Lompat ke isi

Wewene Minahasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 26 November 2017 05.06 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Wewene Minahasa

A.     Perempuan Dalam Adat-Istiadat

Terdapat cukup banyak publikasi yang memberi penjelasan mengenai posisi perempuan Minahasa dalam istiadat. Tetapi setidaknya, kita dapat melihat posisi tersebut dari sekitar kegiatan daur hidupnya, yaitu:

Sekitar Kekerabatan

Karena menganut prisip keturunan bilateral, maka hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui pihak pria dan perempuan. Ayah dan ibu memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap anak-anak. Anak-anak akan menggunakan nama fam (famili atau nama keluarga) ayahnya di belakang nama kecilnya. Misalnya keluarga ayah adalah Mandagie, maka semua anak-anaknya akan menggunakan nama keluarga Mandagie di belakang nama kecilnya. Tapi tak jarang, nama margaibu juga digunakan sebagai marga anak, atau menyelipkannya sebagai nama tengah anak, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian kekerabatan bahan ajar.

Sekitar Kelahiran

Apabila seorang perempuan Minahasa akan melahirkan, maka tidak menjadi masalah apakah anak yang akan lahir itu perempuan atau pria. Karena masyarakat menganggap bahwa anak laki-laki dan perempuan sama saja. Maksudnya, anak laki-laki tidak dianggap terlampau istimewa sehingga me-lupakan keberadaan anak perempuan. Anggapan tersebut dipengaruhi oleh pemikiran keagamaan bahwa anak yang dilahirkan adalah anugerah Tuhan. Ditinjau dari aspek ekonomi, anak laki-laki dapat membantu orang tua meng-olah kebun atau sawah. Sedangkan anak perempuan, melalui perkawinan dapat membawa harta (mas kawin dari suaminya) berupa: petak tanah; kebun atau sawah; rumah; uang; ternak dan sebagainya;

Sekitar Perkawinan

Dalam masyarakat Minahasa, perempuan mempunyai kedudukan yang terhormat dan berpengaruh dalam kehidupan perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari nama-nama yang diberikan kepada perempuan, seperti: (1) Tetenden, istilah dalam bahasa Tombulu dan Tountemboan, artinya tempat bersandar; (2) Kasende, istilah dalam bahasa Tombulu dan Tountemboan, artinya teman makan, secara implisit tersirat makna kedudukan yang sama dengan kaum pria; (3) Si Esa, dalam bahasa Tombulu dan Tountemboan, artinya satu belahan, teman hidup.

Seorang perempuan sejak masa remaja sudah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk hidup berumah tangga. Proses pemilihan jodoh diserahkan kepada anak yang bersangkutan. Tetapi orang tua senantiasa menyarankan untuk memilih calon suami yang sudah bekerja. Bahkan orang tua akan mendorong anaknya untuk bersekolah setinggi mungkin. Dalam hal ini, terlihat juga makna bahwa perempuan turut membantu ekonomi rumah tangga dan tidak bergantung pada penghasilan suami.

Seorang laki-laki yang akan kawin harus mengambil perempuan calon isteri di luar kelompok famili ibu maupun ayah.Akan tetapi, dalam menghitung hubungan kekerabatan hanya berdasarkan satu jumlah angkatan terbatas (prinsip konsentris). Oleh karena itu, sebelum diadakan peminangan (maso minta), orang tua menyelidiki hubungan darah dengan orang tua calon suaminya atau tidak. Apabila kedapatan memiliki hubungan keluarga dekat, maka pemilihan jodoh akan dibatalkan.

Orang-orang yang dianggap masih mempunyai hubungan darah dekat dengan mereka yaitu termasuk keturunan pada angkatan ke-3 ke bawah, yakni cucu basudara. Demikian pula halnya angkatan ke atas sampai pada nenek ayah maupun ibu yang biasa disebut Opu (pria) dan Omu (perempuan).  Apabila calon isteri atau suami melanggar aturan yang sudah berlaku tersebut, maka dianggap melaksanakan perkawinan sumbang (incest). Sanksi tegas lembaga adat tidak ada, tetapi sanksi sosial tetap berlaku. Masyarakat percaya anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan terlahir cacat secara fisik.

