Lompat ke isi

Suku Moor

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 28 November 2017 05.34 oleh Abdullah Faqih (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi 'Suku Moor adalah sekelompok suku lokal yang bermukim di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Suku Moor. Mereka dahulu dikenal sebagai sekelompok suku yang berdiam diri di...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Suku Moor adalah sekelompok suku lokal yang bermukim di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Suku Moor. Mereka dahulu dikenal sebagai sekelompok suku yang berdiam diri di sebuah pulau yang bernama Pulau Moor. Di suatu malam, dua orang laki-laki Moor mendengar suara deru ombak yang amat kencang. Keduanya lalu memutuskan untuk mencari tahu sumber dari suara tersebut. Hingga kemudian, mereka sampai di sebuah pesisir pantai. Cerita tersebut mereka sampaikan kepada kepala suku agar masyarakat Suku Moor berpindah tempat ke pesisir pantai tersebut. Hingga kemudian, mereka menetap di sana sampai hari ini. Kata “Moor” yang tersemat pada nama Suku Moor juga bermakna sebagai Mora yang berarti orang dari tengah pulau turun ke pesisir pantai. Gambaran Umum Suku Moor secara umum membagi kelompoknya ke dalam delapan marga, yaitu Marga Tawaru, Marga Morare, Marga Sembor, Marga Sembiri, Marga Senandi, Marga Nisiro, Marga Kawaa, Marga Sawaki. Dari kedelapan marga tersebut, tidak terdapat perbedaan Bahasa. Kedelapan marga yang ada menggunakan Bahasa Moor sebagai Bahasa percakapan sehari-hari. Di antara delapan marga Suku Moor tersebut, Marga Tawaru dianggap sebagai marga tertinggi yang ditunjuk oleh masyarakat Suku Moor sebagai kepala atau pemimpin mereka. Secara umum, masyarakat Suku Moor bermatapencaharian sebagai nelayan. Profesi pekerjaan itu merupakan konsekuensi logis dari kondisi geografis tempat tinggal mereka yang berada di pesisir pantai. Lain ceritanya ketika mereka masih hidup di tengah pulau, kebanyakan dari mereka mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan berburu di hutan. Sementara itu, terkait kepercayaan yang mereka anut, Suku Moor sebagian besar memeluk agama Kristen. Hal itu berkaitan dengan masuknya injil ke tanah Papua ketika periode kolonialisme. Sebelum memeluk agama Kristen, Suku Moor menyembah berhala yang merupakan patung berbentuk manusia. Kendati telah memeluk agama Ibrahim, Suku Moor masih mematuhi aturan-aturan adat yang sudah sejak lama mereka terapkan. Aturan-aturan adat itu melingkupi aturan dalam hal pengangkatan anak, pembagian warisan, dan tata cara perkawinan. Dalam hal aturan perkawinan, Suku Moor tidak menghendaki perkawinan sedarah sekali pun saudara jauh. Saudara jauh dimaksudkan sebagai sepepu dua kali atau yang memiliki hubungan keluarga berderajat empat. Mereka juga melarang perkawinan sesama marga atau kedua mempelai yang berasal dari marga yang sama. Sebelum upacara perkawinan digelar, kedua mempelai Suku Moor tidak diperkenankan untuk bertemu, apalagi bergandengan tangan sampai orang tua dari pihak perempuan mengajukan jumlah mas kawin yang wajib diberikan oleh mempelai laki-laki. Lebih jauh lagi, Suku Moor umumnya memiliki ciri keterbukaan kepada siapa pun. Sebagai misal, ketika ada orang asing yang ingin menginap di perkampungan mereka, mereka akan menyambutnya dengan ramah dan penuh suka cita. Mereka juga tidak suka mencampuri urusan orang lain. Sedangkan dalam hal ciri-ciri fisik, mereka memiliki hidung mancung, kulit berwarna coklat tua, dan rambut bergelombang. Kondisi Geografis Suku Moor bermukim di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Wilayah itu terhampar di seputar leher burung pulau Papua atau tepatnya berada di pesisir Teluk Cenderawasih. Secara geografis, terletak