dia hafal betul nama-nama kota: entah yang di pinggiran Jakarta atau di USA. Dari Ciputat hingga Chicago, dari Solo hingga Sanfransisco. Dari Kalibening hingga California Sebagai sastrawan, karya-karyanya telah banyak dikenal. Banyak muatan yang terselip di sela-sela deretan huruf dalam novel-novelnya. Tentu, semua kenal dengan Clifford Geertz, orang yang paling bertanggung jawab atas trikotomi masyarakat Jawa: Santri, Abangan, dan Priyayi. Dan Umar Kayam larut dalam masyarakat Jawa yang dikategorikan oleh Geertz. Sebagai orang dalam, konon Umar Kayam, merasa keberatan dengan narasi ciptaan Geertz atas dunia priyayi: wilayah dimana mungkin dia masuk di dalamnya. Lalu Umar Kayam menginterupsinya, bukan dengan memarah-marahi tulisan Geertz, tapi menyajikan sebuah cerita/ novel. Dengan gaya tutur yang dapat disebut baru, membiarkan aktor-aktor dalam novelnya bercerita mengalir menarasikan hidupnya sendiri. Novel Para Priyayi, adalah semacam jawaban, semacam interupsi, mungkin ketidaksetujuan atas simplifikasi masyarakat Jawa yang ditorehkan Geertz. Demikian salah satu cara Umar Kayam ber-sastra sekaligus berdebat akademik. Buku ini merupakan sebuah biografi, sebagaimana kebanyakan biografi, unsur-unsur apresiasi, kekaguman dan semangat moralitas berhasil mendahului proses penulisan. Penyajian sejarah masih sangat standard, kehidupan unik yang ditempuh dengan motede “nakal”: demoralisasi sejarah, belum nampak kuat dalam buku ini. Kehidupan keseharian seperti: cara berpakaian, cara makan, spritualitas, tak tampak. Demikian pula, buku ini sepi dari sesuatu yang unik dari Sang Umar Kayam sehingga dia menjadi disukai atau dibenci orang. Sesuatu yang remeh temeh yang semestinya bila ditelusuri dan dianalisis akan menemukan kedalaman Umar Kayam yang utuh, tidak pula tampil dari buku ini. Di sinilah kadang Luthfi melupakan apa yang telah dideklarasikan sebelumnya. Namun apapun itu, Luthfi tetap masih bagus. Bukankah buku ini adalah hanya sebuah skripsi. Menulis skripsi terkadang jauh lebih sulit dari pada desertasi. Manakala seseorang hendak menulis sebuah skripsi yang bagus, dengan “gagasan yang besar”, dan ide-ide baru seringkali yang ditemukan adalah tidak ditemukan dosen pembimbing. Atau biasanya Pak Dosen akan bilang “Nak, kamu ini masih S1, tidak usah menulis yang besar-besar, pikirkanlah ide-idemu itu untuk jenjang studimu selanjutnya”. Jika sudah demikian, siapapun itu pasti akan merasa lemas, hingga kesimpulan pun akan dipungut: skripsi yang baik adalah skripsi yang jadi”. Buku ini merupakan kompromi, antara berbagai kendala dan ketidakmampuan dan keharusan untuk menulis. Sekalipun begitu, apa yang dikerjakan oleh Luthfi tidak bisa dikategorikan sebagai pilihan “skripsi yang baik adalah skripsi yang sudah jadi”, namun jauh lebih dari itu, apa yang dilakukan oleh Luthfi tetap mak nyus untuk dibaca. Terlepas dari semuanya, ada satu hal yang membuat buku ini sangat menarik dan penting. Yaitu ditulis oleh seseorang yang berlatar belakang pesntren. Jika memang Geertz benar dengan trikotomi: priyayi, abangan dan santri, masing-masing mempunyai batas dan kosmologi berbeda-beda. Maka buku ini juga marupakan ekspresi ziarah kebudayaan dimana masyarakat Jawa saling mempelajari antara satu dengan yang lain. Dan buku ini merupakan wujud bagaimana santri membaca priyayi. Lantas masihkah trikotomi itu dapat dipertahankan lagi? (Slamet Tohari)