Pada zaman dahulu masyarakat Minahasa belum mengenal lembaga nikah formal-administratif seperti saat ini. Oleh karena itu, jika seorang laki-laki bermaksud untuk menikah, ia harus melaksanakan meneroho (kase harta atau antar harta) kepada orang tua calon pengantin perempuan sebagai ganti rugi karena salah satuanggota keluarganya akan diambil. Pemberian harta dihitung berdasarkan kecantikan, kepandaian, keterampilanserta status sosial keturunan dari keluarga yang bersangkutan. Biasanya jenis dan jumlah harta yang dituntut oleh orang tua calon pengantin perempuan sebagai berikut: tanah; telaga; kuda; pohon sagu; ternak babi; kain patola atau di Minahasa dikenal dengan kain Bentenan; kain hitam; kain putih; kain merah; katun Cina; cangkir; piring dan lain-lain. Antar harta tersebut menjadi simbol sahnya perkawinan antara laki-laki dan perempuan dimaksud. Apabila jumlah yang diminta oleh pihak perempuan terlalu tinggi, maka calon pengantin pria akan melaksanakan bride service, yakni menjual tenaga dengan bekerja di rumah calon isterinya sampai jumlah harta yang diminta terpenuhi.

Setelah kedatanganbangsa Belanda dengan penyebaran agama Kristen, meneroho dilihat sama dengan menjual anak gadis atau membeli isteri. Hal tersebut dianggap merendahkan harkat dan martabat perempuan dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Karena itu, adat tersebut harus dihapus. Sebagai gantinya, harta tersebut diberikan kepada calon isterinya dan biaya pesta perkawinan menjadi tanggung jawab laki-laki;

Sekitar Perceraian

Pada masyarakat Minahasa dahulu, seorang laki-laki boleh berpoligami, yakni mempunyai isteri lebih dari satu orang. Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki zaman dahulu harus merantau, berperang ke wilayah lain dalam jangka waktu lama. Setelah masuknya ajaran agama Kristen, maka kegiatan tersebut dihapuskan karena bertentangan dengan ajaran. Gantinya, penduduk menganut paham monogami. Tetapi masih ada juga pasangan suami isteri yang bercerai. Permintaan cerai bisa dilakukan oleh suami dan bisa juga dilakukan oleh isteri. Penyebab perceraian bermacam-macam, biasanya karena suami atau isteri jatuh cinta pada orang lain atau juga karena persoalan ekonomi rumah tangga. Sangat jarang terjadi perceraian disebabkan karena dalam perkawinan tidak mempunyai anak, karena dalam masyarakat Minahasa ada kebiasaan mengangkat anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri (meki anak). Dari segi harta, anak tersebut mempunyai status yang sama dengan anak kandung dan konsekuensinya anak tersebut berhak atas harta warisan orang tua angkatnya. Dengan kata lain, anak angkat dan anak kandung memiliki hak yang sama dengan anak kandung dalam hak atas harta orang tuanya. Dia juga berkewajiban menjamin orang tua angkatnya di hari tua.

Apabila penyebab perceraian karena isteri berzinah atau kawin lagi (bagila), maka harta yang diberikan oleh suami dapat diambil kembali. Sedangkan jika suami yang lebih dahulu berzinah atau kawin lagi, maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan diselesaikan secara musyawarah dan umumnya dibagi sama rata.

Jika setelah terjadi perceraian, seorang mantan suami berkeinginan untuk rujuk dengan mantan isterinya, maka yang bersangkutan harus melamar lagi, disertai mas kawin antar harta dan melaksanakan pesta perkawinan.

Dari paparan ini, kita melihat bahwa subordinasi lewat otoritas pria yang berlebihan tidak nampak dalam adat isitiada Minahasa, bahkan hingga kini. Sehingga, pernyataan “menuju kesetaraan gender” menjadi terlihat absurd dan kurang relevan di Minahasa. Karena memang sudah emansipatif sejak mulanya. Secara biner oposisif pula, klaim tersebut justru mengesankan perempuan Minahasa tidak setara dengan kaum prianya.

