Lompat ke isi

Pulau Flores

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 3 Januari 2005 07.02 oleh 165.21.154.11 (bicara)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

SEJAK dua tahun lalu, wacana pembentukan Propinsi Flores, sebagai pemekaran dari Propinsi NTT, menghangat. Wacana ini mendapat bentuknya melalui Komite Perjuangan Pembentukan Propinsi Flores (KP3F) yang dibentuk di enam kabupaten di Flores dan Lembata. KP3F dibentuk, terutama untuk melakukan sosialisasi sekaligus mengakomodir berbagai aspirasi tentang pembentukan propinsi itu.

Bagi para pencetus, pembentukan Propinsi Flores sudah saatnya dilakukan. Hampir sama dengan motivasi pembentukan kabupaten-kabupaten baru, pembentukan Propinsi Flores dilakukan dalam rangka efisiensi pelayanan kepada masyarakat.

Dengan membentuk propinsi sendiri, para pejabat di Flores tidak harus menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk menghadiri kegiatan-kegiatan tingkat propinsi di Kupang. Mereka cukup menggunakan mobil untuk datang ke ibukota Propinsi Flores yang akan disepakati nantinya, biaya-biaya perjalanan akan lebih hemat. Hal ini sangat berbeda jauh ketika setiap pejabat dari Flores harus datang ke Kupang. Hal ini pun sangat berpengaruh terhadap jumlah kesempatan setiap pejabat berada di daerahnya untuk melayani kepentingan masyarakat.

Lebih meyakinkan lagi, para pencetus mengungkapkan bahwa pembentukan Propinsi Flores bukanlah gagasan baru, yang lahir di era reformasi. Gagasan ini sudah muncul sejak pembentukan Propinsi NTT pada tahun 1959 yang terus diperjuangan hingga akhir era 1960-an. Namun gagasan itu seperti terkubur pada era Orde Baru yang mempraktekkan pemerintahan sentralistik.

Oleh karena itu, para pencetus sangat yakin gagasan ini akan segera terealisir. Keyakinan ini lahir dari kenyataan saat ini, di mana kebebasan untuk menyatakan pendapat dan aspirasi, sangat dijunjung tinggi. Yang patut diusahakan, bagaimana perjuangan itu mematuhi koridor dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Misalnya, dengan membentuk Komite Perjuangan Pembentukan Propinsi Flores (KP3F), mulai dari kabupaten hingga pusat di Jakarta.

Akan tetapi informasi dari Ketua FP3FL Jakarta, Anton Enga Tifaona dalam dialog dengan anggota legislatif, eksekutif dan masyarakat Kabupaten Lembata pada tanggal 13 Oktober 2002 lalu, membuat kita sejenak menarik nafas. Menurut Tifaona, pembentukan Propinsi Flores belum bisa dilakukan dalam tahun ini. Kemungkinan untuk pembentukan Propinsi Flores baru terbuka kembali setelah pelaksanaan pemilu 2004 mendatang. Ini terjadi karena rekomendasi pembentukan Propinsi Flores ini belum masuk ke Komisi II DPR RI, sementara pendaftaran pemekaran wilayah propinsi dan kabupaten/kota ditutup pada tanggal 31 Oktober 2002.

Sampai di sini, kita patut bertanya, di manakah letak kelemahan dalam merancang perjuangan mencapai sukses? Mungkin tidak pada tempatnya kita mempersalahkan pihak-pihak tertentu seperti KP3F atau DPRD kabupaten dalam hal ini. Mencari tahu, apalagi mempersalahkan pihak-pihak tertentu dalam proses perjuangan ini tampaknya justru menjadi penghambat.

Namun bagi kita, tertundanya pembentukan Propinsi Flores ini menyiratkan suatu jawaban bahwa sebetulnya kita memang belum siap. Atau dengan kata lain, belum semua komponen masyarakat menghendaki pembentukan Propinsi Flores.

Dari berbagai berita yang dilansir media ini akhir-akhir ini, kita mengetahui betapa perjuangan pembentukan Propinsi Flores begitu gencarnya dilakukan. Namun seiring dengan itu, masih terdengar pula pendapat-pendapat yang kontra terhadap gagasan ini. Ada sementara orang yang berpendapat bahwa pembentukan Propinsi Flores ini belum menjadi aspirasi seluruh masyarakat Flores. Masyarakat tidak melihat urgensi dari pembentukan Propinsi Flores bagi peningkatan kesejahteraannya. Bahkan ada yang tidak segan-segan menuduh pihak-pihak tertentu mempunyai target kepentingan pribadi dan kelompok di balik perjuangannya manakala suatu saat Propinsi Flores tebentuk.

Pro-kontra mengenai perjuangan ini berdampak pada molornya rekomendasi dari pemerintah kabupaten (Pemkab) dan DPRD setempat. Secara sepintas, kita bisa memuji beberapa Pemkab dan DPRD yang jauh-jauh hari telah mengeluarkan rekomendasinya. Sebaliknya, kita langsung mengutuk Pemkab dan DPRD yang sampai saat ini pun belum mengeluarkan rekomendasinya.

Tetapi kalau kita mau agar perjuangan ini benar-benar menjadi keinginan bulat seluruh rakyat Flores, maka tidak sepatutnya kita serta merta memuji Pemkab dan DPRD yang telah mengeluarkan rekomendasi, sebab boleh jadi mereka telah mengabaikan aspirasi rakyat. Sebaliknya, kita tidak serta merta mengutuk Pemkab dan DPRD yang belum mengeluarkan rekomendasi itu, sebab boleh jadi mereka menghargai aspirasi rakyat.

Apakah dengan keadaan ini, pembentukan Propinsi Flores telah gagal? Kita dengan tegas menyatakan bahwa perjuangan ini belum gagal, masih ada banyak kesempatan tersedia di depan kita. Bahwa saat ini perjuangan itu belum terwujud, hendaknya dilihat secara positif, sebagai kesempatan untuk kita merapatkan barisan dan lebih mematang perjuangan kita menuju Propinsi Flores. *