Seputar Indonesia, 9 September 2007 Mengenal Umar Kayam Lebih Dekat Biografi adalah suatu hasil dari pengakomodasian kehidupan (secara pasrsial) seorang tokoh, mulai kepribadian, karier, karya, hingga seluk beluk keluarganya. Menulis sebuah biografi tak semudah membalkan telapak tangan, sebab banyak aturan yang ditaati, seperti harus menjadpat izin keluarga sang tokoh, harus bisa menjadi tokoh itu, dan harus bisa bersikap obuektif. Dengan kata lain, sang penulis dituntut untuk sepenuhnya menjadi sosok atau tokoh yang sedang ia tulis. Namun, kesulitan itu tidak berlaku bagi Ahmad Nashih Luthfi, yang kini berprofesi sebagai staf akademik di Jurusan Sejarah UGM. Ia mampu mengakomodasi seputar kehidupan Umar Kayam dengan begitu apik dan cerdas. Lewat sebuah buku Manusia Ulang alik : Biografi Umar Kayam, yang diambil dari skripsinya, penulis dengan begitu cekatan mengulas warna-warni kehidupan Umar Kayam sekaligus menyajikan data-data konkrti yang utuh, guna menunjang kevalidan dan kebasahan suatu karya ilmiah. Kendati buku ini tidak terlalu tebal seperti biografi pada umumnya, justru para pembaca budimana akan menemukan keunikan tersendiri dari apa yang disajikannya. Umar Kayam adalah sosok yang demokratis serta inklusif terhadap siapapun dan dalam persoalan apapun. Selain itu, Umar Kayam juga dikenal sebagai sosok sastrawan dan budayawan. Karyanya meliputi cerpen, novel, esai-esai kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa. Karya-karya fiksinya dianggap mempunyai makna baru dalam dunia kesusastraan. Ia dikelompokkan sebagai sastrawan angkatan 50 (1950-1970). Angakatan dengan corak atau kekhasan berupa penceritaan yang kukuh, tanpa banyak disertai pandangan-pandangan pribadi. Keberanian penulis untuk menguak keberadaan Umar Kayam, lewat karya-karyanya yang kritis baik yang berupa cerpen, novel, sekaligus esainya seolah menjadi bumbu tersendiri dalam buku ini. (Ari Siswanto)

“Umar Kayam adalah sosok yang tidak pernah basi dibicarakan. Sebab, ia adalah sosok yang memancarkan cahaya dari berbagai sudut. Ia ibarat sebuah prisma. Orang bilang, Umar Kayam adalah seorang demokratis. Ya, memang. Tapi ada kalanya, Umar Kayam sangat chossy, pilih-pilih dalam pergaulan......Sebab bagaimanapun, Umar Kayam adalah seorang manusia. Jika orang ingin menemukan gambaran Umar Kayam secara utuh, orang akan segera melihat sisi gemerlapnya dan sisi gelapnya. Seperti dikatakan Ernest Ghoocy. Sisi gelap itu ibaratnya l’ombre alias bayangan. Oleh karena itu, menulis biografi yang benar-benar bisa bermanfaat adalah jika di sana juga ada tinjauan kritis dari penulisnya. Dalam buku karangan A. N. Luthfi ini, tinjauan kritis dimaksudkan tersedia.” “Startegi penulis buku ini yang menggunakan teori dasar Freud, the childhood is the father of a man sangat kena. Terutama jika orang kemudian membaca novel Para Priyayi jilid pertama. Novel yang boleh dikatakan sebuah konstruksi munculnya ambtenaarisme di Indonesia, akan lebih mudah dan lebih nikmat dikunyah karena uraian masa kecil Umar Kayam dalam buku ini. Juga, sikap dan pandangan dunianya yang mengutamakan kebersamaan, terfahami dengan jelas karena informasi masa kecil.” Prof. Dr. Bakdi Soemanto

“Dengan penerbitan buku ini, Sains ingin menggarisbawahi capaian pemikiran Umar Kayam yang melakukan lintas ilmu dan bahkan ilmu dengan seni. [...] ini merupakan sebuah peringatan keras atas kecenderungan kompartementialisasi ilmu sosial dan humaniora yang berkembang di Indonesia dewasa ini. Dalam konteks pembangunan, bila istilah ini masih dapat digunakan, pemikiran Umar Kayam untuk memfokuskan pada “aspek manusia” atau “kebudayaan” sebagai agensi melebihi pembangunan fisik, masih sangat relevan untuk ditekankan di tengah-tengah masyarakat, perbincangan akademis, maupun pembahasan di lingkungan pengambil kebijakan.” “Penulis buku ini dengan jeli menangkap pesan Umar Kayam kepada kita, terutama pengelola negara ini bahwa “kekuasaan dibangun untuk dapat mensejahterakan rakyat…namun yang terjadi, kekuasaan diperebutkan untuk dapat mengatur sumber-sumber pendapatan, sehingga terjadi royokan, rebutan. Kalau sudah rebutan, maka yang brutal yang ‘menang’. Ini yang harus kita waspadai, harus kita jaga agar kekuasaan itu bisa diatur bersama-sama dengan baik…”. Selanjutnya, “……kekuasaan yang telah semakin besar dan kuat, tak lagi memikirkan kebudayaan….padahal kebudayaan adalah kehidupan masyarakat, kebudayaan adalah ‘buatan’nya orang banyak. Kekuasaan pada kenyataannya (di negeri kita ini) adalah semata-mata untuk mengatur sumber-sumber pendapatan”. Inilah point-point penting yang ditemukan oleh penulis buku ini. “ Sajogyo Inside, Bogor

Buku ini membahas mulai dari kehidupan masa kecil Umar Kayam di Ngawi, Mangkunegaran Solo dalam nuansa keluarga, priyayi, masa mahasiswa, perannya sebagai Dirjen Radio, Televisi, dan Film, dll. ulasan tentang pemikiran keilmuan, kesenian dan kebudayaan, sampai dengan paparan mengenai bagaimana komunitas Umar Kayam mengenang dan mewacanakannya kembali setelah wafatnya.

Referensi: Ahmad Nashih Luthfi, Manusia Ulang-Alik, Biografi Umar Kayam, Bogor: Sajogyo Inside dan Eja Punlisher, 2007