B.      Dinamika Kehidupan Pendidikan, Politik dan Identitas Perempuan Minahasa

Identitas perempuan Minahasa dapat kita telusuri lewat catatan-catatan masa kolonial.Misalnya, Berdasarkan amatan N. Graaafland, ia mengatakan perempuan Minahasa merupakan pribadi yang memiliki daya tarik karena kegigihan dan kemauan yang keras. Sifat-sifat perempuan Minahasa seperti digambarkan adalah perasa, pencinta anak yang besar dan mendalam, penggembira, lincah, rajin serta ringan tangan atau mempunyai sifat penolong. Selain itu, penurut dan berkemauan keras bahkan sering dapat memaksakan kehendaknya. Karena sifat-sifat ini, perempuan Minahasa mempunyai kemauan kerja yang keras dan lebih cepat dan terbuka bergaul dengan siapa saja tanpa merasa asing. Ketika bertugas di Minahasa pada 1850an, Graafland juga melihat:

Memang, kaum perempuan […..] betul-betul sangat peka terhadap perkembangan intelektual. Mereka memiliki otak yang encer, daya tangkap yang bagus, perasaan yang hidup dan kemauan yang keras. Oleh karena itu […..] sebagaimana banyak tempat di daerah Minahasa, jarang ditemukan anak gadis yang kalah pintar dari anak-anak lelaki.

Dalam arsip negara kolonial berangka tahun 1871, bahkan pada tahun 1869 lebih dari 30 tahun sebelum kebijakan politik etis dijalankan di Hindia Belanda, murid perempuan telah sebanyak 34,5 % dari keseluruhan murid di Minahasa yang tersebar di: sekolah negara (staatschool) 28 %; sekolah sekolah misi (zending/mission schools) 34%; sekolah distrik (negoriij schools) (Schouten, 1998: 119). Hal tersebutlah yang mungkin membuat “iri” seorang R. A. Kartini pada kemajuan dunia pendidikan di Tomohan-Minahasa yang memberi peluang besar kepada perempuan untuk ikut serta. Hal itu seperti tertulis dalam dalam buku korespondensinya yang terkenal Door Duisternis Toot Licht (Kartini, 1912: 260; 303).

Kehadiran murid perempuan dalam dunia pendidikan jaman kolonial bahkan sampai pada pelatihan-pelatihan profesional. Dalam tulisan Ratulangie (1914) sebagaimana dikutip Schouten (1998: 118), pada tahun 1898, kakak Sam –panggilan akrab Ratulangie-, Wulan Kajes Rahel Wilhelmina melewati ujian klein ambtenaars dengan nilai tertinggi yang lebih baik dari anak laki-laki manapun yang mengikuti ujian tersebut. Begitu juga dengan adik perempuan Sam yang memperoleh hulpacte atau sertifikat dasar lulus sekolah kerajaan pada tahun 1912.

Mengenai keadaan pendidikan perempuan di Minahasa dan migrasi mereka karena dorongan kerja yang tinggi, dapat juga kita peroleh keterangan dari tulisan Ratulangie  berjudul “Het Minahassisch Ideaal”. Ratulangie memberi gambaran kemajuan pendidikan di tanah Minahasa serta berlombanya para penduduk pribumi, terutama kaum perempuan untuk keluar daerah dalam rangka bekerja.

Dalam tingkat pendidikan lebih tinggi, didapati catatan, perempuan pribumi pertama dan kedua yang lulus dari sekolah dokter jaman Belanda, STOVIA dan merengkuh gelar dokter berasal dari Minahasa, berturut-turut: pada september 1912 Marie Thomas lulus; 1914 Ann Warouw juga lulus. Bahkan Marie Thomas juga menjadi perempuan pribumi pertama yang menjadi Dokter Spesialis dalam bidang Obstetri dan Ginekologi.