pada posisi antara 134,,35-138,02 bujur timur dan 2,25-4,15 lintang selatan. Luas wilayah daerah tersebut kurang lebih 16.350 km yang berbatasan langsung dengan Teluk Sarera (di sebelah utara); Kabupaten Kaiman dan Kabupaten Mimika (di sebelah selatan); Kabupaten Waropen dan Kabupaten Paniai (di sebelah Timur); Kabupaten Teluk Wondama (Di sebelah barat). Sementara itu, topografi perkampungan Suku Moor juga bervariasi. Ada beberapa wilayah yang bertopografi datar, bergelombang, berbukit, dan bergunung. Sebagian besar Suku Moor yang asli berdiam diri di distrik Napan dan distrik Siriwo. Jumlah mereka yang berdiam diri di Distrik Siriwo diperkirakan sejumlah 978 jiwa yang terdiri dari laki-laki sejumlah 584 jiwa dan perempuan sejumlah 394 jiwa. Mereka masih menerapkan adat istiadat dan kebiasaannya sesuai dengan yang telah diajakan oleh nenek moyang mereka, ratusan tahun yang lalu. Beberapa aturan adat penting yang mereka terapkan adalah tentang pengangkatan anak. Sengketa Warisan Dalam menyelesaikan sengketa warisan, Suku Moor umumnya menggunakan cara yang rukun dan damai. Penyelesaian sengketa tidak hanya melibatkan dua atau lebih pihak yang bersengketa saja, melainkan juga anggota keluarga dari pihak yang bersengketa. Mereka amat menekankan kedamaian dan menghilangkan segala hal yang berpotensi mampu merusak keutuhan keluarga mereka. Jalan yang ditempuh untuk memecahkan sengketa yang terjadi adalah melalui musyawarah. Musyawarah tersebut terbagi menjadi beberapa hal, yaitu musyawarah terbatas dalam lingkungan keluarga yang dihadiri oleh anggota keluarga, musyawarah kerabat, musyawarah perdamaian adat yang disaksikan langsung oleh kepala adat. Meskipun demikian, upaya musyawarah tersebu tidak jarang juga menemui kegagalan atau jalan buntu. Kegagalan yang ada biasanya disebabkan karena anggota keluarga telah dipengaruhi oleh unsur-unsur kepentingan pribadi atau hal-hal lain yang bersifat kebendaan. Apabila upaya musyawarah benar-benar tidak mampu menyelesaikan sengketa yang terjadi, kedua belah pihak biasanya akan membawa perkara tersebut ke pengadilan agama atau pengadilan negeri. Sebaliknya, pembagian warisan di masyarakat Suku Moor biasanya tidak memerlukan campur tangan pemimpin atau pemuka adat, apalagi sampai dibawa ke ranah pengadilan agama apabila pembagian warisan tersebut berlangsung rukun dan damai antar ahil waris. Sebelum sengketa dibawa ke pengadilan, sengketa tersebut biasanya diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah yang juga memiliki tahapan atau tingkatan. Musyawarah biasanya akan dihadiri oleh para pemuka adat, dan seluruh ahli waris yang bersengketa terhadap harta orang tuanya. Pemuka adat pertama-tama akan memberikan semacam nasihat terkait entingnya kedaiamain dan kerukanan hidup, serta nasihat-nasihat lain mengenai betapa malunya kepada keluarga besar, kepada masyarakat setempat, dan kepada masyarakat di luar mereka. Apabila kesepakatan melalui musyawarah tersebut telah dicapai, kedua belah pihak yang bersengketa harus menerimanya dengan lapang dada. Apabila hasil musyawarah tetap mengalami jalan buntu, maka persoalan tersebut akan dibawa ke kepala adat. Tempat musyawarah biasanya dilakukan di rumah kepala adat. Apabila kepala adat belum juga berhasil menyelesaikan sengketa tersebut, maka persoalan tersebut akan dibawa ke pengadilan negeri. Dalam hal itu, kepala adat akan bertindak sebagai saksi. Pengangkatan Anak Suku Moor juga merupakan sekelompok suku lokal yang melakukan pengangkatan anak, terutama anak perempuan, dalam kehidupan mereka bermasyarakat. Anak angkat dalam Suku Moor dikenal dengan istilah “Nao nio ji ha Uo” yang berarti anak yang diangkat. Menurut mereka, anak angkat adalah anak yang diangkat dan dimasukkan ke