Lompat ke isi

Hukum pidana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.[1]

Menurut Prof. Moeljatno, S.H. Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk [2]:

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[2]
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.[2]
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]

Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.[3]

Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.[3]

Sumber-Sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis.[4] Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.[3] Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain[4] :

  1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).[4]
  2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).[4]
  3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).[4]

Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain[3]:

  1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.[3]
  2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.[3]
  3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme.[3] dll

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.[3]

Asas-Asas Hukum Pidana

  1. Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP).[butuh rujukan] Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
  2. Asas Praduga Tidak Bersalah, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.[4]
  3. Asas Teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing (pasal 2 KUHP).
  4. Asas Nasional Aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana di mana pun ia berada (pasal 5 KUHP).
  5. Asas Nasional Pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara (pasal 4 KUHP).

Macam-Macam Pembagian Tindak Pidana

Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam[5] :

  1. Delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain (Pasal 338 KUHP) dan delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya, karena kesalahannya telah menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.(Pasal 359 KUHP).[5]
  2. Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya, melakukan pencurian atau penipuan (Pasal 362 dan378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang merencanakan makar.[5]
  3. Kejahatan (Buku II KUHP), merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari ada atau tidaknya larangan dalam Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai delik hukum.[5]
  4. Pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru karena adanya larangan dalam Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-undang.[5]

Macam-Macam Sanksi Pidana

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut:

Sanksi Pidana Pokok

  1. Sanksi pidana mati, mengenai sanksi pidana mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuk sanksi pidana ini, seperti Belanda. Akan tetapi Indonesia, masih memberlakukan sanksi pidana ini terutama untuk jenis tindak pidana berat, walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap pemberian sanksi pidana ini.[5]
  2. Sanksi pidana penjara, sanksi pidana penjara sendiri dibedakan ke dalam sanksi pidana penjara seumur hidup dan sanksi pidana penjara sementara.[5] Sanksi pidana penjara sementara minimal 1 hari dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol[4]
  3. Sanksi pidana kurungan, sanksi pidana ini kondisinya tidak seberat sanksi pidana penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.[butuh rujukan] Biasanya terhukum dapat memilih antara sanksi pidana kurungan atau sanksi pidana denda.[butuh rujukan] Bedanya sanksi pidana kurungan dengan sanksi pidana penjara adalah pada sanksi pidana kurungan terpidana tidak dapat ditahan di luar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada sanksi pidana penjara dapat dipenjarakan di mana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada sanksi pidana penjara tidak demikian.[5] Sanksi pidana kurungan diberikan minimal 1 hari dan maksimal 1 tahun.
  4. Sanksi pidana denda, dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan.[5] Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.[4]
  5. Sanksi pidana tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.[5] Sanksi pidana tutupan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946.

Sanksi pidana tambahan. Sanksi ini tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, sanksi pidana tambahan tersebut antara lain:

  1. Pencabutan hak-hak tertentu.[5] Pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga sdisebut “burgerlijke dood”, tidak diperkenankan oleh undang-undang sementara (pasal 15 ayat 2).
  2. Perampasan barang-barang tertentu.[5] Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana benda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat dirampas, yaitu: 1. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan. 2. Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
  3. Pengumuman keputusan hakim.[5] Di dalam pasal 43 KUHP, ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Terhadap orang-orang yang melakukan peristiwa pidana sebelum berusia 16 tahun, hukuman pengumuman tidak boleh dikenakan.

Referensi

  1. ^ Ikhtisar Ilmu Hukum, Prof. DR. H. Muchsin, S.H, Hal. 84
  2. ^ a b c d Asas Asas Hukum Pidana, Prof. Moeljatno, S.H., Hal. 1
  3. ^ a b c d e f g h Pengantar Ilmu Hukum, Titik Triwulan Tutik, S.H, M.H, Hal. 216-217
  4. ^ a b c d e f g h Pengantar Hukum Indonesia, Fully Handayani, S.H., M.Kn, Hal. 59-61
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m Pengantar Ilmu hukum, Subandi AL Marsudi, S.H., M.H., Hal. 146-154

Lihat pula