Beralih pada masa pasca-kemerdekaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang Minahasa merupakan individu dengan gaya hidup paling dan kemudian terlanjur ditempelkan identitas negatif yang terlampau kebarat-baratan, tentu kaum perempuan juga terkena tempelan ini. Dalam bayangan identitas kebarat-baratan ini, perempuan Minahasa digambarkan dan ditulis dalam banyak surat kabar identik dengan dunia pelacuran serta cenderung diminati dalam pekerjaan di dunia hiburan karena wajah mereka yang cantik dan pembawaannya yang supel. Ini, bagi beberapa kelompok di Indonesia, secara peyoratif dihubung-hubungkan dengan moralitas Kristen dan barat yang mereka anggap rendah.

Kecenderungan tarikan untuk bekerja di dunia malam tersebut di atas, telah mendorong migrasi pekerja perempuan terutama ke Jakarta, Bali, Papua dan Batam. Oleh pihak pemerintah dan kepolisian, ini dikategorikan kejahatan Trafficking atau penjualan manusia, tentu jika ada “penjualnya”. Berita soal ini dapat kita dibaca dalam media cetak lokal yang cukup ramai menyajikannya.

Pengalaman terlampau melekatnya identitas yang tidak baik ini pun pernah kami jumpai di Batam. Dalam sebuah seminar kecil mengenai kebudayaan Sulawesi Utara pada bulan Mei 2009, seorang peserta mempertanyakan identitas perempuan Minahasa yang identik dengan pekerjaan dunia malam. Suatu preferensi, yang memang dapat kita lacak hingga masa Hindia Belanda, terutama di kota-kota pelabuhan-rendezvous. Ini menandakan bahwa identitas tersebut sudah demikian dikenal orang-orang bukan Minahasa. Sehingga mungkin, mendorong pemberian cap moral tertentu.

Bisa juga kita menengok beberapa penulis tentang perempuan Minahasa, dimana ia menceritakan kisah seorang gadis Manado yang menggunakan pakaian mini di dalam pesawat yang dingin berAC dan ada seorang laki-laki dengan genit dan nada mengejek bertutur: perempuan Manado cantik-cantik ya bu?. Pengalaman itu meningkat-kan kegelisahan penulisnya akan identitas dimaksud. Seolah, modal wajah cantik saja semakin menjustifikasi pandangan populer dan negatif bagi “Menado” yang menjadi akronim dari “Menang Nampang Doang” (hanya menang wajah saja). Atau juga, semakin mengukuhkan cita rasa negatif pada bagian akhir akronim populer 4B yang metaforis itu, yaitu: belum lengkap jika mengunjungi Manado dan belum merasakan Bubur Manado; Boulevard; Bunaken; dan Bibir Manado.

Pada sisi lain, Perempuan Minahasa juga memegang peranan dalam panggung politik berbagai tingkat. Cukup tidak bermasalah seorang perempuan menjadi pucuk pimpinan suatu organisasi atau satuan administratif. Misalnya dalam bidang pemerintahan, merupakan hal yang sangat jamak dan tidak istimewa menemukan Hukum Tua (Kades), Lurah, Kepala Dinas, bahkan, Walikota dan Bupati serta Ketua DPRD berasal dari kaum perempuan. Misalnya, saat ini beberapa kabupaten di Sulawesi Utara dipimpin oleh perempuan. Walikota perempuan pertama di Indonesia adalah Tine Wawaruntu yang memerintah Manado di awal 1950an. Begitu juga halnya dengan Jenderal perempuan pertama di Indonesia yaitu seorang polisi Jeanne Mandagi, ia bahkan menjadi jenderal ketika masa Akpol masih belum menerima siswa perempuan.

Dari penjelasan-penjelasandi atas, kita dapat melihat bahwa baik dalam hal adat-istiadat hingga dalam dinamikanya hari ini, posisi perempuan Minahasa menempati posisi yang cukup unik dalam berbagai bidang karena tidak pernah tersubordinasi secara sosial dan kultural dari kaum pria. Karena itulah, isu ketidakadilan gender rasanya menjadi tidak masuk akal di Minahasa.