dalam keluarganya (keluarga orang tua angkat) dengan suatu upacara dimana hak dan kewajiban dari orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat. Dalam Bahasa lain, pengangkatan anak dalam tradisi mereka dikenal sebagai mengambil anak orang lain, memasukannya ke dalam keluarganya sendiri untuk dirawat, dididik, dan dibesarkan sebagaimana anak kandungnya sendiri, tentunya melalui suatu upacara adat. Pengangkatan anak secara umum biasanya dilakukan terhadap kerabatnya sendiri yang didasari oleh motif memperoleh harta warisan atau melanjutkan keturunan orang tua angkatnya. Tata cara pengangkatan anak sendiri sebelum disahkan menjadi anak angkat biasanya dilakukan melalui upacara adat tertentu yang dihadiri oleh kepala adat dan masyarakat adat setempat. Setelah rangkaian upacara adat selesai, maka anak tersebut secara resmi telah menjadi anak orang tua angkatnya. Ketua adat kemudian akan mengeluarkan surat pengesahan. Namun demikian, surat pengesahan dari ketua adat tersebut bukan menjadi satu-satunya hal yang menyebabkan sah atau tidaknya pengangkatan seorang anak. Pengangkatan seorang anak akan dianggap sah apabila sudah melalui serangkaian upacara adat di daerahnya. Pengangkatan anak tersebut juga dilakukan secara terang dan tunai. Orang tua angkat yang hendak mengangkat seorang anak harus memberikan timbal balik kepada orang tua kandung sang anak berupa benda-benda tertentu yang dimaksudkan untuk memutus hubungan antara anak kandung dengan orang tua kandungnya. Mereka juga memperhatikan syarat-syarat tertentu dalam pengangkatan anak, seperti jenis kelamin dan usia anak. Dalam tradisi Suku Moor, mereka bisa mengangkat seorang anak sejak masih dalam kandungan atau dapat dilakukan saat anak telah berusia lima tahun. Mereka biasanya akan mengangkat anak laki-laki karena dianggap sebagai penerus keturunan, namun demikian, tidak sedikit pula Suku Moor yang lebih memilih untuk mengangkat anak perempuan. Dari seluruh perkampungan yang dihuni oleh Suku Moor, ada 26 keluarga yang melakukan pengangkatan anak. Dari jumlah tersebut, sebagian besar Suku Moor banyak melakukan pengangkatan anak berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Sementara itu, sebagaimana dijabarkan di awal, pengangkatan anak yang terjadi di Suku Moor juga masih mengikuti tata cara atau adat istiadat yang berlaku. Mereka biasanya melakukan pengangkatan anak pada keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Prosesi yang mereka lakukan dalam pengangkatan anak adalah sebagai berikut: - Seluruh pihak yang berkepentingan dalam pengangkatan anak akan dikumpulkan di rumah orang tua angkatnya. Pihak-pihak yang terlbat itu adalah orang tua kandung, kedua orang tua angkat, anak yang hendak diangkat, dan kerabat dari kedua orang tua angkat maupun orang tua kandung. - Kepala adat akan menjelaskan hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh kedua orang tua angkat maupun kandung, kemudian sang anak akan diserahkan secara langsung kepada calon orang tua angkatnya. - Penyerahan anak tersebut diiringi oleh penggantian biaya yang diberikan oleh orang tua angkat kepada orang tua kandungnya. Biaya tersebut mencakup biaya mengandung dan membesarkan sang anak hingga anak tersebut diserahkan kepada orang tua angkatnya. Setelah itu, kepala adat akan mengeluarkan surat pengesahan yang menunjukan bahwa sang anak telah resmi menjadi anak dari orang tua angkatnya. Upacara pengangkatan anak tersebut wajib dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai syarat pengesahan sekaligus pemberian informasi kepada sanak saudara-keluarga besar mengenai anggota baru keluarga mereka. Tanpa melalui upacara adta, keberadaan anak tersebut dalam keluarga barunya tidak dianggap absah.



Referensi